MAMI mendapat 2 (dua) lembar undangan seminar sehari gratis dari sebuah perusahaan asuransi. Sewaktu Mami menunjukkan undangan seminar itu padaku, aku ingin ikut. Tetapi seminar tersebut bukan untuk aku, melainkan untuk perempuan, karena acara seminar ini bertajuk “BAGAIMANA MENGHADAPI KANKER SERVIX?”
Lalu Mami mengajak Tante Evelyn untuk mengikuti acara seminar tersebut.
Acara seminar ini akan diadakan pada hari Senin. Minggu sore, Mami berkata padaku, “Har, kamu siap-siap, ya…”
“Siap-siap apa, Mi…?” tanyaku bingung.
“Kamu mau ikut Mami seminar kan? Tante Evelyn batal. Oom Handoyo asmanya kumat.”
Oom Handoyo adalah suami Tante Evelyn.
“Kalau nggak ada laki-laki yang ikut, aku sendirian kan malu, Mi…” kataku.
“Kamu tenang saja, nanti Mami pinjemin kamu rok sama BH…” ledek Mami. “Lalu siapa yang temani Mami kalau kamu gak mau ikut? Nanti kamu di kamar saja…” kata Mami. “Makan gratis, tidur gratis sehari.”
Hari Senin, tepatnya jam 11 siang aku dan Mami pun berangkat dari rumah menuju ke tempat seminar di sebuah hotel sesuai undangan yang kubaca. Aku yang membawa Honda Ag*a merah Mami.
Seminar ini akan dibuka nanti jam 3 sore. Perjalanan yang cukup jauh tidak bisa di tempuh dalam 1 atau 2 jam, jika macet perjalanan bisa sampai 4 atau 5 jam kami baru bisa sampai di tempat acara.
Beruntung jam 2 siang kami sudah sampai di depan lobby hotel.
Mami turun dari mobil untuk melakukan registrasi ulang di panitia acara seminar, sedangkan aku membawa kendaraan untuk di parkir di tempat yang telah disediakan oleh panitia sekalian menurunkan barang-barang bawaan kami dari bagasi mobil.
Mami hanya membawa sebuah tas kecil berisi pakaian dan alat-alat makeupnya. Aku membawa ransel berisi sepotong pakaian, karena besok siang kami sudah pulang.
Mami selesai registrasi ulang mendapat kunci kamar dari panitia acara, 2 lembar kaos, 2 buah buku acara dan 2 buah name tag, masing-masing bertuliskan nama Mami dan nama Tante Evelyn, bukan nama aku, karena aku tidak terdaftar. Hee.. hee… aku penumpang gelap.
Aku dan Mami kemudian menuju ke kamar hotel yang sudah disediakan panitia, letaknya di lantai 7.
Kami harus naik lift ke lantai 7. Sesampai di lantai 7, kami mencari kamar nomor 728.
Kami kebingungan saat hendak membuka pintu kamar, karena bukan dibuka dengan kunci biasa seperti di rumah, melainkan menggunakan kartu magnetic.
Kartu sebesar kartu ATM ini cukup ditempelkan di sebuah alat detektor dan sebuah lampu kecil berwarna merah dekat detektor akan menyala, dan detektor berbunyi ti..tit.. pertanda pintu kamar sudah terbuka.
Aku dan Mami langsung disambut oleh sebuah kamar yang luas, wangi dan berhawa sejuk dari AC yang sudah dinyalakan.
Di dalam kamar aku segera melemparkan tubuhku di tempat tidur yang empuk sekali setelah menaruh barang bawaan kami di lemari.
Mami tertawa melihat tingkah lakuku. Maklumlah, baru pertama kali ini aku merasakan kasur hotel. Haa.. haa..
Mami tidak ikut berbaring. Mami merapikan dandanannya, kemudian mencium pipiku. Cupp…
“Mami pergi dulu ya, sayang… daaggg….“ kata Mami membawa tas dan name tagnya keluar dari kamar.
Seperginya Mami, karena pakaianku tidak bisa membuat aku santai dan nyaman berbaring, aku melepaskan kaosku dan celana panjang yang kupakai. Setelah itu aku berbaring hanya memakai celana dalam saja seperti kebiasaanku di rumah.
Aku nonton televisi dan main games sampai aku capek dan bosan, kemudian aku tidur.
Entah sampai jam berapa aku tidur. Aku terbangun mendengar suara berisik di kamar. Sewaktu aku membuka mata, oh… aku langsung kaget!
Mami yang sedang mengeluarkan pakaian dari tasnya sambil berjongkok hanya mengenakan bra dan celana dalam saja.
