Halo! Been a while since my last rant, and quite a satisfied rant I must say.
Thread kali ini, saya buat sebagai salah satu bentuk dari commission yang disubmit oleh @SharelockHolmes ke saya. Jadi, pada November-Desember tahun lalu, @SharelockHolmes menghubungi saya lewat PM untuk commission cerita Fafa (The Road of Corruption). Beliau ingin melakukan rombak pada cerita The Road of Corruption yang sedang berjalan. Tapi kali ini, dengan draft cerita yang sudah tersusun dari awal sampai akhir. Awalnya, karena saya sedang hectic-hecticnya sama kucing, commission lain, dan juga update cerita Affair(s), jadi saya nggak langsung mengiyakan permintaan beliau. Maka, saya minta izin untuk sneak peak draftnya lebih dulu supaya ada bayangan apa saja yang harus saya lakukan semisal saya menyetujui untuk menggarap commissionnya.
Lalu, setelah melalui pertimbangan yang cukup matang (dan butuh uang juga, tentunya) saya setuju untuk menggarap remake (bisa juga dianggap sebagai versi alternatif) dari cerita The Road of Corruption. Beliau pun menyerahkan draft cerita beserta materi karakter dan ilustrasi yang dibutuhkan. Jadi memang, ceritanya tinggal dikembangkan sesuai versi saya dan tentu, dengan berpegang pada draft yang diberikan supaya ceritanya tetap onpoint sesuai dengan permintaan @SharelokHolme. Rencananya, cerita versi remake ini akan berjumlah sebanyak 42 chapters, yang terbagi ke dalam 4 act utama. Ada sedikit-banyak perbedaan alur, karakter, plot, dan detail minor lain dari cerita yang digarap langsung oleh @SharelockHolmes, tapi empat karakter utama tetap ada, yaitu: Fafa, Putri, Reza dan Agung. Sementara, detail-detail lainnya akan ikut menyusul.
Jadi, bentuk commission yang telah disepakati antara saya dan @SharelockHolmes adalah meliputi: pembuatan cerita berdasarkan draft yang disediakan, serta mempostingnya di forum. Penjelasan ini sekaligus bertujuan sebagai disclaimer bahwa saya sudah mendapat izin penuh untuk menggarap dan mempublikasikan cerita ini, yang tentu saja berdasarkan request dari yang bersangkutan. Hal-hal diluar kesepakatan antara saya dengan seperti izin ke penulis asalnya, adalah diluar kuasa saya. Tapi selama saya menggarap cerita ini, tentu akan saya kerjakan dengan sebaik mungkin. Termasuk penggunaan format tulisan yang biasanya malas sekali saya kerjakan di forum karena nggak bisa asal copas dari Docs (biasanya harus edit satu persatu, mana yang dibold dan mana yang pakai italic, etc.)
Untuk konten ceritanya sendiri apakah tetap mengusung hardcore-to-the-bone plot, well… mungkin bisa dinilai sendiri setelah membacanya. Just so you know, my goal in this story is to make a bitter-hard textured wasabi to be dressed as a vanilla. So, yeah… to reach the midnight, a twilight needs to gradually losing its colour, I think.
Enjoy.
-Fafa-
18 tahun/163 cm/47 kg/32 D/Aries
Per tahun ini, usiaku sudah 18 tahun. Statusku memang masih pelajar sekolah, but hey! Orang yang sudah punya KTP nggak bisa dikategorikan sebagai underage lagi, ya! Di sekolah, aku ini termasuk murid yang stand out fit in (you can play OOR songs here!). Karena kemampuan berpikirku diatas rata-rata, jadi aku menguasai hampir semua bidang pelajaran (termasuk pada pelajaran yang bukan jurusanku). Aku punya pandangan untuk harus belajar banyak supaya bisa menunjang hidup keluargaku selepas lulus SMA nanti. You can say her character somewhat feels like… a selfless daughter, indeed.
-Reza-
25 tahun/165 cm/58 kg/11 cm/Scorpio
Umur gue saat ini 25 tahun. Iya, gue tau diumur segini seharusnya gue udah sukses macam orang-orang di quarter life mereka. Tapi emang kenapa kalo gue masih nganggur? Kenapa juga kalo gue drop out kuliah? Ini urusan gue, anjing—sorry, sorry, gue terlalu mendalami karakter yang suka insecure parah, nih! Tapi sebagai anak band yang juga… let’s say, a word crafter, gue kayak lagi kena jackpot karena bisa berpacaran sama Fafa. Dan kayaknya, itu hoki seumur hidup gue yang kepake, deh.
