Salam hormat dari saya untuk mimin, supmod, momod, masta, sista, suhu, guru besar, sobat-sobat TS dan reader yang saya cintai.
Ijinkan saya yang newbie ini memposting cerita untuk even LKTCP 2018 sebagai bentuk partisipasi saya sebagai pecinta forum yang kita cintai bersama.
Cerita ini hanyalah fiktif belaka tentang pengalaman seorang Indigo, nama-nama tokoh, tempat kejadian dan alur hanya settingan. Jika terdapat kesamaan dari nama tokoh dan kejadiannya itu hanya kebetulan saja.
Selamat membaca….!!!
Nama saya Andien, umur saya 24 tahun, saya seorang Mahasiswi Fakultas Kedokteran. Dan ini cerita saya…
.
Madiun, 10 Januari 1994
Seorang laki-laki berusia 45 tahun bernama Karta Mihardja sedang menghubungi menantunya lewat HP-nya.
Tuutt… Tuutt…
“Assalamualikum, Ayah.” sahut orang dari ujung telepon sana.
“Waalaikum salam. Nak Ridwan! Ayah dan Ibu sekarang mau ke Surabaya, ini sedang siap-siap berangkat! Firasat Ayah, hari ini Laras akan melahirkan. Apa kamu sekarang dengan Laras, Nak?”
“Iya, bentar Ayah!” sahut menantunya lewat telepon sana.
Lalu Ayah dan Laras berbicara lewat telepon.
“…..”
“…..”
Hingga akhirnya, lelaki itupun menyudahi sambungan teleponnya.
Sementara dari arah dapur, baru saja muncul seorang wanita berusia 42 tahun membawa nampan berisi kopi hitam dan cemilan berjalan mendekati Karta dengan senyum di bibirnya.
“Ayah, diminum dulu kopinya,” ucap wanita itu lembut setelah meletakkan secangkir kopi dan cemilan di atas meja. “Ibu mau siap-siap dulu.”
“Iya, makasih Bu,” sahut Karta pada istrinya. “Oiya Lastri, tolong masukkan keris Ayah juga ya. Ayah punya firasat kurang baik Bu. Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada mereka.”
“Iya, Ayah. Ibu ke kamar dulu ya!” ucap wanita yang bernama Sulastri itu pada suaminya. Sulastri atau Lastri pun berlalu menuju ke kamar mereka.
Jam 14.00 wib, Karta bersama Lastri berangkat dari rumah mereka ke terminal dengan tujuan kota Surabaya untuk menengok putri semata wayang mereka yang akan melahirkan.
Surabaya, Selasa Kliwon 10 Januari 1994
Pukul 17.50 wib
Suara Adzan Maghrib berkumandang di kota Surabaya dan sekitarnya menandakan telah masuk waktu sholat Maghrib. Di salah satu rumah di kompleks perumahan xxx di Surabaya, terlihat pasangan suami istri yang akan bersiap-siap menunaikan ibadah sholat Maghrib. Laki-laki berusia 25 tahun bernama Ridwan Febriansyah dengan sabar membimbing istrinya yang sedang hamil tua bernama Larasati 22 tahun, saat mengambil wudhu untuk sholat Maghrib berjamaah.
Setelah menyelesaikan ibadah sholat Maghrib, Larasati tiba-tiba mengeluh sakit sambil memegangi perutnya.
“Aduh Mas… SAKIT!!!” Laras merintih sambil memegangi perutnya yang hamil.
“Iya, sayang. Sabar ya, kita segera berangkat sekarang.” ujar Ridwan berusaha tetap tenang. Ia mencoba menenangkan istrinya.
Segera Ridwan membawa Laras menuju rumah sakit terdekat, namun karena melihat istrinya terus saja mengeluh sakit membuatnya sedikit panik.
“Mas… Sakit banget Mas. Aduuuhhh…!!!” Laras merintih menahan sakit di perutnya.
Hujan turun sangat deras malam itu membuat Ridwan sangat hati-hati mengendarai mobilnya, ia berusaha tenang tetap fokus mengendarai mobilnya demi keselamatan mereka. “Sabar Laras sayang. Bentar lagi sampe kok.” ujar Ridwan terus saja menenangkan istrinya yang duduk di sampingnya.
100 meter di depannya terlihat sebuah klinik bersalin, segera saja Ridwan mengarahkan mobilnya ke tempat itu. Sebelum turun dari mobilnya, Ridwan sempat mengirimkan pesan SMS kepada Ayah mertuanya.
to : 0812-××××-×××דAyah dan Ibu, mohon maaf jika kami tidak berada di rumah sekarang. Habis sholat Maghrib tadi Laras mengeluh sakit di perutnya. Sekarang saya sudah bawa Laras ke Klinik Bersalin di Jl. xxx No. 101 depan mini market Indoxxx.”
Larasati sudah berbaring di ranjang persalinan di Klinik Bersalin ‘Harapan Bunda’ dengan terus memegangi perutnya. Di sisi ranjang berdiri Ridwan mendampingi Laras berusaha memberi semangat pada istrinya. Ia melihat jam di dinding menunjukkan jam 18.56 wib.
Terlihat Laras sudah bisa tenang, kontraksi yang ia rasakan tidak sesakit sebelumnya.
Seorang bidan mendatangi mereka dan berkata. “Sabar ya, Bu. Kami siapkan terlebih dulu peralatan untuk persalinan. Tolong Bapak tenangkan istrinya, ya!”
“Baik, Bu.” jawab Ridwan singkat.
Bidan itu berlalu meninggalkan mereka menuju sebuah ruangan.
“Cuuupp… Berjuanglah Laras sayang. Mas akan terus berada di sampingmu, menemanimu melahirkan buah hati kita.” ucap Ridwan kala mencium kening Laras.
Seulas senyum merekah dari bibir Laras karena perhatian tulus dari Ridwan lalu ia mencium tangan suaminya. “Makasih ya, Mas. Adek sayang kamu. Adek akan berjuang melahirkan buah cinta kita. Doakan Adek ya, Mas.”
Ridwan mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca namun ia mesti kuat menahan air matanya supaya Laras tetap semangat dan tidak membebani pikirannya.
Di ruangan lain, terlihat bidan berusia 30 tahun dan asistennya sedang sibuk mempersiapkan semua peralatan untuk persalinan. Setelah semua siap, bidan dan asistennya itu membawa semua peralatan untuk persalinan ke ranjang persalinan dimana ibu hamil itu sedang berada.
Jam 19.25 wib…
“Tarik nafas dalam-dalam, hembuskan pelan-pelan.” ujar bidan itu memberi arahan sebelum dimulai persalinan. “Apa Ibu sudah mengerti?”
Laras mengangguk.
“Ayo kita mulai persalinannya, jika Ibu sudah mengerti!” sambung bidan itu.
Bidan itu mulai memberi arahan dan semangat pada Laras. ‘Ayo Bu dorong lagi, sudah mulai kelihatan kepalanya!”
“Aaa… Aahhh…”
“Aaa… Aahhh…”
Hembusan nafas tersengal diselingi isak tangis menahan sakit dan dorongan dari bayi menggema di ruangan persalinan.
Melahirkan adalah proses yang harus dijalani oleh wanita untuk menjadi seorang ‘Ibu’. Berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan buah hati dari rahimnya.
Dengan dibantu oleh bidan dan asistennya, Laras berjuang dengan sekuat tenaga untuk melahirkan buah hatinya. Keringat telah membasahi tubuh Laras, nafasnya terdengar tersengal-sengal. Dengan sisa-sisa tenaga yang dipunyainya, Laras terus mengedan, tangannya meremas sangat kuat tangan suaminya. Ridwan mengelus kepala Laras dengan terus memberikan kata-kata semangat. “Ayo Dek kamu pasti bisa!”
Jam 19.30 wib…
Tiba-tiba…
Seorang bayi perempuan keluar dari peranakannya, bersama keluarnya sinar yang menyilaukan dari tubuh bayi itu. Ruang persalinan itu jadi semakin terang cahayanya.
“Bayinya perempuan, Pak!” seru bidan itu memberitahu. “Cantik sekali putrinya.”
Ridwan terlihat senang sekali. Dia membisiki Laras. “Anak kita perempuan. Cantik seperti kamu, Dek. Mas bahagia sekali. Makasih ya, sayang.”
“Cuuuppp…” Lalu dikecupnya kembali kening Laras sebagai ungkapan rasa syukur dan tanda ia sangat mencintai Laras sebagai istrinya yang telah memberikan keturunan buatnya. Lengkap sudah mereka menjadi keluarga kecil.
Namun, tiba-tiba…
Lampu di ruangan itu padam. Ruang persalinan yang tadinya terang benderang berubah menjadi gelap gulita.
“Mas… TAKUT!” seru Laras ketakutan sambil menggenggam erat lengan Ridwan, suaminya.
“Kamu yang tenang ya. Mas di sini sayang! Jangan takut!” Ridwan mencoba menenangkan Laras yang mulai ketakutan.
“Ngat… Nget…”
“Ngat… Nget…”
Bunyi jendela yang tertiup angin, membuat suasana ruang persalinan itu semakin mencekam.
“Pletaakkkk…”
“Praaaanggg…”
Baskom yang terbuat dari bahan stainless itu, tiba-tiba jatuh dan menggelinding ke arah ranjang persalinan.
“Aaahhh… Mas…!” teriak Laras semakin ketakutan. Ridwan segera memeluk Laras sambil membaca ayat-ayat suci yang ia bisa supaya ia menjadi tenang.
Namun yang anehnya di ruangan itu, Ridwan tidak melihat keberadaan bidan dan asistennya. Entah pergi ke mana mereka berdua? Yang dirasakannya angin semakin kencang dan hawa dinginnya sampai membuatnya menggigil kedinginan.
Angin bertiup semakin kencang membuat suasana ruangan itu semakin dingin dan mencekam.
Tiba-tiba…
Laras menjerit sambil menunjuk ke arah suaminya. “Mas Ridwan…! Iiittttuuu… Mereka Mas, di belakang kamu…!”
“Apa sayang…? Sudah kamu yang tenang ya, istighfar sayang.” Ridwan terus mengingatkan Laras untuk tenang.
“Pergi kalian…! PERGI!!!” bentak Laras sambil menunjuk ke arah Ridwan. “Di belakang kamu itu bidan dan asistennya tadi, wajah keduanya berubah; jelek, hitam dan gosong.”
Melihat Laras ketakutan sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arahnya. Membuat Ridwan menoleh ke belakang. Namun saat Ridwan menoleh ke belakang ia tidak menemukan apa-apa, yang ada hanyalah gelap karena mati lampu.
“Serius Mas. Adek nggak bohong. Itu mereka di belakang kamu. Wajah bidan itu berdarah-darah dan keluar nanah dari wajahnya. Sedangkan asistennya lebih parah lagi wajahnya semuanya gosong. Kamu nggak mencium bau orang terbakar Mas?” Laras menunjuk lagi ke tempat yang sama.
Ridwan menggelengkan kepala. Dia semakin bingung dengan ucapan Laras istrinya. “Apa mungkin Laras melihat makhluk halus itu? Kenapa aku tidak bisa melihat MEREKA? Apa yang sebenarnya terjadi saat ini?” Berbagai pertanyaan muncul di benak Ridwan saat itu melihat keanehan sikap Laras barusan.
