Kutambatkan tali si Ireng, kebo peliharaanku, pada pohon albasia. Si kebo pun mendengus senang dan langsung menyisir lahan yang dipenuhi rumput hijau. Buntutnya tak berhenti ngepot. Setelah menepuk punggungnya, aku sedikit menjauh dan duduk berteduh di bawah pohon kelapa.
“Belum dimasukan kandang toh, Na? Udah sore loh.” ujar seorang wanita yang sedang mencuci pakain di tepi kolam ikan. Posisi kami berseberangan, aku di sisi atas, tepatnya di sisi tebing, sedangkan wanita itu berada di bibir kolam.
“Eh ada bibi. Nanti aja Bi, saya tidak ngarit, jadi biarin si Ireng kenyang dulu.” jawabku sambil menyalakan rokok.
Wanita itu hanya tersenyum dan kembali fokus pada pekerjaannya. Namanya adalah Bi Ira, tetangga rumah yang berjarak sekitar seratus meter dari rumahku. Usianya belum genap empat puluh tahun. Namaku sendiri Sena, atau lebih keren lagi Sena Wiwaha Obam Taryadi. Kadang-kadang temanku memanggilku SWOT atau WOT saja yang merupakan singkatan dari namaku. Usiaku mendekati sembilan belas tahun.
Aku menghisap rokokku sambil menikmati semilir angin. Sekali-kali aku dan Bi Ira terlibat obrolan tentang musim kemarau yang membuat kami harus menunda tandur di sawah.
“Bapaknya si Sari besok mau mau nguli di kota, kalau hanya nungguin musim hujan datang mah nanti dapur keburu tidak bisa ngebul.” ujarnya. Yang dia maksud adalah suaminya, sedangkan Sari adalah anaknya yang bulan lalu baru menikah dan tinggal di kampung sebelah.
“Si mamang mau kerja apa di kota, Bi?”
“Diajak Mang Kuci ngebangun rumah saudaranya di sana.”
“Oh gitu. Tapi nanti kalau si mamang masih di kota terus ada hujan gimana atuh, Bi?” ujarku.
“Ya palingan kalau nyingkal (membajak sawah) ama nyangkul mah bibi mau minta tolong kamu ama tetangga lain. Bisa, kan?”
“Siap, Bi. Kan biasanya juga saya yang nyingkal.”
Bi Ira pun selesai membersihkan semua pakaiannya dengan sabun, tinggal membilas. Ia berdiri dan menaikan kain sarung yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Dengan cekatan ia menaikan kain itu hingga di atas lutut dan mengikatnya. Itu ia lakukan bukan supaya penutup tubuhnya basah, melainkan supaya kain itu tidak mengapung di atas air sehingga auratnya bisa tidak terlindungi.
Bi Ira pun turun ke tepian kolam, tubuhnya tenggelam hingga sebatas pinggang.
Aku menelan liur tanpa sadar. Kulit tubuhnya tidak putih, tetapi sangat mulus, kakinya jenjang indah. Bi Ira pun mulai membilas.
Sebenarnya pemadangan seperti ini sudah biasa di kampungku, bahkan aku sudah terbiasa melihat perempuan mandi di tampian, tetapi entah kenapa kali ini perasaanku berdesir halus. Mataku lekat memandang paha Bi Ira, dan menjelajahi semua lekuk tubuhnya. Payudaranya yang cukup besar tak luput dari pengamatan mesumku. Aku hanya berpaling membuang muka ketika ia menengok ke arahku di sela obrolannya.
Kegiatan membilas Bi Ira membuat pakaiannya lambat laun basah. Lekuk tubuhnya semakin terpampang jelas. Betis dan pahanya membayang di antara riak air, pinggulnya membulat. Payudaranya bergoyang seiring gerakan tangannya. Rambutnya yang digelung terurai, berkibar keemasan diterpa sinar matahari sore.
Entah berapa batang rokok yang kuhabiskan. Yang jelas selalu kusambung untuk menenangkan resah, dan desiran aneh yang tiba-tiba melingkupiku. Aku bisa dibilang tidak sedang mengintip karena aku tidak berlindung untuk menyembunyikan tubuhku; Bi Ira juga tahu akan kehadiranku. Kami malah saling bercengkerama. Tetapi mata ini.. aku tidak bisa menolak untuk selalu menatapnya. Dan anganku mulai melayang mebayangkan kemolekan tubuh Bi Ira jika tanpa berpakaian.
“Bibi mau sekalian mandi.” ujarnya. Rupanya kegiatan mencucinya sudah selesai.
“Eh iya, Bi.” aku menjawab sambil mengubah poisi dudukku. Tidak membelakanginya, tetapi menyamping sehingga aku masih bisa mengintipnya dari sudut mataku.
Setelah melihat ke arahku untuk memastikan bahwa aku tidak menghadap ke arahnya, ia pun membelakangiku. Sebuah posisi yang sangat menguntungkan sehingga aku bisa mengamati tubuhnya dari belakang.
Detak jantungku berubah lebih keras ketika Bi Ira melolosi kaosnya. Perlahan tapi pasti kaos itu naik melewati leher dan kepalanya. Kulit kuning langsat punggungnya langsung terpajang, sedikit mengkilap karena basah sekaligus terkena terpaan sinar matahari. Aku menelan liur, garis hitam beha hitamnya terlihat begitu seksi, sangat kontras dengan warna kulitnya.
