Suatu ketika Wulan, seorang siswi baru perlahan mulai memasuki kehidupan Daffa. Seiring waktu Ulan dan Daffa terjebak dalam zona nyaman yang mebuat mereka lupa akan status di antara mereka.
Satu hal yang pasti, Daffa tidak mengetahui akankah Zona Nyaman membawa dirinya menemukan letak kenyamanan hati yang sesungguhnya. Dan disaat Daffa mulai menjauh, Rea mulai merasa kehilangan dan mulai mencintai Daffa. Dimanakah Daffa akan memberikan hatinya?
Sorotan lampu warna-warni, menambah gemerlapnya ruangan. Semua orang larut dalam kesenangan. Ada yang sedang berjoget di depan panggung DJ, berselfi ria, atau hanya sekedar duduk menikmati minuman.
Diantara muda mudi yang sedang berjoget di depan panggung, Rea Mawar Dejong gadis keturunan Indonesia-Belanda berjoget ria ditemani tiga sahabatnya yaitu Yivi, Kansa dan Zalfa. Hampir setiap akhir pekan mereka datang ke tempat ini, jika mereka tidak memiliki kesibukan rutinitas masing-masing.
“Yuhu.. Have fun Guys.” Teriak Rea sambil merangkul pundak ke tiga sahabatnya.
“Haha yoi.” Ucap Kansa.
“No galau-galau club, Hahaha.” Timpal Yivi.
“Masa muda harus kita isi dengan kesenangan, kalo udah tua mana mungkin bisa have fun kayak gini.” Ucap Rea.
“Haha iya lah, paling ngurus cucu-” Ucapan Yivi terpotong.
“Sama ngurus pinggang yang encok Hahaha.” Ucap Kansa.
“Hahaha.” Rea,Yivi dan Zalfa tertawa bersamaan.
Mereka kembali berjoget mengikuti irama music yang dimainkan DJ. Tak terasa kini waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Biasanya mereka bertiga akan memutuskan untuk pulang karna salah satu temen Rea yaitu Zalfa sudah di jemput oleh Papihnya.
“Woo! Thanks for this night Guys.” Rea memeluk tubuh ketiga sahabatnya.
“Hihi yoi.” Ucap Yivi.
“Next time kita coba minum bir atau vodka yuk! Sekali-sekali aja.” Ujar Kansa sambil tersenyum kuda ke arah Tiga sahabatnya.
“Haha banyak gaya lo Sa, minum teh sisri aja langsung batuk.. lah ini mau sok-sokan minum vodka.” Celetuk Zalfa.
“Ye.. Jangan meremehkan gitulah.” Kansa menatap tajam wajah Rea dan Yivi. “Gini-gini dulu pas SMP gue pernah nyobain wine.” Sambungnya.
“Wine atau anggur cap kakek yang dijual di tukang jamu hahaha.” Ucap Yivi terkekeh.
“Haha.” Rea ikut tertawa.
“Ngeledek aja kalian.” Kansa memayunkan bibirnya.
“Kalo soal minum-minum gue ga ikut-ikutan yah guys bisa di gorok sama Papih gue.” Ucap Zalfa.
“Lagian lu mah ga asik, Have fun di intilin Papih ga bebas tau.” Ucap Rea.
“Yaa mohon dimaklumin yah guys.” Zalfa terseyum canggung.
“Engga apa-apa Rea yang penting angota geng kita lengkap Have fun bareng, tau sendiri Bokap nya Zalfa behh ngeri coy.” Ucap Yivi.
“Hehe iya juga sih, Oke girls selalu have fun dan sama-sama terus.” Teriak Rea.
“Yaudah cabut yuk guys.” Ajak Rea sambil melangkah menuju pintu keluar.
Yivi,Kansa dan Zalfa langsung mengikuti Rea dari arah belakang. Di luar gedung Sobber’s Rea,Zalfa dan Yivi berdiri di tepi jalan, sedangkan Kansa beberapa saat yang lalu sudah pulang terlebih dahulu di jemput supir pribadinya. Kini Yivi menunggu kekasihnya yang sudah ia hubungi untuk menjemput dirinya, sedangkan Zalfa sebentar lagi akan di jemput Papihnya.