“Dilla,” tegur Ayah, sambil menengok padaku, setelah selesai sesi doa. “Coba kamu cek itu telpon dari siapa. Mana tau penting.”
“Paling dari Putri, Yah,” jawabku. Aku pun beranjak dari duduk bersila, lalu sedikit merayap menuju Ayah untuk salim. “Dede duluan, Yah.”
“Si Putri kenapa telpon kamu pagi-pagi begini?” tanya Bunda, menyambar di obrolanku dengan Ayah.
“Biasanya, sih, kalo neror Dede jam segini berarti dia mau salin tugas, Bun.”
“Terus kamu kasih tugas kamu gitu aja?” Kali ini, Ayah yang menimpali.
Saat Ayah menahan tanganku selepas aku salim, disitu pertanda bahwa beliau ingin mengobrol denganku secara lebih serius. Aku pun urung untuk berdiri. “Iya,” jawabku. “Kenapa, Yah?”
“Jangan sering-sering, dong,” jawab Ayah. “Takutnya kamu cuma dimanfaatin aja, Dil.”
“Tapi biasanya abis minjem tugas Dede, Putri beliin Dede Chatime, Yah.”
“Chatime?”
“Sama diajak shopping di mall, sih.”
“Terus?”
“Ditraktir hair care di salon juga. Diajak main di Timezone, dibayarin makan Mie Gacoan, terus—”
“Kok banyak banget imbalannya?” Ish, Ayah. Motong aja kalau orang lagi ngomong, tuh.
“Mungkin itu yang namanya balasan dari berbuat baik?” balasku lagi. Tiba-tiba, dari arah kamarku, terdengar lagi nada dering yang sama, dengan yang sebelumnya sudah tiga kali mengganggu ibadah kami. “Ada telepon lagi, Yah. Dede ke kamar dulu, ya, Yah, Bun?”
Setelah pamit ke Ayah dan Bunda, aku segera beranjak ke kamar. Kuraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Karena aku pakai mode dering plus getar, jadi saat ponselku berdering, getarannya bergesekan dengan meja sehingga menimbulkan suara berisik yang tambah mengganggu. Dan hal ini menambah rasa nggak enakku ke Ayah dan Bunda.
Awas aja kalau ini betulan Putri—apalagi kalau ternyata dia memang mau pinjam tugasku!
Oh, ternyata… Reza? Tumben banget dia telepon aku di jam segini. Tapi… ada apa, ya?
“Halo, Fa? Kenapa kamu lama banget angkat telepon aku, sih?” Begitu kalimat pertama yang terlontar dari Reza saat aku mengangkat teleponnya. Nggak pakai salam dulu….
“Wa’alaikumsalam. Tadi kamu lupa salam, Yang,” balasku. “Aku baru selesai sholat subuh. Ada apa? Ada yang penting?”
“Lusa, kan, kita monthversary yang ketiga, Yang. Rayain, yuk?”
Dia… telepon aku berkali-kali sampai sholatku terganggu, cuma untuk bilang ini? Pacarku… random banget. “Yuk. Mau rayain gimana dan dimana, Sayang?”
“Gimana kalau kita staycation di Puncak? Duit bayaran ngejoki aku baru cair, nih!”
Sebelum menjawab, aku sengaja ambil nafas panjang, lalu kuhembuskan perlahan. “Yang, maaf kalo aku ingetin kamu lagi, ya? Takutnya kamu lupa. Kan… aku… nggak boleh nginep sama Ayah.”
“Tapi kita pacaran mau tiga bulan, Fa. Selama ini juga kita nggak pernah kemana-mana. So, buat kali ini, aja. Please?”
Oh, he’s so pushy
And selfish; it consist of two syllables
You remove “sel”, and what’s left is “fish”
So, basically, Reza is a pushy fish
Boo, I don’t even know what it is
“Nanti aku coba tanya Ayah, ya? Tapi nggak janji akan dapat izin.” Nggak ada respon dari Reza. Jawabanku dibiarkan menggantung tanpa balasan. Dan karenanya, aku jadi nggak nyaman dengan komunikasi kami. Aku… takut Reza marah, deh. “Tapi mungkin… kalau kita nggak nginep, aku bisa lebih mudah cari alasan perginya. Gimana?”
Oh, great. I think I did it again. The “yaudah-deh-turuti-aja-soalnya-aku-ga-mau-liat-dia-sedih/marah/kecewa” habit. Another day, yet same mistake, Fafa.
