Part 1 Gedung The East, kawasan Mega Kuningan. Setelah mengurus administrasi tabungan di salah satu bank, aku menyempatkan diri ke stasiun TV di tempat ini. Berbekal informasi dari salah satu kru TV yang kebetulan mengantarku hingga meja informasi. “Permisi, selamat siang.” Aku menyapa. “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Sambut seorang perempuan dibalik meja. “Saya ingin menemui Ibu Zivanna.” “Sudah ada janji, Pak?” “Saya belum membuat janji. Saya disuruh Ibu Asyifa untuk menemuinya. Saya minta tolong karena ini special request, Bu.” “Dengan Bapak Siapa.” “Grha. Pak Grha.” “Mohon tunggu sebentar. Nanti saya beritahu bapak.” “Terima kasih.” Aku duduk di sofa yang tidak jauh dari meja informasi. Cozy place to me. Tidak lama kemudian, diberitahukan kepadaku bahwa Ibu Zivanna nanti akan segera menemuinya. Bila kuingat Syifa, pikiranku selalu tertuju pada tubuhnya. Dasar, otakku harus kujernihkan. Seorang perempuan menghampiriku. Rambutnya pendek menggantung dan memakai seragam kru TV ciri khasnya. Perempuan itu menyambutku dengan saling berjabat tangan. Aku berdiri menyambut tangannya. “Pak Grha? Dari Ibu Asyifa?” “Iya. Saya Grha.” “Silahkan duduk dahulu. Saya Zivanna.” Kami duduk berhadapan. “Begini, saya datang kesini oleh Ibu Asyifa untuk mengantar barang kepada Ibu Zivanna.” “Panggil Zizi aja. Jangan terlalu formal dengan aku.” “Baiklah kalo begitu, Zizi.” Aku menyerahkan sebuah kotak yang terbungkus kertas coklat rapi seukuran buku novel. “Aku rasa kita harus berbicara di luar kantor. Bisakah?” “Tentu saja.” Aku dan Zivanna masuk ke dalam lift dan turun menuju kantin makanan terdekat. Terlebih dahulu, Zivanna menaruh barang titipanku ke meja informasi. “Mau pesan apa?” “Tidak. Terima kasih.” “Aku dengar kamu seseorang yang dapat aku percaya dari Syifa.” “Maksudnya?” “Aku dengar cerita, kamu bantuin Syifa selesein masalahnya.” “Itu masalah kerjaan aja.” “Sebelumnya kerja dimana?” “Di perusahaan Plumbing awalnya. Karena ada suatu hal, saya resign dari perusahaan.” “Maaf, kalo aku kayak wartawan. Tapi, boleh tahu alasannya?” “Aku keluar karena kasihan dengan pegawai yang sebelumnya yang bermasalah dengan restoran milik Syifa. Ia mengambil keuntungan demi membiayai pengobatan anaknya.” “Mengapa dilepaskan begitu aja?” “Semua orang punya harga diri. Meskipun, orang itu pencuri. Ia mencuri hanya karena terdesak anaknya sakit.” “Aku mengajakmu ketemuan di luar karena Syifa telah cerita tentangmu. Ia terus – terusan membicarakan tentangmu. Aku punya sebuah pekerjaan. Walaupun, tidak tetap.” “Pekerjaan? Syifa memintamu memberi pekerjaan kepadaku?” “Kau menolak untuk bekerja di restorannya kan?” “Iya. Aku tidak ingin merepotkan dia karena ulahku sendiri.” “Udah pernah liat program special report di NET?” “Pernah. Sesekali.” “Aku mendapat pekerjaan membuat liputan news in depth. Especially, citizen journalism. Aku berpikir untuk meliput potensi obyek wisata di Gunung Xxxxx. Yang aku dengar dari Syifa, kau sempat kesana. Kebetulan kau pernah ke tempat itu.” “Ya, aku pernah kesana beberapa kali.” “Kau bersedia ikut?” “Boleh saja. Jika kau sudah memintaku seperti itu. Syifa sudah melakukannya untukku.” “Aku akan membayarmu segini. Belum termasuk fee liputan apabila lolos redaksi. Makanan, akomodasi dan uang saku nanti dibicarakan.” Tangannya menunjukkan angka yang cukup besar untukku lewat secarik kertas. “Aku akan membantumu karena kamu teman Syifa.” “Apa kau sedang berpacaran dengan Syifa?” “Ah, tidak. We’re just friend in work.” “Aku bisa membuat namamu terkenal lewat gossip artis.” “Nope. I don’t want to. Jadi, kapan kita berangkat.” “We’re leaving soon. Aku nanti kabarin kamu. Welcome to my work.” Kami berdiri dan saling berjabat tangan. Setelah itu, kami bertukar kontak dan aku pamit kembali ke rumah. Sebelum ke rumah, aku ingin berterima kasih kepada Syifa yang berada di restoran. Aku disambut Yara yang sibuk mengawasi aktivitas restoran. “Hei, Yara. Apa kabar?” “Baik, Kak Grha.” “Kak Syifa dimana?” “Lagi di kantornya.” “Yaudah aku kesana.” Aku masuk ke dalam. Ia antusias menungguiku disana. “Udah ketemu sama Zizi? Terus?” “Ia menawariku pekerjaan sebagai kameramen temporer. Kau menceritakan apa saja?” “Tentang kamu aja. Kecuali hubungan kita.” “Makasih udah ngebantu aku lagi.” “Sama – sama. I’m always yours. Whatever you said to me, I’ll do it.” “Oiya, besok anterin aku ke pemotretan dunk.” “Iya, aku anterin koq.” Ia menggapai tanganku dan menarikku mendekati tubuhnya. Disisi ruangan, ia bersandar di dinding dengan mukaku menyentuhnya. Tangan menyusup celana kerjanya. Aku membelai vaginanya halus dan menusukinya dengan jemariku. “Abis dicukur?” “Biar makin kerasa aja sentuhan kamu.” Ia pun melakukan hal yang sama dengan penisku. Dikocok dan diurutnya pelan merasakan urat yang berdesir disana. “Penis yang selalu bikin aku kangen.” Kulepaskan sebagian kancing pakaiannya. Aku meraba – raba tubuh atasnya. Kubungkam mulutnya dengan ciuman agar tidak berisik. Ritual kebiasaan kami yang tidak terlewat sekalipun di tempat ini. Payudaranya mulus di tanganku. Membuatku semakin bergairah kepada Syifa. “Aaaaaacccccchhhhhh………ssssssssssshhhhhhhh………..oooooooooooocccccchhhhhhh…..” Kocokan semakin gila dan ia mahir menggunakan tangannya. Makin berantakan pikiranku untuk beralih darinya. Ia mengambil gelas sloki di dekatnya. Dikocoknya penisku tidak beraturan mengeluarkan spermaku di gelas itu.
“Aaaaaaahhhhhh……gggaaakkk….kkkuuuaaaattttt……hhhhhhhnnnnnngggggggghhhhhh…..” “Ccccccccrrrrrrrooooottttttt…….cccccccrrrrroooooottttt……..ccccccccrrrrrrooooootttt..” Spermaku memenuhi gelas. Ia terus mengocok hingga penisku lemas. Gelas itu ditaruhnya di meja kerjanya. Ia menelepon Yara membawakan roti. Sekaligus, Jus buah untukku. Jarinya dicelup pada gelas. Kemudian, lidahnya merasakan ujung jari. “Udah lumayan manis. Kamu ikutin saran aku kan?” “Iya. Syifa.” Yara masuk dan membawa roti di piring. Syifa menuangkan spermaku di atas roti. “Itu apa, Kak?” “Obat kecantikan.” “Minta dunk, Kak.” “Gak boleh. Ini buat kakak.” “Kakak pelit sama aku.” “Iya, Iya tapi segini aja ya.” Syifa memotong roti sebagian yang terkena leleran spermaku. Dimakannya roti itu dengan pisau dan garpu. “Kak Grha mau?” “Enggak terima kasih.” Untuk apa aku harus mencicipi spermaku sendiri. Ponselku berdering. “Halo.” “Ini Zizi, Grha.” “Ada apa, Zizi?” Syifa melihatku sebentar kemudian melanjutkan makannya. “Besok sore kita berangkat. Kita kumpul di terminal kampung rambutan. Sekalian, aku ada liputan disana.” “Baiklah. Sampai jumpa besok.” Syifa menyelesaikan makannya. Yara sendiri sudah kabur dari tadi. “Zizi? Ngomong apa?” “Besok aku akan keluar kota untuk beberapa waktu bersamanya.” “Jagain temen aku, Zizi. Awas kalo ada apa – apa.” “Kamu gak cemburu kan?” “Enggak. Nanti malem, main ke rumah aku. Aku harus dipuasin sekali lagi.” Ia keluar dan menuju kamar mandi. Ia kembali dengan wajah lemas. “Grha, aku kena mens tadi. Sebel banget kalo gini.” “Yaudah mau di anal?” “Aku kan udah bilang berkali – kali kalo aku gak mau di anal.” “Yaudah kita mesra – mesraan aja nanti. Gak usah pake acara dimasukkin.” Lucu melihat wajah cantiknya sebal dan mengambek. “Apa liat – liat, aku lagi PMS.” “Baru tadi keluar, udah marah – marah aja.” “Ya maaf. Namanya juga lagi PMS.” Malamnya, di tempat tidurnya, Syifa sibuk mengocoki penisku yang lemas agar menegang lagi. “Syifa, udah 3 kali aku keluar. Masih belum puas?” “Belom. Bawel ah udah enak gini.” Meski tidak setegang sebelumnya, penisku sudah menegang lagi. Aku sekarang melihat Syifa seperti wanita tidak terawat. Rambutnya acak – acakan. Tubuhnya bau keringat dan ia mengocokku penisku seperti orang gila akan sperma. “Buruan ih keluarnya. Lama banget sih.” “Syifa. Udah dunk. Kalo capek istirahat aja. Besok ada pemotretan kan?” “Ih, bawel banget sih. Udah sih buruan aja dikeluarin.” Aku sudah tidak tahan lagi. Aku menampar mukanya hingga jatuh. “Grha??” Wajahnya kutampari dengan penisku. “Dasar wanita. Nih rasain penis aku ngegamparin kamu.” Penisku menampar pipi kiri dan kanannya. Penuh emosi, aku menghujamkan penisku masuk dalam mulutnya. Ia memberontak tidak kuindahkan sama sekali. “Uuuhhhuuukkk….uuuuhhhhuukkk….uuuhhhhuuuukkk….uuuuuuhhhhuuuukk…..gggggggghhhhhhh…..gggggghhhhhhhhh……..ggggggggglllllllpppppp……ggggglllllpppppp……gggggggggggggwwwwwwhhhhhhhh….ggggggggwwwwwwhhhhh…….” “Ccccccccrrrrrrrroooooootttttt……….” Spermaku keluar di mulutnya untuk kesekian kali. Kulepaskan Syifa. Aku beristirahat di samping badannya. Syifa menatap kosong langit – langit. Seakan ia tidak percaya apa yang terjadi tadi. Esoknya aku mengantar dirinya menuju lokasi pemotretan, Syifa terdiam sepanjang perjalanan. “Syifa?” “Ah, iya Grha.” “Koq diem?” “Enggak. Cuma gak percaya aja yang kamu lakuin kemarin.” “Maafin aku kalo aku kasar banget sama kamu.” “Bukan salah kamu. Aku terlalu maksain kamu aja. Aku pengen bikin kamu kenyang nafsunya sama aku.” “Udah kenyang koq. Tenang aja.” “Beneran?” “Iya Syifa.” Aku sudah sampai di lokasinya. “Ini kunci mobil kamu. Aku kesananya naik angkutan umum aja, Syifa.” “Kamu hati – hati yah.” Aku mencium kening, pipi dan bibirnya. Aku berangkat menuju terminal kampung rambutan. Sesampainya, aku mencari Zizi. Tidak aku temukan. Seorang perempuan bertopi dan berkacamata menghampiriku. Mengenakan kaos biru muda menonjolkan dada dan celana jeans yang sesuai. Dibahunya, ia menggendong tas messenger. “Ah. Zizi. Maaf aku telat. Tadi nganter Syifa.” “Iya. Gak apa – apa. Bentar ya ada telepon.” Sementara sibuk dengan teleponnya. Aku menantinya hingga selesai. “Maaf dari pasanganku.” “Oh tidak apa – apa. Mungkin, khawatir aja. Sudah di kabarin kan?” “Sudah koq. Tapi gak ganggu kan?” “Oh. Tidak. That’s your privacy.” Kami naik salah satu bus AKAP yang melayani rute kesana. Semoga, pekerjaanku lancar dan tidak ada masalah. Zizi melihatku keheranan. “Grha, ada masalah? Kau sepertinya tidak nyaman.” “Tidak. Mungkin hanya efek kelelahan saja.” “Beristirahatlah.” “Kau juga beristirahat.” Aku mencoba menenangkan diriku. Zizi tengah sibuk bermain dengan ponselnya. Entah beberapa lama, banyak yang tidak menghubungiku. Sehingga, aku bisa beristirahat tenang. Mataku terpejam beberapa saat. Terbangun untuk melihat perjalanan telah sampai dimana. “Kau masih tersadar rupanya, Zizi.” “Ah. Iya. Aku tidak ingin melewatkan perjalanan ini. Jarang aku naik kendaraan umum.” “Lantas, mengapa naik bus?” “Biar beda aja sensasinya. Bosen kalo terus naik mobil sendiri.” “Sebelumnya, boleh aku bertanya lagi tentang pekerjaanku nanti? Agar lebih jelas.” “Tugasmu adalah membantuku meliput berita. Kita akan ambil peristiwa yang bagus. Kau merekamnya dengan kamera yang aku bawa. Tidak standard kamera untuk siaran. Tapi, cukup untuk ditampilkan di televisi. Mengerti? Karena awalnya, aku ingin melakukan citizen journalism.” “Aku akan berusaha mengambil gambar sebagus mungkin.” “Good. That’s the spirit.” “Oh iya, gimana pasangan kamu? Gak marah kamu perginya sama orang lain?” “Aku udah bilang. Dan, ia sudah ngerti kerjaanku. Dia juga sering begitu kalau ketemu klien.” “Aku takut salah paham saja.” “Wow, kamu sampe begitunya.” Aku hanya tersenyum. Selanjutnya, kami berbicara mengenal diri satu sama lain. Sudah lewat beberapa kota. Bus masih melaju diatas rodanya. Didukung cuaca hujan dan malam yang larut. Para penumpang lainnya mulai beristirahat. Walaupun masih ada yang sibuk sendiri. Zizi menguap di sampingku.