Sekali lagi Ridwan menoleh ke belakang. Namun tetap saja, ia tidak melihat apa-apa di belakangnya. Hanya gelap dan tidak ada satu pun yang terlihat matanya.
“Awas Mas Ridwan…!!!” teriak Laras mengingatkanku. “Mereka mendekati kamu. Mereka mau mencekikmu Mas.”
Ridwan yang sedari tadi bingung dan bengong seketika bergerak maju. Mendadak bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang lebih dingin dari sebelumnya. Sambil komat-kamit dia melafalkan ayat-ayat suci Alqur’an, hawa dingin itu seketika lenyap.
Tiba-tiba…
Dari arah pintu ada suara lantang laki-laki mengancam dan mengusir. Di tangannya, lelaki itu memegang sebilah keris.
“PERGI kalian…!!!” teriak Karta mengusir mereka. “Jangan ganggu Anak, Menantu serta Cucuku. Jika tidak akan kulenyapkan kalian.”
“Ayah… Ibu…” seru Laras senang setelah mengetahui siapa yang datang. “Iiittttuuu… Mereka, Yah. Mereka mau mencelakai Kami.”
Sulastri segera mendekati Laras, putrinya. Sedangkan Karta mulutnya terlihat komat-kamit sambil mencium keris di tangannya.
Sebuah cahaya berwarna keemasan memancar dari keris tersebut setelah Karta selesai merapalkan mantranya. Cahaya keemasan itu bergerak ke arah Ridwan yang tampak duduk terpojok di sudut ruangan itu.
Cahaya keemasan itu berputar-putar seperti angin di depan Ridwan.
Laras yang melihat kejadian itu sempat menutup mulutnya. Dilihatnya cahaya keemasan itu menggulung tubuh mereka. Suara mereka terdengar jelas di telinga Laras.
“Ampun… Ampuni Kami…!” rintih mereka saat cahaya keemasan itu berputar-putar mengelilingi mereka.
“Akan saya ampunin kalian, asalkan kalian pergi dari tempat ini. Jangan ganggu manusia lagi. Ini bukanlah alam kalian lagi.” Karta dengan lantang berbicara pada mereka.
“Iya, Tuan. Kami janji akan pergi dari sini sejauh mungkin.” suara makhluk itu menyahut.
Tiba-tiba…
Angin yang tadinya kencang seketika berhenti, hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang kini tidak lagi dirasakan oleh Ridwan.
Ridwan terbelalak kaget setelah melihat dirinya terduduk di tiang yang telah menghitam. Ruangan persalinan itu seketika berubah menjadi puing-puing reruntuhan bangunan yang telah terbakar.
Di sana Ridwan melihat Laras terbaring di ranjang yang telah gosong di dampingi Ibu mertuanya yang memeluknya erat. Kedua ibu dan anak itu menangis sesegukkan. Dan yang lebih membuatnya terbelalak, saat ia mendapati putrinya yang baru lahir teronggok di lantai cuma beralaskan dedaunan.
Dengan dibantu oleh Karta, Ridwan berdiri dan langsung menghampiri putrinya.
“Ayah, Ibu… Segera kita ke rumah sakit sekarang. Ridwan takut terjadi apa-apa dengan Laras dan anak kami.”
Karta hanya mengangguk mengiyakan.
Lalu mereka segera pergi dari tempat itu, menuju rumah sakit terdekat.
Jam 20.00 wib…
Mereka telah sampai di Rumah Sakit Bersalin Pelita Harapan, segera suster membawa Laras dan bayi perempuan yang baru dilahirkan itu ke ruang IGD. Diikuti oleh Ridwan, Karta dan Lastri di belakangnya.
Dokter jaga segera memeriksa kondisi Laras dan bayi perempuannya. Nampak kesigapan paramedis itu melakukan tindakan medis untuk membantu Laras dan bayinya.
Selang infus dan oksigen sudah terpasang di tubuh Laras yang pingsan sejak dalam perjalanan tadi. Begitu juga dengan bayi perempuan itu sedang ditangani serius oleh dokter dan susternya. Tampak selang oksigen telah terpasang di hidung bayi perempuan itu.
“Dok… Bayi ini tidak bernafas sama sekali.” seru suster memberitahu.
“Ayo cepat kita tolong! Ambilkan alat pemacu jantung sekarang!” Dokter itu memerintahkan salah satu suster untuk membawa alat pemacu jantung.
“Ctak… Ctak…”
Tubuh bayi perempuan itu bergetar ke atas lalu turun ke bawah setelah alat pemacu jantung itu ditempelkan di tubuhnya.
Dokter itu melihat ke monitor yang berbunyi nyaring dan terlihat garis lurus memanjang dari monitor alat itu.
Dia geleng kepala setelah berusaha semampunya menolong bayi perempuan itu.
“Inna lillahi wa inna lillahi rojiun.” Kalimat itu meluncur dari bibir dokter itu setelah ia berusaha menolong bayi perempuan itu namun takdir berkata lain.
Lalu dokter itu ke luar ruangan IGD dengan wajah sedih menemui keluarga pasien.
“Saya dokter Susilo Rahadi.” ucapnya memperkenalkan diri pada Ridwan.
“Iya, dok. Saya ‘Ridwan Febriansyah’, suami kedua pasien di dalam. Bagaimana keadaan istri dan bayi kami di sana?!” tanya Ridwan tidak sabar melihat ekspresi sedih dr. Susilo.
“Fiuuuhhh…” Helaan nafas dari dokter Susilo, sejenak ia berusaha menenangkan dirinya supaya bisa menyampaikan kabar pada keluarga pasien dengan jelas sesuai kapasitasnya sebagai dokter.
“Sebelumnya saya ada dua kabar buat Bapak. Dan kedua kabar itu adalah kabar buruk tentang kondisi ibu dan bayinya. Pertama, kondisi ibunya mulai stabil sekarang. Namun ada yang mesti saya sampaikan bahwa terjadi pendarahan yang sangat hebat padanya saat melahirkan hingga membuat kondisinya melemah dan mesti segera dibawa ke ruang ICU karena saat ini pasien mengalami koma.”
“Astarghfirullahhal Adzim.” seru Ridwan kaget begitu pun juga dengan Karta dan Lastri.
“Dok, tolong diusahakan dengan sebaik-baiknya! Tolong selamatkan istri saya!” Ridwan memelas di hadapan dr. Susilo.
“Iya, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin membantu kesembuhan pasien,” sahut dr. Susilo. “Dan kabar keduanya….”
“Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok?” potong Ridwan nggak sabaran. “Tolong katakan Dok, apapun kami siap menerimanya.”
“Kami mohon maaf sebelumnya, putri Bapak Ridwan yang baru lahir tidak tertolong. Dia meninggal sekitar jam 20.10 wib. Kami sudah berusaha sekuat tenaga menyelamatkannya namun takdir Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Bapak Ridwan yang sabar ya.”
Bagaikan petir yang menggelegar menyambar tubuh Ridwan kala dr. Susilo memberitahukan kabar buruk tentang kematian buah hatinya yang baru saja lahir. Ridwan hanya diam, terpaku di hadapan dr. Susilo. Ekspresinya berubah drastis kesedihan kini melanda hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca dan air matanya sudah tak terbendung lagi untuk keluar dari sudut matanya.
“Inna lillahi wa inna lillahi rojiun.” sebaris kalimat meluncur dari bibir Lastri. “Cucuku…” Air mata Lastri mengiringi ratapan sedih bercampur duka.
“TIDDDAAAKKK… Cucuku belum meninggal, dok. Kalian salah, kalian salah…” teriakan Karta membahana di ruangan itu.
Dokter Susilo ikut terharu menyaksikan kesedihan mereka hanya bisa diam, namun beberapa saat kemudian dr. Susilo nampak mulai meninggalkan mereka yang masih larut dalam kesedihan.
Jam 21.00 wib…
Ridwan pulang membawa putrinyabersama Karta, sementara Lastri memutuskan untuk menemani Laras yang terbaring koma di ruang ICU setelah dipindahkan dari ruang IGD.
Jasad bayi perempuan itu kini sudah berada di rumah sederhana itu, untuk segera dimandikan. Ridwan berusaha tegar dan sabar dalam menghadapi cobaan dari Yang Maha Kuasa. Kematian putrinya dan istrinya koma di ruang ICU.
Karta terlihat masih tidak yakin cucunya meninggal terus saja menggoyang-goyangkan tubuh mungil cucunya. Namun dengan lembut Ridwan berbicara pada Ayah mertuanya. “Ayah sudahlah, kita mesti ikhlas menerima takdir-Nya. Ini sudah ketentuan dari-Nya dan tidak ada seorang makhluk-Nya yang bisa menentang ketetapan takdir Tuhan. Kita ikhlas ‘kan saja dia, Ayah.”
Karta perlahan-lahan menurunkan bayi perempuan itu kembali di atas pemandian jenazah. Dia menangis tersedu-sedu meninggalkan menantu dan cucunya masuk ke dalam rumah.
Ridwan mulai memandikan jenazah putrinya, gayung itu mulai ia sirami dari mulai atas ke bawah. Air guyuran pertama mengenai wajah bayi perempuan itu.
Tiba-tiba…
Tubuh bayi perempuan mungil itu tersentak kaget, tubuhnya bergeliat dan bergerak, lalu disertai tangisan bayi perempuan yang melengking.
“Subhannallah… Alhamdulillah… Kamu ternyata masih hidup, Nak.” ucap syukur Ridwan pada bayi perempuan buah hati mereka.
Karta yang tadinya berlinangan air mata tampak senang berlarian dari dalam rumah dengan membawa serta handuk dan kain sarung.
“Alhamdulillah ya, Allah… Cucuku masih hidup.” ucap syukur Karta sambil memeluk cucunya.
Segera Ridwan mengelap wajah putrinya dengan handuk lalu membungkus tubuh bayi perempuan yang mungil itu dengan kain sarung yang dibawa Karta.
Beberapa menit kemudian, Ridwan bersama Karta membawa kembali putrinya ke RSB. Pelita Harapan untuk mendapat pertolongan dan dimasukkan ke ‘inkubator’.
“Ayah, Ridwan akan memberi nama anak kami ini, ‘Andien Larasati’ supaya kelak ia selalu mengingat perjuangan ibunya saat melahirkannya.” ujar Ridwan saat melihat putrinya dari luar ruangan Inkubator.
Karta mengangguk dan tersenyum mengiyakan.
.
.
.
Seninggu kemudian…
Larasati sudah sadar dari komanya dan mulai mengenali Suami Ibu dan Ayahnya, namun ia mesti menerima kenyataan pahit harus kehilangan rahimnya. Dokter mendiagnosa terjadi infeksi di mulut rahimnya akibat pendarahan yang banyak saat melahirkan putrinya mengakibatkan ia mengalami koma dan terjadi infeksi di mulut rahimnya.
Dokter memberikan alternatif terakhir kepada keluarga Laras untuk melakukan sesegera mungkin operasi pengangkatan rahimnya karena akan membahayakan Laras jika tidak segera dioperasi. Akhirnya berkat pertimbangan yang matang, Ridwan menandatangai surat pernyataan operasi.