Bi Ira masih mengencangkan ikatan sarung pada pinggangnya. Ia kembali menengok ke arahku, sebelum ia melepas satu-satunya kain yang menutupi bagian atas tubuhnya. Sigap aku membuang muka dan seolah-olah asik dengan rokokku. Untung Bi Ira tidak menciduk kelakuan, ia malah kembali mengajak ngobrol.
Dua tali beha sudah turun dari bahunya. Lantas ia memutar kain itu untuk membuka kaitannya. Aku yakin kedua payudaranya sudah tidak ada lagi penyangga. Perasaanku kelabakan membayangkannya. Aku menghela nafas halus sambil kembali mengamati kulit punggungnya.
Kulihat Bi Ira menenggelamkan tubuhnya ke dalam air hingga sebatas leher. Bayangan tubuhnya bergoyang karena riak air. Aku malah membayangkan tubuh polos Bi Ira yang melenggang-lenggok. Hadeuuuh.. aku benci pikiranku sendiri!
Jantungku semakin berdebar kencang ketika kulihat Bi Ira mulai menggosok tubuhnya. Nafasku menjadi pendek. Tanpa sadar tanganku membetulkan isi celana yang tiba-tiba menggeliat.
Obrolan Bi Ira hanya kutanggapi singkat-singkat. Aku lebih fokus mengamati tubuhnya yang sintal walau hanya sebatas dari arah belakang. Gerah oleh keadaan aku pun pamit.
“Saya mau mindahin si Ireng dulu, Bi.” ujarku sambil berdiri membelakanginya. Kusampaikan juga bahwa aku akan mandi setelah Bi Ira pergi.
Aku pun melenggang sambil menghembuskan deras nafas. Aku tidak berbohong, kupindahkan ikatan si jalu walaupun rumput di sekitar masih banyak. Tapi aku kembali ke tepi-atas kolam tanpa Bi Ira tahu.
Aku tengkurap di antara rerimbunan semak. Memosisikan diri seaman mungkin, yang penting masih ada celah untuk mengintip.
Jantungku semakin berdetak keras. Bukan hanya karena pemandangan di dalam kolam, dimana ada Bi Ira yang setengah bugil, tetapi juga karena takut ketahuan.
Bi Ira sendiri terlihat lebih leluasa mandi karena dipikirnya sudah tidak ada orang. Ia membilas rambut dan keramas. Bukan itu yang membuatku terbelalak menganga, melainkan karena kedua payudaranya yang menggantung indah, muncul-tenggelam di atas permukaan air. Nampak sekal dan menggiurkan, besar dan menggemaskan. Aku benar-benar disuguhi pemandangan erotis nan mendebarkan.
Selesai keramas, Bi Ira mulai menyabuni tubuhnya. Mulai dari leher, dan turun ke payudara. Ketiaknya yang berbulu tak luput dari dari gosokan busa sabun.
Suhu tubuhku kian panas, sementara isi celana sudah sangat tegang. Kutekan-tekan hingga ke tanah.
Bi Ira melihat ke sekililing. Setelah yakin tidak ada orang, ia pun berdiri. Kini aku bisa benar-benar melihat tubuh bagian atas Bi Ira yang telanjang; rambut dan tubuhnya basah. Dan payudaranya itu.. sungguh sangat merangsang.
Bi Ira membuka ikatan tali sarungnya pada pinggang, tapi tidak menanggalkannya. Tubuhnya setengah membungkuk sehingga payudaranya menggelantung, jentik-jentik air menetes dari kedua putingnya.
Rupanya Bi Ira sedang menyabuni vaginanya yang tetap terlindung sarung. Tapi pikiranku sudah membayangkan tubuh polosnya yang tanpa pelindung. Nafasku menderu tanpa bisa berbuat apa-apa selain nafsu yang tak tersalur. Pikiran gelapku mendorong supaya aku melompat ke dalam kolam, berenang dan menangkap tubuh Bi Ira. Menggerayanginya dan jika mungkin menyetubuhinya. Tapi akal sehatku jauh lebih kuat. Aku belum mau hidupku kiamat.
Bisaku saat ini hanyalah terus mengintip sambil mengocok isi celanaku. Mataku lekat menatap Bi Ira yang asik mandi, membayangkan bahwa aku sedang mencumbunya. Dan aku muncrat bersamaan dengan berakhirnya pemandangan di dalam kolam. Bi Ira sudah menyudahi mandinya, aku terkulai lemas dengan nafas ngos-ngosan.
Pengalamanku seminggu lalu membuatku berubah. Cara pandangku terhadap perempuan, khususnya Bi Ira juga berubah. Ada bayang-bayang erotis di dalam benakku, dan ada pikiran-pikiran nakal yang selalu menggelitik ketika aku bertemu dengannya. Terlebih dari itu, aku mulai mengagumi Bi Ira. Rasa kagum yang bukan hanya pada tubuhnya yang pernah kuintip, tetapi juga perasaan ganjil yang sangat sulit kujelaskan. Aku seperti sedang jatuh cinta pada perempuan yang bukan seharusnya.
Kadang aku suka merasa malu sendiri ketika bertemu dengan Bi Ira. Tetapi selalu ada keinginan kuat untuk bertemu dengannya lagi dan lagi, walaupun sering kubuat seolah-olah tidak sengaja. Seperti berpapasan di jalan sepulang dari ladang, selalu lewat halaman rumahnya ketika menuntun si Ireng pulang dari sawah, atau pura-pura bertemu tidak sengaja di kolam pemandian ketika sore tiba. Hal ini terus kulakukan selama seminggu terakhir.