“Kamu ngantuk, Zizi?” “Eh…Iya. Tadi kamu liat aku ya? Maaf gak sopan.” “Kamu istirahat gih.” Ia mengistirahatkan diri menempatkan kepalanya di sisi jendela untuk bersandar. Aku masih sedikit terjaga. Jalanan mulai tidak bersahabat. Bus menghantam lubang yang tidak sedikit. “Uuuugggghhhh……mau istirahat malah sakit kepala kepentok kaca melulu.” “Senderin aja ke badan aku.” “Gak ah. Takut ganggu juga.” “Enggak koq. Daripada keganggu. Perjalanan kita masih jauh dari situ.” Kepala Zizi menyandar di bahuku. For a while, this is miracle. Tanganku gatal ingin mengusapnya kepalanya. Namun, urung kulakukan karena tidak ingin salah paham. Kutunggu waktu yang tepat untuk mengusap kepalanya. Saat tertidur, kuberanikan diriku untuk mengusap kepalanya. Semoga aku tidak ketahuan. Kami turun di perempatan jalan utama provinsi. Masih kepayahan dan waktu menunjukkan pukul 3 malam. Aku dan Zizi memutuskan untuk duduk di halte di dekatnya. “Looks like we’re so early.” Ucap Zizi. “Iya. Aku tidak menyangka bisa secepat ini. Aku sudah lama tidak mengunjungi kota ini.” “Tidak adakah kendaraan lain?” “Tidak pada jam ini. Diseberang samping Mall itu biasanya menjadi halte bayangan pada pagi hari.” “Apa tidak ada taksi disini?” “Aku kurang tahu. Jarang ada taksi disini. Boleh pinjam kameramu? Aku ingin mengambil beberapa gambar.” “Silahkan saja.” “Pakailah jaketku. Udara luar tidak baik untukmu.” Aku melepas jaket dan menyerahkannya ke Zizi. Aku berjalan menjauh dan mengambil beberapa gambar untuk liputan. Udara dingin memaksaku untuk terus bergerak agar tetap hangat. Jalanan dilewati oleh kendaraan besar seperti truk dan bus. Zizi hanya terduduk meraih jaketku dan kedinginan. Setelah beberapa gambar kuliput, aku kembali ke Zizi. “Kau kedinginan? Hmmm….aku akan membelikanmu minuman hangat.” Aku memesan 2 cangkir kopi di sebuah restoran fastfood. Aku tidak menyukai kopi di fastfood ini. They just sell it. “Gimana badan kamu?” “Agak mendingan. Di luar anginnya kenceng banget.” “Untuk sementara, kita disini dulu. Kau butuh makan? Aku akan memesankannya.” “Gak perlu. Aku gak laper.” “Apa kita sewa hotel terus kesana nanti?” “Sebentar lagi hari sudah pagi. Kita tunggu aja.” Ia pindah ke kursi yang berbentuk sofa. Badannya tersandar di sofa. Aku berada di sampingnya. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku. “Makasih udah ngebolehin nyandar di bahu kamu.” “Gak apa – apa. Zizi. Tugasku juga harus menjagamu. Mastiin kamu baik – baik aja.” Kopi hangat itu menemaniku bersama Zizi. Suasananya tidak begitu ramai. Hanya sekumpulan pemuda – pemudi yang masih belum beranjak dari sini. Pramuniaga restoran sesekali sibuk membersihkan lantai dan mengisi tempat saos. Tidak cukup disitu. Zizi juga merangkul tanganku dan terlelap. Kubiarkan ia menikmatinya. Pagi – pagi, kami keluar dari restoran dan naik bus lokal ekonomis. Sepanjang jalan, ia melihat sekelilingnya seperti orang yang bingung. “Semuanya tumpah ruah di bus ini.” “Iya. Maklum, bus ini berjalan cukup jauh sampe Xxxx.” “Oh…gitu.” “Tunggu, Zizi. Sepertinya ada sesuatu di mata kamu.” Tanganku sigap menyeka samping matanya dengan tisu. “Emang ada apa sih?” “Nih. Tadi keliatan abis tidur. Sekarang udah keliatan seger.” “Makasih.” Kami turun di pertigaan awal yang menuju ke balik bukit. “Kamu laper, Zizi.?” “Sedikit sih.” “Yaudah kita makan.” “Emang masih jauh yah?” “Naik bus lagi. Abis itu naik kendaraan sekali lagi. Kita udah sampai.” “Gak usah deh. Aku makan di sana aja. Makanan yang banyak disana apa ya?” “Sate kambing muda.” Aku mengambil beberapa gambar yang bisa kuliput karena ia menyuruhku. Ia menelepon koresponden lokal TVnya disini dan menelepon pasangannya. “Kita tunggu sebentar disini. Koresponden TV ku sedang menuju kesini ngasih peralatan tambahan.” “Baiklah.” Zizi meminjam peralatan tambahan dan tidak membuang waktu. Kami kembali melanjutkan perjalanan melewati bukit dan jalan yang berkelok naik turun. “Kita sampai di pertigaan terakhir. Tinggal naik mobil bak terbuka disana.” Aku menunjuk salah satu mobil bak terbuka yang terparkir di sisi jalan. “Kita naik itu?” “Iya. Hanya itu yang tersedia.” “Tunggu. Aku akan meliput ini.” “Baiklah. Aku siap ngebantuin.” Zizi menghampiri bapak – bapak yang berada di dekat mobilnya dan meminta waktu untuk wawancara. Bapak itu antusias sekali. Hingga, ia memanggil semua temannya yang disitu untuk sekedar di shooting masuk berita. Sempat akan terjadi wawancara panjang. Namun, Zizi mengakhirinya dan berjanji akan mewawancarainya lagi secara mendalam. Akibatnya, kami mendapat tumpangan masuk secara gratis. Sampai di pos periksa, Zizi langsung berkoordinasi dengan petugas bahwa akan terjadi beberapa kegiatan pers. Kami diperbolehkan asal menemui lagi petugasnya di sekretariat yang berada di dataran atas. Mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah pelataran parkir. Seperti sebuah pusat belanja. Berjejer para pedagang yang menjual aneka macam barang dan makanan. “Aaahhh…sudah sampai nih. Tapi, dari tadi kulihat tempat ini cukup ramai.” “Hari ini hari sabtu, Zizi. Makin malam, makin ramai. Kamu mau makan? Tuh tempatnya.” “Ayo deh kalo gitu.” Setelah memesan sate kambing muda dan sayur daging. Aku sengaja memesan minuman teh di dalam poci tanah liat. “Loh. Ini apa?” “Ini teh poci. Cobain deh.” Aku menuang poci ke cangkir yang juga terbuat dari tanah liat. Zizi meminumnya pelan. “Hhhmmm…pahit sih. Tapi enak juga sih.” “Ini sebutannya Wasgitel.” “Wasgitel?” “Wangi, panas, legit dan kentel. Seenggaknya itu yang aku denger.” “Bisa dikasih gula kan?” “Bisa. Aku kasih gula.” Aku mengambil sebongkah gula batu dan memasukkannya di cangkir. “Jangan pake sendok. Digoyangin aja.” Zizi menggoyangkan cangkirnya. Ia kembali meminumnya. “Hhhmmm…..enak nih. Tehnya berasa. Anget di badan.” Zizi penasaran dengan isi poci dan membukanya dan menutupnya kembali. “Ini ngemoci namanya. Ngeteh ala cara lokal. Gak kalah sama minum teh ala jepang.” “Harus punya nih. Bisa gak ya dibeli?” “Bisa koq. Tuh liat. Nanti belinya di xxx aja. Aku tahu tempatnya.” “Kamu gak minum?” “Minum koq.” Kuminum sedikit demi sedikit. Makanan telah dihantar. Kami menyantapnya ditengah udara dingin pegunungan. “Yah…lupa. Gak difoto buat sosmed.” “Difoto yang ada aja.” “Tinggal dikit nih.” “Pesen lagi aja. Ntar aku kasih ke orang itu tuh.” Aku menunjuk seorang kakek – kakek yang menggelandang. “Yaudah sekalian bikin liputan aja.” “Baiklah, Zizi.” Bersambung pada Post Selanjutnya
Part 2 Kami meminta izin pemilik rumah makan untuk mengadakan liputan dan mewawancara secara acak pengunjung disitu. Selesai itu, aku memberikan bungkusan makanan kepada orang yang aku tunjuk. “Kita harus cari rumah disini.” Aku mendatangi setiap penginapan yang ada. Tidak ada rumah yang bisa aku sewa. Hanya tersedia kamar saja. Itupun tinggal 1 karena sudah di book jauh – jauh hari. “Udah penuh, Zizi. Cuma ada kamar.” “Fasilitasnya apa aja?” “Standar sih. Kasur, televisi, kamar mandi air panas. That’s it.” “Diambil aja dulu. Aku mesti ngeupload data dulu. Nanti dipikirin lagi.” Kamar yang kami dapat cukup sempit karena ukuran ranjang yang besar. “Gimana, Zizi? Bener di ambil?” “Terus kamu tidur dimana?” “Dibawahnya ada karpet. Aku bisa disitu.” “Tapi, kamunya….” “Gak apa – apa. Yang penting kerjaanmu dulu kelar.” “Yaudah deh.” Aku menyelesaikan administrasi dan Zizi mengeluarkan notebook dan mulai bekerja. Aku mengeluarkan kartu media simpan dari kamera dari kamera. Ia tidak ingin diganggu. Aku menungguinya di karpet. Kusandarkan punggungku ke dinding. Mataku terasa berat. Lamat – lamat aku mulai tertidur. “Grha, kamu tidur?” Gelagapan. Aku terbangun. “Ah. Iya. Maaf, maaf gak sengaja. Aku cuci muka dulu.” Aku menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. “Ada apa, Zizi? Maaf aku gak sengaja ketiduran.” “Kamu takut