FAAAAAKKK!
Apa sih yang sebenarnya terjadi? Oh iya, tadi malam kami minum soju. Aku ingat sekali saat aku nangis trus curhat ke mama. Trus kakak yang usianya lebih tua dariku tiga tahun ikut nimbrung menghiburku. Adikku juga ngasih aku semangat. Ini semua karena mama yang entah darimana buka kardus yang isinya soju. Katanya itu hadiah dari Om Herman.
Memang keluarga kami sudah akrab yang namanya minuman keras, itu semua karena memang kami bebas sih minum minuman keras asalkan minumnya di rumah. Itu aturan dari papa dan mama. Yang ditakutkan adalah kalau minum-minum di luar rumah akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sebentar, sebentar! kembali ke persoalan utama. Bagaimana awalnya mereka semua telanjang dan kami berada di dalam satu selimut. Dan eh, bau apa ini? FAAAAAKKK!! Bau sperma!! Aku yang sudah di usia 22 tahun, barusan diselingkuhi pacarku dan memang sih pengen banget ngentot, tapi ya nggak sama keluarga sendiri kan? Tapi ini beneran terjadi. Sialnya adalah aku tidak ingat apa-apa, berapa botol soju yang aku minum tadi malam?
Mataku mellirik ke lantai. Terlihat di sana berbotol-botol soju kosong tergeletak. Ah, satu kardus soju kosong tergeletak di sana. Berarti semuanya ada 20 botol kami habiskan. Yang pertama, jelas adikku gampang mabuk. Lalu mama, lalu kakakku. Yang sebenarnya aku juga nggak begitu tahan sih, 3 botol aja aku pasti udah nggak ingat apa-apa lagi.
Sial. Bencana ini. Nanti kalau papa tahu gimana? Mana ini di kamar mama pula. Ntar kalau papa tanya kok ada bau sperma aku harus bilang apa? Anjinglah.
Perlahan-lahan aku membuka selimut, menatap tubuh mereka bertiga. Mamaku punya kulit kuning langsat, masih kencang, payudaranya montok dan tubuhnya benar-benar seksi, walaupu sedikit chuby. Tubuh kakakku nggak kalah. Sebagai wanita karier, dia benar-benar memiliki tubuh yang sintal dan seksi. Buah dadanya juga bagus dengan puting berwarna pink kecoklatan. Apalagi adikku, walaupun baru semester pertama kuliah, tubuhnya terlihat lebih bongsor dari perempuan sebayanya. Sudah sejak SMA dia dikenal memiliki payudara lebih besar daripada teman-temannya. Entah berapa banyak lelaki yang mencoba mendekatinya. Dan kebanyakan para lelaki itu takut kalau sudah berhadapan ama aku dan papa.
Oke, cukup memperhatikan tubuh ketiga keluargaku. Ajaibnya aku ngaceng, Cuk! Kenapa aku bisa ngaceng ama tubuh mereka? Wahai otak warasku kembalilah.
“Ehmm…ayang….,” gumam kakakku. Oh iya, nama kakakku Vivian, nama adikku Keisha, dan mamaku Lulu. Aku hendak beranjak, tetapi tangan kakakku malah menggenggam si Joni.
Sialan, aku tertahan sekarang. Mana kakakku mengurut itu konti beberapa kali lalu berhenti. Dia mengigau. Mengigau sedang ngentot ama pacarnya kali. Perlahan-lahan aku singkirkan tangan kakakku. Berhasil, sekarang aku harus mengambil pakaianku yang berserakan di lantai.
Perlahan-lahan aku turun dari ranjang, berusaha agar springbed tidak goyang. Sayangnya di saat kakiku sudah menyentuh lantai, tiba-tiba Keisha mengerang. Dia meregangkan otot, lalu bangun. Matanya setengah melek.
“Oh, kakak. Sudah bangun? Hoaaahmm….” ucapnya sambil menguap.
Keisha memnundukkan kepalanya. Dia melihat sesuatu di sprei. Bercak darah. Shit! Keisha masih perawan??? Jangan bilang kalau tadi malam aku memerawaninya. Oh tidak.
“Eh?? Kok aku nggak pake baju?” tanyanya, “ini… darah apa? Aduh, memekku nyeri anjir. Lho, kakak nggak pake baju???”
“Eh,…eerrr… kakak juga nggak ingat apa yang sedang terjadi,” ucapku.
