Cerita ini hanya untuk mereka yang sudah berumur 18 tahun keatas. Cerita ini hanyalah karangan. Bukan kejadian sesungguhnya. Slaves Inc. tidak bertanggung jawab atas apapun yang terjadi kepada siapapun yang sudah membaca cerita ini.
Slaves Inc. sangat menghargai hasil karya setiap individu, oleh karena itu, Slaves Inc. sangat berterima kasih jika ada yang ingin memuat dan atau mengcopy cerita ini, harap mencantumkan keterangan ini dan menginformasikannya ke slaveinc@yahoo.com
Jumat, 02:17 WIB
Musik berdentum-detum. Cahaya spotlight silih berganti memancar. Berpuluh-puluh wanita dan pria berbaur di lantai tengah, sebagian lagi duduk di kursi-kursi yang telah disediakan. Diskotik ternama itu dipenuhi asap dari dry ice dan juga rokok yang dihisap pengunjungnya.
Disalah satu sudut yang gelap, ada sesosok wanita. Duduk sendirian, meja di depannya penuh dengan gelas-gelas kosong yang isinya telah diminumnya sejak ia sampai di diskotik ini. Rossa, 29 tahun. Termasuk salah seorang diva Indonesia yang namanya telah terkenal dimana-mana, menatap kosong sambil terus meminum isi gelas yang ada di tangan kirinya. Pandangannya kabur, tubuhnya sudah sulit diajak kompromi. Tapi ia terus meminum isi gelas itu, untuk melupakan kemelut rumah tangganya, melupakan penjualan album terbarunya yang tidak begitu menggembirakan.
Di sudut yang gelap itu, tidak ada yang mengenalinya, karena itu ia memilih untuk terus diam disitu, dan menghabiskan waktunya dengan minum gelas demi gelas yang diantarkan oleh waitress.
Akhirnya isi gelas yang kesekian itu juga habis. Mata Rossa memincing berusaha melihat jarum jam tangan yang ada di tangan kanannya. Ternyata ia telah berada di diskotik itu selama 4 jam. Waktunya pulang.
Perlahan ia berusaha berdiri sambil berharap tidak ada orang yang mengenali dia. Sempoyongan ia berjalan menuju pintu keluar, membelah lautan manusia yang memadati diskotik itu. Susah payah dan perlahan ia berhasil mencapai pintu keluar itu. Sambil menunduk dan berharap tidak dikenali, ia menuju tempat tunggu taksi yang tersedia di depan. Satu taksi menghampirinya, Rossa pun masuk.
Duduk di belakang supir taksi, ia menyebutkan alamat rumahnya. Ia tidak tinggal lagi di rumah yang dulu setelah ia menikah. Karena ia tidak mau teringat tentang masalah keluarganya. Rossa sengaja membeli sebuah rumah yang lebih kecil, dengan 3 lantai. Hanya ditemani 2 pembantu, 2 satpam dan 1 supir. Anaknya telah ia titipkan ke keluarga di Sumedang.
Perjalan ke rumahnya biasanya mencapai waktu 30 menit lebih. Rossa duduk sambil bersandar, kepalanya mulai berdenyut akibat alkohol tadi. Ia berusaha memejamkan matanya berharap sakit kepala itu bisa hilang.
Tiba-tiba sebuah handphone berdering.
Handphone i tu terus berdering. Supir taksi itu sempat memalingkan wajahnya untuk melihat ke belakang. Seberkas cahaya dari lampu jalan masuk menerobos menerangi penumpangnya.
Ia terkesiap. Itu Rossa. Si penyanyi.
Kahar. 50 tahun. Kemabli berusaha berkonsentrasi membawa taksi itu. Dalam hatinya ia bertanya, kenapa Rossa yang terkenal itu bisa mabuk berat seperti itu.
Handphone itu terus berdering.
Akhirnya Rossa menyerah, tangannya meraih ke dalam tas kecil yang dibawanya, dan mengeluarkan handphone itu.
“Halo?”
Suaranya serak, hampir tak terdengar ditelan deru taksi itu.
“Halo? Siapa?”
“Halo? Oh elo… gw lg di taksi, mau pulang.”
Tangan kiri Rossa memijati keningnya, berharap rasa pusing yang terus menyerang bisa pergi.