amat sih? Aku tadi cuma manggil kamu.” “Ya. Takut aja aku buat salah.” “Gak koq. Kamu gak ngehubungin Syifa?” “Aku udah hubungin tadi.” “Kayaknya kamu kecapean deh. Dari semalem sampe sekarang. Kamu jagain aku waktu tidur. Istirahat gih.” “Makasih, Zizi. Aku mungkin butuh istirahat.” “By the way, makasih juga udah usap – usap rambut aku waktu tidur.” “Ups…maaf..kalo yang itu aku refleks aja.” “Gak apa. Kamu dah baik sama aku.” Aku tertidur kembali kutinggalkan Zizi tengah asyik bekerja. Tubuhku digoyang – goyang oleh Zizi sehingga aku terbangun. “Grha. Sorry ngebangunin kamu.” “Iya gak apa – apa. Ada apa, Zizi?” “Aku lupa ngasih tahu kalau kita belum ke sekretariat. Kita kesana yuk.” “Ya udah kita kesana yuk.” Kami menuju sebuah rumah di dengan plang bertuliskan “Sekretariat OW Xxxxx”. Disambut oleh Pak Dirgo, kami berhasil mendapat izin. Walaupun, harus menyelipkan sejumlah uang koordinasi. Kami kembali ke kamar. “Zizi, gimana tadi?” “Bisa koq. Udah dapet izin. Tapi, ya begitulah. Mesti ada kontribusinya.” “Oiya, setelah liputan ini. Kau mau meliput lagi? Aku akan tunjukkan lokasi air terjunnya.” “Kita ke kamar dulu. Ambil peralatan. Abis itu kita muter cari liputan.” Aku bersiap dengan pakaian yang pantas. Zizi keluar dari kamar mandi. Ia cemberut dengan kemejanya. “Kenapa cemberut, Zizi?” “Ini nih kancing kemeja aku pada lepas semua.” “Gak ada pakaian lagi?” “Ada sih. Tapi, pengen pake ini.” “Kancingnya ada?” “Ada. Aku bawa. Tadi jatuh di kamar mandi.” “Tunggu sebentar.” Aku keluar dari kamar dan kembali dengan peralatan menjahit. “Cuma 3 aja yang lepas. Mending dijahit aja.” Ia melepaskan kemejanya di depanku. Sleeveless shirt warna abu memperlihatkan bahunya yang menarik. Kuamati sebentar, ia tidak memakai bra. Putingnya tercetak walau samar. “Kamu bisa jahit?” “Bisa, kalo masang kancing.” Jarum jahit menembus kain mengaitkan benang di kancingnya. Tidak butuh lama untuk menyelesaikannya. “Gak nyangka kamu bisa ngejahit.” “Kemampuan gak terlalu penting sih.” “Sekarang penting koq.” Membuatku menelan ludah melihat puting yang samar itu. Sayang, itu tertutup di balik kemeja. “Yuk kita cari liputan.” “Ayo, Zizi.” Kami keluar dan mencari potensi liputan di tempat itu. Kami membaur dengan masyarakat lokal dan mengumpulkan informasi yang akan dibuat liputan. Terkadang, malah ia yang menjadi bahan kerumunan ibu – ibu dan remaja untuk berfoto. Dia masih menjadi selebritis untuk beberapa kalangan orang. Tidak lupa, ia juga mengambil beberapa foto untuk sosmednya. Kami bersantai sejenak sambil makan jagung bakar di dekat air terjun. “Kulihat kau tidak banyak berfoto untuk dirimu?” “Ah. Aku tidak punya banyak sosmed. Aku cuma punya facebook dan twit**ter. Itupun untuk membaca berita sekilas biar ada bahan obrolan.” “Apa akun twit**ter kamu? Biar aku follow.” “Biar aku follow punya kamu aja.” “Follow @ZivannaLetisha nanti mention aku loh.” “Diabisin dulu jagungnya nanti aku mention.” Aku melihat seseorang menatapku penuh curiga. Tidak terlalu kuhiraukan. Namun, aku tetap waspada. Apalagi, Zizi sedang melakukan citizen journalism. She’s got no power to protect. “Zizi, kita pindah yuk.” “Kenapa? Aku masih belum nyobain air terjun dan kolamnya. “Nanti malem aja kita kesini lagi. Lagipula, udah mulai rame tuh.” “Kita ambil beberapa gambar untuk liputan lagi.” Sembari meliput, aku masih melihat orang itu mengamatiku dan Zizi. Kami selesai, dan kembali menuju kamar. “Eh iya, kita ngeteh poci lagi dunk.” “Boleh aja.” Disebuah rumah makan, sambil minum teh poci. Aku mengamati sekitar. “Eh, tadi kamu ngerasa gak?” “Ngerasa apa, Zizi?” “Tadi kayaknya ada liatin kita waktu liputan.” “Loh, kamu nyadar juga.” “Malah sewaktu di pasar sih.” “Makanya dari tadi aku ngeliatin sekitar.” “Kira – kira siapa yah? Jadi penasaran sih.” Aku memanggil tukang jajanan dan membelinya beberapa buah. “Makan apaan, Grha?” “Olos.” “Olos?” “Iya. Makanan dari tepung diisi sayuran.” “Nyicip dunk.” “Boleh koq.” Zizi memakannya. “Hmm….enak nih.” “Aslinya kalo ngeteh poci makannya ini.” “Eh, coba liat deh di deket penjual sayur. Tu kayaknya deh yang ngeliatin.” “Aku akan kesana.” “Eh. Ngapain sih? Ntar kenapa – kenapa loh.” “Menurut dugaanku, dia cuma pengen bicara sesuatu.” Aku menghampirinya. Awalnya, ia menolak ajakanku. Setelah cukup lama membujuknya, ia dapat kubawa. Ternyata seseorang remaja pria yang mengawasi kami dari tadi. “Kamu siapa? Dari tadi aku melihatmu.” Tanyaku. “Grha, kasih minum dulu biar dia mendingan.” Sambil menyodorkan gelas berisi teh. Ia meminumnya. Ia mengumpulkan nafas dan mulai berbicara. Kami mengamati orang ini penuh selidik. “Mengapa kau mengikuti kami?” Tanyaku. “Aku mengikuti kalian sejak di pertigaan xxx dimana kalian meliput supir mobil bak terbuka.” “Lantas, mengapa kau mengikuti kami?” Tanya Zizi. “A..a.a..aku disuruh untuk mengawasi gerak – gerik kalian disini.” “Kamu disuruh siapa?” “Ini pasti kerjaan Pak Dirgo.” Zizi marah. “Jangan percaya Pak Danaran.” “Pak Danaran? Siapa dia?” Curigaku. Dia langsung kabur begitu aku lengah. “Damn, dia kabur, Zizi.” “Kita harus cari info siapa Pak Danaran.” “Sebaiknya kita mulai dari sekretariat dulu.” Aku membayar minuman yang kuminum bersama Zizi. “Mas, tadi ngapain sama Jahri?” “Jahri?” “Itu mas yang tadi diajak ngobrol.” “Emang kenapa bu?” “Dia anak agak sinting.” “Sinting kenapa bu?” “Kasihan, Mas. Dia pernah nyebarin berita kalau Pak Danaran yang jadi bandar pelacur disini.” “Pelacuran? Bukannya gak ada?” “Iya. Gak ada mas disini. Jahri nuduh Pak Danaran. Padahal, Pak Danaran itu orang yang baik.” “Kalo boleh tahu, siapa Pak Danaran?” “Beliau seorang yang baik hati. Ia punya penginapan juga. Penginapannya xxxx. Beliau selalu menderma ke lingkungan sini. Aku rasa Jahri agak sinting karena pacarnya diduga dijual oleh Pak Danaran sebagai pelacur di kota. Maaf mas, saya jadi ngobrolin orang.” “Makasih bu informasinya.” Zizi melihatku kesal. “Lama banget sih. Ngapain aja.” “Maaf, Zizi. Aku tadi nanya tentang pemuda tadi sama Pak Danaran.” “Dapet informasinya?” “Dapet koq. Kita cerita aja di penginapan.” Sesampainya di penginapan, kuceritakan percakapanku dengan penjual tadi. Zizi mengangguk mengerti ceritaku. “Jadi, siapa yang harus dipercaya?” Pikir Zizi. “Aku juga tidak bisa menerima informasi ini secara langsung.” “Dia minta tolong ke kita. Apa yang bisa aku bantu?” “Mungkin karena kau seorang wartawan. Wartawan selalu suka menyelidiki hal yang berbau rumor dan isu. Apalagi, jika itu benar – benar terjadi.” “Aku disini untuk citizen journalism.” “Do you want to investigate?” “You’ll help me, right?” “Yeah. I’ll help.” Spontan, ia memeluk tubuhku. Kami benar – benar berpelukan. “Zizi, it’s allright. Belum terjadi sesuatu kan?” “Aku merasa takut setelah ia mendatangiku.” “Tidak apa, Zizi. Aku akan berusaha melindungimu. Ketakutanmu berlebihan.” Kami berpelukan hingga tertidur. Kuakui, Zizi cukup takut. Apalagi, Jahri juga menyebarkan aura tidak nyaman yang dapat kurasakan. Semoga, tidak terjadi hal yang buruk. Kukecup keningnya saat tidur. Persetan jika ia memergokiku. Aku tidak akan peduli lagi. Aku ingin membuatnya nyaman. “Grha, jangan kenceng – kenceng ciumin kening aku. Aku sampe kebangun nih.” “A.aku tidak sengaja.” “Sengaja juga gak apa. Koq diem? Gak mau dilanjutin nih?” “Iya dilanjutin koq.” Bibirku mengecup hangat keningnya. Ia membalasnya dengan pelukanku erat. Payudaranya terasa menggencet di badanku. Jangan sampai tegang, jangan sampai tegang. Ia masih memelukku. Aku tidak berani untuk bertindak lebih jauh. “Ntar keningku tipis diciumin terus.” “Hehehe….maaf.” Pipinya kiri kanan kuciumi berulang – ulang. Ia semakin bergairah. Nafasnya semakin berat. Kucium bibirnya, ia semakin terbuai. “Mmmmmhhhhhh…….aaaahhhh…..mukaku basah diciumin terus.” Kugelitiki telinganya, ia mendesis nikmat.