5 Tahun kemudian…
“Happy birthday to you… Selamat Ultah ke-5 Anakku, ‘Andien Larasati’,” ucap Bunda padaku. “Semoga kamu kelak jadi anak yang sholeh, pintar dan bisa membanggakan orang tua.”
“Cuuup…” Sebuah kecupan sayang di keningku dari Bunda.
“Terima kasih, Bunda.” jawabku bahagia dengan senyum di bibir sambil memeluk Bunda. “Andien sayang, Bunda.”
“Dan ini, hadiah dari Ayah. Selamat Ultah, Andien sayang.” ucap Ayah memberikan sebuah gaun yang cantik untukku.
“Cuuup…” Ayah mencium keningku sama seperti yang dilakukan Bunda.
“Terima kasih, Ayah. Andien sayang sama Ayah.” ucapku senang. “Andien suka sekali hadiahnya, Yah. Gaunnya cantik sekali.”
Dengan rasa penuh bahagia aku memamerkan gaun itu di hadapan Ayah dan Bunda yang terlihat tersenyum bahagia. Berputar-putar bagai seorang penari balet.
Satu Minggu kemudian…
Aku masih mengingat dengan jelas saat pertama kali aku bisa melihat hal-hal yang tidak bisa orang lain lihat. Aku termasuk kategori anak yang hiperaktif, selalu berlari ke sana kemari dan melakukan hal-hal yang membuatku senang meskipun hal itu berbahaya. Sampai-sampai membuat Bunda khawatir dengan kelakuanku yang kelewat nakal.
Di dalam rumahku terdapat tangga yang menghubungkan ke sebuah loteng tempat penyimpanan barang yang tak terpakai. Bunda selalu melarangku untuk menaiki tangga tersebut. Namun karena rasa penasaranku yang tinggi membuatku mengabaikan larangan dari Bunda dan menaiki tangga tersebut.
Sesampainya di sana, yang kutemukan hanyalah kardus yang berisi baju yang tak terpakai beserta koran dan majalah bekas yang tertumpuk. Aku mencari mainan di sela-sela tumpukan barang bekas ini namun aku tak menemukan satu pun mainan yang kuinginkan.
Hal itu membuatku jenuh hingga aku melihat boneka Susan di pojokkan ruangan pengap itu.
Dengan hati yang senang, aku memainkan boneka itu sendirian. Semua berjalan biasa saja selama aku memainkan boneka itu. Namun setelah beberapa waktu berselang tiba-tiba saja ada seorang anak perempuan dengan rambut berkuncir dua duduk di sampingku.
Aku yang masih lugu kala itu tidak menaruh curiga sedikit pun padanya. Mungkin karena saat itu usiaku masih terlampau muda. Aku bermain bersamanya, meski aku benar-benar belum mengetahui siapa anak perempuan itu.
Wajahnya terlihat sangat pucat, dengan lingkaran hitam di matanya. Aku sama sekali tak merasa aneh berada di dekatnya. Tubuhnya agak sedikit lebih besar dari tubuhku dengan pipi yang chuby dan rambut yang di kuncir dua malah membuatku gemas padanya.
Aku merasa senang bisa bermain dengannya. Hingga tak terasa kami telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain bersama.
Terdengar suara Bunda memanggil dari bawah. “Andien… Andien…”
“Aku ke bawah dulu ya, dipanggil Bunda,” ucapku pada anak perempuan itu. “Besok kita main lagi ya.”
Dia hanya mengangguk menjawab ucapanku.
“Andien, kan Bunda sudah sering bilang jangan naik-naik tangga nanti kamu jatuh.” omel Bunda saat melihatku menuruni tangga.
“Andien cuman mau main Bun.” ucapku sedih.
“Lain kali, kalau Andien mau main di bawah aja ya sayang. Jangan naik-naik tangga lagi,” ujar Bunda menasehatiku. “Di loteng ‘kan tidak ada mainan sayang.”
“Tapi… Tadi Andien nemuin boneka di loteng, Bun.”
“Boneka apa..?” tanya Bunda kaget.
“Boneka Susan.” jawabku cepat.
“Di loteng cuman ada baju bekas sama barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai. Bunda tidak menaruh boneka di sana.” ucap Bunda kebingungan.
“Tapi… Andien nemuin boneka itu, Bun. Malah tadi, ada yang main sama Andien di atas.”
Bunda semakin terlihat bingung dan dengan langkah cepat Bunda naik ke atas loteng untuk memeriksa.
Beberapa saat kemudian…
Bunda turun dan berjongkok di depanku sambil berkata. “Andien sayang, di atas nggak ada siapa-siapa sayang. Bunda juga nggak nemuin boneka.”
Bunda tersenyum sambil mengusap wajahku lalu mengajakku untuk makan dan menasehatiku agar aku tidak bermain di loteng lagi.
Keesokan harinya…
Aku kembali menaiki tangga dan mendapati anak perempuan dengan rambut kuncir dua yang kemarin bermain denganku. Ia duduk di samping tumpukan kardus. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Aku mengajaknya bermain lagi dan ia hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Kali ini aku sengaja membawa banyak mainan agar kami bisa bermain bersama tanpa berebut.
“Nama kamu siapa?” tanyaku padanya.
Ia hanya diam tak menjawab pertanyaanku.
“Namaku Andien.” ucapku memperkenalkan diri.
Lagi-lagi ia hanya diam tak bersuara.
“Andieeen…!” pangil Bunda.
Bunda menaiki tangga dan mendapatiku sedang duduk dengan mainan yang tersebar di lantai kayu loteng rumahku.
“Andien ngapain main sendirian di loteng?” tanya Bunda.
“Andien nggak main sendirian Bun!! Ini Andien lagi main bareng sama anak yang kemarin Andien ceritain ke Bunda.” ucapku menunjuk ke arah anak perempuan itu, namun saat aku berbalik anak itu sudah tidak ada.
Mata Bunda terbelalak melihatku menunjuk ke arah yang sebenarnya tidak ada orang di sana. Bunda mengajakku turun ke bawah sambil berulang kali mengucap isghtifar.
Sesampainya di bawah…
Diusapnya wajahku, kemudian memberiku segelas air putih untuk diminum.
“Andien…! Bunda ingetin sekali lagi ya. Andien tidak boleh main ke loteng lagi.”
“Tapi Bun, Andien ‘kan cuman main.”
“Andien, nurut apa kata Bunda!” bentak Bunda memarahiku.
Aku langsung tertunduk lesu dan menangis karena di bentak oleh Bunda.
“Kamu tadi main sendirian sayang, Bunda tidak melihat kamu main sama orang lain di sana.” ucap Bunda lembut sambil mengelus kepalaku untuk menenangkanku.
“Lain kali main di bawah saja ya sayang! Tadi ada temenmu ke rumah ngajakin main tapi kamu malah main di atas.”
“Iya, Bun. Maafin Andien. Hiks.. Hiks…”
Aku masih heran kenapa Bunda bilang kalau aku main sendirian di loteng, padahal jelas-jelas tadi ada seorang anak perempuan yang bermain bersamaku.
Hingga malam tiba, aku tak sengaja mendengar percapakapan Ayah dan Bunda di ruang tengah.
“Ayah..” Bunda membuka percakapan.
“Ya, Bun…” jawab Ayah.
“Bunda, tadi siang lihat Andien main sendirian di loteng tapi Andien ngomongnya lagi main sama temannya.”
“Kok bisa, Bun?” tanya Ayah kaget.
“Lotengnya di tutup aja, Yah. Biar Andien tidak bisa main di sana terus. Perasaan Bunda nggak enak, waktu Bunda periksa ke atas Bunda langsung ngerasa merinding, takutnya Andien main sama makhluk halus.”
“Maksudnya Bunda, Andien bisa lihat makhluk halus?” tanya Ayah.
“Ayah ‘kan tahu, kalau Kakeknya Andien seorang Indigo. Bisa melihat makhluk halus. Bunda takut, Andien juga bisa melihat seperti Kakeknya. Kemarin Bunda mendengar Andien lagi berbicara sama orang lain di loteng, tapi waktu Bunda lihat dia main sendirian.”
“Ya sudah, Bun. Jangan khawatir, nanti Ayah tutup lotengnya.”
Mendengar ucapan itu, aku langsung berlari menaiki tangga menuju loteng. Aku takut temanku masih ada di dalam, dia pasti belum turun ke bawah. Aku takut jika loteng akan ditutup oleh Ayah, dia akan terjebak di dalam sana.
Kulihat anak itu masih duduk di kayu loteng sambil tangannya memeluk boneka Susan.
“Hei, kamu cepat turun! Lotengnya mau ditutup sama Ayah.”
Dia menggeleng lalu menyerahkan boneka Susan itu padaku. Aku menerima boneka itu dan saat kuperhatikan boneka itu tersenyum dan matanya bergerak.
“Bonekanya hidup.” pekikku.
Aku yang ketakutan langsung membuang boneka tersebut ke lantai.
Tiba-tiba…
Kurasakan hawa dingin, diikuti dengan lampu bohlam yang mendadak mati dan tak lama kemudian menyala kembali. Bau pengap yang tercium menambah atmosfer seram yang membuatku merinding.
Tak lama kemudian, muncul sesosok mahkluk yang berdiri di belakang anak perempuan itu, seperti seorang wanita biasa dengan rambut panjang yang aneh. Rambutnya sangat lebat hingga menutupi wajahnya sampai sebatas lutut.
Dan, tiba-tiba…
Anak perempuan yang duduk di depanku berdiri dan tersenyum lebar memandangku. Wajahnya terlihat sangat pucat.
Terdengar suara cekikikan yang sangat nyaring, membuat kupingku terasa panas hingga badanku bergetar.
“Hiiiii…”
“Hiiiii…”
“Hiiiii…”
Aku bisa melihat dengan jelas ada sebuah tangan yang menggenggam tanganku, menyerupai tangan tengkorak yang tidak berbalut daging sedikit pun.
Saat aku menatap ke arah wajahnya, bentuk wajahnya sangat menyeramkan. Dengan bola mata, melotot tajam ke arahku.
Bau anyir khas daging busuk, menyeruak hingga membuat perutku mual.
“Hiiiii…”
“Hiiiiii…”
“Hiiiiii…”
Mahkluk itu tertawa nyaring, membuatku ketakutan setengah mati dan kulihat anak perempuan yang biasanya aku ajak main wajahnya berubah menjadi sangat seram. Matanya dipenuhi dengan urat-urat berwarna merah sedang melotot, menatap tajam ke arahku.
Aku langsung berlari menuruni tangga hingga jatuh terguling-giling ke lantai.
“Andien!!” teriak Ayahku.
Ayah berlari melihatku terjatuh dari tangga.
“Ayah… Hiks… Hiks… Di loteng ada setan.” tangisku sambil menunjuk ke arah loteng.
Ayah langsung menaiki tangga menuju loteng dan kudengar Ayah berkali-kali membaca ayat kursi.
“Andien… Bunda ‘kan sudah berkali-kali melarang kamu naik ke loteng.” marah Bunda.
“Kamu tadi lihat apa?” tanya Ayah setelah mengecek keadaan di atas loteng.
“Hiks… Hiks.. Andien lihat setan, Ayah. Wajahnya seram.”