“Y-Yaudah, deh—eh, maksud aku, gitu juga mau banget, kok! Oke, deh, Yang. Nanti aku kabarin lagi kalo udah ketemu hotel yang bagus, ya! See you!”
“See you! Wassalamu’alaikum—”
Aku pun buru-buru melihat ke layar ponsel. Teleponnya sudah keburu dimatikan, bahkan sebelum aku menyelesaikan salamku. Orang-orang yang sudah berada di umur seperempat abad memang lagi onfire, ya, jadi suka buru-buru. Atau sebenarnya Reza memang sedang buru-buru?
Masih dengan memakai mukena, aku pun merebahkan diri ke ranjang. Menatap langit-langit kamar, pikiranku pun melayang. Tak tentu arah, awalnya. Lompat dari rumus matematika, lalu ke makan apa nanti di kantin, lompat lagi ke ingatan ketika Putri sedang ngomel, lalu pikiranku mengerucut: membentuk wajah Reza. Pacarku, yang sudah menemani dua bulan belakangan ini.
Ini sudah kelima kalinya Reza mengajakku untuk staycation bareng. Baik ajakan terang-terangan, lewat modus liburan bareng teman-temannya, atau kode-kode yang menjurus—pokoknya semua pernah dia coba, deh! Lima kali pula aku menolaknya dengan alasan yang sama: nggak dapat izin Ayah. Tapi kupikir, kalau dia masih belum kapok dengan mencoba sampai lima kali begini, berarti Reza tipe cowok yang gigih.
Well, aku nggak suka sikap pushy-nya; tapi aku suka dengan kegigihannya.
Tell me that you’ll wait for me
Hold me like you’ll never let me go
‘Cause I’m leavin’ on a—
“Lampunya udah ijo! Jalan, woy!”
Oh, my… saking kagetnya, aku sampai berhenti bersenandung. Kenapa orang-orang di kota ini nggak sabaran plus sering marah-marah, sih? Perkara telat melaju dua detik setelah lampu lalu lintasnya berubah ke warna hijau saja bisa jadi bahan untuk meneriaki orang lain. Untungnya, Ayah langsung sigap tancap gas motor, jadi nggak perlu dapat makian tambahan. Atau… itu cuma asumsiku saja, karena orang yang tadi meneriaki kami, sekarang sedang memepetkan badan motornya ke motor kami secara terus-menerus.
Ini… bukannya bahaya, ya?
“Lu kalo lampu udah ijo, langsung jalan, dong! Bukannya malah bengong!” teriak orang yang masih mepet-mepet ke kami ini. Entah apa maksud dari kelakuannya ini. Harus banget marah-marah sambil naik motor, ya?
“Iya, Pak. Maaf, Pak. Silahkan duluan, Pak.” Tiap kali Ayah mengucap disusul kata “Pak”, tiap kali itu juga beliau mengangguk. “Sekali lagi maaf, ya, Pak.”
“Aaah! Lu kalo dibilangin malah nyolot responnya! Mau gua ijoin lu?!”
Aku, yang sedang duduk di jok belakang motor, lama-lama kesal juga saat melihat ayahku terus-terusan dimaki sama orang berjaket hijau ini. Mungkin ini saatnya aku tag team sama Ayah. Maka, aku pun menepuk pundak beliau. Biar mirip seperti di Smackdown, gitu. Lalu, aku membuka kaca helm, dan pandanganku langsung tertuju ke si tukang marah-marah ini.
“Pak, ayah saya sudah minta maaf. Dimaafin aja, ya?” timpalku. Teriring nada tegas di kalimat yang kuucapkan.
Si tukang marah-marah (aku maunya panggil dia begitu) ini langsung mendengus kesal, lalu tancap gas dan ngebut sekaligus bermanuver salip sana-sini. Sementara Ayah, kuperhatikan cuma diam saja. Jadi… aku usap-usap saja punggungnya. Mungkin bisa sedikit menenangkan.
“Makin hari, Dede jadi makin sering liat banyak orang marah-marah di jalan, Yah.” Kuperhatikan lagi si tukang marah-marah yang sekarang berada jauh di depan. Dia… berantem lagi sama pengendara motor lainnya, dong. Sepertinya, pengendara problematik satu itu memang punya masalah yang tidak selesai di hatinya. “Orang-orang lagi pada kenapa, sih?”
“Habis pandemi, banyak orang yang hidupnya nggak sama lagi, Dil. Mereka yang nggak siap dengan perubahan mendadak… ya… bisa jadi begitu; gampang marah, emosinya meledak-ledak terus, kurang sabar. Kita coba ngertiin aja, ya?”