“Aaaaaaacccccchhhhh……..geli ah.” Giliran Zizi melakukan hal yang sama kepadaku. Lidahnya menyapu semua mukaku. Diciumi juga dengan gemas. Kami saling bertatapan, dalam hati kami berkecamuk perasaan yang campur aduk. “Zizi, boleh gak aku…..” “Boleh apa?” “Mmmhhhh…..boleh gak aku kiss bibir kamu?” Ia tertawa kecil. Seperti ada yang telah dilepaskan darinya. “Sopan banget kamunya sih.” “You know the bonds between you and…..” “Ssstttt….it’s only you and me now. Come on, hold my lips and my tongue tightly.” Pertama kalinya, aku mencium Zizi tepat di bibir. So warm. like a sugar, so sweet. “Mmmhhhh……cccuuuppp…..ccccuuuuppp…..ccccuuuuppp…..ccccllluuuupppp…..cccclllluuuuppppp……ccccclllluuupppphhhh……ccccclllluuuuuppphhhh…..ccccclllluuuuppphhhh……” Zizi menciumku begitu rapi. Tidak ada liurku keluar dari bibirnya. She’s a good kisser. Kami berhenti berpagutan untuk mengambil nafas. Aku menyeka keringat di wajahnya. “Kasihan wajah kamu penuh keringet. Sorry, aku gak bisa ngimbangin kamu tadi.” Zizi menciumku lagi. “Mau latihan lagi biar ciumannya bisa ngimbangin?” Kali ini, aku menciumnya. Di kasur, di karpet dan di kamar mandi. Kami berpelukan dan berpagutan satu sama lain hingga bosan. Baju yang kami kenakan sampai basah karena keringat. Ia menuntunku masuk ke kamar mandi. Dari shower, mengalir air dingin pegunungan yang cukup membekukan kulit. Tidak kurasakan karena Zizi dan aku masih berciuman. Kami masih mengenakan pakaian. Hingga Zizi mulai melepaskan baju yang kupakai. Tangannya mulai menjelajahi badan atasku. Tidak berhenti disitu, tanganku mulai meraba dadanya secara tidak langsung. “Badan kamu bagus, Grha.” “Kau terlalu memujiku, Zizi.” Ia menyadari aku juga tidak bisa menahan keinginanku untuk tidak menyentuh dadanya. Ia melekatkan tanganku di kedua payudaranya. “Gimana rasanya sentuh dada mantan Puteri Indonesia?” “Koreksi, dan juga news anchor.” Telapak tanganku menapakkan kulitnya di dadanya. Empuknya terasa meski masih terbungkus baju. Kumainkan sebisaku saja. “Aaaahhhhh….pelan – pelan…….uuuuucccchhhh.” Aku mulai senang bisa memainkan tanganku disana. Baru aku akan membuka pakaiannya. Dari kamar, ponsel Zizi berdering. “Sebentar Grha….sepertinya ada telepon.” Dengan tubuh masih basah. Ia mengangkat teleponnya. Shit, gagal kesempatanku untuk melanjutkannya. “Dari siapa tadi?” “Jangan marah ya. Dari pasangan aku.” “Kamu udah ngabarin dia tadi.” “Belum sih.” “Yaudah. Kamu mau berendam gak di dekat air terjun. Airnya anget loh.” “Kenapa gak diterusin?” “Jangan dulu. Aku ngehargain pasangan kamu. Lagipula, sekarang biasanya sepi loh.” “Boleh deh. Pengen tahu rasanya.” Kami berganti pakaian kering. Pakaian basah tetap kami bawa untuk berendam di kolam. Aku masih mengenali penjaga di kolam itu. Ia mengingatku karena pernah menolongnya saat berjaga disini. “Pak. Masih disini.” “Mas kemana saja?” “Iya. Baru sempet aja. Gimana kolam?” “Sepi, Mas. Tadi abis ujan. Jadi males keluar.” “Pak, seperti biasa ya.” Aku menyerahkan beberapa lembar uang rupiah untuk sengaja mengosongkan kolam khusus kami berdua. “Kamu kenal, Grha?” “Iya. Dulu, ia sempat kutolong saat ia membutuhkan uang. Kita ke kolam yuk.” Kami kembali berganti pakaian basah. Teringat pakaian itu kami saling berciuman. Kami menceburkan diri ke dalam kolam yang hangat. Ia bermain dengan air di kolam, mengguyur kepalanya dan berenang kecil. Aku hanya duduk berendam di tepian. “Sini dunk main sama aku.” “Kamu aja, Zizi.” Ia terus menyenangkan diri. Aku turut membantunya senang. Setelah puas bermain, ia mendekat ke aku. Dipeluknya badan aku sambil berendam. “Enak disini, bisa santai.” “Aku juga gak nyangka bisa sedekat ini sama news anchor.” “Kamu sering liat acaraku.” “Morning show sama 16 sih yang aku suka. Kalo gak liat kamu, gak semangat.” “Ati – ati loh. Aku udah punya pasangan loh.” “In here. It’s only me and you. Not else.” Ia kembali menjadikan tubuhku sebagai sandaran. Shit, penisku tegang. No time to lose it. “Aku ngerasa aneh. Ada yang nyentuh paha aku nih.” Ia meraba – raba di bawah. Tangannya menyentuh penisku yang berada di balik celana pendek. “Oooohhhh…..” “Kamu ereksi ya. Ngaku aja.” “Zizi, singkirin tangan kamu dari situ.” “Iya, aku singkirin.” Tangannya terlepas dan pahanya menjepit penisku. “Udah lepas kan tangan aku.” “Iya lepas. Paha kamu malah ngejepit penis aku.” Ia tidak menjawabnya. Ia mendaratkan ciuman di bibirku. Naluriku mengikuti kemauannya. Aku sadar jika tempat ini bukan tempat yang tepat. “Zizi. Jangan disini. Nanti ada yang ngeliat kita.” “Kita balik aja ke penginapan yuk.” Kami membersihkan diri. Aku memegani pakaian kering Zizi dan kulihat ada CDnya di tanganku. Aku menghirup aroma CDnya dalam. Bau yang nikmat. Aku teruskan hingga tidak sadar Zizi telah melihatku. “Udah selesai belum maenin CD aku?” “Ah, Zizi. Maaf. Maaf ini pakaianmu.” “Terima kasih.” Aku bergantian dengan Zizi menjaga pintu kamar mandi. Kami keluar dengan badan segar. Ia langsung menjewer kupingku. “Aduh aduh aduh sakit Zizi dijewer kupingnya.” “Sakit? Ini hukumannya kalo maenin punya aku tadi. Pilih mana? Aku tuntut kamu atau kujewer?” “Maafkan aku Zizi. Aku cuma penasaran aja baunya kayak gimana.” “Udah tahu baunya kan? Nah, giliran aku jewer kamu.” “Aduh aduh aduh aduh Zizi. Aku minta maaf. Aku traktir makan sate kelinci.” “Sate kelinci?” “Iya. Sate kelinci. Ya gitu sih, kalo ngebayangin gimana nyembelihnya. Jangan makan. Kalo udah sate aja dimakannya.” “Enak gak rasanya?” “Ya dicoba aja.” “Awas kalo gak enak. Aku tendang punya kamu.” “Aduh jangan dunk. Galak amat sih.” Secara acak, aku memilih penjual sate kelinci terdekat. Aku berharap sate ini enak. Zizi mencobanya. “Hhhmmm…..rasanya lumayan enak.” “Syukurlah.” “Eits, tunggu dulu. Bukan berarti bebas hukuman.” “Ambilin kamera aku. Kita liputan sekarang.” “Loh? Baiklah.” Bersambung pada Post Selanjutnya
Part 3 Aku terburu – buru balik ke penginapan mengambil kamera. Zizi sudah menyetting suasananya dan kami kembali meliput berita di tengah dinginnya malam. Selesai meliput, kami melanjutkan makanan. “Pak, asli orang sini ya?” Tanyaku. “Iya. Saya asli orang sini.” Balas penjual sate. “Tahu kisah Jahri dan Pak Danaran?” “Oh. Bajingan itu sudah sering menuduh Pak Danaran dengan aneh – aneh. Apalagi, ia menuduh pacarnya telah dijual oleh Pak Danaran yang tidak terbukti.” “Pak Danaran tinggal dimana? Jahri juga tinggal dimana pak?” “Jahri menggelandang saja disini. Pak Danaran di penginapan xxx. Kudengar, akan ada acara di penginapannya. Acaranya terbuka untuk umum.” “Acara apa ya pak?” Zizi menimpali. “Ya kumpul – kumpul aja. Bakar – bakaran aja. Oiya, Mbak. Tadi mau disiarin kapan, mbak? Biar saya kasih tahu untuk nonton saya di televisi.” “Tergantung sih pak. Nanti 2 minggu ke depan di acara special report di stasiun ini.” “Saya coba pantengin deh.” Aku kembali ke penginapan. Sepertinya, Jahri mengikutiku. Ia tidak berani untuk mendekati diriku. Aku buru – buru masuk penginapan lewat jalan lain agar tidak dibuntuti. “Sepertinya besok kita harus ketemu Pak Danaran, Zizi.” “Iya. Aku tahu. Kita harus meminta pendapatnya juga.” Beruntung, kamarku berada di dalam sehingga tidak terlalu merepotkanku. Zizi kembali ke pekerjaannya. Sementara itu, aku mengecas semua peralatan. Ia juga sibuk telepon dengan pasangan dan rekan kerjanya. Kubiarkan saja. Tidak lupa, kubersihkan sedikit jika diperlukan. Suasana ini membuatku terkantuk. Zizi masih berenergi dengan pekerjaannya. Aku memberi kode pada Zizi untuk tidur. Hal terakhir yang kuingat adalah ia menatapku mengatakan selamat istirahat lewat matanya. Samar, kudengar Zizi memanggilku memaksaku tersadar dari mimpi. “Grha, Bangun. Koq ada yang aneh?” “Aneh gimana, Zizi?” “Dari tadi di depan pintu kayak ada yang mondar – mandir.” “Mungkin tamu kamar lain, Zizi.” “Masa bolak – balik sih. Sampe aku kepikiran nih.” “Aku cek dulu ke luar.” “Tunggu dulu.” Zizi mencium tepat di bibirku. Aku mengintip dari balik pintu. Mudah sekali ia menciumku, pikirku. Tidak ada apa – apa. Aku keluar dari kamar dan berpesan kepada Zizi untuk mengunci kamar dan tidak membuka pintu kecuali untukku. Seseorang nampak terburu – buru meninggalkan penginapan. Aku melihat Jahri saat ia sedang keluar dari penginapan. Aku mengejarnya, ia berlari ke arah bukit dan menghilang dalam semak. Dia benar – benar kelewatan kali ini. “Aku sudah tahu siapa kau, Jahri. Berbicaralah kepadaku baik – baik. Keluarlah dari semak. Aku tahu kau disana.” Jahri keluar dari semak. Ia masih melihatku takut – takut. “Mengapa kau takut? Tapi, kau bisa terus membuntutiku.” “Jangan pernah percaya Pak Danaran.” Katanya. “Mengapa aku harus percaya padamu?” “Aku tidak bisa memberi bukti bahwa ia bersalah. Tetapi, ia bukan orang yang baik.” “Jika ini adalah sebatas dendam pribadimu. Aku tidak akan membantumu. Kau tidak lebih sama dengannya jika ia terbukti sesuai apa yang kau katakan.” “Pergi dari tempat ini demi keselamatan kalian. Pak Danaran adalah orang yang salah.” Ia masuk ke dalam hutan di dekatnya. Shit, dia kabur lagi. “Aku harus kembali ke penginapan. Zizi menungguku.” Syukurlah. Zizi masih berada di kamar. Ia langsung memeluk badanku dan menciumku begitu sampai di rumah. “Lama sekali, aku sampai khawatir. Aku takut terjadi sesuatu.” “Aku gak apa, Zizi. Jahri yang menguntit kita disini. Sepertinya, kita harus bertemu dengan Pak Danaran ini.” “Jangan jauh dari aku mulai sekarang. Aku takut jika ia datang lagi.” “Iya, Zizi. Aku akan jagain kamu.” Aku kembali tidur di karpet. “Udah larut nih, Zizi. Kamu istirahat lagi.” “Tidur di deket aku aja.” “Jangan, Zizi. Aku di karpet aja.” Pagi menyingsing. Kabut masih begitu terasa ketika di luar penginapan. Pandanganku masih terbatas. Aku menghirup udara segar alami yang pernah kurasakan sebelumnya. Zizi masih tertidur tadi. “Ih, Grha. Jahat. Aku ditinggalin pagi – pagi.” Zizi menghampiriku dengan piyama yang masih terpakai. Ia tenang memelukku dari belakang menempelkan dagunya di bahuku. “Aku mencari udara pagi yang segar di balkon ini.” “Seger udaranya. Gak seperti di kota. Udah berpolusi.” “Sekalian buat refreshing pikiran kamu.” Zizi mencuri kesempatan dengan menghirup aroma badanku di leher dan bahu. “Eh, Zizi. Kamu ini ya pagi – pagi. Aku belom mandi nih.” “Aku suka bau natural laki – laki. Seksi banget.” “Kamu ganti baju gih. Gak enak diliat orang. Kalo diliatin aku sih gak apa.” “Huuu…..dasar.” Kami kembali ke kamar. 