Pevita menatap jutaan mungkin milyaran bintang yang bersinar menghiasi langit malam Papua, begitu jelas dan terasa dekat seakan ia dapat meraih salah satunya dan menyimpan bintang tersebut disakunya. Tetapi pikirannya terhanyut bukan oleh keindahan pemandangan yang rasanya sudah mustahil terlihat di Jakarta. Pikiran Pevita masih mencoba menganalisa peristiwa yang baru saja terjadi. Setelah peristiwa tadi siang, dimana Pevita telah menyerahkan kegadisannya kepada Worai, jelas sudah maksud Worai yang sesungguhnya, yaitu untuk memperistri Pevita. Walau pun Pevita memang telah berhutang nyawa pada Worai, dan bersedia menyerahkan kegadisannya untuk membalas budi baik tersebut, tetapi untuk menjadi istri Worai dan kemudian menetap di desa terpencil di pedalaman Papua, adalah sesuatu yang tidak bisa ia penuhi, untuk membayar hutang nyawa sekalipun. Yang lebih menyakitkan Pevita adalah binar-binar tatapan Worai setiap kali ia menatap Pevita, sepertinya Worai percaya diri bahwa Pevita akan menerima pinangannya. Sungguh tidak tega rasanya menyakiti perasaan orang yang telah menyelamatkan jiwanya, tapi walau bagaimanpun, cepat atau lambat, Pevita harus memberikan jawabannya atas pinangan Worai.
Maka malam itu, beberapa jam yang lalu Pevita mencoba berbicara dengan Worai untuk menolak pinangannya secara baik-baik. Dengan dibantu Kabes sebagai penerjemah, Pevita membulatkan tekadnya dan menyampaikan penolakkannya pada Worai.
“Worai, maaf, tapi aku belum ada niat untuk menikah, aku masih terlalu muda untuk menikah, aku masih harus sekolah, kuliah, meneruskan karir aku, aku masih ingin melihat-lihat dunia dan semua yang bisa ditawarkan kehidupan ini. Belum saatnya aku menetap….” Papar Pevita, dengan kesedihan yang tidak dibuat-buat.
Kabes menerjemahkan ucapan Pevita sebisanya, untuk beberapa saat ia berbicara dalam bahasa sukunya pada Worai, sementara Worai mendengarkan dengan wajah membesi. Penolakan ini telah menyakiti hatinya, walau bagaimanapun ia adalah putra kepala suku, ia gagah berani, dan pejuang terkuat di sukunya, semua gadis lajang di sukunya ingin menikah dengannya, penolakan Pevita sangat menyakiti harga dirinya, meski yang paling sakit adalah hatinya yang remuk karena cinta yang tak bersambut. Worai berkata pada Pevita dalam bahasa Indonesia yang patah-patah.
“Pevita…menolak…saya? Lalu…kenapa…tadi siang?….” gurat kesedihan terlihat jelas di wajahnya.
“Maaf…yang tadi itu…hmm….anggap saja sebagai rasa terima kasih aku…karena Worai sudah menyelamatkan aku” kata Pevita hati-hati.
Worai tampak kurang memahami maksud Pevita, ia pun menatap Kabes meminta penjelasannya. Kabes sebisanya mencoba menjelaskan perkataan Pevita tadi. Seusai mendengarkan penjelasan Kabes, Worai tiba-tiba bangkit berdiri, wajahnya memerah diliputi amarah, iapun menunjuk Pevita dan berteriak keras.
“Worai tidak butuh.. terima kasih…Worai tidak butuh… dikasihani…Pevita mau pergi…ayo pergi!” katanya emosi.
Worai pun menyambar busur dan anak panahnya, membalikan badannya dan berjalan menembus semak dan pepohonan, hingga akhirnya menghilang ditelan kegelapan malam.
“Worai…tunggu!” teriak Pevita, ia tidak ingin mereka berpisah seperti ini, walau bagaimanapun Worai telah banyak menolongnya.