“Emangnya ada yang langsung bisa siap, Yah?”
Ayah diam, sebentar. Dari spion kiri, aku bisa melihat Ayah sedang tersenyum. Aku tahu itu senyum jenis apa. Senyum yang getir. “Kita cuma bisa berusaha, Faradilla. Selebihnya… banyak-banyak istighfar aja,” jawab Ayah.
Ucapan Ayah seketika membuatku merenung. Hampir dua tahun setelah pandemi dinyatakan berakhir, tapi sepertinya itu bukan waktu yang cukup bagi sebagian orang untuk bisa bangkit lagi. Tentu aku, Ayah, dan Bunda termasuk ke dalam barisan orang-orang yang sedang tertatih untuk bangkit. Meski penyebab jatuh dan sakit yang kami rasakan berbeda, tapi kami sama-sama jatuh. Sama-sama sedang merayakan slogan Pertamina: pasti pas.
Aduh—bukan, maksudku yang ini, loh: mulai dari nol.
Bagaimana pun, kehilangan dua anggota keluarga karena Covid-19 adalah pukulan berat bagi keluarga kami. Akhir Desember 2020 lalu, Aa’ Wildan yang pertama pergi. Lalu, pada pertengahan Juli 2021, Teh Dea menyusul. Dan kami nggak bisa menemani mereka di momen terakhirnya. Nggak juga punya kesempatan untuk melihat jasad mereka, karena sudah keburu dikurung dalam peti isolasi, lalu dikuburkan di TPU khusus.
Itu baru kehilangan anggota keluarga, belum lagi tentang kondisi finansial kami yang sempat porak poranda. Aa’ Wildan dan Teh Dea were a major help to our financial back then. Tapi setelah mereka nggak ada, Ayah jadi kerja dua kali lebih keras. Pergi lebih pagi, dan pulang lebih malam. Pergi saat sarapan belum matang, dan pulang saat lauk sudah teramat dingin.
Makanya, di momen-momen diantar sekolah oleh Ayah pakai motor seperti ini, aku selalu meluangkan waktu untuk menatap pundak dan punggungnya. Ini adalah sepasang pundak yang sering pakai koyo tiap malam, dan punggung yang selalu aku injak-injak ketika Ayah minta. Diluar masalah otot kaku dan low back pain yang Ayah derita, ini adalah pundak dan punggung yang setiap hari memikul beban tanggung jawab untuk menafkahi keluarga. Memikul sekuatnya, bertahan sebisanya, dan dengan tekad yang melebihi batas kemampuannya.
Untungnya, sekarang keadaan kami sudah lebih stabil, jadi Ayah nggak perlu lagi ambil sampingan sana-sini.
Yap, pandemi memang merubah banyak hal. Sebagian ada yang jatuh terpuruk, dan sebagian lagi tetap berdiri kokoh. Sebagian yang jatuh, kini sedang berusaha bangkit. Sebagiannya lagi masih mencoba menyembuhkan luka-lukanya.
Ada ragam luka yang kutahu
Lebam, patah, dan sayatan
Dan aku mengenali milikku
Ia adalah kehilangan
Luka yang masih meradang ini… aku yakin pasti akan sembuh, suatu saat nanti.
Sebuah suara berkarakter feminim namun agak melengking seketika hinggap di telingaku. Aku pun segera tengok kiri-kanan, mencari asal suara. Di antara padatnya barisan manusia yang berbarengan denganku dalam melewati gerbang sekolah SMA-ku ini, agaknya susah juga mencari sosok orang yang memanggilku. Aku nggak bilang aku nggak tahu siapa orangnya. Cuma….
“Fafa! Ih you jahat banget nggak liat ai!”
Aduh, bukannya aku nggak lihat. Tapi memang orang yang sedang protes ini tingginya dibawah rata-rata. Gimana bisa aku cepat menemukan dia kalau tingginya cuma 150 sentimeter, sih? At least, lompat, kek, Put!
“Oh, these ugly and stinky pigs are really getting on my nerves!” E-eh… Put, kayaknya itu terlalu kasar, deh. “Make some way, bitches!”
W-wow…. Setelah Putri berteriak, beberapa murid langsung bergeser ke kiri dan kanan. Satu jalur pun seketika terbentuk, menghubungkanku langsung dengan Putri. Dan dia berdiri di ujung jalur; sedang bertolak pinggang dan raut wajahnya tampak puas. Girl thinks she is Moses, for real. Dramatis.