“Wot, nanti malam jadi, kan?” Pento membuyarkan lamunanku.
Siang ini aku sedang berkumpul dengan teman-temanku di saung sawah. Selain Pento, ada juga Janadi dan Ruko.
“Jam berapa berangkat?” aku balik bertanya.
“Bada magrib aja.” ketiga temanku menjawab serentak.
Malam ini memang ada hajatan di dayeuh (desa). Pak Lurah mengawinkan anaknya dan mengadakan pertunjukan wayang golek dengan mendatangkan dalang kondang dari kota kabupaten. Beberapa ibu-ibu sudah berangkat lebih dulu sejak tadi pagi untuk bantu-bantu. Para sesepuh kampung juga sudah berangkat.
“Sindennya bahenol-bahenol sia.” celetuk Ruko.
“Halah kayak pernah lihat aja!” aku menimpali.
“Ari siaa.. kan tahun lalu kita nonton pertunjukan mereka di Cinunuk.” nada suara Ruko meninggi dan aku menjawab dengan terkekeh. Aku lupa kalau kami pernah nonton ki dalang dan para sindennya di sana.
“Yaah.. siapa tahu aing bisa ketemu jodoh di sana. Nih pusaka sudah saatnya nandang makalangan (bertarung).” Junadi menyahut sambil menggaruk-garuk selangkangannya.
Ucapan Janadi sontak membuat kami ngakak, Pento malah terbahak sambil menggeplak kepalanya.
Di antara kami berempat memang hanya aku dan Janadi yang belum punya pasangan. Pento sudah pacaran dengan Aitun sepupuku, sedangkan Ruko akan menikah tahun depan dengan Nyeni, bunga kampung dari Babakan Gundul.
Puas bercanda tawa, kami lantas pulang ke rumah masing-masing. Aku pulang sambil memikul kayu bakar dan meletakkannya di samping rumah. Rumah sudah kosong karena uwa dan sepupuku sudah berangkat ke desa sejak kemarin. Aku memang tinggal bersama keluarga mereka karena aku sudah yatim piatu.
Aku masuk rumah untuk mengambil handuk dan alat mandi, lantas melenggang menuju kolam di sebelah barat kampung. Kampung kami terletak di sebuah bukit. Sebenarnya kolam-kolam warga -yang umumnya dijadikan tempat pemandian- terletak di sebelah utara. Berupa sebuah lembah yang mengalir sungai kecil. Di sana juga membentang area pesawahan warga.
Tetapi sejak kejadian sore itu, aku lebih suka mandi di satu-satunya kolam di sebelah barat. Kolam itu lebih dekat dengan rumah Bi Ira. Rumahnya memang agak sedikit terpencil walaupun tidak sangatlah jauh dari pemukiman.
Aku berjalan melewati rumah Bi Ira yang sepi. Pikirku karena penghuninya sudah berangkat ke desa dengan ibu-ibu yang lain, sedangkan Mang Ncrot suaminya masih kerja di kota. Namun setibanya di tepi kolam…
“Bi?” heranku.
Bi Ira baru saja selesai mandi dengan tubuh hanya dibalut kain batik basah. Tetesan air mengalir pada pahanya yang hanya tertutup setengah. Bagian belakang kain lebih terangkat karena pinggulnya yang besar. Dadanya membusung dan belahannya payudaranya terlindung oleh ikatan kain.
“Bibi tidak berangkat ke desa?”
“Oh kamu, Sen. Kirain bibi kalian sudah pada berangkat.” sahutnya. Ia meneruskan, “Bibi juga inginnya berangkat, tapi gimana.. kalau berangkat gak ada yang ngasih makan kambing.”
“Oh gitu? Ayo berangkat bareng saya aja, Bi.” kusampaikan pula bahwa aku akan berangkat bersama teman-temanku.
“Nanti nginap di mana? Kan bibi mah gak punya saudara di desa.” jawabnya bimbang.
“Ah gak usah nginap, Bi, kita langsung pulang subuh aja.”
Setelah terjadi perdebatan kecil akhirnya Bi Ira berhasil kubujuk. Ia mau berangkat. Aku sangat senang karena punya alasan untuk selalu berdekatan dengannya.
Bi Ira kemudian membungkuk untuk mengambil baskom berisi perabotan yang telah selesai dicuci. Aku menahan nafas karena disuguhi pemandangan pinggul dan paha belakangnya.
Ia pun menyuruhku mandi, sekaligus pamit untuk siap-siap.
Tanpa menunggu sosoknya menghilang, aku langsung bugil dan loncat ke dalam kolam. Kuabaikan Bi Ira yang menengok karena ulahku. Senyumnya terulas.
Aroma sabun bekas mandi Bi Ira langsung tercium dan aku menikmati mandiku seolah-olah sedang saling menyabuni dengan Bi Ira. Sial si jago malah menggeliat dan tegang. Tak dikocok sayang, tapi kalau dikocok nanti lemas di jalan. Haiisssh!!!
Tepat jam enam sore kami berkumpul di depan rumahku dan berangkat. Sempat terjadi canda-tawa karena teman-temanku menggoda Bi Ira dengan bilang cantik. Ia memang terlihat cantik dengan balutan rok panjang sampai semata kaki. Tubuhnya memang terbungkus, tapi lekuknya sangatlah menggoda kelelakian. Wajahnya juga dipulas.