“Tunggu…Pevita…biar…Worai masih muda…Worai perlu pikir-pikir dulu…nanti Worai pasti balik…kalau Worai tenang” Kabes mencegah Pevita yang hendak mengejar Worai.
Pevita terdiam, Kabes benar, yang Worai butuhkan sekarang adalah waktu untuk berpikir, waktu untuk menenangkan diri dan menjernihkan pikiran. Jika ia mencoba menghiburnya sekarang, kemungkinan besar Worai justru akan semakin marah dan tersinggung. Pevita pun mengurungkan niatnya dan duduk kembali didepan api unggun yang dibuat Kabes, hatinya terasa sedih bukan kepalang.
*****
Pevita melihat kearah jam tangannya, 3 jam telah berlalu sejak Worai pergi. Kabes telah tidur meringkuk agak jauh dari Pevita. Kemanakah perginya Worai? Apa sesuatu terjadi padanya? Apa mungkin ia kembali kedesanya dan meninggalkan mereka? Seribu satu pertanyaan dan pertimbangan berkecamuk di benak Pevita.
“Pevita…belum tidur?” terdengar suara lembut dari belakang Pevita.
Pevita terkejut setengah mati mendengar suara itu, ia pun membalikkan badan dan melihat…Worai yang duduk tidak jauh dibelakangnya, entah sejak kapan.
“Worai…dari mana?” tanya Pevita hati-hati, Worai mungkin masih marah atas penolakan Pevita.
“Jalan dekat…Worai pikir-pikir kata Pevita…Pevita mau pergi…Worai mengerti” katanya sambil tertunduk lesu, berbeda dengan biasanya yang selalu angkuh dan tegas.
Pevita merasa terharu, ia tahu betapa Worai sebenarnya sangat mencintainya, namun Worai bersedia merelakan kepergianya, Pevita merasa sangat terharu sekaligus sedih luar biasa. Cinta itu terkadang gila, seringkali buta, atau bahkan tak tahu diri. Cinta pun selalu saja egois dan selalu ingin memiliki, tidak terhitung lagi kesusahan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh keegoisan cinta, maka ketika mendengar Worai bersedia mengorbankan perasaan dan harga dirinya demi kebahagiaan Pevita, Pevita merasa amat terharu sekaligus sedih. Bahkan seseorang yang angkuh dan keras seperti Worai sekalipun menyadari bahwa terkadang ego pun harus antri.
Pevita terisak perlahan, tak terasa air matanya pun turun membasahi pipinya, lega rasanya, seakan beban berat baru saja lepas dari pundaknya. Setelah beberapa saat menumpahkan perasaanya, Pevita akhirnya bisa menguasai diri, ia menegakkan kepalanya menatap kearah Worai yang masih duduk, tampaknya kebingungan tak tahu harus berbuat apa menghadapi tangis seorang gadis dihadapannya. Mungkin saat ini, Worai lebih memilih menghadapi seekor harimau ataupun ratusan ekor ular berbisa, daripada menghadapi tangis Pevita. Pevita pun melontarkan senyumnya kepada Worai, yang segera dibalas dengan senyum canggung Worai, Pevita pun tertawa melihatnya, Worai yang baru kali ini melihat Pevita tertawa selepas ini sejenak terpesona, perasaan ini, seperti ketika pertama kalinya ia melihat Pevita, begitu cantik, begitu anggun, dan begitu indah. Sejenak ego Worai kembali berbicara, namun segera ia tekan, jika Pevita memang ingin pergi, maka Worai tidak berhak menahannya disini. Setelah tawanya mereda dan semua beban pikirannya telah terangkat, Pevita seakan baru merasakan betapa dinginnya alam Papua malam itu. Iapun menggigil, kemeja army sobek-sobek miliknya tidak bisa lagi menghalau udara dingin yang menyergapnya.
“Pevita…dingin?” Worai tampak khawatir.