“Dari tempat biasa.” Rossa berusaha mengikuti pembicaraan. “Iya gw tau, gw pusing! Please jangan kuliahin gw dulu, gw tau lo temen baik gw, tapi lo gak ngalamin apa yang terjadi ama keluarga gw. Please, telpon gw telpon gw besok siang aja ya!”
Jari Rossa menekan sebuah tombol dan dilemparkannya handphone itu di jok sebelah.
Lima menit berlalu, suasana taksi itu kembali sunyi.
Pikiran Kahar berputar cepat. Ia melihat sebuat kesempatan yang bisa ia ambil dan akan membuat ia merasakan surga dunia di hari-hari mendatang. Ia harus berpikir cepat.
Kahar membasahi tenggorokannya.
“Mau lewat tol atau gak usah mbak?” tanyanya sambil melihat ke spion.
Rossa tidak menjawab.
“Mbak? Mau lewat tol atau gak usah?” Kahar bertanya lebih keras lagi.
Tidak ada tanggapan.
Tangan kiri Kahar meraba-raba atap taksinya untuk menyalakan lampu. Lampu pun menerangi mobil taksinya. Perlahan Kahar mengurangi kecepatan sampai akhirnya taksi itu berhenti di pinggir jalan.
Sekarang ia bisa melihat, Rossa dengan balutan backless warna kuning, dengan sepatu kuning juga, rupanya sudah tidak bisa menahan kantuk yang menyerang dan tertidur. Pulas karena pengaruh alkohol yang masuk ke dalam tubuhnya.
Bagian atas gaun kuning yang menutupi dada Rossa, terikat dengan seutas tali kain ke leher Rossa. Dada Rossa bergerak naik turun seiring hembusan nafasnya.
“Mbak? Mbak baik-baik saja?” Kahar kembali bertanya dengan suara yang lebih keras.
Perlahan tangan Kahar terulur menyentuh lutut Rossa. Begitu halus. Kahar menelan ludah.
“Mbak? Mbak?” Kahar mengoyang lutut Rossa, perlahan dan makin keras. Gaun kuning itu tersingkap memperlihatkan paha Rossa yang mulus.
Kahar tersenyum senang.
“Tidurlah terus Rossa. Akan gua bawa lo menikmati surga bikinan gua!” Kahar tertawa dalam hati.
Taksi itu bergerak maju, seakan dikejar oleh sesuatu sebelum akhirnya membelok ke sebuah jalan yang gelap jauh dari ruas jalan utama tadi.
Di dekat kawasan industri yang sudah lama ditinggalkan, Kahar menghentikan taksinya. Kawasan sekitarnya gelap gulita. Perkampungan penduduk pinggir kota juga jauh dari situ. Jalan utama juga sama jauhnya. Satu-stunya sumber cahaya adalah lampu di dalam taksi Kahar. Kahar kemudian membuka pintu taksinya dan pindah ke belakang duduk di sebelah kiri Rossa yang masih saja terlelap.
Tubuh Kahar bergetar. Nafsu, gembira, takut semuanya menjadi satu ketika ia memandangi tubuh Rossa yang tergolek di sebelahnya. Kahar melihat handphone yang tergeletak di jok. Sebuah HP yang canggih, lengkap dengan kamera dan lampu blitz. Cocok sekali.
Kalau saja ia tidak mengingat waktu yang terus berjalan, Kahar tidak akan berhenti memandangi Rossa yang tidak sadar apa yang sedang akan terjad pada dirinya.
Setelah mencoba-coba HP Rossa, Kahar akhirnya bisa mengoperasikan kamera lengkap dengan blitz yang tersedia. Ia pun mulai mendekati Rossa, wangi tubuhnya mulai tercium. Tangan Kahar meraba leher Rossa dan menemukan ikatan tali yang menahan bagian atas gaun backless itu. Dengan satu tarikan terlepaslah ikatan itu.
Kahar menahan nafas. Matanya terbelalak. Sepasang payudara yang bulat. Dengan puting yang berwarna merah mudah kecoklatan terlihat di depan matanya. Betul-betul buah dada yang sempurna. Perlahan kedua tangan Kahar yang gemetar meraba buah dada itu. Perlahan sampai akhirnya meremas dengan lembut. Terasa kencang dan lembut. Puting susu itu mencuat karena AC dari taksi yang dingin. Kahar mendekatkan mukanya, harum bau tubuh Rossa semakin tercium. Lidah Kahar menjulur dan merasakan daging puting susu Rossa yang kenyal, yang perlahan mengeras. Kahar membuka mulutnya dan akhirnya puting itu dapat ia rasakan di seluruh mulutnya.