Bi Ira tentu saja pura-pura marah karena digoda anak-anak muda kurang ajar, dan itu malah membuat teman-temanku semakin menggodanya.
Kami berlima beriringan menuruni jalan setapak, meninggalkan kampung. Hari sudah remang-remang. Perkebunan kami lewati, pematang sawah kami susuri, dan melewati hutan ketika hari sudah benar-benar gelap. Pento yang paling depan menyalakan senter juga aku yang berjalan paling belakang. Di depanku persis Bi Ira dan tanpa ia ketahui sekali-kali kuarahkan senter pada lenggokan pinggulnya.
Meskipun gelap dan melewati hutan, kami berjalan tanpa lelah dan takut. Obrolan-obrolan penuh canda selalu kami lemparkan. Tak jarang sambil ngobrolin keseharian yang tak jauh dan sawah, ladang, dan ternak peliharaan. Juga tentang musim kemarau yang tak kunjung usai.
Yang paling bersemangat tentu saja Pento. Ia senang karena akan bertemu dengan Nyeni sepupuku. Kuyakin mereka sudah janjian untuk memisahkan diri dan nonton berdua.
Kami pun telah melewati turunan terakhir dan tiba di jalanan datar yang membelah pesawahan warga desa. Suara talu-taluan nayaga sudah terdengar, meski masih pemanasan karena pertunjukan baru akan dilaksanakan setelah Isya.
Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar, sekedar untuk mengeringkan sedikit keringat dan mencuci kaki. Sejak berangkat kami memang berjalan tanpa alas kaki; sendal kami jinjing mengingat curamnya jalan yang harus kami lalui. Bukan karena kami tidak bisa berjalan tanpa alas kaki, tetapi karena kebiasaan saja, langkah kami akan terasa lebih lincah jika nyeker. Di samping itu, sendal pun akan awet dan tidak mudah rusak atau putus.
Aku dan teman-temanku menyalakan rokok, sedangkan Bi Ira masih sibuk merapikan diri. Tak hentinya kami bercanda, saling berkelakar dan bahkan ‘saling menghina’, sedangkan Bi Ira hanya senyam-senyum melihat ulah dan tingkah kami. Sekali-kali ia mengingatkan agar tidak berbicara kasar.
Kami pun melanjutkan perjalan dan memasuki jalan desa yang berbatu, tetapi sudah bisa dilalui kendaraan beroda. Keramaian mulai terdengar, dan lampu-lampu dari lokasi hajatan tampak benderang.
Benar saja, suasana sudah sangat ramai. Banyak orang berjualan di pinggir jalan. Sementara tenda besar tempat dilaksanakannya perhelatan sudah dipenuhi orang. Kami bertutur sapa dengan beberapa warga yang dikenal.
Kami berputar-putar untuk mencari posisi nyaman untuk menonton, tetapi semuanya sudah penuh sesak oleh penonton. Akhirnya kami hanya bisa duduk di lapangan di belakang kerumunan. Tapi lumayan kami masih bisa melihat ke arah panggung.
“Bibi kebelet kencing.” ujar Bi Ira tiba-tiba
“Lah bukannya dari tadi, Bi.” protes Ruko.
“Ya tadi mah belum pengen atuh.”
Kami saling tunjuk siapa yang akan menemani Bi Ira karena ia minta ada yang menemani. Aku pun menjadi korban. Aku pura-pura ngedumel walaupun sebenarnya hati senang. Aku dan Bi Ira meninggalkan area pagelaran dan berjalan mencari tempat sepi. Langkah kami tidak panjang karena selalu saja bertemu dengan warga yang dikenal.
Kami melewati gang di antara rumah-rumah yang sepi karena penghuninya sudah pada ke lapangan.
“Di sini aja, Bi.” ujarku ketika sudah menemukan tempat yang sepi.
Bi Ira hanya mengangguk dan langsung berjingkat menuju rerimbunan pohon pisang. Mungkin karena sudah sangat kebelet, tanpa pikir panjang ia mengangkat roknya. Celana dalamnya yang berwarna krem langsung terpajang. Nampak ketak membungkus bulatan pinggulnya.
Aku termangu memandangnya. Nafasku langsung terasa pendek. Celana dalam itu pun melorot dan Bi Ira berjongkok. Semburan air kencing langsung terdengar.
Aku benar-benar terpana. Mataku lekat menatap bulatan pinggul Bi Ira. Walaupun sedikit remang, aku masih bisa melihatnya.
Bi Ira menengok dan ia nampak kaget ketika memergokiku yang sedang menatap pinggulnya. Spontan ia menurunkan roknya. Aku yang masih terkesima tetap melongo tanpa memalingkan muka.
“Sena!!” hardikan kecil terdengar dan aku tergagap.
“Maaf, Bi.” hanya itu yang terucap.
Aku pun memalingkan muka. Gairah, takut, dan malu bercampur menjadi satu. Sisanya putaran waktu terasa lebih lambat. Aku menunggu tanpa berani lagi melihat ke arah Bi Ira.
“Udah yuk.” suara itu begitu dekat.
“Eeeh iii..iyaaa, Bi.” jawabku sambil menunduk malu.
“Makanya cepetan cari jodoh biar gak nafsu ama emak-emak.” Bi Ira berujar. Ia seperti paham akan gejolak perasaanku saat ini; sekaligus berusaha untuk mencairkan suasana. Aku tidak tahu apakah sebenarnya ia marah atau tidak.
“Maaf, Bi.” aku memelas, kali ini sambil memberanikan diri menatapnya.