2 buah gelas berisi teh panas tersaji di dekat kamar. “Diminum yuk. Biar anget.” Baru aku mau meminumnya, aku menghirup bau yang tidak enak. “Tunggu, Zizi. Jangan diminum.” Aku menuangkannya di tembok dan muncul busa putih di tembok. “Damn, sudah kuduga sebelumnya.” “Ada yang sengaja mencelakai kita.” “Benar. Kita harus lebih waspada sekarang. Ada yang tidak menginginkan keberadaan kita disini.” Kami berganti pakaian dan bersiap diri. Kami menuju rumah makan yang sama dan memesan minuman yang sama. “Grha, mungkinkah Jahri yang melakukan ini semua?” “Aku tidak dapat menyimpulkannya, Zizi.” Dari kejauhan, Zizi melihat Pak Dirgo tengah berjalan menuju kami. Dengan pakaian batik dan celana resminya, ia menghampiri kami. Kumis putih dan rambut beruban ditutup kopiah. “Pagi, Ibu Zivanna. Bagaimana keadaannya?” “Baik, Pak. Ada apa ya Pak?” “Oh, saya cuma ingin menjenguk kalian. Saya sudah ke penginapan kalian tadi. Makanya, saya mencari kalian.” Zizi menatapku. Ia ingin mengungkapkan apa yang terjadi tadi. Tapi, aku tidak mengizinkannya. “Kebetulan juga, saya kesini sekalian mengundang kalian ke rumah Pak Danaran. Beliau ingin bertemu dengan kalian. Di penginapan xxx kalian disambut.” “Kapan pak?” “Secepatnya. Sekarang juga bisa.” “Nanti saya kesana, Pak. Saya ingin menikmati minuman saya terlebih dahulu.” “Baiklah. Saya mohon pamit dulu.” Pak Dirgo berjalan meninggalkan kami. “Grha, apa mungkin dia yang melakukannya?” “Aku tidak bisa memastikan. Semuanya bisa menjadi mungkin ketika kau ke sekretariat.” “Liputan citizen journalism ini lebih kompleks dari yang kupikirkan.” “Sebaiknya enggak seperti itu. Yang aku heran. Sekretariat saja bisa dengan mudah di suruh oleh Pak Danaran. Kau tidak merasa aneh?” “Aneh juga sih. Mengundang kita lewat sekretariat.” “Saatnya kita berkunjung kesana.” Rumah Pak Danaran ternyata bukan di penginapannya. Penginapannya murni sebuah tempat penyewaan. Kami diantar oleh anak buahnya menuju kediamannya yang terletak di belakang. Sebuah rumah cukup mewah untuk ukuran disana. Kami masuk disambut oleh Pak Danaran. Beliau masih sangat muda. Kutaksir umurnya tidak lebih dari 35 tahun.
“Selamat pagi, selamat datang di rumahku yang sederhana ini. Anda pasti wartawan kemarin yang meliput kegiatan di OW sini. Kudengar, supir angkutan kalian liput juga.” “Iya Pak. Perkenalkan saya Zivanna dan rekan saya, Grha. Salam kenal.” Kami berjabat tangan. “Silahkan duduk. Kalian mau minum apa? Biar aku sediakan.” “Terima kasih, Pak. Lagipula, kami disini untuk memenuhi undangan dari Pak Danaran.” “Maksud saya mengundang kalian adalah meminta kesediaan rekan wartawan untuk menghadiri acara yang akan saya adakan malam ini. Acara kecil – kecilan saja.” “Apa tidak merepotkan Pak Danaran selaku tuan rumah.” Kata Zizi. “Tidak. Saya justru mengharapkan adanya kehadiran kalian.” “Kami akan mengusahakan kehadirannya di acara.” “Oh iya, sebagai hadiah saya atas kontribusinya mengenalkan wisata kami. Saya memberikan fasilitas kamar gratis di penginapan saya khusus untuk anda selama anda berada di sini.” “Maaf, Pak. Saya sudah memperpanjang pemakaian kamar kami di penginapan.” Kataku singkat. Zizi melirikku. Ia tahu aku sedang berbohong. “Ah, jangan menolak saya. Saya tahu kalian menyewa kamar untuk 1 hari. Mohon diterima pemberian saya karena sudah saya atur untuk kalian. Ataukah anda membutuhkan sesuatu lagi agar bisa menerima pemberian saya?” Zizi berdiskusi denganku. Apakah akan diterima tawarannya. “Baiklah, dengan maksud yang baik. Saya terima pemberian anda.” Singkat Zizi. “Syukurlah. Saya akan minta bantuan anak buah untuk membantu anda berkemas.” “Kami bisa melakukannya sendiri. Grha, kau membutuhkan sesuatu?” “Aku membutuhkan motor untuk disewa.” “Anda bisa memakai motor di penginapan saya.” Sambut Pak Danaran. Kami mengobrol basa – basi dan Pak Danaran begitu antusias menjelaskan tentang dirinya. Kami akhirnya berpindah ke penginapan xxx milik Pak Danaran. Kamar yang ditawarkan lebih baik. Di dalam kamar, kami berdua membereskan barang. “Grha, mengapa kau tadi berbohong?.” “Aku mengetesnya. Ia memiliki jaringan yang lebih aku duga.” “Sekarang siapa yang akan kau curigai?” “Semuanya nampak sama – sama mencurigakan. Tapi, kita disini bukan untuk itu.” “Lantas, mengapa kau meminta motor?” “Aku akan mengajakmu ke lokasi air terjun yang akan menjadi potensi OW. Perjalanan kali ini, mungkin akan cukup sulit karena medannya harus menuruni tebing dan melintas sungai.” “Wow, that’s challenging.” “Perlu kau tahu, OW ini sudah lama. Tetapi, tidak kunjung mendapat bantuan pemerintah layaknya tempat ini. Kau masih ingin melanjutkan.” “Hal ini gak boleh dilewatin.” “Kita kesana sekarang. Aku akan bawa kamera sekarang. Zizi, kupikir kau harus mengaktifkan security di notebook.” “Iya. Aku akan mengaktifkannya untuk berjaga – jaga.” Selesai merapikan dan mempersiapkan semuanya. Aku menuju keluar kamar. “Tunggu. Aku belum kiss kamu hari ini.” Zizi cemberut di hadapanku. Aku memegang kedua bahunya mengarahkan wajahnya dengan tanganku. “Hey, I’m just cameramen. Not a lover.” “We’ll try to find out.” Tanpa ragu, aku mencium bibirnya, mempertemukan lidah basah kami. Kuhempaskan badannya ke kasur. Semakin panas dan gerah. Bibir kami saling berpagutan. Bergantian posisi di atas membuatku semakin kelimpungan menghadapinya. “Cup…cup….cup….cup…cup…culp…culp…culp…culp…culp…clup…clup….clup…cccclllluuupppphhhh……cccccccllllluuuupppphhhh……cccccclllllluuuuuppppphhhhhh…..” Dilepasnya bajuku sehingga aku bertelanjang dada. Tangannya mencengkram badanku saat berciuman hingga muncul bercak kemerahan. Kelelahan, kupandangi wajahnya dan dadanya yang kembang kempis naik turun. Ia tersenyum. “Disentuh aja. Aku izinin koq.” Gemetaran tanganku menyentuh dadanya. Aku meremasnya pelan, ia mendesah. “Aaaacccchhhhhh……” Aku menyentuh putingnya yang tercetak di pakaian dalamnya. “Zizi, kamu gak pake bra?” “Enggak. Buat kamu.” Titik kecil itu menyembul dan jariku lihai memainkannya. Kepalanya mendongak kesana kemari. Puncaknya, aku menyusu payudara Zizi yang masih tertutup. “Oooooocccccchhhhhh……..hhhhhhmmmmmmmm…..” Kepalaku dibekap oleh tangannya. Selain itu, kugigit dengan mesra payudaranya. Bekas mulutku tergambar jelas di sana. “Aku harus ganti pakaian dalem lagi nih, Grha.” Ia bangun dan menuju lemari mengambil pakaiannya. Tepat di depan cermin, aku memeluk mencium bahunya. “So sweet, Grha.” “I’m not a lover. Right?” “You’re just my enjoyments.” Ia melepaskan pakaian dalamnya. Payudaranya terlihat jelas. Berkulit putih dengan aerola coklat berukuran sedang. Putingnya sedikit tegang. “See, I don’t have a good boobs.” “I don’t need it when it’s you.” Tanganku perlahan menggerayangi payudaranya. Aku melihatnya dari cermin. “Jangan masukin sosmed yah.” Candaku. “Enggaklah. Aku gak mau ngebagi kenikmatan ini sama orang lain.” Puas memainkan payudaranya. Ia berbalik kepadaku. “Aku pengen lihat punya kamu.” Aku melepaskan celanaku. Tersisa celana pendek tanpa CD. Tangan Zizi melepaskan celanaku. Tepat di depan mukanya, penisku hampir mengenainya. “Mau bilang jujur ato boong?” Kata Zizi. “Terserah kamu aja, Zizi.” “Boong, aku gak pernah liat penis. Jujurnya, aku gak pernah liat penis kaya gini.” “Maksud kamu?” “Penis kamu hampir mirip sama pasangan aku. Tapi bedanya, ada pada ini.” Jari Zizi mengikuti urat penisku yang berada disana. Ia menyentuhnya berulang. “Urat kamu besar – besar sampe keliatan banget.” Ia meludahi penisku dan melumurinya. “Aku coba pijit pake dada aku.” Dadanya menjepit penisku di tengah. Penisku mulai berdentum oleh payudaranya yang menggilasnya tanpa ampun. “Aaaahhhh….Zizi…..” “Urat kamu…berasa…” Zizi mulai mengeluarkan tekniknya. Entah di jepit bersamaan, jepit naik turun, dan dihimpit bersamaan. Aku melihatnya kerepotan dengan semuanya. “Huh, kamu minum apa sih?” “Kenapa, Zizi?” “Kuat banget. Pasangan aku aja di giniin gak sampe 5 menit udah keluar. Ini udah 10 menit loh.” Aku mulai membantunya dengan mendorong penisku. Ia juga memainkan penisku setelahnya. Beberapa saat kemudian, penisku sudah tidak mampu lagi. Penisku mundur kebelakang, Zizi tetap menyerangku. Tak kuasa penisku menyelesaikan tugasnya. “Ccccrrroooottttt……cccccrrrrooootttt…..ccccrrrroooootttttt…….” “Iiihhh….keluarnya banyak banget nih. Sampe ke mulut juga.” Spermaku mengotori wajah dan payudaranya. Penisku tetap dijepitnya hingga lemas. “Zizi, maafin aku. Aku gak ada maksud untuk….” “Kamu disini buat ngejagain aku kan? Aku disini juga untuk tetap bikin kamu jagain aku.” “Hihihi..lucu punya kamu. Imut – imut kalo lemes. Udah ya, aku mandi dulu. Kamu istirahat dulu. Abis itu kita kesana ke tempat kamu tadi.” Lanjut cerita, aku telah sampai di tempat yang aku tuju. Dengan memarkirkan motor dan membayar retribusi senilai yang ditentukan aku mulai melakukan perjalanan dengan Zizi. Sambil memanggul kamera, aku meliput perjalanan ini. Zizi terkadang melakukan narasi di perjalanan. Shit, staminaku agak berkurang disini. Zizi membuatku capek tadi. Kami sampai di pos henti untuk menentukan arah. Kami menuju air terjun yang terjauh dulu kemudian menuju ke air terjun yang terdekat. Perjalanan air terjun pertama menguras tenagaku. Melewati sawah, sungai, dan bukit kecil untuk tiba disana. Keindahannya tidak bisa digambarkan kata – kata. Zizi melakukan liputan dan bersenang – senang disana. “Hey, Grha. Sini main air lagi.” “Enggak, Zizi. Aku masih lelah.” Ia tidak memperdulikanku dan terus bermain. Hingga kuingatkan untuk menuju ke air terjun yang kedua. “Gimana, Grha. Masih kuat jalannya?” “Capek sih. Mana tadi pake dikeluarin lagi. Hadeuh…” “Payudara aku juga panas ngegosokin penis kamu. Yuk kalo gitu.”