“Ayo baca istighfar, Andien sayang.” ujar Bunda sambil mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
“Di loteng. Baunya anyir banget, Bun. Andien sepertinya kesambet,” kata Ayah. “Besok siang, Ayah bersihin dan Ayah tutup lotengnya.”
“Andien, ini diminum dulu sayang. Biar kamu tenang, Nak.” ucap Bunda memberiku segelas air putih.
Setelah meminum segelas air putih, Bunda mengajakku masuk ke kamar untuk beristirahat.
Semalaman aku tidak bisa tidur, wajah seramnya masih terbayang di benakku, ditambah suara cekikikan yang masih terngiang di telingaku.
Sehari setelah kejadian di loteng tersebut, aku mengalami demam yang sangat tinggi.
Kata Ayah, aku hanya ketakutan karena baru pertama kali dalam hidupku melihat mahkluk yang mengerikan seperti itu.
Setelah aku menceritakan semuanya pada Bunda dengan sangat detail tentang anak perempuan dan boneka yang kutemukan di atas loteng. Bunda yang mulanya tidak percaya kini mulai mempercayaiku.
Menurut Bunda, aku bisa melihat mahkluk halus karena menurun dari Kakekku. Bunda bercerita bahwa Kakek adalah orang yang dituakan di desa. Kakek bukan hanya bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahkluk halus saja, tapi Kakek juga bisa mengobati orang yang sakit karena gangguan gaib.
Seeing is believing. Semuanya bersumber dari penglihatan dan mempercayai apa yang dilihat oleh mata. Tentu saja oleh mata kepala kita sendiri.
Kenapa aku mempunyai kemampuan penglihatan seperti ini? Kenapa aku tidak punya penglihatan normal saja? Semua pasti ada penyebabnya.
Aku mulai coba mencari tahu dari literatur dan forum-forum yang ada di internet karena aku yakin Indigo atau apapun itu namanya, semuanya pasti ada penyebabnya. Jawaban itu tidak serta-merta kutemukan, kebanyakan hanya berupa asumsi.
Dari informasi yang kudapat Indigo Interdimensional itu ada beberapa penyebabnya. Penyebab itu akan menentukan seberapa kuat kemampuan Indigo Interdimensional orang tersebut. Ada yang memiliki kemampuan tersebut karena memang bawaan dari lahir atau pernah mengalami pengalaman mati suri. Ada juga yang memiliki kemampuan tersebut karena belajar atau mendalami supranatural.
Kemampuan Indigo Interdimensional terkuat adalah karena bawaan dari lahir atau orang tersebut pernah mengalami apa yang disebut dengan mati suri. Orang yang pernah mengalami mati suri dianggap jiwanya sudah pernah menginjak alam sebelah atau alam orang mati. Karena seharusnya apa yang sudah berada di alam orang mati tidak bisa kembali lagi. Terjadi anomali pada jiwa orang tersebut saat kembali ke tubuhnya dan pengalaman tersebut membuat dirinya menjadi Indigo.
Ada cerita tentang seorang pakar Indigo yang mengaku memiliki kemampuan Indigo karena ia pernah mengalami kecelakaan mobil dan tubuhnya terpelanting keluar dari mobil yang dikendarainya. Semenjak kejadian tersebut, ia mengaku bisa melihat makhluk halus.
Tingkatan di bawahnya lagi adalah mereka yang memang belajar dan mendalami cara-cara terntentu agar bisa memiliki kemampuan Interdimensional.
Lalu aku termasuk Interdimensioanal yang mana?
Karena aku pernah mengalami mati suri atau seperti yang di bilang oleh Bunda aku mendapatkan kemampuanku karena menurun dari Kakekku.
Semenjak kecil aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Aku bisa melihat “MEREKA”. Sebutan mereka bermacam-macam. Ada yang menyebutnya hantu, jin, setan, arwah, siluman dan lain sebagainya.
Lama-kelamaan aku tidak hanya bisa melihat mereka, tetapi juga bisa mendengar dengan jelas suara mereka.
Suara seperti geraman, desahan berat, cekikik tawa, dengusan napas, atau benda-benda yang mereka gerakkan bisa kudengar dengan jelas.
Sampai pada titik itu, aku merasa hidupku adalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang panjang dan melelahkan. Aku mencoba lebih dekat dengan Tuhan. Sayangnya, hal itu tidak berpengaruh banyak. Mereka memang seperti sedikit memberi batas padaku. Tetapi mata ini tetap bisa melihat mereka. Suara mereka juga masih bisa terdengar. Bagiku mimpi buruk itu tidak pernah berhenti.
Kondisi ini membuatku frustasi. Hidupku sendiri mulai tidak tenang. Saat tidur aku berusaha keras memejamkan mata, walaupun sebelumnya dari jendela aku melihat sosok tinggi besar, berbulu hitam dengan mata merah menyala dan bergigi taring menatapku dari bawah pohon mangga di dekat jendela kamarku.
Hampir tiap malam yang kualami adalah suasana horor. Aku tidak berani sendiri. Bahkan untuk kencing atau ke kamar kecil sekalipun aku minta ditemani. Aku tidak berani melihat ke arah-arah tertentu. Karena Aku tahu di arah itu penampakan mereka akan kujumpai. Kadang ada yang muncul dengan kepala terjuntai dari atas lemari, kadang ada yang menindihku berupa sosok nenek-nenek saat aku tidur dan membuat napasku sesak setengah mati.
Melihat kondisiku yang semakin lama semakin memburuk, Ayah dan Bunda mengajakku menemui Kakek dan sekalian liburan saat libur panjang kululusan SMP.
Madiun, 10 April 2004
Pada waktu itu, hari sudah mulai gelap dan adzan maghrib sudah berkumandang. Mobil kami melewati jalanan menuju komplek rumah kakek. Sebelum memasuki komplek perumahan rumah Kakek, kami melewati sebuah bangunan Taman Kanak-Kanak yang sudah tidak terawat dan tidak terpakai. Disebelah TK itu, di belakang taman bermain ada rumpun bambu yang sangat tinggi dan lebat.
Mataku seperti diarahkan tertuju pada taman bermain yang ada di dekat rumpun bambu. Kubuka jendela kaca mobil dan kuperhatikan satu-persatu alat bermain di situ. Mulai dari ayunan, perosotan, palang bermain, bak pasir, dan lain-lain.
Tiba-tiba…
Aku melihat ayunan yang ada di situ bergerak sendiri dan kemudian tampak perlahan-lahan pada ayunan yang bergoyang itu terbentuk siluet yang semakin lama semakin jelas.
Sosoknya seperti wanita menimang bayi dengan posisi agak membelakangi. Aku masih bisa melihat lengkungan tangannya seperti menggendong sesuatu. Lirih aku mendengar sosok itu bersenandung. Melantunkan nada lagu ‘Nina Bobo’. Sesaat aku melihat lehernya hampir menoleh ke arahku.
Namun, tiba-tiba…
Lengan Bunda merangkul tubuhku dan mengusap lembut kepalaku.
“Sayank, lihat apa? Jendela kaca mobilnya di tutup ya.” pinta Bunda.
Bunda seperti mengerti apa yang sedang aku lihat dan mencoba mengalihkan perhatianku.
Setelah menempuh kurang lebih 5 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di rumah Kakek. Terlihat Kakek yang sudah di depan rumah menyambut kedatangan kami. Aku yang sangat bahagia langsung turun dari mobil dan berlari memeluk Kakek.
“Kakek, Andien kangen banget sama Kakek.”
“Iya Nduk, Kakek juga kangen sama Andien.” jawab Kakek sambil memeluk tubuhku dan mengusap lembut kepalaku.
Rumah Kakek sangat sederhana, namun barang-barangnya diatur dengan rapi. Rumahnya bercat putih, sehingga tampak luas dan dan bersih.
Dan di bagian depan rumah terdapat banyak sekali bunga-bunga, karena Almarhumah Nenek sangat menyukai bunga.
Kakek berusia 54 tahun, badannya masih tegap dan sehat. Raut muka yang tegas dengan postur tubuh yang tinggi menjadi ciri khasnya. Setiap pagi Kakek masih rutin lari pagi keliling komplek.
Aku menceritakan semua kejadian yang selama ini kualami kepada Kakek.
“Tunggu di sini sebentar.” ucap Kakek sambil berlalu meninggalkanku.
Tak berapa lama kemudian, Kakek kembali dengan membawa sebilah keris dan sebuah kotak kayu kuno.
“Pegang keris ini Nduk. Pejamkan mata dan kosentrasi,” ujar kakek. “Gambarkan kepada Kakek sosok apa yang kamu lihat?”
Aku memegang keris tersebut. Awalnya tidak ada gambaran apa-apa, tetapi saat berkonsentrasi aku melihat Singa yang sangat besar sedang mengaum-mengaum dan menyeringai galak ke arahku.
Hampir saja keris itu terlepas dari genggaman tanganku karena terkejut, namun dengan sigap Kakek memegang tanganku.
Aku menceritakan apa yang aku lihat kepada Kakek. Kakek hanya diam dan beralih ke sebuah kotak kayu kuno yang di bawanya.
“Sekarang coba kamu lihat apa isi kotak ini.” ujar Kakek menyuruhku melihat apa isi kota tersebut tanpa membukanya.
“Aaaaaaaa….” teriakku ketakutan.
“Andien… Lihat Kakek, Nduk!” ucap Kakek sambil memeluk tubuhku menenangkanku.
“Seram Kek, Andien takut sama isi yang ada di dalam kotak itu.” tunjukku ke kotak tersebut.
“Mulai sekarang Andien nggak boleh takut. Andien harus berani.” ucap Kakek.
Kakek membuka kotak tersebut dan isinya sama persis seperti apa yang aku lihat.
“Keris yang kamu pegang tadi, namanya ‘Keris Kyai Singa Lodra’, sedangkan isi dalam kotak ini adalah ‘Jenglot’.” ujar Kakek menerangkan.
“Nduk, semua ini sudah di gariskan, kamu harus bisa menerima! Pahami dan terima diri kamu.” kata Kakek.
“Terus Andien harus bagaimana, Kek? Andien takut.”
“Ora usah wedi Nduk (Nggak usah takut). Mulai saiki kowe kudu wani (Mulai sekarang kamu harus berani).”
“Meng siji pesenku (Cuman satu pesanku), jangan meminta sesuatu dari mereka.” nasehat Kakek.
Tan suminggah Durgakala sumingkir
Sing Asirah Sing asuku
Sing awulu Sing abahu
Sing atenggak kalawan abuntut
Sing datan kasat mata
Muliho neng asal neki
Artinya :
Mingir-mingir kala (setan/demit) mingir
Dan minggirlah durgakala (setan/demit) minggir
Yang berkepala yang berkaki
Yang berbulu yang berlengan
Yang tegak maupun yang berbuntut
Yang tidak terlihat mata
Kembalilah ke asal muasalmu
Sebab, makhluk astral sangat menyukai bau-bau amis seperti darah. Terlebih lagi darah kotor seperti darah haid.
Contohnya, Mbak Kunti. Ia sangat menyukai darah haid.
Aku mempunyai seorang sahabat, namanya Era. Kami bersahabat sedari kecil.
Era adalah sosok wanita ceria yang suka menceritakan banyak hal. Termasuk hal-hal aneh yang pernah ia alami.