“Mama! Kak Vivian!! Banguuun!!” teriak Keisha.
Mama dan Vivian menggeliat. Mereka pun ikutan bangun sambil mengucek-ucek mata. Terlihat mereka masih hangover.
“Lho, kok nggak pake baju?” tanya Mama.
“Eh, sebentar….,” Vivian mencoba untuk mengumpulkan kesadarannya, “tadi malam…..”
Kami berempat saling pandang dengan keadaan masing-masing. Hingga akhirnya kami pun berteriak.
Mati aku.
Cuk, J****cuk! Pagi itu semuanya kacau. Aku langsung diusir keluar dari kamar mama. Adikku menangis, dan Kakakku menamparku. Itu bukan salahku, lagipula aku sudah jelaskan kalau aku tidak ingat apa-apa karena mabuk berat.
Aku pun minum jus anti pengar untuk meredakan mabukku dan menormalkan asam lambung. Mana pagi ini ada kuliah pula. Aku pun mandi dan cepat-cepat berangkat sebelum kena omel lagi. Pagi ini semuanya berwajah dingin dan tidak banyak suara. Aku berkali-kali jelaskan ke mereka “Aku tidak ingat”. Tapi Kak Vivian membentakku dan bilang “tidak usah dibahas!”
Bodo ah. Aku ada kuliah dan harus berangkat pagi.
Selama kuliah, tentu saja aku tak bisa konsentrasi. Mana si Joni ngaceng pula tiap bayangin tubuh ketiga anggota keluargaku. Alhasil hari itu dengan gobloknya aku skip satu mata kuliah dan menghabiskan waktu ngerokok di kantin bersama teman-temanku. Mereka juga lagi males kuliah, makanya aku ajak sekalian nongkrong sambil ngopi dan ngerokok.
“Kau kenapa?” tanya Yuda sambil menunjukku dengan dagunya.
“Enggak kok. Lagi lesu aja,” jawabku.
“Ngomong-ngomong, ntar malem kita main bilyard, yuk?!” ajak Joko.
“Boleh,” jawab Yuda.
“Aku lagi males,” kataku.
“Kita tahu permasalahanmu ama Cecilia, nggak usah diambil hati. Masih banyak cewek di luar sana,” hibur Yuda.
“Iya, Vale. Tenang aja. Kalau kamu minta kami carikan, kami bantu deh, lagian di kampus ini masih banyak cewek-cewek cakepnya. Ada Lili, Susi, Nancy,…siapa itu anak Fakultas Eknomi?” sambung Joko.
“Tina?” tanya Yuda.
“Iya, si Tina. Bodynya kan seksi itu,” ucap Joko.
“Anjir, iya banyak yang cakep dan seksi. Problemnya adalah bukan tipeku. Kalian juga tahu aku pemilih. Cecilia itu tipe aku banget, Cuk,” kataku.
“Ah iya, kenapa kamu nggak coba pacarin dosen baru aja,” celetuk Yuda dengan ide gila.
“Hah? Dosen baru?”
“Iya, katanya ada dosen baru di Fakultas Multimedia. Siapa tahu aja cocok ama kamu. Kamu kan makhluk setengah Wibu,” ujar Joko.
“Njir, setengah wibu.”
“Iyalah, kalau wibu sepenuhnya, kami udah jauh dari kamu karena bau bawang,” gelak Yuda.
“Brengsek.”
Dari kejauhan aku melihat seorang perempuan memakai rok panjang, kemeja lengan panjang berwarna krem dan berkacamata. Rambutnya sebahu diikat. Siapa dia? Dosen? Mungkin.
“Nah, tuh dosen barunya,” celetuk Yuda.
“Pagi Bu Imel,” sapa Joko.
Perempuan itu langsung menoleh ke arah Joko. “Pagi, kalian nggak kuliah kok malah ada di kantin?”
“Dosennya nggak ada, Bu,” jawab Joko berbohong.
“Bu, kata Vale dia ingin belajar animasi sama ibu,” celetuk Yuda.
Aku yang tiba-tiba jadi bahan pembicaraan mengernyitkan dahi. “Eh?” Joko menendang kakiku. Artinya aku harus ikut permainan mereka.
“Yang bener?” tanya Imel.
“Kalau ibu ada waktu sih,” jawabku.