BRUMM!!…BRUMM!!…BRRUUMM!! …. TREETTT!!!!!!
Sebuah motor Sport berwarna merah berhenti di depan Yivi, pengemudi motor tersebut menyerahkan helm dan Yivi langsung memakainya. Tak berselang lama Papih Zalfa datang mengendarai motor Retro kelasik. Yivi beserta kekasihnya begitu juga Rea terdiam takut saat melihat Papih Zalfa yang bertumbuh kekar dengan style baju rock.
“Ehh malam om Boski.” “Malam juga om.” Ucap Yivi dan kekasihnya bersamaan.
“Zalfa aman kan? Ga ada yang usil.” Tanya Papih Boski.
“Aman kok Pih.” Ucap Zalfa.
“Kalian ga ada yang minuman-minum kan?” Boski memasang muka sangar saat bertanya.
Rea, Yivi dan pacarnya diam pucat dan tegang di tatap seperti itu “Amann.. Aman Om.” Ucap Yivi.
“HAHAHAHAHAHHAHA.” Boski seketika tertawa tak kuat melihat ekspresi ketiga teman Zalfa “Pada tegang amat sih, okey Saya percaya, karna saya percaya kalian pasti bisa jaga anak saya.” Ucap Boski.
“Hehe iya Om, kita cuman pesen minuman non alkohol.” Ucap Rea.
Ekspresi Boski berubah lagi memasang muka sangar dan garang “Eitss tapi ingat, kalo lain kali saya tau kalian bawa-bawa anak saya ke hal yang ga bener, hemmm tau sendiri akibatnya.” Boski ber pura-pura mengusap senjata api yang melekat pada pinggangnya. Ketiga teman Zalfa itu kembali ketakutan diam mematung.
“Hahahaha, hadeh Om suka ngerjain anak seusia kalian generasi strawberry. Tenang Om ga sejahat itu yang penting nasihat dari Om kalian bebas menikmati masa muda kalian bersenang-senang tapi asal jauhi alkohol dan narkoba.” Ucap Papih Boski.
“Iya Om.” Ucap mereka bertiga dengan senyum kaku, Zalfa hanya menutup muka menahan malu oleh ulah Papihnya.
“Ayo Zalfa pulang.” Ajak boski, Zalfa langsung naik ke atas motor “Gue balik duluan yah Guys” Ucap Zalfa di atas motor sambil melambaikan tangan.
Rea, Yivi dan pacarnya hanya mengangguk. Papih Boski memacu motornya dengan kencang meninggalkan mereka bertiga.
“Rea, yakin lu mau maksain naik taksi?” Tanya Yivi.
“Yaa.. dari pada jalan kaki.” Ucap Rea masih tak melepaskan pandangannya ke kiri dan kanan jalan.
“Pesan ojek online gih.” Suruh Yivi.
“Kuota gue abis cuy, bisanya cuman telfon.” Ucap Rea.
“Rea.. mending lu telfon Daffa dah suruh jemput lu!” Usul Yivi.
“Telfon si Daffa?” Tanya Rea lirih.
“Iya, telfon si Daffa.” Ucap Yivi sambil naik ke atas motor.
Rea terdiam sejenak, ia mencoba merenungkan perkataan yang Yivi serukan.
“Udah lu minta jemput si Daffa aja, yaudah gue cabut dulu byee.”
Kekasih Yivi menghidupkan Mesin motornya kembali, perlahan motor mulai melaju pelan meninggalkan Rea sendiri di pinggir jalan.
Rea menatap bingung ke sekeliling, dengan gerakan pelan ia mengambil Smartphone android miliknya dari dalam tas kecil kemudian menelfon Daffa.