Suatu waktu, saat ada pelajaran kosong di sekolah. Aku beserta beberapa teman wanita, tengah membicarakan seputar haid.
Bercerita tentang ekspresi pertama kami, melihat organ vital yang kami punya mengeluarkan darah. Aku bercerita pada temanku saat itu, aku malah menangis ketika melihat ada darah di organ vitalku. Mereka menertawakanku mungkin menurut teman-temanku ekspresiku sangat lucu saat itu.
Selang tak berapa lama Era datang dan ikut nimbrung bersama kami. Era merubah topik obrolan kami menjadi cerita horor. Nada ucapannya yang tenang membuat kami semua ikut terbawa dalam suasana, hingga bulu kudukku berdiri merinding mendengar cerita Era.
“Waktu itu aku di ajak Ayahku ke kantornya untuk mengambil dokumen yang tertinggal,” ujar Era. “Karena kebelet pipis aku di antar Ayah ke toilet tempatnya berkerja.
“Terus??” tanyaku penasaran.
“Aku dengar ada suara yang aneh, di dalam toilet.”
“Suara apa?” tanya salah satu temanku.
“Suara seperti orang tertawa. Hiii… Hiii… Hiiii..” ujar Era menirukan suara tersebut, yang membuat beberapa temanku ketakutan.
“Be… Berarti di dalam toilet ada hantunya?” tanya temanku ketakutan.
Era mengangguk mantab. “Aku melihat penampakan di dalam toilet itu, sumpah ngeri banget. Aku sampai nggak mau lagi di ajak Ayahku ketempat kerjanya.” Ungkap Era.
“Penampakan seperti apa?” tanya teman yang lainnya
Era nampak enggan menceritakan kisah seramnya itu. Ia menengok ke berbagai arah, memastikan bahwa tidak orang lain disana. Wajahnya terlihat ketakutan, raut mukanya pun terlihat pucat.
“Jangan disini kita cerita di taman aja.” ajak Era.
Kami bertiga pun mengiyakan ajakan Era dan keluar dari kelas menuju taman sekolah. Kami duduk di bangku kayu yang terdapat di area taman sekolah.
“Jadi gini ceritanya. Waktu aku mau ke toilet aku mendengar suara orang ketawa di dalam toilet, pertamanya aku takut tapi aku penasaran.”
“Saat aku masuk ternyata di dalam toilet tidak ada siapa-siapa. Aku kira saat itu mungkin aku hanya salah dengar. Jadi aku langsung saja pipis, namun saat aku hendak mau keluar dari kamar mandi aku melihat penampakan disana.” Sambungnya.
Era diam dalam beberapa saat, membuat kami semakin penasaran dengan ceritanya.
“Aku melihat kuntilanak pakai baju daster warna putih. Rambutnya panjang sampai se mata kaki. Mukanya gak kelihatan jelas, tapi serem banget ngelihatnya.” jelas Era, yang membuat kami bergidik.
“Yang lebih mengerikan itu dia sedang memegang pembalut wanita. Dan pembalutnya itu baunya amis banget. Aku sampai mau muntah mencium baunya.” ucap Era.
“Pembalutnya masih ada darahnya Ra?” tanyaku.
Era mengangguk. “ Itu yang punya pembalut jorok banget, dia gak nyuci pembalutnya. Langsung dibuang gitu aja.”
“Pembalutnya di apain sama kuntilanaknya?”
Era menggeleng. “Aku nggak tau, aku langsung lari waktu itu karena takut melihat wujudnya. Serem banget.” ujarnya.
“Itu kamu yakin, beneran lihat?” tanyaku.
“Iya aku beneran lihat, aku gak bohong.” jawab Era.
“Ibuku pernah bercerita ia malah pernah melihat kuntilanak menjilat pembalut.” sahut Era.
Tak terasa perutku akhirnya mulai mual karena membayangkan hal yang menurutku sangat menjijikkan. Bagaimana mungkin Kuntilanak bisa menjilat pembalut yang penuh dengan darah kotor semacam itu.
“Udah ah, nggak usah di ceritain lagi. Aku geli dengernya.” pintaku.
Kala itu saat aku sedang asiik menonton tv di ruang keluarga. Terdengar sebuah teriakan dari samping rumahku. Ayah dan Bunda langsung berlari menuju arah suara tersebut. Takut terjadi sesuatu.
Aku pun ikut berlari mengikuti kedua orangtuaku, ternyata tetanggaku sedang kerasukan.
Tetanggaku bernama, Yuli. Ia mengontrak tepat disamping rumahku. Ia tinggal berdua dengan temannya.
Yuli meraung dan menangis sambil menggaruk-garukkan kukunya ke dinding. Lalu tertawa dan meraung kembali. Beruntung ada Ayahku disana. Beliau langsung membantu mengeluarkan makhluk astral dari tubuh Yuli.
Setelah semuanya reda, kami dan para tetangga membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing.
Sebelum Mbak Yuli kerasukan aku pernah melihat sesosok makhluk astral, berupa kuntilanak tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Namun saat itu aku tak menanggapi kehadiran makhluk astral tersebut. Bentuk sang kuntilanak sangat menyeramkan, rambutnya seperti gimbal namun panjang sampai sepinggang. Hidungnya terlihat seperti patah dengan mata berwarna hitam pekat yang sangat menyeramkan.
.
Keesokan harinya kejadian yang sama kembali terulang. Mbak Yuli kerasukan lagi dan kali ini ia memukul siapa saja yang menghalanginya. Bahkan temannya di dorong hingga jatuh terjungkal.
Makhluk yang merasukinya sangatlah agresif, dia mampu mengimbangi kekuatan tiga orang dewasa, yang tengah memegang tubuhnya. Padahal tubuh Mbak Yuli terbilang kurus.
“Mau kamu apa? Kenapa kamu merasuki tubuh wanita ini?” tanya Pak Ustad yang sedang membantu mengeluarkan makhluk astral dalam tubuh Mbak Yuli.
Mbak Yuli kembali berteriak dan meronta-ronta tak menjawab pertanyaan yang di lontarkan oleh Pak Ustad.
Selang tak berapa lama Pak Ustad mampu mengeluarkan makhluk astral yang bersemayam di tubuh Mbak yuli.
Aku bersama kedua temannya membopong tubuh Mbak yuli masuk kedalam kamarnya. Tubuhnya tampak lemah denga wajah pucat pasi karena tenaganya terkuras habis oleh makhluk astral yang merasukinya.
Disaat semua warga telah pergi, aku masih setia menemani Mbak Yuli bersama dengan kedua temannya.
“Makasih ya Ndien, udah mau nemenin kita.” ucap Mbak Dina teman dari Mbak Yuli.
“Iya Mbak, sama-sama.” jawabku ramah.
“Ini sudah ketiga kalinya Yuli kerasukan. Tadi siang di kantor Yuli juga kerasukan.” sahut Mbak Gita teman Mbak Yuli.
Jam dinding di kamar Mbak Yuli menunjukkan pukul 10 malam. Aku sudah meminta izin Bunda untuk menginap di rumah Mbak Yuli.
Aku memegang lengan Mbak Yuli, tubuhnya masih terasa dingin dan wajahnya masih terlihat pucat. Firasatku mulai terasa tidak enak, aku merasakan atmosfer ruangan kamar yang mulai berubah. Suhu ruangan tiba-tiba menjadi panas padahal AC dalam keadaan menyala. Aku merasa ada makhluk dari dunia lain yang tengah bersama kami di ruangan ini.
“Kok hawanya nggak enak ya?” tanya Mbak Dina.
“Iya, kok rasanya merinding yah.” sahut Mbak Gita.
Mereka berdua nampak terlihat bingung sekaligus takut. Mereka saling menatap satu sama lain, merasakn ketakutan dan keanehan yang sama.
“Kenapa Ndien?” tanya mbak Dina.
Aku hanya menjawab denga gelengan kepala. Mungkin Mbak Dina bertanya seperti karena ia tengah melihat wajahku yang terlihat sangat serius. Aku memang sedang berkonsentrasi, merasakan kehadiran makhluk astral yang auranya terasa sangat negative.
Aku merasakan aura negative di depan pintu kamar. Aku merasakan ada seseorang yang sedang berdiri disana.
Baru saja aku ingin membaca ayat kursi, sosok itu tiba-tiba merangsek masuk ke dalam kamar dengan cepat. Terlihat sekelebat banyangan gelap yang bergerak sangat cepat dan dengan cepat masuk ke dalam tubuh Mbak Yuli.
Ia adalah sosok kuntilanak yang pernah kulihat sedang berdiri di depan pintu rumah Mbak Yuli. Aku tak tahu apa yang di inginkannya dari Mbak Yuli.
Sosok itu kembali masuk kedalam tubuh Mbak Yuli, itu berarti Mbak Yuli kembali mengalami kerasukan. Tubuhnya langsung bereaksi, menggelinjang ke berbagai arah dengan mata melotot menatapku.
Mbak Dina dan Mbak Gita terlihat sangat panik, mereka langsung memegangi tubuh Mbak Yuli yang mulai berontak. Tak lupa kami memegang tangannya yang meronta kesana kemari.
“Mbak, mending panggil Pak ustad lagi.” suruhku.
Mbak Gita dengan cepat keluar rumah untuk mencari bantuan. Sedangkan aku masih berada di dalam kamar bersama Mbak Dina. Kami berdua memegangi tubuh Mbak Yuli yang mulai tak terkontrol.
“Kamu siapa? Kenapa kamu ganggu orang ini terus menerus?” tanyaku mencoba berkomunikasi dengannya.
“Kamu tidak usah ikut campur ini adalah urusanku.” jawabnya.
“Kamu tidak berhak memasuki tubuh orang lain sesuka hatimu.” ucapku sinis.
“Hihihihi… Kamu tahu apa anak kecil.”
Ia mendorong tubuhku hingga terjatuh dari tempat tidur.
“Dek kamu nggakpapa?” tanya Mbak Dina.
Mbak Dina terlihat sangat ketakutan melihat kelakuan temannya yang sangat liar. Mbak Dina menjauh dari Mbak Yuli dan membantuku untuk berdiri.
Mbak Yuli terus tertawa sembari duduk bersila dan mengacak-ngacak rambutnya yang tergerai bebas sambil terkadang memainkan rambutnya.
“Anak ini sangat jorok, aku sangat suka dengan anak ini. Hii… Hii… Hii…”
“Apa maksud kamu?” tanyaku.
“Aku sangat suka bau darahnya… Hii.. Hii… Hiii…”
Aku mengernyitkan dahi mendengarnya mengucap bau darah.
“Darah apa?”
“Darah haidnya.” jawabnya.
“Jadi ini toh, penyebab Mbak Yuli kerasukan. Mungkin Mbak Yuli lupa membersihkan bekas pembalut yang ia pakai. Sampai-sampai ada makhluk astral yang menyukai bau darahnya.” gumamku dalam hati.
“Keluar kamu.” bentakku menyuruhnya keluar dari tubuh Mbak Yuli.
“Siapa kamu? Berani-beraninya menyuruhku keluar.”
“Aku tidak pernah takut pada makhluk sepertimu. Aku hanya takut pada Allah.”