Kami kembali ke pos awal dan menuju ke air terjun kedua. Kali ini, perjalanan tidak sesulit yang pertama. Setelah melewati pematang sawah dan sungai kecil, aku sampai disana. Aku kembali menyalakan kameraku dan meliput Zizi. Ia juga menyenangkan diri disana untuk beberapa saat. Matahari mulai terbenam. Langit sore mulai tersambut. Aku kembali ke pos retribusi dan menuju posko OW disana. Zizi memulai wawancaranya dan mereka juga beraspirasi melalui liputan ini. “Kita kembali sekarang. Mumpung masih belum gelap.” Ajakku. “Kita ngeteh poci dulu sebelumnya.” “Tentu, Zizi.” Sampai di penginapan setelah sebelumnya minum teh poci terlebih dahulu. Saat membuka kamar, aku merasakan keanehan. Aku melihat sekitar dan berpikir setelahnya. “Ada apa? Kau sepertinya menangkap sesuatu.” “Kamar kita telah dimasuki orang. Tadi aku menaruh potongan kertas di ujung pintu. Lemarimu juga. Sekarang tidak ada.” “Mungkin tadi dibersihin.” Aku mencium kasur yang kugunakan. “Ini seprei masih yang tadi. Baunya juga sama. Periksa apa ada yang hilang.” Kami memeriksa kamar dan menemukan bahwa notebook Zizi sengaja di rusak. “Grha, lihat ini. Notebookku di rusak. Harddiskku dibongkar paksa.” “Bagaimana datamu di notebook.” “Dataku telah kusimpan di Drive Cloud. Mereka berpikir dengan merusak harddisknya akan membuatku kehilangan data.” “Sebaiknya kita laporkan kejadian ini.” Petang ini, sebelum acara, kami melaporkan apa yang terjadi disana. Pak Danaran begitu menyesal apa yang telah menimpa kami. Zizi sempat ingin membawa masalah ini ke polisi. Namun, di tahan oleh Pak Danaran dan dijanjikan akan digantikan dengan barang sejenis agar masalah ini tidak sampai kantor polisi. Zizi mengikuti sarannya. Dan, kami meminta pindah kamar. Ia memindahkanku ke kamar yang lebih aman. Aku menyarankannya untuk memasang mini action camera untuk mengawasi kamar kami. Zizi menelepon korespondennya dan akan di antar di pos gerbang OW xxx. “Untuk sekarang kita harus mengistirahatkan diri. Acara akan dimulai jam 8 an. Kita masih punya waktu untuk bersiap.” “Aku juga ingin mandi. Capek banget.” Aku melepaskan pakaianku karena gerah. “Kenapa gak celananya dibuka sekalian. Udah tahu juga kali isinya.” Canda Zizi. “Kamu tuh yang enak. Vagina kamu masih belum keliatan.” “Yee…maunya. Yakin mau liat?” “Ya mau dunk.” “Puasin dulu dunk.” Kuhampiri Zizi dan menyuruhnya untuk mengangkang. Aku menghirup CDnya dari luar. Hmm….bau liang duniawi yang memabukkan. Kurangsang terus hingga CDnya basah. “Aaaacccchhhh………uuuuuuuuhhhhhh….” Tanpa izin, aku melorotkan CDnya. Vagina itu tersembunyi di balik rambut tipis. Tidak sampai bergelombang. “Jadi, seperti ini Vagina mantan Miss yang sekarang jadi news anchor.” “Itu aku belum di wax. Belum sempet.” “Aku gak peduli.” Aku memakan vaginanya luar dalam. Menyeruputnya seperti minuman enak, melahapnya seperti makan pizza, dan memainkannya seperti hal yang paling menyenangkan. Klitorisnya kujilat tipis dan tebal berkali – kali, lidahku juga masuk ke liang duniawinya untuk membiasakan diri. Kucolok – colok liangnya dengan jariku agar mengetahui seberapa jauh jariku bisa disana. “Aaauuuuccchhh…….mmmmmhhhhh……ooooocccccchhhhh…….ampun……..hhhhhhmmmmm………….ssssssssshhhhhh……ooooohhhh…….yyyyyeeeeeeaaaaahhhh…….fffffffuuuuuuccccckkkkkkkk……….sssssssssshhhhhh……” Zizi menggelinjang hebat. Ia mengejang kaku dan pipis dengan sedikit tersendat – sendat. “Zizi, kamu keluar? Jangan ditahan.” “Ampun enak banget. Ampe pegel akunya.” Zizi mengetahui penisku tegang karena ia sempat melihatnya. “Grha, kali ini aku capek banget. Jangan dulu yah. Tapi, kamu bisa liatin aku mandi sambil masturbasi.” Vagina sudah di depan mata. Aku masih saja bermain dengan tangan. Shit as fuck. Tapi, tidak kusiakan ajakan ini. Aku beriringan masuk kamar mandi. Shower air panas itu mengguyur tubuh Zizi. Tanganku mulai aktif mengocok penisku. Ia menatapku dengan binal. Ia sedikit banyak memperlihatkan posenya yang seksi dan menantang. Tak jarang, ia bergoyang menggetarkan tubuhnya. Ia menyabuni tubuhnya yang seksi. Tiba – tiba ia meremas penisku dan menyabuninya. Karena licin, penisku langsung muncrat. “Aaaahhh….Zizi…” “Ccccrrrrraaassss…….cccccccrrrrrraaaaassssss…….cccccccrrrraaaaaassssss.” Spermaku tepat keluar di tangannya. Dipakainya itu untuk wajah dan membersihkan Vaginanya. “Ketahuan kamunya lemah sama sabun.” Godanya. Akhirnya, kami mandi bersama saat itu. Sungguh menyenangkan hari ini bersama Zizi. “Grha. Udah mulai jam 8 nih.” “Sebentar, Zizi. Aku anterin kamu ambil alat sama koresponden kamu.” Zizi menemui korespondennya dan kembali ke kamar. Aku segera memasangnya di pojok ruangan. “Zizi, kau percaya omongan Jahri?” “Tentang pelacuran itu? Percaya gak percaya sih. Tapi, belum ada buktinya.” “Mau dibuktiin?” “Maksudnya?” “Aku akan mencoba mencari tahu bagaimana hal ini berjalan. Kau bisa mempublikasikan hasil investigasimu atas namamu.” “Kita akan mencobanya. Aku akan membekalimu dengan peralatan yang ada.” “Zizi, tapi aku tidak bisa melindungimu.” “Aku akan menjaga diriku sendiri. Aku sudah dewasa dan menguasai beberapa jurus pertahanan diri.” “Kalo pertahanan dari nafsu aku gimana?” “Ya pake ini dunk.” Zizi menciumku cepat. “Kita bersama aja dulu ambil liputan. Mungkin bisa jadi hal menarik.” “Setelah itu, kamu akan mencari link untuk ini. Begitu kan?” “Tepat. Oh iya, ambillah.” Aku memberinya sebuah semprotan merica. “Mungkin tidak berguna. Tapi, bisa memberimu waktu untuk menghindar.” “Makasih, Grha.” Pak Danaran mengadakan acara bakar – bakaran di penginapannya. Disana juga ada komunitas anak motor dan mobil sehingga kami bisa leluasa mengambil gambar untuk liputan. Aku tidak melihat kemana Pak Danaran di acara. Setelah liputan, sesuai rencana aku memisahkan diri dari Zizi. Aku keluar penginapan dan nongkrong tidak jauh dari tempat itu. Aku sedikit khawatir dengan Zizi. Dengan secangkir kopi dan batang rokok, aku menikmati malam. Tiba – tiba, seseorang duduk di dekatku. “Mas, keliatannya suntuk banget. Padahal ada acara tuh mas.” “Mas siapa ya?” “Saya Tukadi. Orang sini mas. Saya nyediain kebutuhan apapun untuk tamu yang nginep di wisata ini.” “Masnya mau nawarin apa aja?” “Lha, masnya mau apa?” “Aku butuh selimut, Mas.” “Ada mas. Orang sini, mau?” “Jangan kalo orang sini.” “Kalo nyebrang desa, agak mahal.” “Saya bayar asal barangnya bagus. Emang yang nyediain siapa?” “Wah, saya gak berani bilang, Mas.” “Kenapa?” “Nanti dimarahin sama tetua sini. Masnya bukan polisi kan?” “Bukan koq.” “Nanti saya hubungin tuan besar dulu. Mungkin ada stok.” “Begini, saya kasih 5 juta. Tunai. Cari yang masih perawan antara 17 sampe 20 tahunan. Kalo dapet sekarang, ada buat kamu 250 ribu sekalian cariin tempatnya. Tapi, jangan kasih tahu siapa saya sama tuan besar kamu.” “Sebentar kalo gitu.” Bersambung pada Post Selanjutnya
#4
Part 4 Ia bergegas meninggalkanku. Ah, mungkin caraku terlalu frontal. Tapi, beginilah caranya. Dengan tergopoh – gopoh, ia menghampiriku. “Ada Mas, saya sudah telepon dan lagi disiapin tempatnya. Saya antar sekarang, Mas.” Aku diantar menjauhi penginapan menuju sebuah rumah di sisi turunan bukit. Aku sampai disana. Tidak lama, seorang perempuan muda berdiri disana. Aku melihatnya sebentar. Wajahnya menatapku benci. Ia tidak mau pekerjaan ini. Sesuai janjiku. Aku membayarkan uangnya kepada Tukadi dan mengajaknya masuk kamar. Tukadi menungguku di luar. Di dalam kamar, ia begitu canggung. Ia masih duduk. Aku duduk di kursi dalam kamar. Pakaiannya menampakkan kesederhanaan. “Siapa namamu?” “Asri.” “Berapa umurmu?” “17 tahun.” “Masih perawan?” “Masih. Silahkan pak dicoba.” Ia berani menatapku kuat. Walaupun, kepedihannya begitu terasa. “Mengapa mau menerima pekerjaan ini.” “Saya butuh uang untuk melunasi hutang.” “Dengan siapa?” “Pak Danaran. Dia juga memberikan pekerjaan ini ke saya.” “Apa benar kau dijual ke Pak Danaran.” “Banyak teman saya berada dalam masa pingitan kemudian dipekerjakan seperti ini untuk melunasi hutang.” “Masa pingitan? Jelaskan padaku.” “Keluarga meminjam sejumlah uang dan bunga. Pada jatuh tempo, di beri waktu selama 2 bulan untuk pelunasan. Jika tidak, mereka akan masuk masa pingitan dimana anak perempuan mereka yang masih perawan dijadikan peliharaan dan terpakai saat seperti ini.” “Jika tidak perawan, bagaimana?” “Mereka akan langsung dijual ke kota besar dan menjadi pelacur. Pak Danaran hanya memilih keluarga yang memiliki anak perempuan atau laki – laki dengan hak tanah.” Kami mengobrol selama beberapa menit. Aku takut, mereka juga mengintaiku. “Aku butuh bantuanmu. Sekarang kamu berteriaklah seakan kamu sedang aku setubuhi.” Aku duduk membelakanginya. “Cah wadon, gak usah kakean gerak.” “Mas, ojo mas. Inyong isih cilik mas. Inyong isih perawan.” “Wis lah gak usah kakean omong. Meneng ae. Enak enak pokoke.” “Ojo mas ojooooo……” “Dancuk…..bener perawan awakmu.” “Ojo