Pevita hanya tersenyum sambil mengangguk. Worai bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Pevita yang masih terduduk di atas tikar. Worai duduk disebelah Pevita danmengalungkan lengannya ke bahu Pevita, tidak ada maksud lain selain untuk membantu mengusir rasa dingin yang menyergap Pevita. Pevita pun merasakan rasa hangat segera menyelimutinya, rasanya nyaman sekali.
Mereka terdiam sesaat menikmati keheningan malam sambil menatap bayangan api unggun yang sedikit demi sedikit mulai mengecil, meminta makan, kayu bakar, daun, apa saja yang mungkin bisa ia lalap dengan rakusnya. Worai membaringkan tubuhnya, dan Pevita pun mengikutinya. Pevita berbaring telentang dengan menggunakan lengan Worai sebagai bantalan kepalanya. Mereka berdua menatap langit malam Papua dengan tebaran bintang yang seperti taburan gula bubuk yang tumpah ruah.
“Indah sekali…” bisik Pevita.
“Hmmm…”gumam Worai.
Pevita memindahkan kepalanya keatas dada bidang Worai, ia merasakan panas tubuh Worai menghangatkannya, ia juga mendengar degup jantung Worai berdetak secara monoton layaknya metronome, entah kenapa suara itu amat menenangkan bagi Pevita. Dan mereka berdua pun kembali terdiam, mencoba mencerna segala peristiwa yang telah menghantam mereka dan langsung melaju dengan cepat, layaknya mobil pelaku tabrak lari. Berdua, begitu dekat, Pevita bisa mencium aroma jantan dari Worai, rasa hangat melindungi ini, rasanya begitu nyaman. Tanpa sadar, Pevita pun terdorong untuk mengecup dada Worai yang bidang Pevita mendaratkan ciumannya dipuncak dada Worai, bibirnya yang lembut dan hangat mengecup perlahan tidak hanya sekali, melainkan beberapa kali, mesra dan penuh kasih sayang. Kecupan itu terus berlanjut hingga turunke perut Worai lalu turun kembali hingga kini mencapai perut bagian bawah.
Pevita sejenak melirik kearah Worai, iapun tersenyum melihat Worai yang tampak sedikit bingung (tapi tidak keberatan) akan kelakuannya. Pevita lalu meraih koteka Worai, mencoba membukanya tetapi tak berhasil.
“Ini, gimana bukanya?” tanya Pevita yang kebingungan.
“Buka?…sini” Worai pun membuka tali pengikat kotekanya,lalu mencabut koteka dan melemparkanya kesamping, hingga terpampanglah penisnya yang masih setengah tertidur.
Tangan Pevita langsung meraih penis Worai dan menggenggamnya, perlahan ia meremas-remas lembut penis hitam tersebut, lalu menggerakkan tangannya naik turun dan perlahan penis itupun mulai menegang. Pevita lalu mendekatkan wajahnya kearah penis Worai, ia lalu dengan mesra mengecup ujung penis itu “Cuuppp” singkat saja, tapi efek yang ditimbulkan pada Worai sungguh luar biasa. Sentuhan bibir lembut dan hangat Pevita pada penisnya, menimbulkan sensasi yang sama sekali baru baginya. Sukunya tidak mengenal yang namanya oral seks, bagi mereka seks terbatas hanya pada hubungan badan, tanpa variasi dan seni yang seharusnya bisa menambah nikmat dalam bercinta. Maka sentuhan bibir Pevita ini, sudah cukup membuat Worai merasa jengah, malu, ingin tahu, dan nikmat sekaligus. Apalagi ketika ujung lidah Pevita kini perlahan menyentuh batang penis Worai, dan bergerak menyusuri batang tersebut turun naik.