Ia tertawa dengan dengan suara keras. “Aku tidak takut dengan makhluk yang tengah menjagamu sekarang.”
“Jangan mencampuri urusanku, aku ingin mengajak wanita ini untuk menjadi temanku.”
Aku merasakan hawa panas pada tubuhku, entah mengapa aku merasa seperti ada sosok lain yang tengah membatuku saat ini.
“KELUAR.” bentakku padanya.
Tiba-tiba tubuh Mbak Yuli ambruk, dan tak berapa lama kemudian datang Pak Ustad yang ditemani warga dan kedua orangtuaku yang khawatir melihat keadaanku.
.
Beberapa hari kemudian, Mbak Yuli menceritakan semuanya kepadaku. Dia tidak mencuci pembalut yang telah ia pakai. Pembalut tersebut di masukkan ke dalam kantong plastik hitam dan dibuang di tempat sampah yang terletak di depan pintu rumahnya.
Pantas saja beberapa hari yang lalu aku melihat penampakan sosok kuntilanak berdiri di depan pintu rumahnya. Ternyata makhluk astral tersebut sedang membahui darah haid milik Mbak Yuli. Kuntilanak tersebut sangat menyukai aroma bau darahnya sehingga berusaha ingin merasuki tubuh sang pemilik aroma darah.
Sebelum mengalami kerasukan, Mbak Yuli bercerita kalau ia sering mengalami kejadian aneh. Ia sering mendengar suara aneh dari depan pintu kamarnya. Seperti suara seseorang yang tengah memutar kenop pintu kamarnya dan banyak kejadian aneh lainnya.
Mbak Yuli bilang kalau beberapa hari ini tubuhnya drop, kelelahan karena terlalu banyak aktivitas di kantor. Hal itulah yang menyebabkan makhluk tak kasat mata dengan mudah merasukinya.
Mbak Yuli tak lagi mengalami kerasukan setelah peristiwa malam itu. Sekarang Mbak Yuli selalu mencuci bekas pembalut yang ia pakai dan membuangnya jauh dari rumahnya.
Hal ini menjadi pengalaman yang sangat berarti untuknya.
Kalau kemarin-kemarin aku bercerita tentang pengalamanku dengan mereka yang jahat, maka kali ini aku akan bercerita mengenai keseharianku bersama mereka yang sedikit lebih normal, dan khusus kali ini akan kuceritakan mereka yang ada di kampusku.
Seperti seorang Ibu tua yang berwajah ramah yang hampir setiap hari selalu duduk di bangku tunggu di depan kampus. Ia selalu tersenyum padaku ketika aku tidak sengaja memandangi dia.
Atau seorang pemuda yang selalu memandang jendela dari lorong kampus lantai 6 dengan raut muka sedih. Kami pernah berbicara beberapa kali, ia mengatakan kalau ia sangat menyesali keputusannya untuk melompat bunuh diri dari lantai 6 kampusku. Setelah dikecewakan karena putus dengan pacarnya dan kegagalan kuliahnya.
Lalu ada perempuan berambut panjang dan berbaju hitam pekat yang selalu mondar-mandir di lantai 4 kampus. Kadang kala dia sedikit mengerikan karena apabila aku tidak sengaja melihatnya, perempuan itu akan merangkak dan mengejarku dengan sangat cepat. Untungnya dia tidak bisa berpindah lantai, dan aku mendengar gosip kalau ada beberapa mahasiswa yang sempat melihatnya ketika menginap di kampus.
Lalu ada Kakek bungkuk yang kerjaannya mengerjai orang-orang dengan memindahkan barang-barang mereka, atau terkadang menakut-nakuti orang dengan memutar-mutar tempat sampah atau membuat barang-barang jatuh.
Kemudian anak-anak muda dengan baju kuno yang sering sekali menaiki atau menuruni tangga dengan suara gaduh, sehingga membuat orang mendengar mereka.
Atau pria buncit dengan seringai yang tidak pernah hilang dari wajahnya yang selalu membuka pintu atau jendela dengan bunyi derit yang sengaja diperdengarkan ke orang-orang yang tidak bisa melihat dia.
Kemudian ada juga gadis penyendiri yang hanya duduk diam di pojokan tangga lantai 4. Juga temannya (mungkin) yang juga seorang gadis yang selalu berdiri diam dan menatap dinding di lantai 6.
Aku paling tidak suka ketika perkuliahan dilakukan di lantai 7, karena ada wanita yang tergantung di tengah-tengah ruangan kelas yang selalu berpindah-pindah antara kelas satu dengan kelas lainnya dan aku selalu melihatnya ketika mendapat kelas di lantai 7.
Kemudian ada seorang tua yang penampilannya sangat necis yang memakai baju safari. Dia selalu melayang ditengah-tengah lantai 6. Kampusku ini bangunannya berbentuk kotak, jadi kita bisa melihat dari atas sampai lantai dasar, dan bapak tua itu selalu melayang di tengah-tengahnya.
Nah, kurang lebih itu adalah mereka yang tidak berbahaya di kampusku. Tapi ada juga yang berbahaya di kampusku.
Lantai 8 hanya terdiri dari 1 kelas, dan di dalam kelas itu berbagai macam kejadian yang berhubungan dengan mereka sangat sering terjadi, sampai-sampai orang biasa pun bisa mendengar dan melihat dengan jelas.
Itu adalah ‘mereka’ yang kutemui di keseharian kampusku.
Lain kali akan kuceritakan juga pengalaman melihat ‘mereka’ di perjalanan, atau di tempat-tempat umum.
Kadang kala, sepertinya teman-temanku yang normal juga bisa melihat mereka tanpa sadar di keramaian, berpapasan atau sekadar melihat sepintas atau sebagainya, karena mereka kadang terlihat sama persih seperti orang yang hidup.
Semakin aku tumbuh dewasa, semakin sempit duniaku, di setiap kedipan mataku bertambahlah mereka.
Aku mempunyai seorang teman lelaki yang sangat dekat denganku. Ia bernama, Muhammad Alvin Fernanda.
Alvin adalah satu-satunya orang yang memahami aku. Ia selalu menjaga dan melindungiku.
Aku masih ingat saat itu, saat aku pertama kali bertemu dengannya.
Sore itu sepulang dari kampus, aku sedang duduk di halte menunggu bus untuk pulang ke rumah sambil mendengarkan musik kesukaanku untuk menghilangkan kebosananku.
“Kenapa lama sekali, mana udah hampir sore.” gumamku dalam hati sambil melihat jam di handphone.
Kulihat seorang laki-laki, sedang berjalan dengan tergesa-gesa dan menjatuhkan sesuatu.
Aku memutuskan untuk melihat benda apa yang terjatuh tadi, dan berniat untuk mengembalikannya.
“Dompet!!” gumamku.
Kuambil dompet itu dan berlari mengejarnya untuk mengembalikan dompet tersebut.
“Tunggu!!” teriakku.
“Ada apa ya?” tanyanya kebingungan.
“Maaf, Mas tadi dompetnya terjatuh.” ujarku sambil menyerahkan dompet miliknya yang terjatuh.
“Eh.. Terima kasih, banyak Mbak.” ujarnya.
Itu lah awal pertemuanku dengannya, Muhammad Alvin Fernanda lelaki yang senyumnya mampu mengalihkan duniaku yang sebelumnya menyeramkan menjadi dunia yang penuh dengan harapan dan senyuman.
Hari ini adalah kencan pertamaku dengannya. Namun hal tersebut di rusak oleh mereka.
Kali ini aku merasa kalau mereka benar-benar sangat menggangguku.
Alvin mengajakku pergi ke salah satu Mall di kota Surabaya untuk menonton bioskop. Semuanya berjalan begitu indah, namun hal itu tak berlangsung lama.
Setelah menonton film, Alvin mengajakku untuk makan. Namun karena udara dalam bioskop yang dingin membuatku ingin ke toilet untuk pipis dan sekedar merapikan make up.
Alvin menungguku di luar toilet. Dan di dalam toilet, aku melihat wanita muda sedang muntah-muntah di wastafel.
Awalnya aku tidak begitu memperhatikannya dan terus berjalan menuju bilik toilet, namun dari dalam toilet aku mendengar muntahnya semakin parah.
Sehingga setelah keluar dari bilik toilet aku bermaksud menghampirinya.
Kulihat di belakang wanita itu, sekarang ada wanita lain yang sama mudanya dengan dia menggunakan dress berwarna putih. Sepertinya wanita itu sedang membantu wanita yang berada di depannya karena dia sedang memegang tengkuk dan perut dari wanita yang sedang muntah itu.
Aku mendekati mereka berdua dan bertanya kepada wanita yang menggunakan dress putih.
“Temannya kenapa Mbak? Mau saya bantu antar ke rumah sakit?” tanyaku padanya.
Wanita drees putih itu menengok ke arahku, dengan mata melotot menatap lurus ke mataku.
Dia menempelkan mukanya tepat didepan mukaku, kulitnya benar-benar mengerikan, seperti karpet yang ada tonjolan-tonjolannya. Mukanya dan seluruh kulitnya penuh dengan tonjolan. Warna kulitnya sangat pucat, seperti warna krem kekuningan. Dan yang paling mengerikan dari semuanya adalah bola matanya, warna urat darah dibola matanya berwarna coklat kekuningan dengan pupil mata berwarna hitam dan bebercak merah.
Tak lama kemudian dia tertawa cekikikan.
“Hiii..”
“Hiii..”
“Hiii..”
Dan lama kelamaan tawanya berubah jauh dari tawa manusia.
“KAKAKAKEKEKEKAKAKAKAKEKEKEKE.”
“KAKAKAKEKEKEKEKKAKAKAKAKAK.”
Tubuh wanita itu melengkung saking kerasnya dia tertawa. Wanita satunya yang muntah-muntah jatuh terduduk didepan waltafel.
Saat aku hendak mundur dan berbalik, lehernya memanjang dari tubuhnya.
Ia membuatku terpojok sampai aku bersandar di sisi wastafel dan lehernya kembali memendek ke ukuran normal menyatu kembali dengan badannya.
Dia mendekatiku dan berkata. “Kamu bisa lihat aku?”
Aku yang ketakutan hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya.
“Kamu bisa lihat kan?” tanyanya kembali namun kali ini suaranya terdengar sangat serak dan bergema seperti berasal dari dua tempat.
Kemudian tubuhnya jatuh kedepan dan merangkak menggunakan kedua tangan dan kakinya, merayap pergi masuk kedalam bilik toilet.
Dengan rasa penasaran, aku berjalan perlahan mengikuti makhluk itu menuju bilik toilet yang ia tuju namun tak kudapati makhluk itu.
Makhluk itu telang menghilang tanpa jejak.
Aku yang merasa keadaan sudah aman segera memapah gadis yang muntah-muntah tadi keluar toilet.
Alvin yang melihatku keluar toilet dengan memapah seorang wanita langsung membantuku.
Setelah itu aku menceritakan semua kejadian yang terjadi di dalam toilet kepada Alvin. Dan kami akhirnya memutuskan untuk pulang.
Kencan pertamaku dengan Alvin yang seharusnya indah harus hancur berantakan gara-gara mereka kembali menggangguku.
Kali ini aku akan bercerita tentang pengalamanku melihat sosok yang tidak lagi bernapas. Jiwa mati yang merupakan korban kecelakaan.