“Besok ibu ada praktikum. Kalau mau ikut kelas silakan aja,” kata Imel, “udah ya, ibu laper mau sarapan dulu.”
“Oh, oke bu. Silakan,” ucap Yuda dan Joko.
Aku langsung memukul bahu Yuda. “Brengsek. Kaget aku, Cuk!”
Yuda dan Joko terkekeh. “Gimana? Cakep kan?”
“Yoi, cakep,” ucapku. Tapi apa aku bisa mengencani dosen itu? Cakep sih…tapi.. ah entahlah. Aku saja masih belum move on dari Cecilia.
“Pernah nggak sih, kalian mabuk trus sampai nggak sadar gitu?” tanyaku.
“Aku enggak sih. Sekalipun aku mabuk, palingan besoknya aku sadar kok,” jawab Joko.
“Mungkin pas mabuk aku nggak ingat apa-apa, tapi besoknya biasanya ingat kekonyolan yang aku lakukan” sambung Yuda.
“Ah, gitu ya,” keluhku.
“Kau barusan ngehamilin anak orang?” tanya Joko sambil merangkulku.
“Brengsek, enggak. Aku bukan orang seperti itu, Cuk!” ujarku sambil mendorongnya jauh.
“Trus?”
“Yah, lain kali aku cerita. Yang jelas sih aku nggak ingat apa yang aku lakukan pas mabuk, trus terjadi sesuatu.”
Joko dan Yuda masih menatapku. Mereka seperti dua detektif yang siap menginterogasiku kapan saja. Aku tidak suka tatapan mereka. Alhasil aku pun mengambil ranselku lalu beranjak dari kantin. Tak lupa kumatikan rokokku di asbak.
“Udah ah, mau pulang dulu,” kataku.
“Eh, sob. Kapan kau kenalin aku ke Keisha?” tanya Yuda.
“Mimpi aja sana,” ucapku sambil ngacungin jari tengah ke Yuda. Yuda dan Joko pun terkekeh.
Hari itu aku bingung mau pulang atau main. Akhirnya pulang juga ke rumah. Setiap aku keluar aku selalu membawa mobil. Sebenarnya ini mobil papaku yang nganggur di garasi. Kami punya tiga mobil. Satu mobil yang selalu dipakai papaku kalau kerja, mobil kedua MPV untuk jalan bareng keluarga, terakhir mobil yang aku pakai sekarang. Sedan kecil, mobil pertama papaku.
Karena tak punya tujuan luntang-luntung, akhirnya aku pun pulang ke rumah. Aku cukup bersyukur keadaan rumah sepi. Dan yang ada di rumah adalah kakakku, Vivian. Tahilah.
Saat masuk ke ruang keluarga aku lihat dia sedang sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di meja. Dia sepertinya sedang mengerjakan tugas. Matanya sekilas melirik aku. Aku salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata di antara kita.
“Tumben udah pulang,” sapanya.
“Nggak ada dosen,” aku berbohong.
“Yang lain kemana?” tanyaku.
“Mama ada arisan, seperti biasa. Keisha sekolah. Ini lho jam berapa? Masih siang juga, makanya tumben. Biasanya kamu jalan ama temen-temenmu,” kata Vivian.
Bener sih. Tumben aja aku di rumah. Tak mempedulikannya, aku pun masuk ke dalam kamar. Ganti pakaian dengan baju rumahan biasa. Kaos oblong lengan panjang dan celana kasual. Aku langsung ke dapur cari minum lalu duduk bengong sambil mengamati Kak Vivian.
Kakakku yang satu ini cantik. Mungkin jadi primadona di kampusnya. Sekarang dia sedang menempuh kuliah S2. Heran juga aku kenapa dia masih ingin menempuh pendidikan yang sebenarnya biayanya tidaklah murah. Padahal, kalau mau dia bekerja di kantoran pun akan keterima. Terlebih dia cerdas, juga mudah bergaul dengan siapa saja.
Hari ini agaknya dia sedikit berbeda. Dia memakai tanktop warna abu-abu, sehingga menampakkan belahan dadanya, jelas sekali dia tak pakai bra. Juga dia kenakan celana pendek jeans kesukaannya dia pakai kalau di rumah. Entah kenapa hari ini apa karena AC yang tidak terlalu sejuk, atau cuaca yang terlalu panas sehingga aku bisa melihat kakakku sedikit berbeda hari ini, padahal ya biasanya nggak seperti itu.