di kenthu mas. Ojo. Loro mas loro.” “Rasakno ae, nduk. Penak penak.” Aku mengelabuinya. “Terima kasih atas kerjasamanya.” “Mas tidak jadi setubuhi saya?” “Aku ndak tega. Ambillah. Ada sedikit uang bisa kau pakai. Kamu punya alamat rumah?” “Ada mas.” “Tulis di kertas ini.” Ia menuliskan alamatnya. “Kamu tidak ada nomor telepon?” “Tidak ada, Mas.” “Nanti. Sebulan kemudian. Pada tanggal ini. Aku minta kamu menghubungi nomor ini. Kamu ceritain apa yang terjadi denganmu tentang Pak Danaran. Kalau bisa, ajak temanmu juga. Bilang, kamu adalah temanku. Aku minta tolong dengan sangat.” “Mas siapa sebenernya?” “Aku manusia biasa koq. Tapi, janji kamu harus hubungin nomor ini. Dia akan butuh bantuan kamu juga. Begitupun, dengan kamu.” “Makasih mas. Saya gak nyangka bisa ketemu orang kayak mas.” “Bentar, aktingmu bagus. Terusin aja di luar. Biar mereka benar – benar percaya. Sehingga kamu bisa lepas dari Pak Danaran.” Kami keluar dan Asri berakting bahwa ia telah diperawani. “Gimana mas tadi?” Tanya Tukadi “Berisik, Mas. Tapi, enak sih.” “Masnya sampe bikin meringis tuh anak.” “Bisa anter aku balik?” “Monggo Mas.” Aku kembali ke penginapan. Tidak kutemukan Zizi. Tidak di acaranya maupun kamarnya. Shit, Zizi dimana? Aku bertanya tidak ada yang mengetahuinya. Aku mencari ke penjuru OW. Tidak kutemukan Zizi. Aku berinisiatif menemui Zizi di tempat pertama kali bertemu dengan Jahri. Aku masuk ke dalam hutan. Dengan senter, aku masuk ke dalam hutan. Kulihat, tubuh manusia di seberang mataku. Ku dekati dan itu adalah Zizi. “Zizi, bangun. Zizi! Zizi!.” Aku membopong tubuhnya. Dan seseorang menyerangku dengan balok. Berhasil kuhindari. Samar, aku mengenalinya wajahnya. Dia adalah Jahri. “Sudah kuduga kau akan berbuat macam – macam.” “Aku hanya menyelamatkan dia.” “Bohong, jangan mengikutkan dia dalam masalahmu.” “Masalahku adalah untuk menjauhkan dirinya dari pengaruhnya.” “Untuk apa? Kau tidak menjelaskan mengapa orang itu begitu bersalah.” “Aku melakukan sesuatu yang kuyakini.” “Yakinkan saja kau bisa menang melawanku.” Ia menyerangku dengan balok di tangan. Aku menghindari dan menjatuhkan baloknya. “Cih….harus kuberitahu dengan cara paksa.” Ia menyerangku bertubi – tubi. Aku hanya bisa mementahkan serangan tanpa bisa membalasnya. Ia mulai kelelahan. Aku berbalik dan mencekik lehernya. Aku mengunci lehernya dan memukulkan pangkal sikutku di kepalanya 3 kali hingga ia pingsan. Aku kembali membopong Zizi yang masih tidak sadar. Kelelahan, akupun terjatuh. Kami dibangunkan oleh keributan di dekatku. Seseorang yang tidak ku kenal menungguiku. Di sampingnya ada Pak Danaran. “Syukurlah, kalian sudah sadar.” “Dimana ini?” “Di rumahku. Kalian ditemukan warga di dekat pasar.” “Dimana Zizi?” “Wanita itu? Ia berada di kamar lainnya.” “Aku harus menemuinya.” Aku keluar menuju ruangan Zizi di rawat. Ia sedang berjalan menemuiku. Aku langsung berpelukan mengenang keselamatan kami. “Kamu gak apa, Zizi? Maafin aku.” “Aku juga gak hati – hati.” “Kali ini, kita gak boleh pisah – pisah lagi. Aku pastiin itu.” Aku terus memeluknya dan tidak akan lepas dari pengawasanku. Setelah baikan, aku kembali ke kamar. “Zizi, mengapa kau bisa berada di sana?” “Aku mengikuti Jahri. Saat kau memulai rencanamu, aku melihat Jahri mengawasiku. Aku mengejarnya masuk hutan dan dari belakang aku dipukul balok.” “Dia berkata sesuatu?” “Dia hanya bilang tetap jauhi Pak Danaran karena ia berbahaya.” “Mungkin ada benarnya perkataan Jahri. Hanya saja, kita tidak memiliki bukti kuat.” “Kau mempercayai orang yang telah menyakitiku?” “Entahlah. Perkataannya mulai terbukti. Kita harus memancing Jahri keluar dari persembunyian dan membuatnya berterus terang.” “Maksudmu, kau menemukan bukti bahwa apa yang dikatakan orang itu benar?” “Begitulah. Tapi, cara yang dilakukan oleh orang itu berbeda. Ia pasti datang lagi.” “Aku takut, Grha.” “Tenanglah, Zizi. Untuk hari ini, kita di penginapan saja. Kita ke bukit batunya nanti.” Pak Danaran melalui utusannya memberikan kompensasi notebook yang sesuai dengan apa yang ia minta kemarin. Ia mulai kembali bekerja. Dan, aku sendiri menyerahkan sebuah kartu media simpan. “Aku minta data ini untuk diunggah ke penyimpananmu.” “Ini data apa?” “Nanti kau akan mengetahuinya.” Zizi mengunggah datanya ke penyimpanan virtual miliknya. “Grha, bagaimana kau bisa menemukanku?” “Perasaanku memberitahuku aku harus kesana.” “Semudah itukah?” “Akan lebih mudah lagi jika kita terus bersama.” Aku menggodanya dengan mencium rambutnya. “Hey, aku baru sembuh. Udah nakal lagi.” “Bukan nakal. Sedikit godaan bisa jadi hal yang menyenangkan ‘kan?” Ponsel Zizi berdering. “Sebentar ya. Aku angkat telepon dulu.” “Halo iya sayang….” Zizi melanjutkan teleponnya bersama pasangannya. Aku diam memperhatikan dan menunggunya selesai. Zizi berbalik kepadaku. Ia mencium bibirku. Tanganku diarahkannya masuk ke dadanya dan dibiarkannya aku meremasnya. Ia menahan desahannya agar tidak curiga. Giliran, kepalaku dijepitnya dengan dadanya. Aku menyusui payudaranya. Ia menggigit bantal sesekali untuk melepaskan ketegangannya. Tangan kirinya dengan cekatan melepas celanaku. Digenggamnya penisku yang masih kendur. Dikocoknya perlahan. “Ooohhhh……” “Ssssttttt…..” Aku kelepasan. Ia terus mengocoknya hingga tegak berdiri. Jarinya mulai menari – nari di kepala penis dan lubang kencingnya. Cairan precum ku mulai keluar membasahi ujung jari Zizi. Ia mulai menjilati penisku lembut. Ia masih menelepon pasangannya. Digigitnya batang penisku yang berdenyut. Diciumnya tanpa jijik. Ia mengambil jeda untuk mengoral penisku. Ia berbicara dengan pasangannya dan berhenti jeda untuk mengulum penisku. Shit, sensasi ini menggantung kenikmatanku. Tangannya ikut andil mengurut penisku. Ia menyedotnya seperti sedotan.
“Ssssslllluuuuurrrrrpppppp……sssssssllllllluuuuurrrrrpppp…….sssssssslllllllluuuuuuurrrrrrrrppppppp……..Ssssssssssllllllllloooooopppphhhhhhh……ssssssssllllllllooooopppphhhhh……..” Aku sampai mendorong penisku masuk mengisyaratkan aku sudah berada di ujung. Ia mengakhiri teleponnya dan menjulurkan lidahnya. “Cccccrrrrrroooooossssss……..ccccccccrrrrrroooooossssssss……..ccccccccrrrrrrooooosssssss……” Penisku berkedut menembakkan sperma panas di dalam mulutnya. Ia berkumur dengan spermaku. Bahkan, mengambil foto dengan mulut penuh sperma. Aku mengeluhkan nafasku. Seperti ada yang terlepas dariku. Zizi menelan spermaku membersihkan mulutnya dari bekas sperma. “Still more of them? I’ll suck them out.” Kami mulai foreplay untuk membangkitkan gairah kami. Tidak berapa lama, pintuku digedor dengan keras. Shit, siapa yang menggangguku sih. Aku membuka pintunya. “Permisi, Pak Grha. Pak Danaran berhasil menangkap Jahri dan sekarang sedang diarak.” “Apa? Baiklah aku kesana.” Aku menutup pintunya dan bersiap. “Ada apa, Grha?” “Jahri ditangkap. Aku harus melihatnya.” “Tunggu, sekalian kita meliputnya.” “Baiklah.” Kami berdua keluar dan benar saja Jahri sudah diamankan. Ia sedang diarak menuju kantor polisi. Sampai disana, ia langsung menjalani tahanan dan akan diputuskan pada pengadilan. “Mengapa jadi seperti ini keadaannya?” “Maksudmu, Grha?” “Dia bisa dengan mudah mengintai kita dan mencelakaimu. Tapi, begitu mudahnya tertangkap oleh anak buah Pak Danaran.” “Semoga kecurigaanmu salah.” “Semoga saja, Zizi.” Memakai samaran wartawan ini, kami berusaha untuk dekat dengan Jahri. Kami dipersilahkan untuk mewawancarainya. Jahri mengalami lebam di seluruh tubuhnya. Sepertinya habis dihajar massa. “Tuduhanmu adalah mencuri uang milik seorang pengelola penginapan. Begitu mudahkah kau ditangkap?” Tanyaku “Aku benar melakukannya. Aku tidak punya uang.” “Kau mencuri orang yang salah. Apalagi, kau mencuri uang Pak Dirgo. Tidak masuk akal.” “Aku mencuri siapapun.” “Bahkan, merusakkan notebook Zizi? Bagus sekali, karena aku tidak percaya.” “Pintu kamar tidak mengalami kerusakan berarti. Dengan kata lain, kau bisa mendapatkan kunci dengan mudah. Padahal, jika kau menjual notebook itu. Kau bisa mendapat uang lebih.” “Berarti ia disuruh merusaknya?” Tambah Zizi. “Tepat. Dan kurasa memasukkan ia di penjara adalah salah satu rencana yang dilakukan oleh 3 orang. Kau, Pak Dirgo dan Pak Danaran.” “Pak Danaran juga ikut andil?” “Iya, Zizi. Sebaiknya kau berterus terang, Jahri.” “Aku melakukannya karena ia berjanji akan mengembalikan kekasihku. Ia telah berjanji kepadaku. Jika, aku bisa melaksanakan tugasnya maka aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan.” “Kau sudah mengaku. Kami tidak akan menuntutmu lagi.” “Kalian berhati – hati lah. Mereka sudah pasti merencanakan sesuatu untuk menahan laju kalian.” Kami keluar dari kantor polisi. “Sebaiknya kita kemasi barang kita di penginapan dan nanti malam saat semuanya tidur kita pergi dari sini. Sementara itu, kita selesaikan liputan bukit batu untuk terakhir kali.” Kami pergi ke bukit batu dan