“Kamu nggak perlu sekasar itu, Put,” ucapku ke Putri. Karena ucapan Putri yang barusan, aku jadi nggak enak hati ke murid-murid yang lain. Maka, aku agak membungkuk, beberapa kali, sambil meminta maaf mewakili Putri. “Tolong maklumi aja, ya. Maaf banget, maaf banget!”
“Oh, itu harus!” Tungkai-tungkai mungil Putri pun melangkah, mendekatiku. “Pigs should know their place.”
…What a rude princess.
Aku pun membungkuk dan meminta maaf lagi ke murid-murid lain yang sekarang sedang memelototi Putri dengan tatapan sinis. “Maafin omongan Putri, ya! Orangnya emang suka ceplas-ceplos gini!” ucapku lagi.
Sementara, yang dipelototi malah seenaknya melenggang pergi sambil menarikku pergi dari area gerbang sekolah. Bertahun-tahun berteman baik dengan Putri, membuatku sudah hafal dengan tujuan kami: ke kantin. Aku juga hafal apa yang mau dia pesan: mie rebus. Dan hafal betul alasannya makan mie instan sepagi ini karena….
“Babu gue ribet banget, deh, Fa! Gue minta dimasakin mie instan buat sarapan aja nggak mau. Alesannya takut sama bokap gue. Emang apa susahnya masak mie sebungkus, sih?”
“Kayaknya… panggilan “babu” itu terlalu kasar, deh,” responku. Hal pertama yang aku highlight adalah sikap kasar Putri saat bercerita.
“Gue juga nggak akan manggil dia “babu” kalo yang gue mau diturutin, Fa. It’s just a simple instant noodle, for God’s sake.”
Oh, pantas saja pagi ini sikap Putri jadi lebih beringas dari biasanya. Mood-nya sudah rusak dari sejak di rumah. “Mungkin karena takut disalahin kalo kamu kenapa-kenapa, Put,” balasku.
“Emang apa yang bisa diperbuat sama satu mie instan?”
“Jadi… gendut, misalnya?”
“Oh, please.” Seketika, Putri berhenti ngomong ketika mie instan yang dia pesan pun datang, diantar oleh Ibu Kantin. Semangkuk mie instan dengan asap masih mengepul, dengan topping sawi rebus, beberapa keping kulit ayam goreng, taburan bawang goreng, dan poached egg setengah matang tersaji di meja, di hadapannya. “Dunno, I’m more interested in this kind of low class’ food than my daily menu. Bon appétit, Fa!”
Makanan harianku kalau nggak ada lauk di rumah dibilang low class’ food….
Menurutku, Putri ini seakan diberkati kelebihan anti-gendut, deh. Dia ini hobinya makan dan ngemil, tapi bentuk badannya tetap segitu-gitu saja. Aku nggak tahu berat badannya berapa, tapi dengan bentuk badan yang langsing dan perut rata (yang tercetak jelas pada seragam ketatnya), mungkin beratnya ada di kisaran 40 kg or something? Tapi, karena tingginya… cukup minimalis, jadi aku bisa simpulkan bahwa badannya termasuk ke dalam kategori petite.
Apalagi, wajahnya yang khas chindo ini tipe yang baby face, gitu. Hidung mancung, alis tebal, bulu mata lentik, pipi tirus, dan bibir tipis terbingkai pada wajah mungil yang memberi kesan polos. Kesan yang… sama sekali bertolak belakang dengan kepribadiannya yang macam diktator cilik ini. Tapi memang, sih, kombinasi wajah dan badan mungilnya membuat banyak orang sering mengira bahwa Putri masih anak SMP.
Anak SMP yang arogan dan barbar, kalau aku boleh menambahkan.
Tapi, meski dengan semua tingkah buruknya ini, nggak ada yang berani sama Putri. You know, Putri ini semacam tipikal side character dengan background keluarga yang overpower, sehingga disegani oleh banyak orang. Ayahnya menjabat sebagai Kapolda, sebuah jabatan yang membuat orang berpikir dua kali kalau mau cari masalah dengan Putri. Masalahnya, seringkali Putri yang suka cari masalah duluan, dan dengan status keluarganya ini, nggak ada orang yang cukup berani untuk membalas dia.
Kalau pun ada, aku pikir orangnya harus punya mindset nothing to lose dulu, deh.
Makanya, di sekolah ini nggak ada orang yang terang-terangan mau bermusuhan dengan Putri. Hal paling maksimal yang bisa mereka lakukan adalah menatap sinis ke dia. Itu pun akan langsung bersikap pasif kalau Putri mengkonfrontasi mereka. Jadi, orang-orang lebih memilih untuk jadi haters Putri secara sembunyi-sembunyi.