“Kamu itu.” dengan wajah nampak cemberut.
Tapi.. eh.. ia mencubit tanganku. Aku tidak sedang bermimpi. Cubitan ini.. aaah apa artinya? Aku sukaa. Aku suka sekali jika bersentuhan dengannya, walaupun hanya sebatas kulit tangan.
Tanpa banyak kata lagi Bi Ira mendahuluiku berjalan. Aku bergegas menjejerinya. Kali ini kami berjalan bersisian. Kulirik wajahnya. Bi Ira nampak biasa. Tidak marah karena kuintip.
Srrrr.. perasaanku kembali berdesir ketika punggung lenganku yang terayun menyentuh lengannya. Perasaan ganjil apa ini? Ahh…
Sebenarnya itu peristiwa wajar dan tanpa kesengajaan. Bi Ira pasti tahu itu. Tapi.. aku ingin mengulanginya. Kusentuhkan lagi lenganku seolah tidak sengaja, sambil melirik Bi Ira melalui sudut mataku. Setrum itu kembali ada dan menjalari perasaanku.
Sadar bahwa Bi Ira tidak protes atau menghindar, aku menjadi semakin berani. Hampir setiap ayunan tangan selalu kusentuhkan.
Satu hal yang pasti. Langkah kami menjadi pendek tanpa sepakat. Jalan kami menjadi pelan. Naluri kelelakianku semakin bekerja, akal sehat terkalahkan oleh rasa penasaran. Berulang kali kubuka telapak tanganku untuk menggenggamnya. Tapi urung.. terus berulang…
Dug dug.. jantungku berdebar kencang. Telapak tanganku berubah dingin.
Taaap.. aku sudah benar-benar nekad. Kutangkap dan kugenggam tangan Bi Ira. Wanita itu tampak terkejut, langkahnya terhenti.
Ia menatapku dengan kening berkerut, aku menunduk tanpa melepaskan genggaman. Satu detik.. dua detik.. tik tok tik tok. Entah… tanpa komando kami kembali melangkah bersisian. Tanpa kata, tanpa suara, tapi tangan ini tetap saling menggenggam. Sama-sama terasa kaku.
Aku tak berani meliriknya, pun pula Bi Ira. Kami berjalan dalam diam, hanya tangan yang saling menggenggam.
Genggaman kami baru sama-sama terlepas ketika memasuki kembali keramaian. Semuanya kembali wajar seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Namun ketika tiba di tempat semula, teman-temanku sudah tidak ada. Kami sama-sama celingukan mencari.
“Bibi tunggu dulu sini, saya mau mencari mereka.” ujarku.
Bi Ira mengangguk, lalu duduk di atas rumput. Posisi kami memang agak tinggi di tepi lapang sehingga masih bisa melihat ke atas panggung.
Aku berkeliling untuk mencari tiga manusia laknat yang tiba-tiba menghilang. Sekali-kali aku menyelinap di antara kerumunan penonton. Sementara di atas panggung gunungan sudah terpasang, pertanda pertunjukan wayang akan segera di mulai.
Akhirnya aku bisa melihat Janadi dan Ruko berdiri di dalam panggung, di belakang barisan kursi para undangan. Kampret memang.. pasti mereka ingin melihat para sinden dari dekat. Kuputuskan untuk tidak menemui mereka karena penonton cukup penuh sesak. Lagi pula kuyakin mereka tidak akan mau meninggalkan posisi mereka sekarang.
Aku keluar dari kerumunan, sekarang tinggal mencari si Pento. Susah juga mencari manusia itu.
Aku malah bertemu uwaku di sisi utara lapangan. Dan dari uwa aku tahu kalau Aitun sepupuku nonton bersama Pento, entah sebelah mana. Akhirnya aku pamit pada uwa, dan aku tidak perlu mencari mereka. Mereka pasti sedang mojok pacaran.
Aku pun kembali kepada Bi Ira setelah sebelumnya membeli kacang rebus dan sirup yang dibungkus plastik.
“Mana mereka?” sambutnya.
“Janadi ama Ruko nonton di depan. Kalau Pento pacaran ama Aitun.” jawabku setengah menggerutu, dan Bi Ira menanggapi dengan senyuman.
Dan..
Aku dan Bi Ira sama-sama tertawa saat menyadari apa yang kami pegang. Rupanya Bi Ira juga membeli dua bungkus sirup dan kacang rebus. Warna dan merk sirupnya sama seperti yang kubeli. Kekakuan yang sempat terjadi pun langsung cair.
Kami duduk bersisian sambil menonton dan menikmati kacang rebus. Sekali-kali saling ngobrol mengomentari lakon yang akan dibawakan oleh ki dalang. Entah Bi Ira sadar atau tidak, aku sih sadar karena memang sengaja, duduk kami cukup rapat walau tidak saling menempel. Tujuanku memang hanya satu, ingin kembali menyentuh kulit tangannya meskipun dibuat seolah tidak sengaja. Aku ketagihan menyentuhnya.
Pagelaran wayang golek pun dimulai dengan lakon Kuciah Nyawah Tetangga Sebelah. Penonton mulai menyimak, tetapi aku tidak. Aku sudah tahu, biasanya nanti di setiap babak kisah diselingi oleh jaipongan dan bobodoran si Cepot. Itu saja yang kutunggu. Sekarang fokusku hanyalah wanita sebelah.