Hari ini dia terlihat seksi di mataku. Apa ini gara-gara aku melihatnya telanjang kemarin? Mungkikah? Tapi aku sama sekali tidak ingat.
Tiba-tiba di dalam benakku mulai bermunculan satu per satu hal yang sepertinya aku telah melakukannya. Aku seperti teringat dengan tiga orang mengerubutiku. Mama, Kak Vivian dan Keisha. Sebentar….. ingatanku kembali. Oh shit!!
Samar-samar aku bisa mengingat kejadian tadi malam. Kak Vivian aku sodok dari belakang. Pantatnya seksi, dia mengerang setiap aku menyodoknya. Sayup-sayup aku mendengarnya bersuara, “Aku suka kontolmu, dek.”
Tiba-tiba kepalaku ditimpuk oleh buntelan kertas. Lamunanku pun buyar. Ternyata bola kertas itu dilempar oleh Kak Vivian.
“Eh, ngapain ngelamun? Pasti lagi mikirin hal ngeres. Mentang-mentang udah lihat aku nggak pake busana. Awas ya!” ucap Kak Vivian.
“Yee…. Aku bukan orang seperti itu, Kak. Lagian aku nggak ingat lho Beneran. Emang apa yang terjadi tadi malam?” tanyaku.
“Bohong,” ucapnya sambil mencibir.
“Beneran. Aku nggak ingat. Mungkin karena tadi malam aku terlalu mabuk,” ujarku.
Kak Vivian pun beranjak dari tempat duduknya. Aku kaget. Tubuhku seperti bersiaga hendak diserang. Masih teringat di benakku bagaimana dia memarahiku tadi pagi. Namun, kali ini lain. Gadis itu mendekatiku sambil wajahnya condong ke arahku. Aku bersiaga.
“Yakin? Masa’ nggak ingat sama sekali?” tanya Vivian.
“Serius. Makanya aku juga heran kenapa kemarin kita sampai telanjang.”
Vivian, tiba-tiba duduk di pangkuanku. Benar, benar duduk di pangkuanku sambil merangkul leherku. Dadanya menekan tubuhku. Shit! Dadanya empuk. Seumur-umur aku tidak pernah sedekat ini dengan Kak Vivian. Wajahnya cantik, bau parfumnya menggoda dan bibirnya sangat seksi.
“Kak, ngapain?” tanyaku.
Matanya menatap mataku dalam-dalam. Dia mengusap-usap rambutku sambil tersenyum.
“Kau yakin mau tahu apa yang terjadi tadi malam?” tanya Vivian.
Aku menelan ludah. Sudah deh, siapapun dalam kondisi seperti ini juga nggak bakal tahan. Terlebih lagi batangku mulai mengeras karena perlakuannya ini.
“Tadi malam, kita berada di posisi seperti ini, tetapi tanpa busana,” ucap Vivian. Satu tangannya diturunkan, lalu meremas batangku. FAAKK!!
“Kak, oughh!” pekikku.
Vivian meremas, sambil mengelus, mengocok burungku. Oh tidak, jangan dipancing seperti ini. Oke deh, aku akui Kak Vivian itu seksi, menarik, payudaranya besar, cantik, kulitnya juga mulus dengan bulu-bulu halus terlihat di lengannya. Siapa yang tidak tertarik secara seksual. Aku yang jadi adiknya aja benar-benar ngaceng sekarang, cuk!
Wajah kami makin mendekat dan kedua bibir kami bersentuhan. Aku yang mengecupnya terlebih dulu, menghisap salivanya. Ini memang bukan ciuman pertamaku, tapi ini adalah ciuman pertamaku dengan kakakku sendiri. Kami tak perlu diajari untuk saling berciuman. Insting kami sudah berbicara. Lidah kami sudah bersalaman, saling menghisap, saling penasaran dengan isi rongga mulut kami. Untungnya tadi aku makan permen dulu sehingga bau rokokku nggak tercium.
“Dek, tahu nggak? Kalau benda ini bikin kakak kepikiran terus dari tadi?” tanya Vivian sambil masih mengocoknya.
Napasku sudah tak teratur. Kemudian kedua tanganku berinisiatif sendiri menggapai kedua buah dadanya. Meremasnya dan menyapa putingnya yang nyeplak dari tank top. Vivian terkejut saat kedua jemariku bertemu dengan putingnya yang mengeras.