Sebuah desahan keluar dari mulut Rossa. Kahar menghentikan kegiatannya. Memandangi Rossa yang ternyata masih terus terlelap. Kahar memutuskan untuk segera melanjutkan rencananya. Masih banyak waktu untuk menikmati tubuh Rossa, putusnya.
Ia mengambil HP itu, dan mulai mengambil gambar Rossa yang setengah telanjang itu dari segala arah. Puluhan gambar ia ambil sampai akhirnya Kahar merasa cukup.
Kemudian, dengan kondisi ruang gerak yang terbatas, Kahar berhasil menurunkan celananya, dan mengeluarkan penisnya yang sudah mengeras dari tadi. Ia mendekatkan penis itu ke bibir Rossa dan kembali mengambil gambarnya. Lampu blitz berpijar setiap kali gambar muka Rossa yang seolah-olah sedang akan melakukan oral ke penis Kahar ditangkap oleh lensa kamera HP Rossa.
Akhirnya dengan nafas memburu, Kahar berhenti dan merasa cukup. Perlahan ia mengikatkan kembali tali gaun backless Rossa. HP itu ia masukan ke laci depan taksinya.
Degub jantung Kahar sudah hampir normal kembali ketika taksi itu membelok masuk lagi ke jalur utama menuju rumah Rossa. Waktu menunjukkan pukul 02:43 dini hari.
Tepat pukul 3 dini hari taksi Kahar berhenti di depan rumah Rossa. Sebuah rumah di pemukiman elit, dengan pagar besi yang menjulang tinggi, membuat orang di luar tidak dapat melihat apa yang ada di dalam. Rumah yang sangat mendukung, kata Kahar dalam hati, sambil mengambil HP Rossa dan memasukannya ke saku jaketnya.
Ia mengeluarkan kepalanya dari taksi dan menekan klakson. Suara klakson membelah keheningan di depan rumah Rossa. Butuh 3 kali klakson untuk membuat gerbang besi itu terbuka. Kahar langsung mematikan mesin, keluar dari taksi, dan mengeluarkan Rossa dan membopongnya mendekati gerbang
Rasa kantuk dua orang satpam yang membuka gerbang langsung hilang melihat majikan mereka dibopong oleh seorang supir taksi.
“Mbak?! Mbak Ocha kenapa mbak?!”
Kedua satpam itu langsung mengurung Kahar.
“Majikan lo mabok nih! Sampe pingsan di mobil gua! Cepet bukain pintunya!” bentak Kahar
Kedua satpam itu tergopoh-gopoh memandu Kahar masuk menuju sebuah garasi, lalu membelok ke kiri, melewati dapur yang luas, sebelum akhirnya masuk ke ruangan utama rumah Rossa. Cahaya temaram menerangi rumah itu, membuat Kahar bisa melihat sofa dan berbagai mebel mahal ada di rumah Rossa.
“Langsung ke kamar tidurnya aja!” perintah Kahar pada satpam yang ada di depannya.
Mereka pun menaiki tangga menuju lantai atas. Satpam di depan Kahar membuka pintu pertama di sebelah kanan tangga itu dan menyalakan lampu.
Kamar tidur Rossa begitu luas, lengkap dengan sofa warna putih, ranjang warna putih, dengan selimut dan kasur yang terlihat begitu empuk. Beberapa foto diri Rossa juga terpajang di sana. Ketiga orang itu terlongo sejenak melihat kamar tidur yang sedemikian besar dan sangat nyaman. Kedua satpam rumah Rossa juga baru kali ini melihat bagian dalam kamar tidur Rossa karena are tugas mereka selama ini hanya menjaga gerbang depan.
Kahar yang segera sadar dari takjubnya, membawa Rossa ke ranjang dan perlahan meletakan penyanyi itu. Gaun Rossa kembali tersibak dan tertindih oleh pahanya sendiri sehingga ketiga pria itu dapat melihat betapa mulusnya paha Rossa.
Ketiga pria itu berdiri bagai patung melihat Rossa yang terus terlelap. Pahanya yang mulus, pinggangnya yang ramping, dadanya yang tertutup gaun kuning itu naik turun perlahan seiring nafas Rossa. Ketiganya seakan tidak ingin kehilangan setiap detik untuk melihat pemandangan itu.
