Part 1 Terbaring di sebuah dipan kayu yang sudah lama kuhinggapi. Aku tidak dapat mengingat dengan jelas apa yang terjadi kepadaku. Mereka bilang menemukan badanku hanyut di sungai. aku mulai terbiasa melihat paras perempuan yang selalu merawatku. Dalam kesederhanaannya, ia masih mau merawatku. Dengan bantuan warga sekitar pula, aku dapat bertahan sejauh ini. pagi ini, seperti biasa ia membawakan gelas berisi teh panas dan sejumlah obat obatan dari mantri kesehatan. Tidak lupa, beberapa menu sarapan yang sederhana untuk membantuku minum obat. Pagi, sudah bangun ternyata. Sapa Atmi. Atmi adalah perempuan yang merawatku di rumahnya. Orang tuanya telah meninggal dunia. Suaminya juga telah wafat. Ia tidak memiliki anak. Praktis meninggalkan ia sendirian di rumah ini. Kau selalu merepotkan dirimu dengan merawatku, Atmi. Kataku. Tidak apa apa. Aku senang bisa merawatmu sekarang. Atmi seorang mantan suster. Tetapi, karena pernikahan dini membuatnya menjadi ibu rumah tangga. Kau mau pergi ke kebun? Iya. Sekalian mau setor hasil petikan ke pengepul. Obatmu sudah mulai habis. Hati hati, Atmi. Kau tidak perlu membelikan obat untukku. Ia bergeming dan pergi dari rumahnya yang terbuat dari susunan kayu hutan beralaskan tanah yang sudah keras terinjak injak. Tidak banyak perabotan yang tertinggal di rumah. Aku berlatih menggerakkan badan dan kaki agar aku cepat sembuh sepanjang hari hingga sore saat Atmi pulang. Mas bisa jalan? Sudah mendingan, Atmi. Syukurlah kalau begitu. Atmi siapin makan dulu. Tunggu, Atmi. Aku ingin bicara sesuatu denganmu. Iya, Mas. Kami duduk dan aku mulai bertanya kepadanya. Atmi, kau masih menyimpan barang barangku sewaktu aku ditemukan hanyut? Mengapa Mas tanya seperti itu? Mungkin aku bisa mengingat 1 2 hal dari hal tersebut. Mungkin ini saatnya. Mas harus mulai cari tahu siapa diri Mas. Dari kamarnya, ia membawa sebuah kardus yang berisi pakaianku dan barang barang yang melekat padaku. Ponselku sudah rusak terkena air. Kucabut SIM cardnya dan kusimpan. Dan, dompet berisi dokumen dokumen pentingku seperti KTP, SIM dan STNK serta ATM. Semuanya ada di situ. Mas Grha. Grha? Itukah namaku? Aku mulai mengingatnya sekarang. Mas, jangan tinggalin Atmi sendirian di rumah ini. Aku harus mencari tahu siapa diriku, Atmi. Atmi benar benar kesepian jika ditinggal, Mas. Secara tidak langsung, aku tidak menghargai apa yang telah dilakukan oleh Atmi. Terlebih, ia membantuku dari awal hingga sekarang. Maafkan aku, Atmi. Aku tidak bermaksud untuk meninggalkanmu. Tapi, Mas harus cari tahu siapa Mas sebenarnya. Mungkin barang itu bisa membantu Mas mengingat. Nanti akan kulakukan setelah aku benar benar sembuh. Beberapa hari kemudian, aku sudah bisa berjalan dan seiring ingatanku mulai pulih. Meski, tidak banyak. Teringat kartu ATM yang ada di dompet. Aku berusaha mengingat PINnya. Atmi, besok kamu ijin kerja. Aku ingin kamu ikut aku ke kecamatan cari ATM disana. Iya, Mas. Besok kita ke kecamatan. Kami ke kecamatan naik angkot. Aku mencari mesin ATM berharap ada yang tersisa di sana. Aku temukan dan kucoba memasukkan kartu dan PIN yang sudah kuingat. Aku mengecek saldo dan aku terkejut dengan angka yang cukup banyak. Aku mencetak mutasi rekening dan terdapat transfer dari Zizi senilai 2 digit. Zizi? Sepertinya aku pernah mengenal wanita ini. aku tarik sebagian dana untuk belanja bersama Atmi. Gimana, Mas? Lihat kertas ini. kataku menunjukkan struk atm. Banyak banget, Mas. Uangnya. Aku juga tidak tahu. yang penting sekarang kamu belanja untuk keperluan rumahmu. Tapi, Mas nanti Gak usah dipikirin, Atmi. Kami berbelanja di pasar tradisional keperluan rumah dan lainnya. Kami tiba sore hari dengan menyewa pick up untuk membawa barang kami.