Mami belum pernah berpenampilan seperti ini di rumah, karena Mami orang yang sangat tertutup. Mami selalu menjaga penampilannya berpakaian rapi meskipun di rumah.
Aku masih ingat. Kami anak-anak suka bermain di kamar Mami. Kalau Mami mau menukar pakaian di kamar, kebetulan kami berada di kamarnya, Mami akan menyuruh kami keluar dari kamar, atau jangan melihat.
Aku dan adikku menutup mata rapat-rapat sambil bertanya, “Sudah belum, Mi?”
Jika Mami menjawab sudah, kami baru membuka mata.
Tetapi sekarang…
Mami mengeluarkan pakaiannya dari tas. Sebenarnya aku tidak ingin terlihat oleh Mami, khawatir Mami salah tingkah denganku.
“Eh… anak Mami sudah bangun ya?” kata Mami melihat aku duluan.
Tadinya aku khawatir Mami akan risih denganku, ternyata prediksiku terpeleset.
Mami yang sudah mengambil pakaiannya dari tas berdiri menghadap aku yang duduk di kasur membiarkan tubuhnya hanya dibalut BH dan celana dalam saja sambil ia memegang pakaiannya.
Ini benar-benar luar biasa. Penampilan Mami di luar dugaanku. Jantungku jadi bergemuruh melihatnya.
“Tadi Mami masuk ke kamar kamu masih ngorok, Mami nggak tega membangunkan kamu…” kata Mami.
Mami memakai BH yang benar-benar sexy. Buah dadanya hanya tertutup separuh oleh BH-nya.
Payudara Mami yang mulus putih itu tidak begitu besar. Aku tidak tahu nomor berapa BH Mami. Meskipun begitu aku yakin bahwa payudara Mami masih mampu mengguncangkan seribu jantung lagi-laki, aku tidak terkecuali.
Perutnya juga masih rata meskipun sudah pernah berisi 2 bayi, karena mungkin usia Mami baru 43 tahun. Mami menikah pada usia 21 tahun. Setahun kemudian, aku lahir. Usiaku sekarang 20 tahun. Adikku berumur 17 tahun.
“Apa ada laki-laki yang ikut, Mi?” tanyaku.
“Ada, banyak…” jawab Mami. “Kamu nggak mau ikut nggak apa-apa,”
Sebenarnya aku tidak tahan melihat Mami. Kapan lagi aku bisa menemukan Mami sebebas ini, apa karena di kamar hotel hanya berdua saja denganku?
Tetapi kalau aku terburu-buru, aku takut Mami kaget, sehingga hasilnya tidak memuaskan, karena pekerjaan yang terburu-buru, biasanya hasilnya tidak pernah memuaskan.
Biarkan saja dulu, masih ada waktu nanti malam dan besok.
“Mami mandi dulu ya…” kata Mami. “Mami hanya dikasih waktu satu jam untuk istirahat. Nanti jam 6 kita baru makan bersama…”
Aku melepaskan Mami pergi ke kamar mandi.
Mami kembali ke kamar jam 5:30 sore mengajak aku makan malam bersama para peserta seminar. Aku memandang Mami jadi berbeda.
Saat makan malam, aku makan jadi tidak napsu meskipun makanan yang disajikan banyak dan cukup variatif dari ikan sampai daging, dari makanan Indonesia sampai makanan Eropa.
Dalam acara makan itu aku melihat banyak laki-laki juga yang ikut acara seminar tidak hanya perempuan melulu. Tetapi selesai makan aku tidak ikut Mami seminar, aku kembali ke kamar.
Di kamar aku tidak tidur. Aku menunggu Mami dengan tak sabar. Dari detik ke menit rasanya sangat lama. Apalagi Mami tidak bilang selesai seminar jam berapa.
Hampir jam 10 malam aku mendengar suara ramai di luar kamar. Bisa jadi acara seminar sudah selesai, batinku.
Aku buru-buru pergi ke kamar mandi bersembunyi. Benar saja, Mami membuka pintu kamar.
“Har… kamu di kamar mandi, ya?” tanya Mami.
“Ya Mi, Mami mau pakai kamar mandi?”
“Iya, Mami mau kencing.”
Aku tidak mau terburu-buru keluar dari kamar mandi. Aku mengintip Mami dari kamar mandi. Ternyata usahaku menunggu Mami tidak sia-sia.
Mami melepaskan pakaiannya satu persatu dimulai dari blouse batiknya sampai celana panjangnya, lalu Mami menggantungkan pakaiannya yang sudah dilepaskan di lemari pakaian.