“Kak, apa yang terjadi tadi malem?” tanyaku.
“Awalnya sih, kamu cium leher kakak,” jawabnya. Ini semacam dia menuntunku gitu?
Aku ikut aja. Aku cium lehernya.
“Trus kamu hisap dan jilati,” ucapnya.
“Gila? Benerankah?” tanyaku. Aku melihat lehernya. Memang ada bekas merah di sana. Anjir, aku nyupangi kakakku sendiri.
“Tuh, lihat kan? Itu cupanganmu,” ucapnya.
“Kak, kakak nggak keberatan kita ngentot?” tanyaku.
“Keberatanlah!” jawabnya ketus, “keberatan kalau kita nggak ngulangi lagi.”
Aku pun menciumi lehernya dan menjilatinya. Menghisapnya pelan. Tidak perlu aku berikan cupangan lagi. Hanya sedikit menggodanya dengan embusan napasku. Kak Vivian merintih.
“Setelah ini apa kak?” tanyaku.
“Menyusu,” jawabnya sambil mendesah.
Dengan cepat aku berusaha membuka tanktop kakakku. Dia membantuku untuk melepaskannya, demikian juga kaosku, sehingga tubuh bagian atas kami sudah tanpa busana. Buah dadanya yang menggoda itu aku remas, aku hisap, aku beri kecupan-kecupan di sekitar putingnya. Vivian menggelinjang hebat dan makin kerat memeluk leherku.
“Deeekk….oohhhh…..hhmmmmhhh,” rintihnya.
Aku pernah ngentot dengan pacarku dulu, bukan pacar yang kemarin ninggalin aku sih. Lebih tepatnya dua pacarku sebelumnya. Jadi soal bercinta aku sudah tidak perlu lagi belajar. Dari dulu sebenarnya aku penasaran dengan buah dada Kak Vivian. Kini buah dada itu beneran aku pegang. Empuk, kulitnya halus dan harum. Bahkan, aku bisa melihat urat-uratnya saking mulusnya kulit Vivian. Entah ini rejeki nomplok apa emang akunya aja yang lagi sange.
Tibalah aku menyusup kepadanya. Vivian merintih-rintih lagi seperti kepedesan. Segitukah enak rasanya? Puting Vivian berwarna coklat cerah. Iya, puting payudara seperti apa sih? Ya gitu-gitu aja, nggak ada rasanya, tetapi hal itu merupakan candu bagi kaum lelaki. Terlebih mempermainkan puting tersebut dengan lidahku membuat Vivian makin tersiksa. Dia pasti kegelian, bahkan aku yakin dia sangat terangsang. Terbukti dari jemari tangannya yang meremas-remas kepalaku.
“Deek…. Amppuuun…. Oohhh… pentil kakak kamu apain itu?” tanyanya.
Aku tak menjawab dan sibuk mengenyot dan menggelitik pentilnya. Kiri, lalu kanan, kiri lagi, lalu kanan. Selakangan Vivian kini menggesek-gesek batangku. Pasti sudah gatel rasanya disiksa seperti ini.
“Tubuh Kakak bagus,” pujiku.
“Iyakah?” tanyanya.
Aku mengangguk. Dan tanpa aba-aba aku menciumi area payudara dekat ketiak. Vivian menjerit. Terlebih sekarang lidahku menjilati area itu.
“Deekk,… geli dek…. Aaahh… jangan di situ…!!!” ujarnya. Dia merapatkan ketiaknya, tetapi aku terus menyerangnya, kuangkat sedikit lengannya hingga tampaklah ketiak mulus, putih tanpa bulu dan lebih cerah daripada masa depan kalian.
Aku tempelkan hidung dan mulutku di sana. Menyedotnya. Bau deodorannya wangi, membuatku terbius dan terlena.
“Deek, ahh…. Jangan ketek. Geli dek!” ujarnya. Tapi dia sama sekali tak mencegahku, malah membuka keteknya dengan mengangkat tangan kanannya. Ya otomatis aku makin menjadi. Kujilati ketiaknya, kuciumi dan kugigit-gigit kecil lipatan kulitnya, sedangkan tangan kananku masih memelintir pentilnya.
“Deek, cukup deh…. Jangan gitu, amppuuun…. Deekk… kakak nggak tahan,” ujarnya.