Mas, Grha. Makasih udah dibeliin semuanya. Iya, sama sama. Atmi. Aku kembali beristirahat. Namun, sakitku kembali kambuh. Aku terbaring tidak berdaya selama beberapa hari. Atmi kembali merawatku. malam malam, aku merasakan tubuhku sudah penuh kuman gatal disana sini. Atmi, bisa tolongin aku? Iya, Mas. Ada apa? Aku gatal gatal dan lelah. Badanku penuh kuman. Bisakah kau memandikanku sebentar? Iya, Mas. Sebentar. Ia datang dengan kain waslap dan air dingin. Tangan dan badanku dibasuh dan diwaslap. Ia menurunkan selimutku yang praktis memperlihatkan celana pendekku. Celana Mas dilepas aja biar gak basah. Atmi . Atmi melucuti celanaku dan penisku terlihat di depan matanya. Oh punya Mas gak kerawat gitu. Banyak rambutnya. Aku ingin mencukurnya. Tetapi, keburu aku sakit. Boleh Atmi Cukurin? Kau mau Atmi? Masnya nanti malah garuk garuk gatal. Ia mengambil beberapa pisau cukur dan mencukur rambut di sekitar penisku. Jarinya memegang penisku agar tidak terkena pisau. Kejadian ini membuatku penisku ereksi. Hihihi Burungnya udah mulai keras. Ia tetap mencukurku hingga bersih. Tapi, tangan itu masih memegani penisku. Ia menghela nafas melihat penisku yang tegak berdiri di depannya. Mas, Atmi boleh bilang sesuatu? Apa Atmi? Atmi jadi nafsu lihat burung mas. Sudah lama, Atmi enggak pernah nyentuh burung laki laki. Kecuali, punya Mas. Tanganku mengenggam tangan Atmi. Atmi, anggap aku suami kamu. Atmi butuh perhatian dan diperhatiin. Makasih, Mas. Ia melepaskan kemben yang melingkari dadanya. Buah dadanya menggantung kendor. Namun, begitu ranum. Puting dan aerolanya berwarna coklat kehitaman. Ia melepaskan kain Jarik yang melingkari pinggangnya. Kulitnya sawo matang bercampur dengan kemaluannya yang bersih dari bulu. Perutnya agak buncit membuatnya semok. Ia naik di atasku dan mulai memompa dirinya dengan penisku. aaahhhh ..Mas enak .sudah lama enggak seperti ini. Ia terus memompa badanku. Tanganku diarahkannya ke buah dadanya. Mas remes aku Mas Kuremasi buah dadanya. Aku dekatkan wajahku dan kubenamkan disana. Aku juga butuh kehangatan seorang wanita. Ia menungganggiku begitu semangat. Seolah seperti malam pertama, ia tidak ingin kehilangan setiap momentnya.
ooooohhhhh ..hhhhhmmmmmmm ..uuuuuuuucccchhhhh ..nnnnngggggghhhhhh ..sssssssssshhhhhhhhhhh ..aaaaaaaaaahhhhhhhh . Ia membelai kepalaku dan menciumiku. Aku balas menciumnya. Burung Mas enak banget. Udah lama enggak dimasukkin. Kamu juga peret banget, Atmi. Bikin jantungan. Sekarang, aku tunjukkin kemampuan aku. Ia memutar mutar penisku di dalam. Seperti dibanting kesana kemari. Goyangan pinggulnya membuatku melenguh nikmat. Kemaluannya memakan penisku perlahan secara otomatis. Diulanginya hingga naik turun nafsuku disana. Dihujamnya penisku jauh masuk ke dalam. Punya kamu bener bener manjain punya aku, Atmi. Diisep sampe masuk ke dalem. Terakhir, ini kesukaan aku dari dulu. Secara tiba tiba, ia menjepit penisku dengan erat. Tidak bisa bergerak. Ampun Atmi Ampun Atmi .. Ia mengendurkannya dan menghisap penisku masuk ke dalam. Dijepitnya lagi berulang ulang. Atmi..aku sampe jantungan. Mas, juga kuat. Dijepit kaya gini, belum keluar juga. Masih kuat koq, Atmi. Yakin? Ia menjepit penisku perlahan dan tidak terbayangkan sebelumnya. Kali ini, penisku dibuat remuk oleh kemaluannya. Aaaakkkuuuuu kkkkeeeelllluuuuaaarrrrrr .. ccccccccrrrrrrrrrrrrrrooooooooootttttttttssssssssssss .cccccccccccccccrrrrrrrrrrroooooooooootttttttttttttttsssssssssssss .cccccccccccccrrrrrrrrrrrrrrrrrroooooooootttttttttssssssssss. Spermaku muntah di dalamnya. Masih dijepitnya hingga habis spermaku di penis. Ampun Atmi, punya kamu tangguh banget. Aku gak kuat ngadepinnya. Anget banget di dalem nyemburnya. Udah lama gak begini. Atmi, kalau kamu hamil? Aku mandul mas. Aku gak bisa punya anak. Malam ini, Atmi di sini aja. Aku pasti butuh lagi. Atmi juga nanti pengen lagi. Sepanjang malam, kami terus berhubungan badan. Sekarang, Aku naik bus menuju ibukota. Berbekal KTP aku menuju alamat yang