Pevita sendiri tidak mengerti mengapa ia melakukan semua ini, karena balas budikah? Karena kasihankah? Atau rasa bersalah? Jawabannya bukan. Ia melakukannya hanya karena Pevita ingin melakukannya. Tidakkah itu cukup buat menjadi alasan? Bukankah kita semua terkadang perlu menurunkan topeng kemunafikan kita, lalu berkata dan berbuat sesuai dengan nurani dan naluri? Inilah yang sedang dilakukan oleh Pevita. Lidah Pevita kini bergerak lincah, tidak hanya turun naik, kini lidahnya bahkan menjilati lingkar penis Worai, hingga mencapai ujung kepala penisnya, Pevita menarik turun kulit tak tersunat diujung penis Worai, dan kepala penis itupun menyembul keluar dari kulupnya, disana lidah itu dengan nakal menggelitik lubang kencing Worai, membuka lubang itu dan menggaruknya dengan ujung lidahnya. Worai tak bisa lagi menahan sensasi itu, erangan pun keluar dari mulutya.
“Pevita..sedang… apa?” ia bukan bermaksud mencegah, rasa ingin tahulah yang mendorongnya.
Pevita tidak menjawab, ia terus menjilati kepala dan lubang kencing itu dengan asyik. Sama seperti Worai, kali ini juga merupakan kali pertamanya, ia membiarkan naluri alam membimbingnya, dan terus terang Pevita menyukainya, sungguh berbeda rasanya.
Jilatannya kini turun kembali hingga mencapai biji pelir Worai, sejenak Pevita memainkannya dengan ujung lidahnya, disentil-sentil, lalu kemudian dihisapnya biji tersebut satu persatu masuk kedalam mulutnya, dan dikulum-kulum layaknya permen, Pevita tidak peduli akan aroma yang menguar dari seluruh batang dan biji pelir Worai, malahan aroma tersebut makin merangsangnya. Pevita memasukkan kepala penis Worai kedalam mulutnya, hanya ujungnya… dan terdengarlah suara cecapan.
“Tcckk…cppp…. cckkk” suara yang terdegar dari mulut Pevita yang tersumbat penis Worai.
Kini Pevita memasukkan lebih banyak lagi penis Worai kedalam mulutnya, mulutnya pun menghisap perlahan.
“Ahhh…Peviitaaa…”
Worai tidak tahan lagi, mulut yang lembut, basah, dan hangat itu, memijat dan menghisap lembut penisnya, ditambah lagi pijatan dari jari-jari halus Pevita pada batang penisnya…..Ini terlalu nikmat… ini tidak boleh…Hisapan Pevita terus berlanjut, kali ini disertai gigitan kecil dan garukan dengan giginya, Worai pun merasakan penisnya bertambah gatal, semakin digaruk dengan gigi Pevita, semakin gatal penisnya, siksaan nikmat ini sungguh terlalu dashyat buat Worai, sehingga tak lama kemudian Worai merasakan gatal luar biasa, dan kepala penisnya berdenyut-denyut berusaha membendung sesuatu yang mendesak keluar, namun tidak berhasil.
“Pe..vi..taaaa….” erang Worai keras
Rasa tak terbendung ini melandanya seperti banjir besar, seluruh tubuhnya terasa nyaman luar biasa sekaligus merenggang seperti ditarik tarik, terlalu nikmat…Sperma pun menyembur dari lubang kencing Worai, semburan pertama langsung menerpa langit-langit mulut Pevita. Pevita yang terkejut karena tidak menyangka akan disembur, reflex menarik kepalanya dan melepaskan hisapannya dari penis Worai, akibatnya semburan sperma berikutnya dari Worai langsung menerpa tepat di wajahnya, tidak terlalu banyak, namun kental dan lengket, hangat sekali rasanya. Perasaan Pevita bercampur aduk, antara terangsang, sedikit jijik, geli, dan senang. Didalam mulutnya ada sperma yang tertinggal, perlahan ia mencecapnya sedikit…asin… gurih… lengket dan beraroma tajam, Pevita menelannya tanpa masalah, hilang rasa jijiknya sama sekali. Ia lalu mengusap wajahnya yang juga terkena semburan sperma, kebanyakan mengenai dagunya, ia mengibaskan tangannya beberapa kali untuk mengenyahkan sperma yang secara bandel masih menempel ditangannya, Pevita mengusapnya beberapa kali hingga wajahnya bersih kembali. Worai yang masih terbaring lemas tiba tiba tertawa melihat Pevita yang sedikit kelabakan itu, suara tawanya pun menggema mengejutkan Pevita, ia pun memandang Worai dan langsung cemberut ketika menyadari bahwa yang menjadi obyek tertawaan Worai adalah dirinya.