Jantungku berdebar-debar. Ingin aku segera keluar dari kamar mandi saat itu juga. Untung aku tidak terburu-buru, karena kemudian Mami melepaskan BH-nya.
Ohhh…
Saat itulah aku keluar dari kamar mandi. Mami pasti mendengar suara aku membuka pintu kamar, tetapi Mami terus saja mengeluarkan tas pakaiannya dari lemari dengan dada telanjang, malah menaruh tasnya di tempat tidur saat aku mendekatinya, lalu aku memeluk Mami saja dari belakang.
“Nanti Mami masuk angin deh…” kata Mami sambil mengeluarkan kaosnya dari tas. Sedangkan dari pundak Mami, aku bisa melihat seluruh payudara Mami yang telanjang.
Rasanya aku ingin menaikkan tanganku menjamah payudara Mami yang berputing mancung berwarna coklat, tetapi sudah tidak ada areola (bagian berwarna gelap yang mengelilingi puting susu payudara)nya itu.
“Ah… baru saja aku peluk, Mi…” kataku. “Masa bisa langsung masuk angin sih, padahal Mami sudah berapa lama telanjang begini…? Boleh aku peluk Mami lama-lama, Mi?”
“Kalau Mami jawab tidak boleh…?” jawab Mami.
“Akan aku paksa Mami!” jawabku. “Mumpung kita jauh dari rumah hanya berdua saja di sini… aku tidak tahan melihat Mami seperti sekarang ini… bebas telanjang tidak seperti di rumah… aku kan sudah dewasa, Mi…”
“Apa??” tanya Mami seperti kaget membalik tubuhnya berhadapan dengan aku.
“Aku ingin bercinta dengan Mami…” jawabku serius.
“Kalau itu… Mami nggak sanggup, Har… kamu mau membunuh Mami juga boleh, Mami nggak sanggup membuka paha Mami untuk kamu meskipun kita hanya berdua… Mami tidak tau bagaimana caranya… kamu anak Mami, sayang… jangan anggap mudah dan menggampangkan… itu tidak boleh kita lakukan… sadar, sayang… sadar… ayo, kita tidur…”
“Ya Mi… maaf…” jawabku.
Mami kelihatan tidak bertenaga saat memakai kaosnya. Mami memakai kaos lengan panjang dan celana panjang dari bahan kaos yang senada warnanya dengan warna kaosnya. Lalu Mami pergi ke kamar mandi.
“Ya Mi…”
Setelah itu Mami naik ke tempat tidur berbaring menarik selimut menutupi tubuhnya.
Tak lama kemudian aku pun mematikan lampu kamar, lalu membaringkan tubuhku di sebelah Mami.
“Pijitin Mami dong, Har…” pinta Mami menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya.
Saat itu juga aku kaget melihat Mami sudah tidak memakai celana. Entah kapan Mami melepaskan celana panjangnya. Meskipun kamar gelap, tetapi tidak semuanya gelap, karena terang lampu dari luar masih menyelinap masuk ke dalam kamar.
Aku semakin kaget melihat Mami melepaskan kaosnya. Mami berbaring telanjang bulat di depanku.
Sebelum rasa kagetku hilang tangan Mami sudah terjulur memegang penisku yang masih berada di dalam celana pendekku.
Apa yang harus aku perbuat? Meneruskan mimpikukah yang tadi sempat terhenti atau menolak tawaran Mami yang sangat menggoda itu? Vagina Mami kulihat polos tanpa bulu kemaluan.
Tengah aku dalam kebimbangan memilah dan memilih Mami sudah mengeluarkan penisku yang tegang dari celana pendekku sembari mendekatkan mulutnya ke penisku yang sudah telanjang.
Bukannya aku tidak tau apa yang ingin Mami lakukan terhadap penisku. Meskipun aku belum pernah merasakannya, tetapi sudah sering aku melihat di video porno, bahwa penisku akan dimasukkan Mami ke dalam mulutnya.
Sekerdip mata kemudian penisku sudah berada di dalam mulut Mami. Tidak hanya itu, sambil Mami menghisap penisku Mami menaikkan pahanya ke dadaku lalu menyodorkan vaginanya ke depan mulutku.
Samar-samar tercium olehku bau amis yang merebak dari vagina Mami. Apapun yang terjadi karena vagina Mami sudah berada di depanku selain membuat aku semakin terangsang melihatnya dan juga penasaran dengan alat kelamin yang pernah melahirkan aku itu, tak ingin berlama-lama memandangnya, aku langsung memendamkan kepalaku di dalam selangkangan Mami melahap harumnya liang kemaluan Mami.
“Sshhhhh…. mmmm…” rintih Mami.