Kuusap tanganku pada celana, lalu perlahan kucari tangan Bi Ira. Berhasil kusentuh. Tapi wanita di sampingku belum menyadari keinginanku. Perlahan jariku merambat megusapi punggung tangannya. Bi Ira berpaling padaku, matanya melotot.
Sigap ia menjauhkan tangannya. Tapi aku lebih cepat. Kugenggam erat. Ia kembali melotot. Tapi aku pura-pura fokus ke depan.
Genggamanku sungguhlah kaku. Tapi bahwa ia tidak lagi berusaha melepas itu sudah cukup bagiku.
Kudengar Bi Ira mendesah halus. Dan di luar dugaanku, ia menurunkan ujung kain batik yang sedari tadi ia selendangkan untuk menutupi punggungnya. Tangan kami pun terlindung. Aku semakin berani. Kugenggam telapak tangannya. Senang ini tak terkira ketika ia membalas.
Aku mulai meremas meski ia tidak membalas. Bi Ira sendiri tetap fokus menonton sambil sekal-kali menyeruput minumannya.
Ia sedikit bereaksi ketika aku mengusapi bulu-bulu halus pada punggung buku jarinya. Berulang kali ia mendesah halus seolah sedang membuang gundah; hatinya mungkin sedang berkecamuk. Entahlah.. tapi dari pihakku, aku menikmati kebersamaan dan sentuhan-sentuhan halus ini.
Malam semakin larut, kisah yang dibawakan semakin seru. Semua penonton seperti dibawa hanyut ke dalam kisah itu sendiri. Sekali-kali gelak tawa bergemuruh ketika dalang mempertontonkan kekonyolan sang lakon.
Tepat tengah malam saatnya break bagi dalang. Panggung dikuasai oleh nayaga dan penari jaipong. Penonton pun batal ngantuk. Yang duduk pada berdiri dan bergoyang.
Bi Ira nampak jengah karena penonton bukan menikmati seni jaipongannya, melainkan gagal fokus pada lekuk tubuh para sindennya. Ia pun berdiri sehingga mau tidak mau genggaman tanganku kami terlepas.
“Bibi mau kencing lagi.” ujarnya.
Aku pun berdiri mendengarnya. Kami keluar dari kerumunan, tapi kali ini menuju arah yang berbeda.
“Kenapa, Sen?” suaranya pelan ketika kami tiba di tempat sepi.
Aku berhenti, tapi langsung melangkah lagi ketika melihat ia tidak menghentikan langkahnya.
“Kenapa?” kali ini lebih tegas.
“Maaf.” aku hanya bisa menjawab itu.
Bi Ira mendesah antara bingung dan kesal. Kami melangkah tanpa arah, sedangkan Bi Ira seperti sudah lupa pada kebelet kencingnya.
“Kamu itu masih muda, dan punya rupa. Carilah pacar. Kalau tidak ada yang cocok di kampung kita, di kampung sebelah atau di dayeuh pasti banyak kok yang akan suka pada kamu. Asal kamunya mau mencari.” kata-katanya lebih mengalir.
“Tapi aku suka bibi.” sial.. dasar mulut tidak sekolah. Aku kaget sendiri mendengarnya, dan aku takut Bi Ira marah.
Benar saja. Bi Ira menghentikan langkahnya dan menatapku tajam. Aku sudah siap menerima makiannya, tetapi untung hal itu tidak terjadi.
“Tapi ini salah, Sen. Bibi sudah punya suami dan sudah tua.” ia seakan menyadarkanku sekaligus menyadarkan dirinya sendiri.
Bi Ira benar. Tapi perasaanku juga benar. Aku menyukai wanita di hadapanku. Akal bisa memberi pembelaan dan mengingatkan akan nilai moral, tapi rasa bisa datang tanpa diduga dan tanpa bisa diarahkan harus ditujukan kepada siapa.
Sadar bahwa di tempat sepi ini hanya ada kami berdua, diriku malah semakin dikuasai perasaan. Nafasku tersengal.. tanganku mengepal… ada pertentangan antara peringatan akal dan dorongan perasaan.
“Maaf.” bibirku bergetar.
Lain kata, lain tindak. Usai berkata begitu aku langsung memeluk Bi Ira. Wanita itu tentu saja kaget, dan memberontak.
“Sena.. Sadar Sena!!” Bi Ira setengah menghardik.
Bukannya sadar, pelukanku malah semakin erat sehingga dorongan tangan Bi Ira sia-sia.
“Kamu ini kesambet apa sih? Sena sadaaar!!!” Bi Ira menekan suaranya sambil celingukan, mungkin ia takut dilihat orang.
“Aku suka bibi.” akhirnya aku bisa kembali bersuara.
“Tapi ini salah, Sena!!” ujarnya. Kali ini Bi Ira sudah tidak meronta. Berdiri kaku.
Itu sudah cukup bagiku. Meskipun ia tidak membalas pelukanku, tapi bahwa ia tidak melawan sudah cukup membuatku senang. Jantung berdebar sangat kencang ketika menghimpit dua gundukan payudara Bi Ira yang turun naik karena sengal nafas wanita itu. Bedanya ia tersengal mungkin karena marah atau takut dilihat orang, sedangkan aku tersengal karena takut bercampur nafsu.
“Sudah, Sen, ayo lepaskan. Kita bicarakan baik-baik.” terdengar Bi Ira menekan suaranya agar terdengar lembut dan tenang. Sepertinya ia tahu bahwa ia sudah tidak bisa melawan.