Waktu itu aku habis jalan-jalan bersama Alvin di Pacet. Kami pulang sekitar jam 8 malam. Mobil kami melewati jalan raya Trosobo yang memang terkenal rawan kecelakaan. Karena jalan tersebut merupakan jalan yang di lewati oleh Truck besar yang memuat puluhan ton barang dan juga Bus.
Ada banyak sekali peristiwa kecelakaan disana. Yang lebih sering adalah para pengguna sepeda motor. Mereka yang tidak sabaran biasanya menyalip Bus atau Tuck dari sebelah kiri. Mereka yang naas terkadang masuk kedalam kolong truck dan akhirnya tewas terlindas ban truck yang berukuran besar.
Karena aku jarang melewati jalanan tersebut jadinya aku jarang merasakan interaksi astral disana.
Tapi malam itu aku merasakan dan melihat sosok yang menjadi korban jembatan layang Trosobo.
Suasananya kali ini cukup aneh karena biasanya jalan yang kulewati itu ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang. Disana juga biasanya sangat macet karena ada banyak pengendara motor maupun mobil yang sama-sama menggunakan jalan.
Namun kali ini jalanan ini suasananya sangatlah sepi. Hanya ada beberapa motor dan beberapa mobil saja yang lewat. Sepi, seperti jalanan kota Surabaya yang lenggang saat hari raya.
Saat mobil kami melewati jembatan layang Trosobo. Dari kejauhan aku melihat seseorang berjaket kuning duduk diatas aspal pinggir jalan, dengan helm berwarna hitam yang masih terpasang di kepalanya.
Dalam benakku terlintas kalau ia terjatuh dari motor. Melihat hal tersebut aku meminta Alvin untuk melajukan mobilnya lebih cepat menuruni jembatan layang Trosobo, untuk menolong orang tersebut.
“Sayang, berhenti disini kita tolong orang itu.” pintaku.
Alvin menurutiku dan berhenti di bahu jalan.
“Mana yang? Disini nggak ada siapa-siapa.” ujar Alvin.
“Itu di depan ada orang sedang duduk di pinggir jalan,” aku menunjuk kearah orang tersebut.”Masak, kamu nggak lihat yang?”
“Di depan mana?” tanya Alvin. “Orang disini nggak ada orang kok.”
Aneh Alvin tibak bisa melihat sosok orang tersebut sedangkan aku bisa melihatnya dengan jelas. Sepertinya apa yang kulihat bukanlah sosok manusia, melainkan sosok dari dunia lain.
“Sayang, turun yuk. Kita tolong orang tersebut,” pintaku. “Kasihan ia terjatuh dari motor.”
“Di depan nggak ada motor, atau pun orang yang terjatuh yang. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan ya.”
Aku keluar dari mobil dan mendekati sosok yang membuatku penasaran.
Terdengar suara rintihan kesakitan saat aku mulai mendekat ke sosok tersebut. Tangan kirinya memegang kakinya yang sepertinya patah.
Saat aku semakin mendekat, kulihat wajahnya tertutup oleh darah. Darah tersebut mengalir dari sela-sela helm yang kurasa mungkin kepalanya telah remuk dan badannya yang sebelah kanan seperti gepeng karena terlindas oleh ban truck yang berukuran besar.
Kurasakan hawanya berbeda denganku, dia dingin diliputi oleh rasa sedih dan sakit yang ia rasakan.
Dia mengeluarkan suara rintihan. “Sakit… Tolong… Sakit…”
Aku rasa dia menjadi korban kecelakaan di tempat ini dan tewas seketika.
Aku terdiam beberapa saat, melihat bagaimana kondisinya di depan mataku. Wajahnya berlumuran darah, disatu sisi wajahnya tampak tergores dengan luka menganga. Aku bisa membayangkan jika aku membuka helm tersebut bagian atas kepalanya mungkin sudah hancur. Bila tidak hancur mungkin saja remuk karena wajahnya berlumuran darah yang mengalir dari kepalanya.
Ada rasa mual saat aku melihatnya dan hal itu membuatku tak nyaman yang akhirnya aku lebih memilih untuk meninggalkan lelaki itu.
“Tolong, Mbak… Tolong… Sakiitttt…” pintanya meminta tolong dengan nada lirih yang menyayat hati.
Aku sudah berkali-kali melihat korban kecelakaan di jalan raya. Kondisinya memang tidak enak di pandang oleh mata. Banyak luka dan darah bahkan ada yang sampai tubuhnya hancur karena tergilas oleh truck dan meninggal di tempat.
Mereka yang sudah meninggal tidak akan merintih dan menangis karena luka yang mereka terima. Ya, karena mereka sudah meninggal.
Namun kali ini, yang sudah mati itu bisa aku lihat. Dan sekarang ia ada di hadapanku. Sedang melihatku dengan tatapan sedih dan mengeluarkan suara rintihan meminta tolong padaku. Membuatku yang sebelumnya ingin beranjak pergi meninggalkannya, tidak tega dan tidak berniat lagi beranjak pergi.
Aku paling tidak tahan dan tidak tega bila mendengar ucapan kata tolong. Apalagi bila di ucapkan dengan raut wajah kesedihan.
“Sayang, masuk ke mobil yuk. Nggak ada siapa-siapa kan disini.” ajak Alvin.
“Bentar ya sayang aku melihat arwah korban kecelakaan, dan aku mau ngirim doa untuknya biar arwahnya tenang dan kembali ke sisi-Nya.” jawabku.
“Ya, udah kalau gitu sekarang kita bacakan doa untuknya.” ujar Alvin.
Kami berdoa dengan ikhlas agar sosok tersebut di berikan kemudahan oleh Tuhan agar arwahnya bisa tenang dan di terima di sisi-Nya.
Setelah berdoa kulihat sosok tersebut sudah tidak ada dan hal tersebut membuatku tenang. Saat hendak kembali menuju mobil aku secara tidak sengaja melihat bekas darah yang mengering di aspal. Tidak begitu banyak namun masih terlihat.
Aku meminta Alvin untuk mengambil air mineral di mobil untuk membasuh sisa darah yang membekas di aspal.
Aku berpikir mungkin karena hal itu dia masih saja terlihat di tempat ini. Karena masih ada sedikit sisa bagian tubuhnya yang tersisa di tempat ini. Meskipun hanya sedikit darah tapi tetap saja hal itu amat berharga.
Aku berharap semoga sosok lelaki tersebut tenang dan di terima di sisi-Nya.
Semakin lama aku merasa mempunyai kemampuan baru dalam diriku. Aku merasa saat itu adalah fase metamorfosa diriku. Kemampuan baru dalam diriku perlahan menunjukkan wujudnya. Aku bisa melihat kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal tersebut adalah sebuah mimpi buruk untukku.
Dalam penglihatanku, aku melihat temanku sedang dalam keadaan bahaya. Aku melihat ia berada di gudang kosong bersama empat orang laki-laki. Dan yang kulihat akan terjadi pemerkosaan di gudang kosong tersebut.
Aku memutuskan untuk menyelamatkan temanku.
.
.
.
Di dalam sebuah gudang tua, 4 orang laki-laki sedang berpesta minuman keras. 4 orang itu adalah kelompok preman yang sadis dan keji. Seorang laki-laki bertubuh hitam dengan codet di pipinya bernama Baron, dia adalah pimpinan kelompok ini. Di sampingnya seorang bertubuh tinggi namun kurus bernama Ali. Yang berkepala botak dan memiliki jidat lebar bernama Dewo serta seorang yang penuh tato di tubuhnya dan paling sangar di antara mereka bernama Roni.
Drrrttt… Drrrttt…!!
“Ya, hallo Bos…” sahut Baron menjawab panggilan telepon masuk.
“……..” suara dari ujung telepon sana.
“Iya, siap Bos.” sahut Baron melalui telepon genggamnya.
“……..” suara dari ujung telepon sana.
“Beres, Bos. Akan kami laksanakan sesuai perintah. Kami tunggu ya Bos.” sahut Baron sumringah lewat telepon genggamnya.
.
.
.
Andien sudah sejak awal mengingatkan Sari. sahabatnya supaya tidak pergi ke tempat itu. Namun, Sari seakan tidak mengindahkan peringatannya, Sari tetap nekat mendatangi tempat itu.
Karena takut terjadi apa-apa dengan Sari, Andien nekat membuntutinya sendirian tanpa memberitahukan kepada siapapun termasuk kepada Alvin kekasihnya dan kedua orang tuanya. Sejak dari rumah Sari, Andien membuntuti Sari tanpa sepengetahuannya. Dari kejauhan Andien melihat Sari masuk ke dalam gudang. Gudang itu terletak di tempat terpencil yang jauh dari rumah-rumah penduduk.
Andien segera mengejar Sari yang telah lebih dulu masuk ke dalam gudang itu.
Kreeeekkk….
Perlahan-lahan Andien mendorong pintu gudang itu dan ternyata di dalamnya kosong. Andien lalu masuk ke dalam untuk mencari keberadaan Sari yang tadi dilihatnya masuk ke dalam gudang ini.
“Ke mana perginya Sari, ya? Kok, di sini tidak ada. Padahal jelas-jelas aku melihatnya masuk ke gudang ini.” gumam Andien dalam hati.
Dan ia baru tersadarkan dari lamunannya saat sebuah tangan menyergapnya dari belakang disusul dengan keluarnya 3 orang laki-laki berwajah seram.
“Ali, cepat bawa dia ke ruangan! Kita laporan dulu sama Bos kita.” ujar seseorang berkulit gelap bertubuh kekar dan terdapat codet di pipinya.
“Siap, Bos.” sahut orang itu cepat.
Seketika tubuh Andien menggigil ketakutan, sama sekali ia tidak pernah membayangkan akan terjadi seperti ini. Andien awalnya melihat Sari akan diperkosa dan berniat menyelamatkannya malah kini ia terancam bahaya.
Andien mencoba berontak, meronta-ronta sekuat tenaganya untuk melepaskan diri. Namun, tenaga orang yang memeganginya begitu kuat.
Plaaakkk…!!
Sebuah tamparan menerpa pipinya membuat Andien hanya bisa menangis menyesali kebodohannya sendiri.
Andien lantas dibawa mereka ke dalam ruangan itu dengan ditarik paksa. Begitu sampai di sana, Andien terperanjat kaget melihat Sari di ruangan itu baik-baik saja. Bahkan ia mengeluarkan uang 100.000-an segepok di atas meja lalu berkata. “Ini bayaran buat kalian berempat. Dan buat bonusnya, silahkan perkosa dia sepuas-puasnya. Saya pergi dulu. Hahaha…”
“Sari… Sar… Jangan pergi Sar…!” teriak Andien saat Sari mulai menjauhi tempat itu.
Empat orang itu segera melucuti pakaian mereka masing-masing hingga keempat orang itu telah bugil.
Andien yang menyaksikan itu sedikit melengos dan berusaha lari, kabur dari sana. Namun sayang tiba-tiba seseorang menarik rambutnya dengan kasar hingga tubuhnya ke tarik ke belakang terhuyung-huyung.
“Awwww….Sakit…!!” erang Andien kesakitan saat dengan kasar lelaki bercodet itu menarik rambutnya dengan kasar.