tertera. Tempat tinggalkku masih disana dalam keadaan masih seperti saat kutinggalkan. Kuingat aku menyimpan kunci cadangan di dekat meteran listrik. Aku masuk ke dalam rumah. Aku duduk di sofaku sambil mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Aku keluar rumah dan bertegur sapa dengan tetangga sekitar. Syukurlah, mereka tidak tahu apa yang terjadi. Aku membersihkan rumah dan halaman depanku. Setelahnya, aku kembali beristirahat. Kali ini, aku hidup seperti kertas baru. Setelah peristiwa yang terjadi, mungkin orang akan melupakanku. Aku mencari pekerjaan untuk menyambung hidup. Sulit mencari pekerjaan di ibukota. Itulah yang aku rasakan sekarang. Di warung pinggir jalan, aku memesan es teh sekedar melepaskan dahagaku. Ingatanku tentang kota ini belum sepenuhnya pulih. “Mas, kayaknya baru di Jakarta ya?” Sapa orang disebelahku. “Iya, Mas. Koq Mas tahu saya baru di Jakarta?” “Saya lihat map anda kayak lamaran kerja.” “Oh, Iya Mas. Lagi ngelamar kerjaan.” “Mas mau jadi PU rumah produksi? Kebetulan, lagi ada syuting di sebelah sana. Aku kekurangan orang PU nih mas.” “Kerjaannya kayak gimana ya?” “Ya, kaya OB aja. Anter – anter makanan sama nyediain konsumsi aja. Ya, tapi gitu. Kerjanya sih pas waktu makan aja. Cuman, gak tentu aja kalo disuruh – suruhnya.” “Boleh, Mas. Kalau dicoba.” “Abis ini Mas ikut saya. Oiya, nama saya Karim.” “Saya Grha.” “Kita kesana, Mas Grha.” Karim begitu sopan kepadaku. Mungkin, agar aku menerima pekerjaan ini. Ia mengantarku disebuah ruangan pantry dadakan. “Ini adalah ruangan pantry. Tugas kamu, bikin minuman aja. Di tembok ada foto dan nama kru syuting film. Kamu bisa bikin kopi dan teh biasa kan?” “Bisa, Mas Karim.” Seorang kru masuk pantry. “Orang baru, Karim?” Tanyanya. “Iya, kenalin. Dia Grha.” “Aku Agus. Oh iya, bisa bikin minuman? Mereka lagi suntuk tuh. Kopi item aja.” “Tuh udah dapet kerjaan pertama kamu. Dikerjain gih.” “Iya, Mas Karim.” “Karim aja manggilnya.” Aku menyiapkan air panas dan sejumlah gelas berisi bubuk kopi sachetan. Aku menuangkan air panas ke gelas dan mengaduknya perlahan. Dengan nampan, dibantu oleh Agus dan Karim aku menyerahkan gelas berisi kopi sekaligus berkenalan. Selesai pekerjaanku, aku kembali merapikan pantry. Seseorang masuk lagi. “Mas yang bikin kopi ya?” “Iya, Mas. Ada apa ya?” “Itu kopi apa Mas? Koq beda rasanya?” “Kopi sachetan. Beda gimana, Mas?” “Bikinannya enak banget. Udah lama gak minum kopi sachet seenak ini. Bikin lagi ya, Mas. Pada nambah tuh.” “Iya, Mas.” Syukurlah kopi buatanku diterima oleh mereka. Kuhidangkan lagi kopi yang telah ku buat. Mereka memujiku karena kopi ini. Beberapa hari bekerja disini, membuatku semakin akrab dengan mereka. Aku mulai mengenal artis yang ikut terlibat syuting sinetron. Salah satunya adalah Voke Victoria. Artis itu yang begitu mengena di pikiranku. Perannya yang menjadi seorang adik perempuan yang kekanak – kanakan berhasil menyita perhatianku. Aku pun sedikit banyak bisa berkenalan dengannya. Hari ini, sedang ada break syuting. Aku bisa bernafas lega. Karim dan Agus sedang pulang ke rumahnya. Aku kebagian berjaga di sini. “Grha…kau disitu?” “Ah, Iya. Non Voke. Tumben masih disini.” “Belum di jemput sama supir. Kebiasaan supir aku lelet.” Aku berinisiatif memberikannya teh hangat. “Silahkan Mbak diminum selagi anget.” “Loh, kamu tidur disini?” “Iya, Non. Karim dan Agus sedang pulang.” Aku beringsut ke belakang melepaskan sarung yang melintang di badanku. “Maaf, Mbak. Saya gak sopan tadi ngelayaninnya pake sarung.” “Kenapa minta maaf? Gak ada yang salah koq.” “Iya. Non.” “Panggil aja Voke. Bacanya Vooke.” “Iya, Voke.” “Itu apa di piring?” Ia menunjuk makanan tersaji di roti. “Roti bakar aja. Ada sisa roti tadi siang. Sayang, kalo dibuang.” Dicomotnya sepotong dan dimakannya. “Aduh, Non. Jangan dunk. Nanti saya dimarahin nyediain makanan