Aku segera menyudahi aksiku dan melihat tatapan matanya yang sayu. Kami berciuman lagi. Kedua tanganku kutempatkan di kedua bongkah pantatnya, kemudian mengangkat tubuhnya. Kami masih berciuman, ia makin erat memelukku. Kubawa Kak Vivian ke kamarku. Dia turun dari gendonganku, lalu berusaha melepaskan celanaku. Aku bantu dia. Tak butuh waktu lama untuk dia segera mengetahui apa isi celanaku.
Sepasang matanya mengamati batang kejantananku yang menunjuk ke wajahnya. Dia menatap mataku, lalu ke penisku bergantian. Setelah itu dia menggunakan tangannya untuk mengocok batang yang sudah keras itu.
“Tadi malem mama ama aku rebutan ini,” ucapnya, “enggak sih, lebih tepatnya kami bertiga rebutan batang ini.”
“Serius?” tanyaku.
“Iya, posisinya. Kakak ada di depan, Keisha di samping kiri kanan ama Mama,” jawabnya, “dan aku nggak suka ama satu hal.”
“Apa?”
“Kenapa kamu merawanin Keisha? Ini benda ini lho, kok nggak tahu diri?” ujarnya sambil meremas batangku.
“Aduh….kaaak…” rintihku.
“Makanya, kok tega-teganya sih kamu?” kata kakakku ketus kepada batangku. Dia seperti berbicara dengan benda tersebut. Dia main-mainkan. Dia kecup seluruh kepalanya, lidahnya ia sapukan ke batang, lubang kencingku, lalu ke telurku juga. Ia sedot-sedot. Ahh….. ini cewek belajar ngentot dari mana?
Aku hanya bisa menikmati perlakuannya. Vivian menservis batangku hingga benar-benar keras. Kadang dia sedot, hisap, lalu dia tampar-tampar. Nggak sakit, justru aku keenakan dengan perlakuannya itu. Tanganku nggak nganggur, aku usap-usap rambutnya saat ia memblowjobku, tanganku yang satunya kugunakan untuk meremas-remas payudaranya.
Memang kami melakukannya dengan pelan dan menikmati. Aku jadi bayangin bagaimana jika yang dikatakannya benar. Mama dan keisha juga memblowjobku. Membayangkannya aja bikin aku tambah ngaceng. Tapi apa benar mama juga? Duh, aku jadi anak durhaka. Cuk, ******!
“Setelah itu ngapain kak?” tanyaku.
Dia menghentikan aktivitasnya. Dia melepas batang penisku, setelah itu tubuhnya sedikit diangkat. Vivian menempatkan penisku di sela-sela buah dadanya. Tits job?
“Gini, kamu yang minta kontol ini dijepit susu,” ucapnya.
Samar-samar di dalam pikiranku memori mulai terbentuk. Iya, aku ingat ketika rasa nikmat yang menjalar di penisku tersentuh oleh kulit payudaranya. Aku ingat bagaimana aku menjambak rambut Kak Vivian lalu aku tusuk-tusuk mulutnya dengan penisku, setelah itu dilanjut dengan jepit susu.
“Aaahhh….” Lenguhku saat Vivian mengocok penisku dengan buah dadanya. Udah deh, nikmatnya nggak bisa dilukiskan. Enak meen.
Enggak, aku nggak mau crot duluan. Aku mendorong tubuh Vivian dengan lembut, lalu membaringkannya di atas spring bed. Kedua matanya mengamati apa yang ingin aku lakukan, tentu saja hidangan utama. Kulepaskan celananya hingga kami sama-sama bugil.
Wajah kakakku sangat cantik. Matanya sayu menatapku, penasaran dengan apa yang akan aku lakukan. Jangan ditanya lagi. Dalam keadaan seperti ini tidak mungkin kami akan melakukan hal lain selain ngentot. Aku mendekatinya, kulihat memek Vivian. Garis lurus itu terlihat jelas, bibir memek itu merah merekah dengan ujung klitorisnya terlihat. Seperti bibir vagina yang belum terjamah oleh apapun, tapi dia kan sudah tidak perawan. Aku cukup takjub melihatnya.
“Tadi malam aku jilatin memek kakak tidak?” tanyaku.