Roni mendekat dan memeluk tubuh Andien dengan sangat erat. Hingga untuk bergerak pun sangat susah. Dia hanya berdoa supaya ia selamat dari orang-orang yang akan memperkosanya.
Breettt…!!
Tarikan yang kasar dari Dewo membuat pakaian Andien robek memanjang. Memperlihatkan BHnya yang berwarna putih.
“Jangan, Om… Jangan perkosa saya!” Andien memelas sambil air matanya sudah meluber membasahi pipinya.
“Hahaha…” tawa Baron membahana di ruangan itu. “Sebelum kami bisa menikmati tubuhmu kamu tidak akan kami lepaskan.”
Andien hanya bisa pasrah saat semua tangan lelaki itu melucuti pakaiannya. Menangis dan menangis itu yang bisa ia lakukan berharap ada belas kasihan dari mereka.
“Luar biasa cantik dan mulus tubuh kamu.” ujar Baron berdecak kagum melihat kemolekan tubuh perawan Andien.
Bruuuggghhh…
Tubuh Andien dengan kerasnya menghantam dinding kamar saat Dewo dengan kasar mendorong tubuhnya, membuatnya mengaduh kesakitan. “Aduuuhhh…”
Baron dan ketiga komplotannya segera mendekati Andien yang telah bugil sambil memegangi tubuhnya yang kesakitan.
“Ctas… Ctas…” Suara pecutan ikat pinggang dari Roni mengenai kulit mulus Andien.
“Ampun, Om. SAKIT…!!!!” Andien kesakitan akibat pecutan ikat pinggang yang dilakukan oleh Roni yang ternyata penyuka seks menyiksa lawan mainnya. Bekas pecutan ikat pinggang meninggalkan bekas memerah.
“Kalo kamu tidak mau disakiti turuti saja keinginan kami.” ujar Baron lalu ia mencium bibir Andien dengan rakusnya.
Andien berusaha menolak dengan menutup bibirnya rapat-rapat, melihat hal itu membuat Baron kesal dan marah. Ia lalu mencekik leher Andien dengan sangat kuat hingga membuat Andien terpaksa membuka bibirnya lebar-lebar. Bibirnya terpaksa melayani ciuman ganas Baron.
“Uhuukkk… Uhuukkk…” Andien terbatuk-batuk setelah bibir Baron lepas dari bibirnya begitu juga cekikan di lehernya.
Sementara itu buah dada Andien dijilati dan diremas-remas Dewo. Putingnya yang berwarna pink dan terlihat masih kuncup membuat Baron semakin bernafsu. Toketnya yang kecil tapi kenyal diremas-remas tangan lelaki itu. Pakaiannya yang sobek beserta pakaian dalamnya, berserakan di lantai.
“Ini rapet banget, Bos!” seru Ali senang sambil mengobel vagina Andien.
Andien menggelinjang kegelian, ia tidak dapat menahan geli, apalagi titik sensitifnya telah disentuh dengan kasar oleh Ali.
“Jembutnya tipis, Bos.” seru Ali lelaki tinggi berbadan ceking memperhatikan.
“Sudah kalian berdua minggir dulu. Pegangin tangannya. Biar gua giliran pertama. Gua yang ambil perawan perek ini. Hahaha…” tawa Baron meledak membahana di ruangan itu.
Andien melihat penis besar Baron yang sudah ngaceng tegak mencuat. Kepala penisnya yang berdiameter 7 cm mengkilap bagai topi baja tentara. Batang hitam berurat sepanjang 18cm itu diarahkannya di antara bibir vagina Rina.
“Jangan-jangan.” Andien berusaha menolak.
“Diam kau lonte…! Plaakkk…” bentak Baron lalu menampar keras pipi Andien.
“Plaaakkk… Plaaakkk…” Dua tamparan lagi menerpa pipi kiri dan kanannya Andien.
“Ampun… Ampun.” Andien mengaduh kesakitan.
Baron menghentikan tamparannya. Ia kembali menekan penisnya, menyelipkan di antara bibir vagina Andien yang masih perawan. Ia menekan kepala penis besarnya. Sempit dan agak sulit masuknya.
“Awww… SAKIT OM. Ampun…!!” Andien berteriak menangis ketika rasa sakit terasa di vaginanya, terus mencoba menghujamkan penis kerasnya itu, merobek selaput dara Andien, dan menekan terus menelusuri vagina sempit yang belum pernah dimasuki oleh kelamin laki-laki. Andien meringis, air matanya bercucuran setiap inci-demi inci penis Baron memasuki liang senggamanya. Darah perawan Andien menempel di batang penis Baron yang keluar masuk dengan kasar.
“Perawan, nih. Enak banget, legit.” Baron tertawa. “Eh, jangan keluarin di badannya dulu sebelum aku keluar!” Baron membentak Roni di sebelah kiri yang hendak mengeluarkan mani di mulut Andien. Roni mengurungkan niat dan terpaksa mengeluarkan spermanya di lantai.
“Kalo mau tuh ada satu lagi lubang boolnya. Wo kamu mau lubang bool!” Baron memberitahu anak buahnya.
“Jangan… Jangan, Om…” Andien mencoba berontak saat tubuhnya ditunggingin.
“Bos gue minta disepongin mulutnya aja kalo gitu.” ujar Ali langsung memaksa Andien membuka mulutnya lebar-lebar.
Namun Andien menolak membuka mulutnya lebar-lebar.
“Ctas… Ctas…!!” Pecutan ikat pinggang itu sekali lagi menerpa tubuh Andien hingga ia meringis kesakitan.
“Aduhhh… SAKIT…!!!” erang Andien kesakitan. Ia hanya bisa pasrah kehormatannya telah hilang harga dirinya terkoyak-koyak.
Penis Baron mulai masuk kembali ke vaginanya yang kini telah tidak perawan lagi.
Sementara Dewo mulai mencoba memasukkan penisnya ke dalam bool Andien yang belum sama kali dimasukin benda apapun. Dengan tetap memegang penisnya, Dewo memaksakan penisnya masuk ke dalam lubang pantat Andien.
“Aduh SAKIT….! Ampun…. Aaarrrgghhh..!!!” Andien mengerang kesakitan saat penis Dewo menghujam lubang pantatnya dengan paksaan.
Rasa sakit yang teramat sangat membuat kesadaran Andien hilang. Ia pingsan.
Namun ketiga komplotan preman itu terus saja memperkosa Andien tanpa belas kasihan. Dewo terus mengeluar-masukkan penisnya di lubang pantat Andien. Baron sang pemimpin dengan kasar terus menyodok-nyodok penis besarnya ke vagina Andien.
Terlihat bibir vagina Andie terisi penuh oleh penis Baron yang sudah mentok di dalam dan hanya menyisakan 1 inci penis hitamnya di luar.
Baron segera menggoyang pantatnya, mengocok penisnya di dalam vagina rapet dan legit itu. Dinding vagina Andien terasa bergerinjal-gerinjal seperti ada cincin dan butiran pasir di sekelilingnya. Dan ujung vaginanya terasa membetot kepala penis Baron. Bibir vagina Andien ikut keluar masuk setiap Baron mengeluar masukkan benda kebesarannya itu.
Ketiga preman itu leluasa mengeksplore seluruh lubang yang dipunyai Andien. Ia sudah tidak bisa meronta-ronta karena kesadarannya sudah hilang, penis besar milik Baron terus saja merojok-rojok vagina Andien. Hingga membuat vagina itu melebar dan mengangga.
“Aaakkhhhh… Sempit banget memek perawan ini aku sudah nggak tahan lagi…!”
“Croottt… Croottt… Croottt…”
Bergantian Ali yang mengerang di mulut Andien setelah penis itu terus ia sodok-sodokkan ke mulut Andien dengan kuat dan kasar.
“Croottt… Croottt… Croottt…”
“Mantap nih bibir… Gua bisa muncrat juga oleh sepongannya.”
Dewo yang terus memompa lubang pantat Andien merasakan akan ejakulasi sambil mengerang ia pun menembakkan spermanya dalam bool Andien.
“Croottt… Croottt… Crooottt…”
Roni yang tadi belum merasakan vagina Andien segera menggantikan posisi Baron. Ia langsung memasukkan penisnya yang besar dan panjangnya menyamai ukuran penis Baron.
“Uhhh… Enak banget memek gadis ini.” erangnya saat memompa penis itu dengan kasar dan cepat.
Roni terus saja menyodok-nyodok penisnya itu ke vagina Andien yang masih tergolek pingsan.
“Ctass… Ctass..” dua pecutan ikat pinggang menerpa kulit Andien yang kini membuat kulit punggung Andien berdarah karena begitu kerasnya ia memecutnya.
“Gila… Ini memek terenak yang pernah gua ewek. Wo, tolong kamu ambilin besi itu gua nggak bisa bakalan ngencrot kalo belum lihat darah.” ucap Roni sambil terus memompa penisnya di vagina Andien.
Dewo mengambil besi di sudut ruangan. Lalu ia melemparnya ke arah Roni. “Praaanggg… Klontang…” bunyi besi yang dilempar oleh Dewo.
Roni segera mengambil besi itu yang panjangnya 20 cm dengan diameternya 2 cm itu sudah berada di tangannya.
“Rasain ini perek, gua bikin lo mati keenakan.” Roni memasukkan besi itu ke dalam lubang pantatnya Andien.
Roni semakin bernafsu setelah melihat wanita yang digaulinya merasakan kesakitan. Semakin kuat ia mendorong besi itu semakin bersemangat ia memompa penisnya hingga beberapa detik kemudian tubuhnya bergetar hebat, dan kejang-kejang saat ia menyambut orgasmenya.
“Croottt…. Croottt… Crooottt…”
Pejuh Roni menyembur deras di dalam rahim Andien sangat banyak dan menetes keluar saat ia menarik paksa penisnya dari vagina Andien.
Namun saat ia melihat ke arah lubang pantat Andien. Darah segar Andien keluar dari lubang duburnya yang melebar akibat benda tajam berbentuk besi. Besi yang ukurannnya 20 cm itu hanya menyisakan beberapa cm saja.
“Gila… Parah nih si Roni.” seru Ali melihat kesadisannya dalam menggauli Andien. Lihat tuh boolnya sampe berdarah gitu! Bisa modar tuh cewek.”
“Ah, rese lo. Jangan bikin gua takut nih.” sahut Roni was-was. Wajahnya pucat pasi, ada perasaan bersalah kini menghantuinya.
“Wo, kamu periksa dia. Pastikan kalo dia nggak kenapa-kenapa?” Perintah Baron pasa Dewo untuk memastikan keadaan Andien masih hidup.
Dewo segera mengecek urat nadi di leher Andien.
Tiba-tiba…
Dewo terperanjat kaget setelah memegang urat nadi di leher Andien sudah tidak berdenyut lagi.
“Bos… Dia udah mati, Bos.” seru Dewo.
Namaku Andien Larasati. Aku meninggal di usia 24 tahun. Aku pernah menjalani hidup sebagai manusia, hingga tiba saatnya aku meninggalkan dunia.
Keberadaan kita disini bukan untuk menakuti kalian. Kita masing-masing punya cerita dan itulah cerita saya.
Hari ini adalah 40 hari setelah kematianku. Hari terakhir aku bisa melihat orang-orang yang kukasihi.