“Eh, Fa! Sorry gue keasikan makan mie.” Tiba-tiba, Putri melambaikan tangan ke Ibu Kantin. “Bu, mau mie satu lagi, ya!” Lalu, dia pun beralih kepadaku. “Bel masuk masih lama. Lo sarapan juga, ya.”
“E-eh? Kan aku udah sarapan!” Buru-buru, aku mau bangun untuk mendatangi Ibu Kantin. Rencananya, sih, mau minta pesanan Putri buatku dibatalkan. Tapi baru bangun saja, aku sudah ditahan Putri.
“Tapi nggak kenyang, kan?”
Iya, sih. Karena Ayah belum gajian, jadi menu makan kami pun agak terbatas. Makanya, beberapa lauk harus distrategikan untuk dikonsumsi secara tepat guna. Misal, lauk sisa semalam bisa diperuntukkan sebagai sarapan pagi ini. Tapi karena jumlahnya sedikit dan aku harus berbagi dengan yang lain, jadi porsi yang bisa dimakan pun terbatas.
Iya, aku nggak kenyang. Tapi nggak apa-apa, kan?
“Kalo gue makan, lo juga makan, Fa,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada tegas. Dan sikap tegasnya, berhasil membuatku duduk kembali.
Terlepas dari sifat arogannya ke orang lain, Putri menaruh perhatian lebih padaku. Dia bisa semena-mena ke orang-orang sekitarku, tapi sekalipun nggak pernah berbuat kasar ke aku. Bingung, kan, kenapa dia bisa begitu? Sama, aku juga. Dan sampai saat ini, aku nggak pernah punya kesempatan untuk mengetahui alasan dibalik perlakuan baiknya kepadaku.
Yang aku tahu, kami berteman baik dan dekat, dari dua tahun lalu—saat masih kelas sepuluh.
“Kalian kenapa nggak bilang-bilang kalo lagi di kantin?”
Sebuah suara berkarakter maskulin, membuat aku menengok ke belakang. Sementara Putri, kuperhatikan sedikit melirik ke arahku menengok, lalu kembali fokus menyantap mie. Dari jarak beberapa meter, tampak seorang cowok sedang berjalan mendekati kami. Dan saat dia berjalan, beberapa pasang mata dari cewek-cewek sekitarnya nggak berkedip saat memandangi cowok itu.
“Bobby! Kapan masuk sekolah lagi? Kok aku nggak tau? Cedera kamu gimana? Udah pulih?” cecarku, pada cowok yang sekarang baru saja duduk di sebelahku.
“Aku baru masuk hari ini, kok. Dan soal cedera… emang belum pulih sepenuhnya, tapi udah nggak terlalu mengganggu aktivitas, nggak kayak kemarin-kemarin,” jawabnya. Suara beratnya ini membuatku merasa kalau Bobby sudah nggak cocok lagi jadi anak SMA. Puberty really hit him like a truck. Padahal dua tahun lalu, suaranya masih terkesan lembut dan tanpa vibrasi seperti sekarang. “Thanks for asking, Fa,” Bobby pun melirik ke Putri, “nggak kayak….”
“What?” Merasa nggak terima dilirik Bobby, Putri pun menatap sinis ke cowok di sebelahku. “Udahan jumpa fans-nya? Gimana, fandom-nya udah disapa semua?”
“Tadi cuma—oh, I know. You’re angry, right?” jawab Bobby. “Maafin, dooong! Tadi gue nggak enak kalo pergi gitu aja.”
“Jadi enak kalo cuekin sahabat sendiri?” W-wow, sikap sinis Putri jadi makin tajam.
“Gue nggak bermaksud cuekin lo, tapi emang kondisinya…,” kuperhatikan, Bobby sedang memijat pelipisnya, sebelum melanjutkan, “look, I’m sorry, okay? Kedepannya, gue akan lebih prioritasin kalian, deh!”
“Ya, ya, ya. Kemarin-kemarin juga bilangnya gitu.”
Setelah menyindir Bobby, Putri pun melanjutkan makan. Sementara yang disindir sekarang cuma bisa garuk-garuk kepala. Dan aku, yang tiba-tiba harus menyaksikan cekcok antara dua sahabatku ini… cuma bisa tertawa canggung, sambil mengusap-usap lengan keduanya untuk menenangkan mereka. Mau nimbrung pun… tapi nggak tahu juga masalahnya apa.