gak higienis.” “Kamu bikinnya bener kan?” “Bener sih.” “Yaudah. Aku makan.” Ia menggigit rotiku. “Oh my….kamu bener bikin ini? Bahannya apa aja?” “Cuma roti, selai srikaya, sama mentega biar gak gosong.” “Bisa pas banget nih. Lumer di mulut.” “Masih banyak gak rotinya?” “Masih sih, tadi aku mau bikin terus aku kasih ke orang.” “Bikinin aku lagi yang persis kaya gini. Gak boleh beda sedikitpun. Aku tunggu di ruangan make up.” “Iya, Voke.” Aku membuatnya lagi. Baru aku akan mengetuk terdengar suara yang aneh di telingaku. “Sssssssnnnnggggggggg……..sssssssssssnnnnnnnnnggggggggg………..ssssssssssnnnnngggggggggg…” Aku
mengintip di balik jendela. Ia sedang memegang benda berbentuk seperti penis dengan warna yang catchy. Dimainkannya benda tersebut di area dada dan kemaluannya yang masih tertutup baju. “Hhhhhhhmmmmmm…….hhhhhhhhhmmmmmmm…….ooooooooohhhhh……hhhhhhMmmmmmmm…..” Terpaksa kuketuk pintunya agar roti yang kuhidangkan masih hangat. “Voke, Voke, ini saya, Grha. Rotinya sudah saya taruh di meja depan. Buruan diambil nanti dingin.” Aku meninggalkan roti itu dan mengintip di balik dinding. Ia keluar dengan muka kemerahan dan langsung mengambil rotinya. Kuintip lagi lewat jendela ruangannya. Ia memakan rotiku sedikit kemudian melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda tadi. Ia menusuk – nusuk benda itu ke titik sensitifnya. “Aaaaaccchhhh……aaaaaaacccchhhh…….ccccccchhhhhh……aaaaaaaccchhhhh……” Setelah itu, dilepasnya CD yang membungkus kemaluannya. Aku menelan ludah melihat kemaluannya bersih dari apapun. Tidak ada bulu ataupun warna hitam. Ia menungging dan menusukkan benda itu ke anusnya. “Oooooohhhhhhh……..hhhhhhmmmmm……oooooooohhhhhhh……….hhhhhhhmmmmmm……….sssssssshhhhh…….” Penisku dibuatnya tegang jika seperti ini. Ia terus menusukkan benda itu hingga ia mengejang kehilangan keseimbangan kemudian menggelepar di sofa. “Ccccccccccccrrrrrrrrrrrssssssssssszzzzzzzzzz………….cccccccccccrrrrrrrrrrsssssssszzzzzzzzzz…..” Ia kelelahan setelah mengalami squirt. Ia terengah – engah kecapekan seperti baru saja berolah raga. Bersambung pada Post Selanjutnya
Part 2 Aku tidak ingin berlama – lama melihatnya. Aku kembali ke pantry. Meski pikiranku terbayang kejadian tadi. Aku berusaha agar tidak terlalu memikirkannya. Ia datang ke pantry dengan wajah masih merona kemerah – merahan di pipinya. Gemas ingin kucubit dan kugigit pipinya. “Punya kantong gak buat bawain roti ini. Kebetulan supir aku udah dateng.” “Oh. Iya, saya bungkus dulu.” Dengan tempat seadanya aku menyerahkan bungkusan berisi roti. “Ini, Rotinya.” “Makasih.” “Nona Voke!.” “Voke aja. Ada apa?” “Voke cantik. Apalagi pipinya imut dan gemesin.” Ia bingung mendengar perkataanku dan ia tersenyum kepadaku. “Makasih ya atas pujiannya.” Ia pergi ke depan dan meninggalkan lokasi bersama supirnya. Ah, sepertinya ini waktuku untuk tidur. Ia kembali syuting untuk beberapa scenes. Kali ini, perhatianku fokus kepadanya. Sepertinya ia menyadari perhatianku. Tapi, aku berusaha agar tidak terlalu memperlihatkannya. Aku berkesempatan untuk melihat ia berakting secara langsung. Seperti biasa setelah aku mengantarkan minuman, aku melihat keanehan dengan lighting yang berada di atasnya. Sepertinya tidak normal. Benar saja, saat semua fokus dengan pengambilan adegan, lampu lighting mendadak jatuh akan menimpa Voke. Aku mendorong Voke kesamping dan badanku tertimpa lampu lighting. Rasanya aku pernah mengalami kejadian ini. Tapi, aku tidak dapat mengingatnya. Soon, aku terbangun di sebuah klinik. Rasanya aku masuk klinik berulang kali. Badan bagian belakangku masih terasa sakit. Karim masuk ke ruanganku. “Kau sudah bangun, Grha.” “Iya, Karim. Aku di klinik?” “Iya. Tindakanmu itu membahayakan dirimu. Tapi, juga menyelamatkan bintang yang tengah bersinar.” “Aku harus keluar dari klinik, Karim.” “Tidak sekarang. Kau masih belum sembuh