Daffa Alvandi calling…
Terdengar suara handphone yang di letakkan di atas meja panjang berdering. Daffa yang sedang duduk menatap layar komputer bercanda dengan Wulan di aplikasi Skype menghentikan obrolan karena menyadari handphonenya berdering.
“Jawab tuh telfonnya kali aja penting.” Ucap Wulan pada layar komputer.
Daffa mengangguk pelan sambil tersenyum, ia berdiri dan berjalan menuju meja panjang. Daffa mengerutkan keningnya saat melihat sebuah nama yang tertera di layar handphone.
“Rea?”
Daffa melirik jam dinding yang menempel di sisi kiri tembok ruangan belakang rumahnya.
“Jam dua belas? Rea tumben nelfon jam segini.”
Dengan perasaan sedikit bingung Daffa menjawab panggilan telfon Rea.
“Iya Rea, ada apa? tumben kamu hubungi aku duluan malam-malam gini.”
“Hah jemput? dimana?” Daffa menatap ke sekeliling ruangan dengan bingung.
“Oke..oke! aku ke sana sekarang.”
Setelah mematikan telfon dan memasukkan handphonenya ke dalam saku celana Daffa bergegas kembali menuju depan layar komputer.
“Rea?” tanya Wulan singkat di layar komputer.
Dafa menjawabnya dengan anggukan pelan lalu berkata “Iya, dia minta jemput kasihan udah malam.”
“Jemput di mana?”
“Di daerah Pasteur.”
“Yaudah hati-hati di di jalan, pakai jaketnya jangan ngebut dan selalu waspada.”
“Oke bos.” Dafa tersenyum sambil memberi hormat kepada Wulan.
“Haha, laksanakan … Oh iya nanti pas ketemu di sekolah sambung lagi loh cerita putri panda sama pangeran beruangnya.”
“Ayeyy siap.”
“Byee sampai ketemu nanti.”
“Byee.” Dafa melambaikan tangan lalu meng close aplikasi Skype dan mematikan komputer.
Setelah mengambil jaket lalu meraih kuci motor yang tergantung di sudut tembok, Daffa tergesa-gesa berjalan menuju depan rumah. Saat Daffa akan membuka pintu, terdengar suara ibunda Daffa memanggil dari arah belakang.
“Daffa, kamu mau kemana Na?” tanya ibunda Daffa.
Sambil tersenyum Daffa membalikkan badan menghadap ibunya.
“Bu, Daffa izin keluar sebentar yah.” Ucap Daffa sambil tersenyum.
“Keluar kemana nak?” Tanya Ibunda Daffa kembali.
“Temen Daffa ada yang minta jemput bu, kasihan sudah malem gini enggak ada angkutan yang lewat.”
“Yaudah hati-hati di jalan, itu jaket kamu di kancingkan, Bandung belakangan hari ini terasa dingin.”
Daffa tersenyum, lalu mengancingkan jaketnya setelah itu ia mecium tangan ibunya dengan lembut. “Daffa pergi dulu bu, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Dengan langkah pelan Daffa berjalan menuju depan rumah. Setelah membuka pagar luar yang terkunci, Daffa mengeluarkan motor Yamaha RX king peninggalan dari almarhum Ayahnya dari dalam garasi.
“Ish, lama amat sih!” Gerutu Rea sambil melihat jam yang berada di layar smartphone.
“Yaudah gue jalan dulu aja mungkin nanti ada taksi yang melintas.” Gumam Rea.
Dengan wajah suntuk Rea berjalan menyusuri trotoar, baru beberapa meter Rea berjalan motor milik Daffa kini sudah berada di samping kanan.
“Rea, ayo naik!” Daffa melambatkan laju motornya.
“Ehh?” sambil menoleh Rea sedikit terkejut melihat Daffa yang sudah berada di samping kanannya.
Daffa mematikan mesin motornya, kemudian ia menyerahkan helm kepada Rea.
“Ayo Rea! sudah larut malam.” Seru Daffa.