Berbeda dengan Putri yang punya banyak haters, Bobby ini semacam idola cewek-cewek di sekolahku yang saking terkenalnya, bahkan sampai punya fanbase mulai dari kelas sepuluh sampai dua belas. Tentu saja, Bobby sadar bahwa banyak cewek yang fangirling dia. Tapi hal itu nggak serta merta membuatnya jadi cowok tengil yang sok keren. Bobby tetap jadi dirinya sendiri, yang selalu membumi dan rendah hati ke siapa pun.
Sikapnya yang selalu membumi ini juga yang membuatnya punya banyak teman di sekolah. Look, siapa juga yang nggak mau berteman dengan orang se-humble ini, kan? Saking banyaknya, aku sampai nggak hafal siapa saja. Aku selalu kesulitan mengingat nama tiap kali Bobby memperkenalkan teman-teman tongkrongannya. Soalnya, orang-orangnya bisa berbeda setiap hari. Such a social butterfly.
Tentu saja, Bobby punya modal yang lebih dari cukup untuk jadi seorang social butterfly, a humblest one I must say. Wajahnya ganteng paripurna—tipe ganteng yang macho, gitu. Rahang tegas, tatapan mata tajam namun teduh, suara berat nan bervibrasi, dan rambut yang selalu onpoint jadi modal fisiknya yang secara otomatis menarik perhatian kaum kami. Apalagi, ditunjang karakter fisiknya yang tegap dan atletis, juga tinggi menjulang. Bobby sampai sering disangka anak basket atau trainee grup boyband. But honestly, he’s just a gym freak, dengan badan kekar yang nggak bulky—he’s just in the right amount to be the main character of shonen anime.
Tapi, aku dan Putri sependapat kalau Bobby adalah brother figure bagi kami berdua. Anaknya protektif banget. Kalau kami lagi digoda sama orang random di jalan, Bobby yang pertama turun tangan. Selain itu, wawasannya yang luas seringkali jadi inisiator obrolan kami—yang seringnya bisa berlangsung sampai berjam-jam. Dan untukku pribadi… sosoknya sedikit bisa mewakili Aa’ Wildan, yang sudah nggak bisa bersamaku lagi.
Well, mereka berdua adalah sahabat terbaikku. Meski pertemanan kami baru berlangsung selama dua tahun, tapi kami bertiga bisa cepat beradaptasi dengan sifat satu sama lain; membuat kami jadi terasa saling melengkapi. Pertemanan kami nggak kompleks, tapi nggak sederhana juga—seperti yang aku bilang tadi, the amount is just right. Ada masanya kami berkonflik, tapi selalu bisa diselesaikan dengan baik. Dan karena saking dekatnya, seisi sekolah pun tahu bagaimana kentalnya hubungan kami bertiga.
Our friendship may not be as thick as blood, but it is indeed thicker than just water.
Tapi nggak apa-apa, yang penting aku bisa membantu meringankan beban pekerjaan guruku. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, kan? Tapi sebelum aku pergi dari ruang guru, let me take a selfie.
Tapi, saat aku mau menaiki anak tangga di lantai satu….
“…Daripada Putri, gua, mah, lebih suka si Fafa. Cantikan dia, anjir!”
“Ah, tapi Fafa ketinggian, bro. Gua lebih suka yang petite macam Putri, gitu.”
Yang kudengar ini adalah suara obrolan dari beberapa murid cowok. Biasanya, sih, mereka suka nongkrong di dekat tangga lantai dua. Tapi, kali ini, suara obrolannya kencang juga, sampai aku yang baru naik tangga saja bisa mendengarnya. Maka, aku yang awalnya nggak berniat menguping, jadi diam untuk mendengar lebih banyak.
“Seratus enam puluhan senti, mah, nggak tinggi-tinggi amat, kali. Fafa udah pas tingginya segitu. Si Putri idola lu aja yang midget. Stunting kali, tuh, anak.”
Astaga. Putri disangka stunting. Kalau dia dengar ini, pasti orangnya langsung ngamuk, deh. There will be overkill, I’m positive about it. Soalnya, Putri paling nggak suka diejek soal tinggi badannya.
“Kok lu jadi body shaming gitu, sih? Lagian, si Putri, mah, mukanya baby face. Jadi nggak ngebosenin. Fafa lu, tuh, emang cantik, tapi kalo diliat terus, mah, bikin bosen.”
“Tapi toket Fafa lebih gede dari toket incess lu yang tocil, bro!”