Kahar menoleh ke kiri berpandangan dengan satpam yang ada di kirinya. Setelah itu saat ia menoleh ke kanan, satpam yang ada di kanannya juga sedang memandangi dia.
“Lo berdua betah kerja disini?” tanya Kahar sambil kembali memandangi Rossa.
“Betah bang.” jawab satpam di kanan Kahar
“Majikan lo ini, perlakuannya gimana? Baek?”
“Baek bang. Ya namanya juga majikan. Emang kita sebagai bawahan ya musti lakuin apa yang dia perintah kan bang.” satpam di kiri Kahar menjawab.
“Nama lo berdua siapa sih?”
“Nardi bang.” Satpam dengan badan hitam dan tinggi besar di sebelah kiri Kahar menjawab.
“Saya Rustam bang.” Rustam juga memiliki kulit hitam tapi dengan perut yang agak buncit, tidak setinggi Nardi.
“Disini ada siapa aja selaen lo berdua dan majikan lo ini?”
“Ada pembantu bang. Parto sama Narti. Terus ada supir mbak Ocha, pak Rasto.” jawab Nardi.
“Lo mau ngentot ama majikan lo?”
Kedua satpam itu terjengit kaget mendengar pertanyaan Kahar.
“Mak…mak..maksud abang gimana bang?” Rustam terbata-bata.
“Masa lo gak ngerti maksud gua sih?” Kahar menatap Rustam. “Gua bisa bikin supaya lo berdua bisa ngentot ama majikan lo ini. Asal lo mau nurutin semua perkataan dan perintah gua. Singkatnya, majikan lo sekarang gua bukan dia.”
Nardi dan Rustam yang sekarang sudah berdiri berdampingan tampak takjub campur bingung. Keduanya melihat Rossa dan Kahar bergantian. Jakun mereka naik turun menelan ludah.
“Gimana? Mau gak lo?”
Rustam dan Nadi berpandangan, lalu mereka tersenyum lebar satu sama lain.
“Mau bang! Mau banget!” jawab mereka bersamaan.
“Bagus! Mulai sekarang lo berdua turutin apa perintah gua.”
Kahar baru saja mendapatkan dua orang lagi untuk membantu dalam menjalankan rencananya. Sejauh ini apa yang ia rencanakan telah berjalan dengan lancar. Tinggal menjalankan langkah selanjutnya. Sebuah rencana yang disusun dalam waktu singkat tapi akan membuat Kahar dapat merasakan surga dunia.
“Oke, sekarang lo dengerin perintah gua!”
Kedua satpam itu mendekat dan berusaha konsentrasi, sementara pikiran mereka sudah penuh dengan bayangan tubuh Rossa tanpa busana sedikitpun.
“Lo tutup pintu, trus lo kunci. Abis itu lo bantuin gua lepasin baju yang dipake ama majikan lo. Ngerti?”
“Ngerti bang!”
Nardi langsung mendekati pintu kamar Rossa dan menutupnya tidak lupa mengucinya. Lalu buru-buru menyusul Kahar dan Rustam yang sudah berdiri di sebelah ranajng Rossa
Tanpa banyak bicara mereka bertiga langsung melucuti pakaian yang dikenakan oleh Rossa.
Tali gaun itu dilepas. Sepasang tangan meraih ke bawah gaun Rossa dan menarik lepas celana dalam Rossa. Tubuh Rossa yang lunglai didudukan, agar mereka bisa menarik gaun kuning itu lepas dari tubuhnya. Yang terakhir sepatu Rossa pun lepas dari kaki Rossa.
Penis ketiga orang itu bagaikan mau meledak. Begitu tegang sampai terasa ngilu melihat tubuh Rossa yang begitu kencang. Mulus. Bersih. Perut yang ramping, tidak ada tanda-tanda lipatan ataupun lemak. Di antara pahanya terlihat gundukan vagina yang begitu mengundang nafsu mereka.
“Sekarang gimana bang?” tanya Nardi tak sabaran.
“Sekarang giliran lo berdua lepasin baju lo sendiri.”
Bagai kesetanan kedua satpam itu berlomba menelanjangi diri sendiri. Penis Nardi sudah sedemikian tegang. Panjang dan gemuk. Sedangkan Rustam, sama bernafsunya. Penisnya yang gemuk seperti perutnya mengacung dang bergoyang-goyang seperti ular.