“Ihhh kok ketawa sih… ini kan gara-gara kamu…” Pevita merenggut dan membalikan badannya memunggungi Worai, ia tidak benar-benar marah, hanya sedikit malu.
Worai bangkit duduk dan merangkul Pevita dari belakang.
“Worai minta maaf… Pevita jangan marah” katanya tulus.
Mendengar suara Worai yang seperti ketakutan Pevita justru tersenyum, tidak disangka seorang pejuang dan pemburu tangguh yang sombong seperti Worai, bisa ketakutan hanya karena wajah cemberutnya, iapun mengalungkan tangannya ke kepala Worai yang tersampir di bahunya.
“Aku gak marah kok, Cuma saja aku gak suka diketawain orang” katanya sambil mendaratkan kecupan di pipi Worai.
Worai mencium bau harum alami Pevita, dan melihat kemulusan leher putih Pevita, tidak tahan dan langsung mencium leher itu dengan lembut, sungguh halus kulit leher itu terasa di bibir Worai, iapun meneruskan kecupannya. Pevita sendiri merasakan hembusan nafas Worai pada lehernya, belum lagi kecupan bibir Worai, hangat, sedikit geli, namun nyaman rasanya, Worai yang masih memeluk Pevita dari belakang, kedua Tangannya kini menyelusup dan menangkup payudara Pevita yang masih tertutup kemeja, dan memijatnya lembut untuk beberapa saat. Lalu perlahan membuka kancing kemeja Pevita lalu menariknya turun. Masih belum puas, Worai juga menarik tank top Pevita hingga melewati kepalanya, hingga kini Pevita terduduk hampir telanjang dada.
Udara dingin pun menerpa kulit Pevita, sejenak ia merasa kedinginan, hingga menyilangkan tangannya didepan dada. Worai membuka kait Bra Pevita dan berusaha meloloskan bra itu, namun terhalang lengan Pevita yang menyilang, hingga Worai terlebih dahulu menarik kedua tangan Pevita barulah berhasil melepaskan bra tersebut. Tangan Worai kini menyusup dari bawah ketiak Pevita dan langsung menangkup payudara yang telah terbebas dari halangan tersebut. Dengan lembut tangan itu memijat dan meremas payudara yang halus kenyal milik Pevita. Udara dingin ditambah rangsangan Worai pada payudaranya membuat puting susu Pevita mengeras dan mengacung, warnanya kini kemerahan, ia telah terangsang berat. Untuk beberapa lama, Worai terus meremas remas payudara itu, terkadang memuntir-muntir putingnya, sambil tidak lupa menciumi bahu dan leher Pevita. Pevita mengerang pelan lalu menolehkan kepalanya ntuk membalas ciuman Worai, keduanya pun berciuman lama dan mesra, basah…hangat.