menyelesaikan liputan terakhir kali. “Pemandangannya indah banget. Apalagi kalo sunset. Surga pokoknya.” “Sayang yah. Datengnya siang.” “Bentar aku foto dulu buat sosmed.” Ia memotret pemandangan dengan ponselnya. “Kita selfie berdua sekarang.” “Gak apa nih?” “Iya. Lagian biar tahu siapa yang nemenin aku sekarang.” Kami berfoto dengan background pemandangan. Hasilnya cukup bagus. “Zizi. Udah gak kerasa mau balik lagi ke jakarta.” “Aku juga bakal kangen dengan tempat ini. Terlebih lagi kamu.” “Aku juga, Zizi.” “Kalo ada waktu main ke stasiun TV nanti kita ketemuan bareng.” “Jaga – jaga, kamu hubungin koresponden kamu disini untuk jemput kamu di pertigaan xxx.” “Kenapa? Masih ada acara kamunya?” “Enggak. Jaga – jaga aja. Nanti biar dia nganter kamu ke jakarta.” “Pokoknya kamu anterin aku ke jakarta. Nanti gak aku bayar kamunya.” “Iya. Nanti aku usahain.” Kami selesai di tempat itu. Dan, menuju ke penginapan. Kami makan malam terlebih dahulu. Dan kemudian beristirahat sejenak. Barang kami telah dikemas sebelumnya. Zizi tiduran di kasurnya. Ia tidak dapat memejamkan mata. Aku berdiri di depannya. “Kamu istirahat Zizi. Aku udah nyiapin angkutan untuk kabur.” “Kesini dunk. Temenin aku tiduran.” “Iya, Zizi.” Kami berbaring berdampingan. “Dibuka dunk celana kamu. Pengen liat penis kamu lagi.” Kulepas celanaku. Penisku masih mengendur. Zizi beringsut melepaskan celananya juga. Vagina berbulunya menantang birahiku. “Kita ciuman sambil muasin diri.” Kami berdua sama – sama masih memakai baju. Kemaluan kami yang terlihat. “Mmmmmhhhhh….cup….ccccllllllluuuuuppphhhhh…..ccccccclllllluuuuuupppppphhhhhh…..cccccclllllluuuuuuppppphhhhh…….” Aku berciuman dengan Zizi. Tangan kami berpindah. Zizi mengocok penisku sedangkan, aku mengocok vaginanya. “Mmmmmmhhhhhhhh……..aaaaaaaaccccchhhhhhh……..ccccccllllluuuuuuppppphhhhhh……..cccccllllllluuuuuupppphhhhh……ooooooocccchhhhh.” Kami benar benar menuju relationship goal. Kami bertatapan mata. “Punya aku udah basah, Grha. Please yah.” “Zizi? Yakin? Aku gak mau ngerusak hubungan ini.” “Gak koq. Aku pengen banget soalnya.” Zizi membasahi penisku. Penisku menghujam keras di vaginanya. “Oooooogggggghhhhhhh…….” Aku menggoyangkan badanku. Ia merintih kesakitan. “Pelan….Grha….pelan…perih…” Kudiamkan sejenak agar vaginanya bisa menerimanya. “Buruan digerakkin.” Pinta Zizi. Aku mulai menggosok Vagina Zizi dengan penisku. Penisku berkedut merasakan nikmatnya dinding Vaginanya menekan kulit sensitif ini. “Oooooccccchhhhhh……hhhhmmmmmm……mmmmmmmhhhhhhhh……uuuuuuuuccccchhhhhhh……..sssssssshhhhhhh…..” Bosan dengan misionaris, aku menusuk penisku dengan doggie style. Pantatnya bergoyang bebas saat aku tepat memasukkan penisku. “Oooooohhhhh…..aaaaaaaahhhhhh……….ffffffffuuuuuuucccckkkkkkk……….” Aku menjambak rambut pendek dan kutunggangi dengan cepat. “Clop….clop…clop….clop…..clop…..clop…clop….cpak…..cpak….cpak….cpak….cpak….” Giliran ia menunggangiku. Rambutnya tergerai. Ia membelakangiku dan membiarkan pantatnya bekerja pada penisku. “Cpok….cpok…..cpok…..cpok…..cpok…9pok….cpok……” Ia memutar badannya dengan penis tertancap. Ia menggiling penisku dengan goyangannya dan hujamannya. “Aaahhh….Zizi….enak banget…..” “Cleph….cleph….cleph…..cleph….cleph….cleph…..cleph…..” “Ooooohhhh…..yyyyyeeeeeeaaaaaahhhhh…….ffffffffuuuuucccckkkk……meeeeee……..haaaarrrddddeeeeerrrrr….” Kuremas dadanya. Ia makin menggila. Aku membantu penisku agar lebih masuk ke dalam. “Aaaaaccchhhhh……mmmaaauuuu…..kkkkeeeelllluuuuaaaarrrrr……Grha.” “Aaaakkkuuu….jjjjuuuuggggaaaa……Zizi..” “Tunggu..jangan….tunggu.” Kalimat terakhirnya tidak kudengarkan. Tanganku berada di pinggulnya. Penisku memuntahkan spermanya di dalam. “Cccccrrrrrooootttttttssssss…….ccccccccrrrrrroooooottttttsssss…..ccccccccrrrrrroooootttttttssssssss…….” Zizi kemudian orgasme juga setelah aku ejakulasi. “CcCccccccrrrrrsssssssssssss………” “Grha, kamu udah keluarin di dalem. Tadi aku mau bilang kalo aku lagi subur.” “Apa? Aduh bagaimana ini. Aku gak sengaja. Aku lepas kendali.” “Udah bagaimana lagi. Kamu udah keluarin di dalem. Aku cuma bisa nerima aja.” “Maafin aku, Zizi.” “Aku seneng koq. Lagian, nanti aku pulang aku minta pasangan aku untuk keluarin di dalam. Jadi, kamu gak akan terlalu masalah. Tapi, aku potong untuk biaya hotelnya.” “Terserah kamu, Zizi.” Kubiarkan penisku tercabut dengan sendirinya. Zizi berbaring di atas badanku. Kami tertidur sebentar setelah pergumulan ini. Tengah malam, aku membangunkan Zizi untuk mengajaknya kabur. Aku menelepon salah satu mobil pick up dan mengantar kami hingga pertigaan xxx dimana koresponden menunggu. “Ayo, Zizi. Kita tidak punya banyak waktu.” “Iya. Aku sudah siap.” “Zizi, ada sebuah surat dariku. Jangan dibuka sekarang. Nanti kalo sudah berada di jakarta dan kita berpisah, baru kamu buka surat itu.” “Baiklah.” Kami keluar dari OW xxxx dengan aman. Disebuah jembatan, mobil kami dihentikan segerombol orang. Kami keluar dari mobil. Supir mobil itu disingkirkannya. “Serahin barang – barangnya atau mau nyawamu gak selamat.” Aku memunggungi Zizi. “Zizi, sebaiknya kau berada di sisi terjauh jembatan. Aku sudah menyuruh korespondenmu menjemputmu bersama polisi.” “Kau sudah mempersiapkannya sejauh ini.” “Karena aku ada bukti yang menyebutkan Pak Danaran terlibat. Kau sudah mengunggahnya kemarin.” Ia berlari ke sisi terjauh jembatan. “Kalian mencari buktinya kan? Ada di kartu ini. Tapi lepaskan wanita itu.” Perhatian mereka teralihkan. Segera saja mereka mengeroyokku. Aku terlibat baku hantam dengan mereka. Aku kalah jumlah. Tetap kulawan saja. Mereka berusaha untuk merebut kartu media ku. “Grhaaaaa!” Zizi berteriak. Perlawanan itu tidak cukup lama bertahan. Aku terdesak hingga ke tepi jembatan. Mereka terus menghajarku habis – habisan. Digeledah badanku. Aku sudah tidak bisa melawan lagi. Zizi mematung di tempatnya. Salah satu dari mereka mendapatkan kartu medianya. Dalam keadaan seperti ini, mereka mendorong badanku jatuh dari jembatan. Aliran air cukup deras saat itu. Membawaku hanyut dengan aliran sungai. “Grhaaaaaaaaa!” Zizi mulai menitikkan air mata. “Don’t die on me, Grha.” Zizi tidak percaya bahwa Grha mengorbankan nyawa untuk keselamatan dirinya. Sirine polisi nyaring terdengar. Gerombolan ini langsung berhamburan melarikan diri. Ternyata, mobil itu dikendarai oleh koresponden yang dihubungi. “Nona Zivanna, ayo masuk. Saya akan mengantar anda pulang.” “Tapi, Pak. Kameramen saya hanyut di sungai. Kita harus menolongnya.” “Saya tahu. Tetapi, keadaan masih tidak aman. Saya disuruhnya untuk mengantar anda.” “Enggak. Saya gak akan pulang sebelum saya lihat dia.” “Nanti, besok pagi. Akan saya panggil polisi untuk menyisir tempat ini.” Zizi meronta menolak ajakan korespondennya. Ditariknya masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, Zizi meratapi kepergian Grha. Sesenggukan itu kadang pecah menjadi air mata. Akhirnya, liputan Zizi digunakan dalam special report. Tayangannya mendapat share tinggi. Walaupun begitu, ia masih teringat dengan Grha. Tentu saja, Syifa shock mendengar kabar ini. Mereka sempat berselisih akibat peristiwa ini. Namun, pada akhirnya mereka berbaikan karena pada dasarnya hal ini adalah sebuah tindakan dari seorang manusia. Surat yang diberikan Grha dibaca oleh Zizi dengan haru. Dalam surat itu digambarkan betapa senangnya ia bisa bersamanya. Ia meminta maaf tidak bisa mengantarnya ke Jakarta dan mengusut keterlibatan Pak Danaran. Ia meminta kesabaran selama sebulan. Zizi mengambil dildo kesukaannya. Ia merenggut pakaian peninggalan Grha yang berhasil ditemukan. “Grha…..ooooccccchhhhh…..” Diciumnya pakaian yang usang itu untuk mengingatkan dirinya dengan Grha. Sementara, dildo itu terus dimasukkan ke dalam vaginanya. Beberapa saat kemudian, ia kelelahan akibat bermasturbasi. Ia terus mengingatnya. “Grha, aku kangen kamu.” Sebulan kemudian, Zizi sibuk bekerja dengan liputan investigasinya. Rekaman percakapan Grha dengan seorang perempuan bernama Asri di dengarnya berulang – ulang. Suara Grha masih terngiang di pikirannya. Ponselnya berdering. Dari nomor telepon rumah yang baru di lihatnya. “Halo, dengan Zivanna.” “Ha, Halo. Saya Asri, Ibu Zivanna.” “Asri? Asri siapa ya?” “Saya disuruh Mas Grha untuk menelepon Ibu. Katanya Ibu butuh bukti bahwa Pak Danaran berbuat kejahatan. Katanya ibu bisa membantu saya.” “Kapan bisa bertemu?” “Saya tidak bisa kemana – mana. Paling saya cuma bisa di terminal bus kota xxx.” “Besok jam 10 pagi. Kita ketemu. Saya pakai seragam TV.” “Baik, bu. Terima kasih.” “Terima kasih.” Zizi menutup ponselnya. “Grha, inikah yang kau rencanakan? Andai kamu masih hidup.” Zizi meminta izin untuk dinas luar dan bertemu dengan perempuan bernama Asri tersebut. Dan, ia bersemangat mengungkap kejahatan Pak Danaran. Finally, Should I live as a monster? Or die as a good man? Or else? Who knows Sekian dan Terima kasih untuk semua perhatiannya.