Rea menoleh ke kanan dan ke kiri sejenak, sambil mengembuskan nafas pelan ia mengambil helm lalu naik ke atas motor Daffa.
“Pegangan, aku antar kamu pulang.”
Rea hanya diam, kedua telapak tanganya sedikit memegang erat punggung Daffa. Daffa menekan pedal gas, motor pun kembali bergerak menuju rumah Rea.
.
.
.
Daffa mengemudikan motor dengan kecepatan sedang, jalanan kota Bandung sudah cukup lenggang karena waktu sudah lewat larut malam. Dinginnya hembusan angin malam mereka terjang, Rea menyilangkan kedua tangannya dan mengusap pelan bahu hingga bagian siku. Ia tak kuasa menahan terpaan angin malam yang terasa dingin karena ia hanya mengenakan baju model crop pendek.
Saat Daffa melirik ke spion motor melihat Rea sedang bertahan dari dinginnya angin malam, sontak Daffa melambatkan laju motor dan berhenti persis di sebelah taman Tega lega kota Bandung. Dengan sigap Daffa melepaskan jaket lalu memberikannya kepada Rea. “Nih pakai jaketku!” Rea sedikit terkejut sambil memandang wajah Daffa. “Sudah ambil, udaranya cukup dingin.” Ucap Daffa kembali. Rea menatap dengan ragu ke arah jaket yang Daffa sodorkan. Setelah menurunkan standar motor, Daffa turun dan memakaikan jaket ke tubuh Rea. Rea hanya diam sambil melirik dengan tatapan datar. “Kamu harus pakai jaket ini, dinginnya angin malam lebih buruk dari dinginnya sikap kamu.” Ujar Daffa sambil naik kembali ke atas motor. Rea tak membalas perkataan Daffa, ia hanya diam milirik ke arah taman yang tampak sepi. Daffa kembali menekan pedal gas, motor pun kembali melaju menyusuri jalan kota Bandung.
.
.
.
Sudah empat puluh menit Daffa mengemudikan motor, sekarang ia telah memasuki area kawasan daerah Baleendah Kabupaten Bandung. Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan yang terucap dari bibir mereka, Daffa berusaha fokus mengemudikan motor melawan rasa ngantuk yang mendera sedangkan Rea menatap kosong ke arah jalan yang di lalui.
Daffa melambatkan laju motor di persimpangan jalan tugu Baleendah lalu masuk ke sebuah perumahan Cluster dan berhenti di depan rumah Rea, daffa menoleh ke arah belakang “Re, kita sudah sampai.” Dengan raut wajah yang sayu dan mengusap pelan matanya Rea turun dari motor. “Makasih.” Ucap Rea singkat sambil melepaskan Helm lalu mengembalikannya kepada Daffa kemudian melangkah pergi. Baru empat langkah berjalan, langkah kaki Rea terhenti karena Daffa menggenggam pergelangan tangan Rea.
“Re, please ubah diri kamu jangan seperti ini hiduplah seperti remaja yang mengerti akan aturan, ubahlah pergaulan mu ini karena akan berdampak negatif!”
Rea hanya tersenyum kecut sambil menatap tajam wajah Daffa. “Daff, lu bukan orang tua gue, kaka gue atau pun suami! Tolong jangan sok ngurusin hidup gue, gue berhak ngelakuin apa yang gue mau!” Daffa tersenyum, perlahan Daffa semakin genggaman erat pergelangan tangan Rea.
“Aku hanya seorang pria yang mencintai diri mu dengan tulus, yang tersenyum saat menatap mu, bahagia melihat mu tertawa, melihat mu seperti ini hati kecil ku takan rela Rea, tapi segala perhatian aku dan kebaikan aku enggak pernah kamu anggap dan selalu bersikap acuh!”
“Udahlah Daff, lebih baik lu pulang.” Ucap Rea melepaskan genggaman tangan Daffa tanpa menoleh Rea kembali berjalan masuk ke dalam rumah. Daffa hanya bisa menatap murung ke arah Rea yang sudah masuk.