“Yaelah! Paling bedanya cuma satu cup doang. Inget, flat chest is justice, cuy!”
Hah? Kenapa sekarang jadi bahas buah dada, sih? Memang punyaku kenapa? Punya Putri kenapa? Kok jadi ada perbandingannya begini?
“Haaah… these fuckers, kalo ngomongin orang, tuh, jangan sampe yang diomongin denger bisa, nggak, sih?”
Saat aku menengok ke asal suara, ada Putri yang ternyata sudah berdiri di belakangku. Kadang, dia ini seperti ninja. Kehadirannya suka nggak ketahuan, bisa tiba-tiba saja muncul di blind spot orang lain. Dan ini bukan cuma perasaanku saja, soalnya Bobby dan teman-temanku yang lain juga sependapat denganku.
“Mungkin mereka cuma mau… apa, ya? Expressing things, maybe?” responku, pada keluhan Putri. Dan, karena aku cukup hafal dengan sikapnya, jadi aku mau mencoba menenangkan dia dulu— “E-eh? Kamu mau kemana, Put? Nggak akan ngelabrak mereka, kan?”
Belum ditenangkan, orangnya sudah naik tangga saja.
“Ngelabrak? They should taste my wrath, Fa!”
Dan begitu saja, Putri lenyap dari pandanganku. Kemudian, tak lama terdengar suara beberapa cowok yang sedang berteriak kesakitan. Sekarang… mereka sedang meminta ampun. Oh, oh! Sekarang mereka teriak kesakitan lagi! Putri lagi berbuat apa ke mereka, ya?
Kemudian… suasana jadi hening.
“Yuk, naik,” ucap Putri, setelah kembali turun tangga hanya untuk menjemputku. “Sekarang kondisinya udah aman buat kuping lo.”
Aku pun tersenyum ke Putri. “Thank you! Saking baiknya, aku nggak pernah bisa terbiasa sama sikap baik kamu, tau, Put!”
Dan… dia membalas senyumku, dengan senyum manis yang merekah lebar. Senyum yang cuma beberapa orang saja yang bisa melihatnya. It’s a rare sight to see Putri smiling, you know. “We’re mutual, tau! Kan lo juga gitu ke gue,” balasnya.
Karena kelas kami berbeda, aku dan Putri seharusnya berpisah di depan kelasnya tadi. Tapi, dia lebih memilih untuk mengantarkanku ke kelas—dan melewati kelasnya. Ini jadi salah satu kebiasaan dia, tiap kali kami menghabiskan waktu istirahat bersama. Makanya, waktu yang singkat ini kami pakai untuk mengobrol.
“Put, aku mau tanya, deh,” ucapku, saat kami sedang menyusuri koridor.
“Apa?”
“Emang kalau staycation itu… harus banget di hotel, ya?”
Putri nggak langsung menjawab. Ekspresinya tampak serius, pertanda kalau dia sedang berpikir sebelum bicara. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan olehnya—yang punya kepribadian yang ceplas-ceplos. “Nggak harus, sih. Kan bisa juga di rumah kerabat, atau tempat-tempat privat lain. Tapi konsepnya emang cuma liburan di tempat itu aja, jadi nggak kemana-mana,” jawabnya. “Well, staycation is sooo pandemic term. Gue nggak mau isolasi mandiri di hotel lagi kayak empat tahun lalu. Boring abis!” Dan sekarang, dia menengok ke aku. “Lo kenapa nanya gitu?”
Sebenarnya, ajakan Reza pagi tadi masih menggangguku sampai sekarang. Saking mengganggunya, aku sampai nggak bisa fokus ke pelajaran. Dan mungkin, dengan membicarakannya ke Putri, aku bisa mengurai pikiran yang mengganggu ini. “Lusa, kan, monthversary aku sama Reza yang ketiga. Jadi, dia ajak aku buat staycation, gitu. Tentu aja nggak nginep, kan aku nggak dibolehin sama Ayah. Tapi aku bilang ke Reza, kalo aku nggak nginep, kita bisa staycation. Terus… Reza bilang mau cariin hotel buat—”
“Tadi lo ngomong apa?” potong Putri.
“Reza… ajak aku staycation?”
Putri langsung berhenti melangkah. Dan kini, dia cuma memandangku, lama. Mulutnya terbuka, tanpa berkata-kata. “…The fuck, Faradilla?!” ucapnya, setelah akhirnya bersuara.
Tunggu. Memangnya ada yang salah dari ajakannya Reza, ya? Atau kesalahannya ada di aku? Tapi salah aku apa?