betul. Aku keluar dulu. Ada yang ingin bertemu denganmu sekarang.” Voke masuk ke ruangan begitu Karim keluar. Roman mukanya sedih melihatku seperti ini. “Non Voke.” “Bandel, ya manggilnya masih pake Non.” Voke mencubit pipiku. “Gimana syutingnya?” “Berkat kamu, aku masih bisa syuting. Sengaja aku sempetin kesini.” “Makasih udah mau besuk aku.” “Harusnya aku yang ketimpa lampu. Bukan, kamu.” “Gak perlu nyalahin diri, Voke. Udah terjadi kan?” “Iya, dan kru nungguin kamu bikin minuman mereka lagi. Aku juga nungguin kamu bikin roti lagi.” “Iya, aku akan segera pulih.” Ia mengambil kursi dan duduk di dekatku. “Jadi, aku belum mengenal dirimu secara penuh? Ceritain tentang diri kamu. Aku ingin tahu.” “Aku cuma pemuda biasa, Voke. Tidak ada spesial tentang diriku.” “Enggak. Kayaknya ada sesuatu yang istimewa dari kamu.” “Istimewa? Seperti apa?” “Hhhhmmm……aku gak tahu itu apa. Tapi, aku tahu itu ada pada kamu. Btw, kamu terus merhatiin aku beberapa hari ini.” “Ah, enggak. Biasa aja aku merhatiin kamu. Wajar kan, kamu artis sinetron.” “Tapi, beda loh. Kamu merhatiinnya kaya gimana gitu. Aku juga paham perhatian cowok.” “Maaf kalo aku perhatiannya sama kamu beda.” “Awas loh. nanti, kalo aku nungguin perhatian kamu gimana?.” Katanya mengerlingkan mata. “Semoga aku bisa ngasih perhatian itu.” Ia meninggalkanku dengan menggosok punggung tanganku yang tergolek lemah. Aku kembali bekerja, mereka sangat senang dengan kehadiranku. Terlebih lagi, Voke juga mulai memberikan isyarat bahwa aku harus memberinya perhatian. Break syuting, besok aku bisa libur sehari. Dan semua kru juga. Mereka sedang menghentikan produksi karena shares yang cukup rendah. Kulihat, Voke masih disana. Aku memberikannya pisang goreng. “Silahkan, cuma ada ini aja.” “Makasih, Grha.” “Boleh aku duduk?” “Boleh aja.” “Kenapa, Voke? Kayaknya gak semangat.” “Iya nih. Sinetron lagi gak bagus.” “Ya, namanya juga dunia entertain, ada pasang surutnya. Kamu harus tetap semangat.” “Kalo aku liat, kamu gak ada tampang – tampangnya kerja susah. Kayaknya pernah kerja kantoran.” “Mungkin saja.” “Koq mungkin?” “Aku sendiri gak bisa inget apa – apa tentang masa lalu aku.” “Kamu amnesia? Tapi, koq bisa…?” “Short term memory. Aku gak bisa inget beberapa hal. Baru kamu aja yang tahu. Overall, aku gak apa.” “Terus kamu gak berusaha inget – inget lagi?” “Iya, aku udah usaha. Tapi, progressnya agak lambat. Koq malah ngebahas aku ya. Kamunya gak di bahas?” “Emang aku dibahas kaya gimana? Aku bukan tokoh utama koq.” “Tapi, aku suka nada kamu waktu akting.” “Masih banyak artis cewek lainnya yang lebih baik. Ada tante Jill, tante Verlita, tante Ratu.” “Aku selalu nunggu kamu akting koq.” “Apaan sih kamunya gitu? Gombal tau.” “Hehehe…kamu model juga kan?” “Iya, kalo ada yang kasih job ke aku.” “Kamu lagi sibuk?” “Enggak terlalu.” “Aku mau ngajakin kamu ke taman. Maklum, cuma PU.” “Boleh. Yuk kesana.” Kami berkeliling di taman malam itu. Cukup sepi disini. Kami mengobrol hingga larut malam. “Grha, kamu udah nolongin aku kemaren.” “Iya, sama – sama, Voke.” Ia menggenggam tanganku. Suasana tenang ini menggiringku. Kami menutup mata dan saling mendekatkan wajah kami. Bibir kami hampir bersentuhan. Aku teringat peristiwa kemarin. “Kenapa berhenti, Grha?” “Aku cuma ingin bilang jujur. Saat kamu minta rotiku beberapa hari yang lalu. Aku gak sengaja ngeliat kamu muasin diri pake sextoys.” “Jadi kamu liatin aku?” “Tunggu, Voke. Aku cuma bilang ini agar kamu lebih hati – hati lagi.” “Kamu mau minta apa? Aku akan penuhin semuanya.” “Enggak, Voke. Aku gak minta apa – apa. Yuk, aku anter ke lokasi syuting. Aku mesti beresin sesuatu.” Aku kembali ke lokasi syuting. Aku membersihkan pantryku sebentar agar semuanya rapi. Masih kulihat Voke disana. “Kamu belum pulang, Voke?” “Gak tahu nih, Supir aku enggak dateng – dateng.” “Aku coba pinjemin mobil