Sluup… sluup… terdengar suara jilatanku yang sedang menikmati vagina Mami. “Sssshh… sayang, ooohh…” rintih Mami lagi saat lidahku memainkan klitorisnya dan menggigit-gigit halus biji kacangnya yang mengandung sejuta nutrisi sex untuk lelaki itu.
Jilatan demi jilatan aku menjelajahi vagina Mami, hingga tak sanggup lagi Mami menahan lebih lama rasa yang ingin meledak di dalam dirinya.
Napas Mami yang memburu semakin memburu… sahut menyahut di dalam ruangan yang cukup besar itu.
Beberapa menit kemudian Mamipun mengejang sambil mengerang dengan suara keras serta meluruskan kedua kakinya, sedang aku masih terbenam menjilati bongkahan vagina Mami.
Akhirnya Mami mencapai puncak nikmatnya dengan menjerit nyaring, “Aaaaaaaa…aaahhhhhh…..” dengan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya.
Meskipun ruangan tersebut full AC namun Mami masih merasa kepanasan. Mungkin karena pengaruh hawa napsu yang telah menjalar di dalam dirinya.
Aku membuka seluruh celana serta celana dalamku dan membebaskan sepenuhnya senjata pamungkas yang aku banggakan itu.
Menyadari akan hal itu Mami merenggangkan kedua pahanya dan siap menikmati setiap sodokan kepala senjata andalanku.
Aku menggenggam batang kemaluanku dan mengosokkannya di antara bibir vagina Mami yang telah basah bercampur air liurku.
Setelah itu perlahan aku menekan kepala penisku ke dalam vagina Mami yang menantang ingin segera di ganjal oleh batang besar berurat milik anaknya itu.
Dengan dibantu Mami yang membuka kedua pahanya semakin lebar, mempermudah kemaluanku untuk segera menerobos masuk.
“Sayanggg… oh… plan… pelan, sayang….” ujar Mami ketika merasakan mahkota kewanitaan itu akan segera melahap kemaluan anaknya.
“Tahan sebentar Mi… setelah ini Mami akan merasakan sebuah sensasi yang tak mungkin Mami lupakan seumur hidup Mami.” jawabku.
Mami hanya diam, sementara aku melanjutkan dorongan penisku. Akhirnya usahaku membuahkan hasil. Penisku memasuki vagina Mami semakin dalam.
Setelah terasa seluruh batang kemaluanku masuk semua, aku tak langsung menggerakkannya. Sesaat kudiamkan dulu batang kemaluanku di dalam vagina Mami yang masih mampu menjepit erat penisku sambil kucium bibir Mami.
Otot-otot vagina Mami terasa meremas-remas batang penisku. Sensasi luar biasa nikmatnya kurasakan sambil kami berciuman mesra membuat aku semakin meluapkan birahiku untuk lebih lanjut menyetubuhi Mami.
Pelan-pelan aku menarik batang kemaluanku dari dalam vagina Mami dan hanya menyisakan kepalanya saja dan kembali menekan masuk terus dan berulang-ulang hingga Mami merasakan birahinya semakin bangkit bersamaan dengan gesekan-gesekan yang dibuat olehku terhadap liang kewanitaannya.
“Sayang… lebih cepat dorongannya.” suruh Mami meminta aku memcepat memompa vaginanya.
Setiap tekanan yang dilakukan aku terhadap vagina Mami, mengakibatkan klitorisnya ikut tergesek dan menimbulkan sensasi nikmat yang begitu indah, sehingga pompaanku pun semakin gencar keluar-masuk ke dalam vagina Mami.
“Sayang… Mami tidak kuat, mau keluar lagi… aaakkkhhh…”
Mendengar rintihan Mami yang sedikit lagi mencapai puncaknya, maka aku pun tak ingin lebih lama lagi.
“Tahan sebentar Mih… kita sama-sama keluarinnya. Jangan dikeluarin dulu… tahan.” kataku semakin gencar memompa vagina Mami dan tak memperdulikan yang dirasakan Mami.
Akhirnya…..
Tidak lagi kupikirkan Mami mengajak aku datang ke hotel ini untuk menemaninya seminar, kuhujamkan penisku sedalam mungkin ke lubang vagina Mami.
Setelah itu, kulepaskan air maniku. Crrroottt… crrooottt… crroottt… crrrooottt…
“Ougghh… sayang…” desah Mami. “Kamu nakal…”
“Tapi Mami menikmati kan? Keluar sampai 2 kali kalau bukan menikmati, apa namanya, ayo…”
Kucabut penisku, turun dari tempat tidur menghidupkan lampu kamar dan di antara kedua paha Mami yang terbuka lebar terlihat air maniku menggenangi lubang vaginanya.