Dia menggeleng. “Kamu langsung tusuk. Tidak sampai meng….aahhhhhh…..dekkkk…..oooohhhh!!!” aku tak memberi kesempatan dia bicara. Lidahku sudah menari-nari menggelitik bibir memeknya. Vivian pun pasrah, terlentang dan berusaha menggapai kepalaku. Hidungku tepat menyentuh klitorisnya. Kusundul-sundul benda itu hingga membuat kedua pahanya mengapit kepalaku. Lidahku kusapu dari bawah hingga ke atas. Hal itu makin membuat Vivian menjerit.
“Deek… udah de… jangan gituin! Nanti kakak keluar,” ucapnya. Seolah-olah membiarkanku melakukannya, akhirnya aku mengulanginya, kali ini aku sedot klitorisnya.
“Ampppuuuunn…. Deeeekk…… ngentoooottt …. Anjiing…. CUUUUKKKK ENAAAAKKKK!!! AKU KELUAARR!!!!” ujarnya. Kakakku squirt. Dia menyemprot-nyemprot. Aku mundur sejenak hingga muncratan itu mengenai dada dan wajahku.
Pantat Vivian bergetar hebat. Aku yakin sentuhan apapun yang aku lakukan kepadanya akan membuat dia mendapatkan gelombang orgasme berikutnya. Aku tak mau menyia-nyiakan ini. Memeknya sudah basah, aku langsung menggarapnya.
Kutempatkan kepala kontolku tepat di lubang peranakannya. Vivian yang masih menikmati orgasmenya, terkejut saat benda tumpul itu masuk dengan sangat mudah. Yap, kita sekarang sudah menyatu.
“Deekk….. sebentar….. ngilu…..!” rintihnya.
Aku menggenjotnya pelan sambil aku tindih dan menikmati wajah cantiknya. “Kak, rasanya kalau begini caranya aku ingin ngentotin kakak tiap hari,” kataku.
Kedua tangan kakakku kini meraba pinggangku. Dia tersenyum, “kakak juga. Kontolmu bener-bener penuh.”
“Aku kepengen ngentotin Kak Vivian tiap hari,” ucapku.
“Aku kepengen dientot terus ama kamu Val,” katanya.
Kami pun berciuman, lalu tanpa aba-aba lagi pinggulku aku genjot dengan kecepatan tinggi. Suara benturan kulit dan kecipak cairan lendir menjadi alunan merdu siang itu. Kamarku jadi saksi bisu bagaimana kami terus saling memberikan rangsangan. Tubuh Vivian benar-benar jadi candu buatku. Selain gaya misionari, aku suka ketika kutidurkan Vivian miring, lalu aku sodok dari belakang. Hubungan ini terasa lebih intim, karena aku bisa meremas kedua toketnya, sambil menciumi punggungnya. Dan kak Vivian suka diperlakukan seperti itu.
Entah sudah berapa kali Kak Vivian orgasme. Kami tak bisa menghitungnya. Tetapi aku terus menahan diri agar tidak crot, walaupun susah. Gimana tidak? Vivian seksi, pantatnya seksi, toketnya mantab, wajahnya cantik. Aku bolak-balik tubuhnya untuk mencoba berbagai gaya. Hingga akhirnya dalam posisi doggy style rasanya aku ingin keluar. Dia menungging di hadapanku dengan kepalanya di bantal dan kedua tangannya juga memeluk bantal. Gerakan pinggulku makin cepat pertanda aku sudah ingin keluar.
“Kaaakkk aku pejuhin ya?” tanyaku.
“He-eh…. Pejuhin aja. Semprot yang banyak!” pintanya.
“Aku hamilin kamu ya?” tanyaku.
“Terserah,” katanya.
“Niiih…. Terimaaa!” ujarku.
Kusemburkan milyaran sel sperma ke dalam memeknya. Pejuhku sangat banyak. Nggak usah dihitung berapa kali semprotan. Yang kelas aku sepertinya lama sekali membenamkan penisku di dalam rahimnya. Aku saat itu tak peduli dia akan hamil atau tidak, yang penting kami sama-sama nikmat. Aku juga merasakan kedutan di memeknya. Kedutan yang mencengkeram erat penisku sampai aku benar-benar tak mengeluarkan sperma lagi.
Kakaku lemas. Aku juga. Dia tidur menyamping dan aku peluk dia dari belakang. Ternyata, kakakku suka diperlakukan demikian. Dia menarik tanganku untuk memeluknya. Kami pun terlelap.