PH.” “Ada sih, cuma aku capek kalo nyetir sendiri.” “Yaudah, aku setir-in kamu pulang.” “Bisa bawa mobil?” “Saya pernah bawa mobil.” “Anterin ke xxxx.” “Siap, Non Voke.” “Huuuu…kamu ini.” Aku membawa mobil milik PH atas nama Voke. Aku mengantarnya pulang menuju rumahnya. Dari spion tengah, kulihat dirinya begitu lelah hingga tertidur. Aku terus menyetir mobil ini. “Voke, bangun. Kita sudah sampai.” Aku membangunkannya. Ia melihat ke luar dan segera mengumpulkan kesadarannya. Ia berpindah dari kursi belakang ke kursi depan. “Ada yang harus kita lanjutin sekarang.” Bibirnya lembut menyentuhku. Aku terbawa perasaan nyaman saat aku membalas lumatan lembutnya. “Cluph….cluph….cluph….cluph….” Jemariku menyentuh pipinya halus. Cukup lama berciuman. Kami melepaskan bibir untuk mengambil nafas. Kami berdua salah tingkah. Entah apa terpikirkan mengapa aku bisa melakukannya. “Soal ini aku tidak bermaksud untuk…” “I’m really like you, Grha. You know what I mean.” “A.a.aku cuma..kau tahu, Voke.” Setir mobil kusandari kepalaku. “Apa aku salah suka denganmu?” “Enggak, Voke. Tapi, kau tahu kan apa yang menjadi perbedaan kita.” “I’m just really like you.” Ia mengelus rambutku. “Maybe we can try it out, right?.” “Just one more kiss, okay?” Selang beberapa hari kemudian, aku dipindahtugaskan untuk menjadi supir PH yang mengantar Voke. Hari ini tugasku adalah mengantarnya ke sebuah klub malam. Ia hendak bersenang – senang dengan temannya. Begitulah, sisi lain artis yang kadang aku tidak mengerti. Biarkan saja ia bersenang – senang. Aku disini untuk mengawal saja. Harus kukesampingkan perasaanku. Walau, beberapa hari yang lalu ia menyatakan perasaannya. She’s just like me. Not, love me. Ia masuk ke mobilku dengan keadaan setengah sadar. Ia terlalu banyak minum. Tanpa banyak bicara, kuantar ia pulang. “Anterin aku ke xxx.” “Tapi, ini udah dekat rumah.” “Putar balik. Cepetan!.” “Tapi, Non, saya…” “Putar balik!” “Baik, Non.” Tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang mabuk. Aku mengantarnya ke tempat yang dituju. Sebuah Cafe Bar. Ia masuk sebentar dan keluar dengan tentengan. Ia mengeluarkan botol minuman dari tentengan. Aku melihatnya kasihan. Ingin kuhentikan. Tapi, tidak mungkin. 1 botol, 2 botol, dan ia terus meminumnya hingga habis. Ia mabuk hingga tidak sadarkan diri. Aku berhenti di tepi jalan. Kubersihkan botol minuman itu dari mobil. Ia sempoyongan menghampiriku menarikku masuk ke dalam mobil. “Mau kemana, ganteng.” Godanya. Ditariknya kemejaku hingga robek. Limbung, ia berusaha untuk tetap stabil. “Voke, kamu mabuk.” “Hey, aku tidak mabuk.” Ia meninjuku. Ia membuka paksa pakaianku. “Uuuhhh…..great body.” Dalam keadaan seperti ini, ia menciumku sesukanya. Tidak terkontrol hingga aku tidak dapat melepaskan diri. “Sentuh dadaku kaya gini.” Ucapnya menyentuhkan tanganku di dadanya. Terus – terusan ia mencium bibirku dengan bibirnya yang bau alkohol. Perlahan, godaan ini melemahkanku dan aku segera ikut di dalamnya. “Mmmmhhhhhhh……….ccccclllluuuupppphhhhhh……..cccccccllllluuuuupppphhhhh……….ccccccllllllluuuuuppppphhhhh…..” Aku mulai membuka pakaian Voke dan mendapati buah dada yang pas kugenggam di tangan. Putingnya kupilin dan kupuntir membuatnya keenakan. Ia mengambil sebuah botol minuman dan meminumnya. Ia meminumkannya kepadaku. Tubuhnya diguyur oleh minuman. Kujilati buah dadanya yang basah oleh minuman. “Ooohhhhh…….hhhhhmmmmmm……..ssssssshhhhhhh…….” Aku masih sedikit sadar. Ia beringsut dengan penisku yang berada di dalam celana. “Soft but strong, I like it.” Dituangnya minuman itu ke penis dan mulai ia mengoralnya. Dikulumnya juga zakarku. “Yummmmmmmyyyy….” Penisku masih tegak berdiri. Kulakukan hal yang sama pada kemaluannya. Kuhisap dan kujilati tanpa ampun kemaluannya yang bersih. “Sssssssshhhhhhhh………..ooooooooohhhhhh………..uuuuuuuuhhhhhh……..” “Dimasukkin dunk