“Sekarang gini, lo berdua boleh deketin majikan lo, lo boleh pegang-pegang, lo boleh jilat-jilat, lo boleh ngapain aja selama itu gak bikin dia bangun. Tapi lo belom boleh entotin dia, karena gua musti siapin beberapa hal dulu supaya rencana gua bisa lancar.” kata Kahar. “Pokoknya kalo langkah yang ini lancar, gua jamin lo bakalan bisa ngentot ama majikan lo sebanyak ya lo mau besok-besok. Ngerti?!”
Walaupun agak kecewa karena batal meniduri majikan mereka, Nardi dan Rustam tetap menganggukan kepala mereka. Daripada gak sama sekali, lumayan bisa ngerasain bodinya mbak Ocha, pikir mereka.
Kahar mengambil HP Rossa tadi, dan mulai mengambil gambar lagi. Berpuluh gambar berhasil ia ambil. Dua penis yang menempel di pipi Rossa, tangan yang meremas payudara Rossa, lidah Rustam yang sedang menjilati puting susu Rossa, dan masih banyak lagi.
Dengan hati-hati Kahar mengambil gambar sehingga muka Rossa terlihat jelas sedangkan kedua satpam itu tidak.
Akhirnya, Nardi dan Rustam meyerah pada nafsu mereka, mereka mengocok penis mereka sendiri dan mengeluarkannya ke dada Rossa. Kahar dengan sigap merekam semuanya menjadi sebuah video.
Setelah puas, para satpam itu membersihkan sperma yang belepotan di dada Rossa, sebelum kembali memakaikan kembali gaun, celana dalam dan sepatu Rossa.
“Bagus! Rencana kita berjalan lancar! Sekarang kita keluar, dan lo berdua besok biasa-biasa aja. Jangan berbuat macem-macem dulu. Begitu majikan lo ini bangun, langsung lo SMS gua ya!” Kahar meberikan petunjuk sementara Nardi dan Rustam menganggukan kepala mereka.
Mereka pun keluar dari kamar, dan bergegas menuju pos satpam. Kahar memberikan nomor untuk menghubungi dia kepada Rustam.
Waktu menunjukkan pukul 03:53 dini hari ketika Kahar memacu mobilnya menjauhi rumah Rossa.
Pukul 04:19 dini hari.
Kahar menghentikan taksinya di depan sebuah rumah kecil, sedikit bobrok tempat dia tinggal. Ia pun masuk dan mengunci semua pintu. Di dalam rumah itu hanya ada peralatan masak, sebuah notebook, dan sebuah printer berwarna.
Tiga tahun yang lalu, Kahar adalah seorang yang mempunyai pekerjaan yang sangat menjanjikan, manager personalia sebuah perusahaan komputer di luar kota Jakarta. Namun Kahar melakukan hal-hal yang tidak akan bisa ditolerir lagi oleh perusahaan itu, oleh karena itu setelah berhasil membawa sejumlah uang, ia pun hijrah ke Jakarta. Untuk sementara ia harus menyembunyikan diri terlebih dahulu. Karenanya ia memilih menjadi supir taksi yang bisa dengan tenang menjelajahi kota Jakarta menunggu sebuah kesempatan datang pada dirinya.
Kahar dengan cekatan memindahkan seluruh foto dari HP Rossa ke notebooknya, menyalinnya ke dalah sebuah CD-ROM, dan kemudian mencetak beberapa dari foto itu. Tidak lupa ia juga membuat sebuah VCD dari adegan yang berhasil ia rekam tadi.
Pukul 04:58 dini hari.
Kahar memasukan hasil cetakan, CD-ROM dan VCD yang telah selesai dalam sebuah amplop. Ia menarik laci mejanya, mencari-cari sesuatu sebelum akhirnya ia menemukan sebuah sim card. Ia memasangkan sim card itu ke HP Rossa dan mengaktifkannya.
Kemudian ia mencari daftar telepon yang ada di HP Rossa sebelum akhirnya menemukan sebuah nama. Ia membuat sebuah MMS, menambahkan beberapa foto Rossa di taksi dan dikamar tidurnya.
Kahar menekan tombol Send.
Kahar sudah terlelap di kasur yang ada di lantai rumahnya ketika layar HP Rossa masih menampilkan proses pengiriman pesan tadi.
Sending message to Yoyo
Message delivered
– Bersambung ke chapter 2-