Worai kini membuka kancing celana pendek Pevita dan menurunkan resletingnya, tangannya lalu menyelusup kebalik celana tersebut, dan kebalik celana dalam yang dikenakan Pevita, jari-jarinya merayap mencari liang vagina Pevita, dan ketika menemukan bibir vagina Pevita, jari Worai menyusuri belahannya hingga menemukan clitoris Pevita, ia lalu menggosok clitoris itu dengan cukup keras, Pevita pung mengerang sambil terengah engah, ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan jeritan yang hendak keluar. Worai terus mempermainkan vagina Pevita, kadang menggosoknya, kadang meremas bukitnya, bahkan terkadang memasukkan jari-jarinya kedalam liang vagina Pevita dan mengocoknya dengan kasar. Vagina itupun terasa basah oleh cairan kewanitaan Pevita, Worai makin bersemangat…Worai lalu menarik tubuh Pevita dan membaringkannya diatas tikar, ia lalu menarik celana pendek dan celana dalam Pevita hingga terlepas, Worai beringsut dan memposisikan tubuhnya diantara kaki Pevita, ia lalu membuka lebar-lebar kaki Pevita hingga vaginanya terpampang dengan bebas. Worai kembali tercekat, meskipun ia sudah pernah melihat bahkan menikmati vagina Pevita, namun tetap saja pemandangan ini sungguh terlalu indah buatnya. Mengingat apa yang tadi telah dilakukan Pevita, Worai juga ingin mencoba oral seks. Ia mendekatkan wajahnya pada vagina Pevita, pertama-tama ia mengendus vagina merekah itu, baunya harum menyengat, entah mengapa bau itu sangat merangsangnya. Tidak yakin apa yang harus dilakukannya, Worai mencium lembut bibir vagina Pevita berulang kali, terkadang menggosokkan bibirnya ke belahan vagina indah itu, membuat Pevita mengerang dan memejamkan mata menikmatinya.
Worai kini menjelajahi bibir vagina itu dengan lidahnya, turun naik membelah bibir merekah kemerahan itu. Hidungnya menyentuh bulu-bulu halus yang lembab, dan dari celah kewanitaannya tercium bau menyengat yang semakin tajam, harum sekali. Worai membuka bibir vagina Pevita yang berwarna merah tua. Bagian dalam vagina itu ternyata berwarna merah muda, sungguh menggoda Worai, iapun langsung menjilati bagian dalam vagina itu sepuasnya, segar sekali… terlalu manis rasanya, sehingga membuat kepala Worai terasa pening. Pevita pun merasakan hal yang sama, belum pernah ada yang memperlakukannya seperti ini sebelumnya, nikmat sekali sentuhan lidah basah dan hangat itu, membuatnya geli dan gatal sekaligus, ia pun menggigit bibirnya semakin keras dan mendongakkan kepalanya. Dengan kedua tangannya Worai membuka belahan bibir vagina itu selebar-lebarnya, ia melihat ada lubang kecil di bagian dalam, mungkin itu lubang pipis. Secara naluriah Worai menyedot clitoris Pevita dan menggigitnya pelan, erangan Pevita kini terputus-putus, birahinya telah naik kepuncak tertinggi, apalagi ketika Worai memasukan lidahnya sedalam-dalamnya ke liang vagina Pevita, lalu menggerakkan lidahnya dengan liar, memutar dan menggaruk-garuk dinding vagina miliknya. Pevita menjerit kecil, semetara Worai pun makin kesetanan. Worai langsung menindih Pevita, mulutnya mencari puncak payudara Pevita, dan begitu menemukannya ia langsung menyedot-nyedot puting susu Pevita yang kemerahan layaknya bayi yang sedang kehausan, tangannya juga meremas-remas payudara itu dengan keras. Pevita pun menggigit bibir lagi kali ini karena merasa sakit dan nikmat sekaligus, tapi dia tidak mencoba berontak atas kekasaran Worai.
Worai kini makin menggila, tangan kanan Worai menggenggam batang penisnya yang besar dan berwarna hitam itu, dan kepala penisnya yang membulat itu menggesek-gesek clitoris dan bibir kemaluan Pevita. Perlahan-lahan kepala penis Worai menerobos masuk membelah bibir vagina Pevita, hingga ia merintih-rintih kenikmatan dan badannya tersentak-sentak. Vagina itu memang sudah sangat basah itu, akan tetapi masih terlalu sempit untuk ukuran penis Worai yang besar. Sejenak Pevita teringat pada waktu ketika penis Worai menerobos vaginanya untuk pertama kali, kali ini pun tidak ada bedanya, sakit sekali rasanya. Worai pun menekan pantatnya pelan- pelan menancapkan penisnya yang besar itu semakin dalam, akibat tekanan penis Worai, seluruh bibir vagina Pevita melesak kedalam,clitorisnya pun ikut tertekan masuk dan tergesek-gesek dengan urat-urat menonjol yang melingkari batang penis Worai. Hal ini membuat Pevita menggelinjang-gelinjang antara nikmat dan pedih, sesak sekali rasanya
“Aaagghhh…, aaddduuhh…, Worraai…, tuunggguu…, doongg…!” mohonnya.