Aku segera mengambil beberapa lembar tissu di atas meja. Lubang vagina Mami kusumbat dengan tissu supaya nanti Mami bangun dari tempat tidur pergi ke kamar mandi air maniku tidak tercecer di seprei.
Setelah itu Mami bangun dari tempat tidur dengan telanjang pergi ke kamar mandi.
Aku jadi merenung peristiwa yang barusan kualami sepertinya tidak mungkin terjadi. Namun ketika Mami kembali dengan telanjang bulat ke tempat tidur dengan bebasnya Mami menikmati batang kemaluanku layaknya seorang anak kecil yang sedang menemukan mainan barunya. Tak henti-hentinya Mami mengulum kepala serta batang kemaluanku naik-turun keluar-masuk mulutnya.
Sungguh nikmat sekali, meski terkadang rasa ngilu datang bertubi-tubi namun nikmatnya tidak bisa diuraikan dalam sebuah cerita pendek.
Tak ingin cepat berakhir sampai disini, aku menarik tubuh Mami hingga Mami mengangkang tepat di atas wajahku.
Lalu dengan gencarnya aku menjilat vagina Mami.
Aku membuka kedua belah bibir kemaluan Mami dengan jari, kemudian dengan leluasa lidahku bermain berputar-putar dan menekan-nekan menerobos liang kewanitaan Mami yang berwarna merah itu. Sungguh rasa dan sensasi yang sangat menggairahkan.
Setelah itu Mami melakukan penetrasi terhadap penisku.
Mami berjongkok mengangkang tepat di atas batang kemaluanku yang tegang menunjuk ke atas.
Hanya dengan sedikit tekanan, batang kemaluanku berhasil menerobos lubang vagina Mami.
Sesaat setelah batang kemaluanku telah tertancap penuh di dalam vagina Mami. Mami menggoyangkan pinggulnya maju-mundur berputar-putar merangsang batang kemaluanku yang mengaduk-aduk liang kewanitaannya.
“Uuuuhhh… mmmmhhh… ssshhhh… mmmmhhh…“ rintih Mami.
Desahan dan erangan Mami semakin menjadi-jadi saat hentakan dan sodokan penisku dari bawah yang mentok menghujam ke rahimnya.
Sensasi yang begitu nikmatnya… dan sangat beringasnya kala Mami bersenggama dengan aku, dan tak sungkan-sungkan Mami menggigit pundakku…
Hingga tiba saatnya aku merebahkan tubuh Mami di atas ranjang. Dengan posisi ini batang kemaluanku dapat dengan leluasa menghujam dan menikam keluar-masuk lubang vagina Mami tanpa merasa terhalang.
Plak… plak… plak… suara yang muncul ketika hentakan yang dilakukan olehku menyodok lubang vagina Mami bertubi tubi.
“Uuuhhh… sayang, nikmatnyaaaa… uuuhhh…” erang Mami yang ikut menggila mencakar punggungku.
Aku tak memperdulikan Mami. Aku seakan tak memberi ruang jedah untuk Mami walau sesaatpun.
Aku terus menyodok batang kemaluanku tak henti-hentinya ke lubang vagina Mami, hingga akhirnya Mami pun terkapar tak berdaya mengimbangi kekuatanku.
“Huuhh… Mami tidak tahan lagi… sayang… aaakkkhhh… Mami sampai, sayang…” rintih Mami yang telah mencapai puncak kenikmatannya dengan napas kembang-kempis terengah-engah.
Tak memperdulikan keadaan Mami yang telah lemas ditindih tubuhku, aku tetap terus menyodok rahim Mami bertubu-tubi masuk-keluar dan tak henti-hentinya.
Tak lama kemudian akupun merasakan denyut-denyut yang hebat sekali pada pangkal kemaluanku. Lalu aku mencabut batang kemaluanku dari dalam liang vagina Mami dan sambil tetap mengocok kemaluaanku aku membimbing batang kemaluaanku ke mulut Mami dan memasukkan kemaluaanku hingga menumpahkan seluruh spermaku di dalam mulut Mami.
Tak sedikitpun sperma yang tersisa atau tertumpah keluar dari mulut Mami, karena Mamk menikmati setiap tetes sperma yang keluar dari kemaluanku.
Tak terasa sudah hampir jam 3 pagi aku dan Mami melakukan persanggamahan yang senikmat dan seliar itu.
Kelelahan dan keletihan baru terasa ketika Mami menarik selimut menutupi tubuh telanjang kami berdua.