Aku tidak menuruti kemauannya, pelukanku semakin erat karena aku ingin merasakan empuk payudaranya lebih dalam. Bukan hanya itu, aku mulai mendenguskan nafas resah dan menciumi leher samping dan belakang Bi Ira. Wanita itu kembali meronta; dan hasilnya tetap sia-sia.
Sial bagiku, dan keuntungan bagi Bi Ira. Tiba-tiba dari arah kegelapan terdengar suara orang tertawa. Bi Ira mendorong tubuhku sambil berusaha menghindari ciuman-ciumanku. Satu kecupan bibir tanpa sengaja masih sempat menempel sebelum akhirnya tubuhku terjejer ke belakang.
Kami berdua celingukan ke arah datangnya suara. Gelap. Sadar bahwa ini kesempatan, Bi Ira langsung menjauh setengah berlari.
“Lebih baik bibi mencari uwamu dan nonton bareng mereka.” ujarnya.
Mendengarnya, aku panik. Aku takut Bi Ira ngadu pada uwaku. Namun belum juga aku menyusulnya, suara tertawa itu kembali terdengar. Bukan hanya satu orang, melainkan beberapa orang pria. Aku bimbang sebentar.
Adalah jeritan tertahan seorang perempuan yang minta tolong yang membuatku urung menyusul Bi Ira. Kuputuskan untuk mengendap mendekati arah datangnya suara. Langkahku pelan menyusuri gang kecil dan tiba di depan sebuah rumah panggung.
Aku melipir menuju belakang rumah, ke arah datangnya suara.
Aku menahan nafas ketika melihat pemandangan di sana. Tiga pemuda setengah mabuk sedang menggerayangi seorang gadis. Pakaian gadis itu sudah acak-acakan dan kancing bajunya sudah dipereteli.
Aku kenal gadis itu, juga salah satu pemuda yang sedang menggunting tangan dan leher gadis itu dari belakang. Dia adalah Yuni, teman sekolahku dulu, sedangkan pemuda yang membekapnya adalah Uncal. Dulu aku sempat naksir Yuni dan menyatakan perasaanku. Hasilnya? Aku ditolak dan dihina. Bahkan aku disuruh ngaca karena katanya aku adalah pemuda kampung yang tidak pantas mendapatkan cintanya yang adalah anak seorang juragan penggilingan padi. Di hari yang sama ketika ia menolak cintaku, Yuni pun jadian dengan Uncal.
Aku termangu sambil berlindung di balik dinding rumah. Pikiranku berkecamuk antara menolong Yuni yang akan diperkosa oleh pacarnya sendiri (dan kedua temannya) dengan membiarkan ia kehilangan kehormatannya sebagai pembalasan atas sakit hatiku. Dulu ia yang menghinaku, biarkan sekarang ia yang menanggung rasa hina dalam seluruh sisa hidupnya.
Rasa sakit hati dan dendam yang sudah kubuang kini membuncah kembali. Aku malah menginginkan agar Uncal dan kedua temannya berhasil menondai gadis itu. Namun ketika sadar bahwa Uncal adalah alasan Yuni menolak cintaku, aku juga benci pada pemuda itu. Aku makin bimbang antara menolong Yuni atau menghajar Uncal, atau memilih pergi. Inginku malah membiarkan Yuni dinodai, dan menghajar Uncal setelahnya.
Sementara keadaan yang kuintip semakin panas. Pakaian Yuni sudah berhasil dirobek dan ditanggalkan. Kedua payudaranya yang ranum menggunung karena behanya sudah diturunkan. Putih dan seksi. Yuni memang primadona di kampungnya, ia adalah gadis yang cantik.
Kulihat Uncal dan kedua temannya sudah benar-benar terbakar birahi. Ketiganya menenggak isi botol. Omongan mereka semakin tidak karuan dan penuh kata-kata kotor. Yuni sendiri hanya bisa merintih meminta tolong agar dilepaskan. Tenaganya sudah hampir terkuras tanpa bisa banyak melawan.
“Kang, ampun kang. Jangan nodai aku, aku sayang kamu.” Yuni memelas di sela isak tangisnya.
“Hahaha.. sayang katamu? Kalau sayang kenapa kamu tidak pernah mau kutiduri?” jawab Uncal. Wajahnya merah padam karena mabuk bercampur birahi. Lanjutnya, “Sekarang sebagai gantinya, bukan hanya aku yang akan menidurimu tapi juga kedua temanku.”
Yuni menjerit dan menangis keras, namun sedetik kemudian mulutnya berhasil dibekap.
“Keperawanannya jatah aing, sisanya kalian berdua yang bercocok tanam hahaha.” bahak Uncal disahut oleh tawa kedua temannya. Tanpa komando, kedua temannya melucuti celana panjang Yuni.
Hash.. hash.. nafasku tersengal. Aku harus menghentikan mereka. Bukan karena ingin menolong Yuni, tetapi karena mulut kotor dan perbuatan biadab ketiga pria itu.
Aku begidik untuk meregangkan ketegangan. Kusulut sebatang rokok.
“Hentikan!” suaraku dalam.
“Siapa di sana?!” teriak salah satu teman Uncal.
Ketiganya terlihat panik.
“Tolong…” Yuni seakan mendapat kekuatan dan harapan baru.
Aku tak bergeming di tempat persembunyianku. Salah satu teman si Uncal, yang kutahu bernama Kopet alias kontol petot, terhuyung ke arahku. Alkohol sudah sangat mempengaruhinya; dan itu adalah sebuah keuntungan bagiku.