Namun Worai yang sudah lupa diri karena merasakan nikmat yang amat sangat, justru secara tiba-tiba menekan pantatnya kuat-kuat ke depan sehingga seluruh batang penisnya amblas ke dalam liang vagina Pevita.
“Arghhhh… Worai…kamuu!” jerit Pevita
Worai merasakan betapa nikmatnya jepitan vagina itu, hangat, basah dan berdenyut-denyut, seperti memijat-mijat penisnya, meskipun sudah pernah merasakan sensasi ini sebelumnya, tetap saja ia merasa takjub betapa hebatnya kenikmatan yang ditimbulkan oleh kedua bagian tubuh manusia tersebut. Nafasnyapun semakn berat dan berat saja, begitu pula kepalanya, terlalu nikmat rasanya. Worai pun dengan menggebu-gebu memompakan penisnya ke dalam liang vagina Pevita. Goncangan itu membuat tubuh mungil Pevita terlonajk-lonjak tak berdaya, payudara nya pun bergoyang-goyang mengikuti genjotan Worai. Dengan tak kuasa menahan diri, dari mulut Pevita terdengar jeritan tertahan,
“Aduuuh!.., ooooooohh.., aahh”, disertai badannya yang tertekuk ke atas dan kedua tangan artis muda itu memeluk erat tubuh Worai.
Perasaan sensasi luar biasa bercampur rasa pedih menguasai dirinyai, hingga badannya mengejang beberapa detik. Rasa itu telah merambat dari daerah bagian bawah badan Pevita, naik keseluruh keseluruh tubuh, rasa sesak itu pun terlupakan, yang ada hanya rasa panas yang merambat naik, luar biasa indah rasanya. Perlahan-lahan perasaan nikmat yang dirasakannya melingkupi segenap kesadarannya, menjalar dengan deras tak terbendung seperti air terjun yang tumpah deras ke dalam danau penampungan, menimbulkan getaran hebat pada seluruh bagian tubuhnya, tak terkendali dan meletup menjadi suatu orgasme yang spektakuler melandanya. Setelah itu badannya terkulai lemas, Pevita telentang pasrah seakan-akan pingsan dengan kedua matanya terkatup.
Melihat keadaan Pevita yang justru semakin menggairahkan itu, Worai semakin menekan pinggulnya keras-keras ke depan dan “Aduuuh… aauuggghh…!” keluh Pevita merasakan seakan-akan vaginanya terbelah dua diterobos penis yang besar itu. Kedua matanya terbelalak, kakinya menggelepar-gelepar dengan kuatnya diikuti badannya yang meliuk-liuk menahan gempuran penis Worai pada vaginanya. Entah berapa lama kedua insan tuhan ini berpacu, waktu seakan terlupa karena yang ada didepan keduanya hanyalah anggur kenikmatan yang bisa mereka reguk sepuasnya. Jika saja waktu bisa membeku…Dengan buasnya Worai terus menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan cepat dan keras, sehingga penisnya keluar masuk pada vagina Pevita yang sempit itu. Worai merasa penisnya seperti dijepit dan dipijit-pijit sedangkan Pevita merasakan penis lelaki tersebut menembus jauh kedalam relung tubuhnya, mengaduk-aduk di didalamnya, di samping itu suatu perasaan yang sangat aneh mulai terasa menjalar dari bagian bawah tubuhnya bersumber dari vaginanya, terus ke seluruh badannya terasa sampai pada ujung-ujung jari-jarinya. Sungguh sulit untuk menggambarkan perasaan yang sedang menyelimutinya saat itu, akan tetapi badannya kembali serasa mulai melayang-layang dan suatu perasaan nikmat yang tidak dapat dilukiskan terasa menyelimuti seluruh badannya. Hal yang dapat dilakukannya pada saat itu hanya mengerang-erang.