sekalian biar enak.” “Jangan, Voke.” “Pokoknya harus dimasukkin. Gak pake babibu.” “Maafin aku.” Selanjutnya sudah bisa ditebak. Aku memerawaninya.Penisku berdarah. Ia tidak menyadarinya. Terus saja kulanjutkan penetrasiku kepadanya yang sedang mabuk sambil kumainkan temponya. Aku duduk dan menghujamkan penisku masuk lebih dalam. Tidak berhenti disitu, aku melakukan penetrasi ke anusnya. Luar biasa nikmat yang kurasakan. Rasa ngilu dan kaku bercampur dengan kenikmatan yang tidak berhenti mengalir. “Aaaaaahhhhhh……….” “Cccccccrrrrrrooooootttttttsssss…….ccccccrrrrrroooooottttttttssssss……..cccccccccrrrrrrooooootttttttsssss…..” Penisku melesak kedalam kemaluannya dan mengeluarkan spermaku di rahimnya. “Oooooooohhhhhh……..” Masih dalam keadaan tegang, kembali kulesakkan penisku ke anusnya. Setelah beberapa lama, penisku kembali memuntahkan spermanya. “Cccccccccrrrrroooootttttttsssssss…….ccccccccrrrrroooooottttttssssss………” Penisku tidak kuat diikuti badanku yang lemas. Voke lemas tidak berkata apapun. Aku bangun dengan Voke yang sesenggukan menutupi tubuhnya. “Voke…” “Kamu tega bikin aku kaya gini.” “Aku gak sengaja, Voke.” “Gak sengaja apa! Kamu udah nodain aku dan kamu bilang gak sengaja!” “Kamu mabuk dan maksa aku buat ngelayanin kamu, Voke.” “Boong. Kamu bikin aku mabuk terus merkosa aku. Bukan kaya gini aku suka kamu, Grha.” “Maafin aku, Voke. Aku gak pernah bikin kamu mabuk.” Kataku memeluknya. Namun, ditepisnya. “Aku gak butuh pelukan kamu. Kamu udah ngerusakin hidup aku. Keluar dari mobil! Keluar.” Aku berpakaian dan menurutinya. Ia tancap gas meninggalkanku begitu saja. Shit, dia yang mabuk, aku yang harus bertanggung jawab. Aku benar – benar kecewa dan dendam kepadanya. Aku akan membalasnya, Voke. Kususun rencana untuk membalasnya. Aku tidak akan pernah kembali kesana. Kuceritakan hal ini kepada Karim dan Agus. Mereka antusias dan siap membantuku. Aku menyiapkan jebakan. Karim berpura – pura mobil PHnya mogok. Kesal, Voke keluar dari mobil dan memarahinya. Saat itulah, aku datang memperlihatkan wajahku dihadapannya. “Voke, gimana kabarnya?” “Kamu? Udah ngerusak hidup aku. Kamu masih berani ketemu aku.” “Aku kesini buat kamu.” “Buat aku?” Dari belakang Karim membekapnya dengan sarung tangan dibasahi chloroform. Kami membawanya menuju sebuah gudang di dekat rumah Agus. “Karim, Agus makasih bantuan kalian.” “Soal itu gampang.” “Terserah mau diapain tuh cewek. Cewek itu udah bikin gue kehilangan kerjaan sama bikin gue sakit hati.” Karim dan Agus menggarap Voke seharian. Voke menggelepar lelah di matras ala kadarnya. “Udah bangun, Voke?” “Bangsat lo. Lepasin gue sekarang.” “Eh. Lo itu udah bikin gue sakit hati tau enggak?” “Soal itu, gue minta maaf.” “Basi tau enggak. Masukkin dah tuh orang.” “Jangan, gue mohon jangan.” “Lo harus ikutan aturan gue. Kalo kagak, mati lo sama keluarga lo.” Sejumlah kakek – kakek masuk ke gudang dan mengitari Voke. “Kek, cewek ini gratis mau diapa – apain.” “Jangan, Grha. Gue mohon.” “Gak ada.” Aku tidak terlalu menyaksikan apa yang terjadi disana. Aku sibuk memvideokan peristiwa yang terjadi. Hari kedua, aku memasukkan anak – anak jalanan seusia SD. “Eh, tong. Lu mau maenin titit gak? Noh cewe pake aja.” Sedikit perlawanan sia – sia dari Voke tidak menghentikan aksi itu terjadi. Ditengah permainan, Voke merintih. “Gue laper….belum makan….” Aku melemparinya dengan nasi bungkus. “Makan tuh buruan. Tong, ngapain diem. Hajar aja sambil makan.” “Gue butuh minum juga, Grha.” “Minum tuh kencing anak SD.” Sedikit banyak aku senang bisa membalaskan