Aku menyambut kehadirannya dengan sebuah tinju. Buuuk.. tepat pada dagunya.
“Anyiiiiiinggg!!!” teriaknya. Tubuhnya yang terhuyung karena mabuk berubah haluan nyaris terjengkang.
Dengan gesit kukait kakinya dan bruuuuk… si Kopet pun terjungkal tanpa aku harus mengeluarkan keringat.
Kopet menggeliat-geliat untuk bangkit. Kini sudah saatnya aku menampakan diri. Aku meloncat.
“Anak kampung bangsat!!!” sambut mereka bertiga begitu mengenali aku.
Kuhembuskan asap rokok, dan kuraih kerah baju si Kopet. Kutarik agar berdiri.
Wuuuut… kurasakan sebuah tendangan menyasar pinggangku. Rupanya salah seorang dari mereka yang tidak kukenal berinisiatif menyerang untuk menolong si Kopet. Tak perlu susah payah. Aku hanya menggeser kakiku satu langkah, kudorong tubuh si Kopet ke samping.
Buuuuk… tendangan keras mendarat disusul raungan si Kopet. Tendangan lawan salah sasaran. Si Kopet pun ambruk tanpa bisa bangkit lagi.
“Koma, habisi pemuda kampung itu!!!” teriak Uncal yang masih menggunting leher Yuni.
Ahh ternyata nama pemuda ini adalah Koma. Akan kubuat titik hingga tidak berkutik.
Wuuut.. Koma menyerangku. Kali ini pukulannya menyasar rahang. Taaap kutangkap dengan tangan kiri. Saling dorong pun terjadi. Aku pura-pura kalah tenaga… kuda-kudaku terserat ke belakang. Pada saat yang tepat kulepas genggaman tanganku sambil berkelit ke samping. Koma pun sukses terhuyung karena terbawa oleh tenaganya sendiri.
Kusambut perutnya dengan hantaman lutut.
Huuueeek… eeeeek…. Nah eek kan mangsaku. Koma langsung muntah dan ambruk. Janjiku pada diriku sendiri adalah membuatnya ‘titik’. Aku menjatuhkan diri sambil menancapkan sikut. Tanpa suara.. Koma pun tak sadarkan diri.
“Lepaskan Yuni!!” perintahku pada Uncal sambil berdiri dan menyulut rokokku yang padam.
Praaaang.. Uncal menjawab dengan memecahkan botol kosong pada pohon nangka. Potongannya ia tempelkan pada leher Yuni.
“Jangan bergerak kalau kamu ingin Yuni selamat!” hardiknya.
“Hehehe..” aku tertawa kecil. “Apa ruginya kalau Yuni mati?! Toh dia bukan siapa-siapaku?!”
“Hiiks.. Sen, maafin aku! Tolong!!” Yuni memelas.
Uncal sendiri nampak bimbang, tangannya bergetar.
“Sisanya kalian urus sendiri, aku pergi.” ujarku lagi.
Tanpa banyak kata aku melangkah meninggalkan mereka berdua. Pikirku, kalaupun Uncal tetap memperkosa Yuni toh nanti akan ketahuan siapa ayah dari anak yang akan dikandungnya. Tidak akan terjadi perkelahian sperma di dalam rahim gadis itu jika hanya satu laki-laki yang menggagahinya.
Belum genap langkahku kurasakan ada desingan dari arah belakang. Kepalaku menjadi sasaran. Aku menengok.. sejenak terperangah.. tapi segera sadar dan merunduk. Wuuush.. praaaang…
Uncal melemparku dengan becahan botol tajam. Jika saja aku tidak bisa menghindar, mungkin gumpalan otakku bisa keluar dan berceceran.
“Kunyuuk!!” makiku. Gak bisa dikasih kesempatan nih manusia. Aku harus memberinya pelajaran.
Aku meloncat mendekati mereka berdua. Uncal nampak ketakutan. Guntingan tangannya renggang.
Yuni tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia meloloskan diri dan berlari memelukku untuk mencari perlindungan. Hmmmmffff.. nyooooy… kedua payudaranya langsung terhimpit karena ia memelukku erat. Terasa sangat empuk.
Kulepas lingkaran tangan Yuni dan kudorong tubuhnya. Sial.. rupanya doronganku terlalu kuat sehingga Yuni oleng terjengkang. Haaap.. kutangkap tangannya. Tetapi karena tidak siap, aku kalah tenaga. Tubuhku terbawa dan oleng terjatuh. Aku mencari pegangan.
Huuufff… nyoy.. nyooiii… tangkapanku salah sasaran. Malah payudara kirinya yang kutangkup. Bruuuukkkk… aku menimpa tubuh Yuni.
Gadis itu merintih dan menggeliat untuk melepaskan diri dari berat badanku. Sejenak aku lupa pada sisa lawan. Ada sensasi yang berbeda, dan itu adalah payudara Yuni. Bukannya kulepas, malah kuremas-remas. Sial.. kok rasa dan sensasinya enak ya. Kuremas lagi.
“Angkat tangan jangan bergerak!”
Aku ngorejat dan langsung berdiri. Dua orang polisi sudah berdiri dengan pistol mengarah.
“Tolong, aku mau diperkosa!” jerit Yuni.
“Nah itu dia pelakunya, Pak. Tangkap dia, Pak.” Uncal menyahut. Ia sudah berdiri tepat di belakang kedua polisi itu.
Aku hanya bisa bengong. Dan cerita pun bersambung di sini…