dendamku. Kusingkirkan kerumunan anak ini. Sperma manis bertebaran di seluruh badannya. “Aku minta maaf, Grha.” “Belum. Gue belum bisa maafin.” Kumasukkan remaja SMP dan berselang itu anak SMA. Entah berapa puluh ia sudah mengoral penis dan diperkosa kemaluannya. Semuanya akan tetap sama, meninggalkan bekas sperma yang teramat dalam penghinaannya. “Grha, aku udah gak ada harganya lagi. Bunuh aku aja. Bunuh!” “Aku belum selesai.” Kali ini, aku memasukkan bapak – bapak dan memintanya untuk menyelimutinya dengan sperma. Sudah beberapa hari ia hidup dalam hukuman seperti ini. Berpuluh – puluh pria datang ke tempat ini. Matanya tampak kosong. Pikirannya sudah tidak ada lagi di dunia. “Masih mau lepas, Voke?” “Gak ada gunanya. Aku udah kayak sampah didaur berulang – ulang sampe lecek. Udah kaya WC nerima apaan aja.” “Jadi, mau minta apa?” “Bunuh aja gue. Terserah lo mau masukkin lagi kontol – kontol yang bisa gue emutin.” Aku menggiringnya menuju kamar mandi. Kubersihkan tubuh dan kemaluannya dengan sabun berulang – ulang. Setelah itu, aku memberinya pakaian bersih dan kuajak ke sebuah kamar. Kuberi ia makanan yang mahal. “Kamu tahu gak apa perbedaan aku dan kamu sekarang?” Tanyaku. “Apa?” Lirihnya. “Kita di tempat yang berbeda aja. Kamu bisa terus ngelanjutin karir kamu. Aku? Gara – gara kamu nyeritain aib itu. Aku di blacklist semua PH. Aku juga sulit ngedapetin kerjaan.” “Aku janji bakal pekerjain kamu.” “Gak ada gunanya, Voke. Semuanya udah terlambat. Aku sudah sakit hati sama kamu.” “Aku bener – bener nyesel apa yang aku katain kemarin sama kamu.” “Udahlah. Aku cuma mau bilang jangan ngepush orang baik sampe limitnya. Sekalinya keluar batas, mereka bakal lebih jahat dari orang manapun.” Aku melepaskan pakaianku dihadapannya. Voke terperangah melihatku. “Kamu mau apa?” “Aku bakal tanggung jawab atas apa yang aku lakuin kemaren. Maka dari itu, aku harus ngelakuin kejahatan itu sekarang.” Aku menubruk tubuhnya di kasur. Aku menstimulasi titik – titik erotis di tubuhnya. Ia masih peka dan mendesah nikmat. Kulucuti semua pakaiannya pula. Kuarahkan kepalanya untuk mengoral penisku. Ia sudah mahir dalam urusan ini. Lidahnya menyapu semua syarafku. Begitu nikmat terasa diubun – ubun. Kupencet puting di buah dadanya. Bekas bilur merah masih samar terlihat. Tidak mempengaruhiku sama sekali. Penisku melesat di dalam anusnya. Tidak ada perlawanan karena berpuluh penis telah memasukinya. Kuteruskan untuk memenuhi hasratku yang membuncah. Aku melenguh menekuk pinggangku. “Cccccccccrrrrrrroooooottttttttsssssss…….ccccccccrrrrrroooooottttttsssss….” Penisku tuntas menyiram anusnya dengan sperma. Voke langsung mencabut dan mengulum sisa – sisa spermaku disana. Dikocoknya sebentar hingga menegang lagi. “Soft but strong. I like it.” Kemaluannya kini menjadi sasaran penisku. Ia melihatku dengan pasrah. Sambil sesekali kupegangi buah dadanya agar aku cepat berejakulasi. Ia juga mendorong kemaluannya lebih dalam. Aku mencium dan meremas dadanya.
“Cccccccccrrrrrrrrrroooooooootttttttttssssssss……….cccccccccrrrrrrrooooottttttssssss……..” Aku melepaskan spermaku di dalamnya. Aku terus berpagutan bibir dengannya. “Voke, Maafin aku ngehamilin kamu. Kamu silahkan ngebenci aku sekali lagi. Sakit hatiku banyak berkurang.” “Aku gak akan ngebenci kamu.” “Aku lebih baik jadi orang jahat di mata kamu daripada hidup dalam kepalsuan seperti kemarin.” “Mereka udah datang.” Tempatku disergap polisi. Aku diringkus dan disusul oleh Agus. Karim berhasil melarikan diri. Sudah beberapa bulan sejak peristiwa itu, aku dipenjara dan mendapat hukuman 20 tahun penjara. Agus sendiri memiliki riwayat medis yang buruk dan meninggal beberapa hari setelah di tetapkan statusnya sebagai tersangka. Kudengar, Karim berhasil ke luar negeri. Ia sungguh beruntung. Bahkan, sempat mengelabui petugas dan membesukku di penjara. Ia memberitahu bahwa Voke pensiun dari dunia entertain dan dirawat di RSJ karena kondisinya tidak stabil. Sebuah pembalasan yang sesuai. Mungkin disinilah aku akan berakhir. Membusuk di penjara karena dendam. Benar – benar berakhir. Is it really ends to me?? Sekian dan Saya Undur Diri. Terima ka