“aahh… ssshh ooouusshh!” sampai suatu saat perasaan nikmatnya itu tidak dapat dikendalikan lagi serasa menjalar dan menguasai seluruh tubuhnya dan tiba-tiba meledak membajiri keluar berupa suatu orgasme yang dahsyat yang mengakibatkan seluruh tubuhnya bergetar tak terkendali disertai tangannya yang menggapai-gapai berusaha meraih sesuatu yang tidak ada.
“…Woorraai…, aakkkuuu… aaauuuggghhh…, ooohhhh….!!”, dengan suatu desahan panjang, tubuh Pevita mengejang dengan keras , hingga ia akhirnya merasa seakan-akan serasa melayang-layang, terbang dipermainkan angin. Ohhhh ia telah mencapai orgasme yang hebat untuk yang kedua kalinya
Pevita merasakan tubuhnya lemas sekali, seakan tiap tetes energinya terkuras habis, namun Worai yang masih belum orgasme masih berusaha mencapai puncaknya dengan menggebu-gebu. Tubuh Pevita pun hanya bisa terlonjak-lonjak. Pevita tiba-tiba teringat sesuatu, sesuatu yang ingin ia coba. Ia lalu menahan tubuh Worai.
“Tunggu, kita coba gaya lain” katanya sambil mendorong tubuh Worai yang masih menindihnya.
Worai sedikit merasa kesal karena kenikmatannya terganggu, tapi Pevita telah bangkit lalu menungging dengan bertumpu pada kedua tangan dan lututnya, ia seakan mempertontonkan vagina dan pantatnya yang sekal mulus, kepada Worai. Pevita menolehkan kepalanya dan tersenyum menggoda kepada Worai.
“Ayo, terusin…” katanya sedikit terengah.
Worai sejenak kebingungan. Apalagi yang diinginkan si gadis kali ini? Sejenak ia mengamati posisi tubuh Pevita,ia menatap kedua lubang pada tubuh mulus itu yang terpampang dengan jelas, kedua lubang itu seakan mengundangnya, ia lalu memegang penisnya yang basah oleh cairan kewanitaan Pevita. Worai mengarahkan penisnya, tapi diluar dugaan Pevita, Worai justru mengerahkan penis itu ke lubang pantatnya.
“Gila…! aduuh bukan disitu…, aduh, sakit bangeet…, jangaan…Woraaaii”,
Tapi sudah terlanjur, kepala penis Worai kini telah menerobos lubang anus merekah itu. Pevita pun mengucurkan air matanya karena kesakitan, ia berusaha memberontak, tapi tepat pada saat itu, Worai malah menopangkan kedua tangannya kepunggung Pevita sambil terus menyodok sekeras-kerasnya ke dalam lubang pantatnya. Akibatnya topangan Pevita terlepas dan iapun terjerembab kedepan, ia kini terbaring menelungkup dengan kedua tangan terjepit tubuhnya sendiri. Pevita pun meronta sekuatnya, tapi apalah artinya tenaga seorang gadis mungil sepertinya, dibandingkan berat tubuh dan tenaga Worai yang sudah ditempa oleh kerasnya alam Papua. Worai yang sudah telanjur merasakan nikmat, semakin menghujamkan penisnya menembus liang anus Pevita, perih juga rasanya, tapi jepitannya betul-betul membuat mata Worai nanar. Luar biasa nikmat!
Pevita merasakan sakit yang luar biasa, bagian hitam matanya menghilang, mulutnya meringis keras, dan cucuran air matanya semakin deras. Ia pun hanya bisa menggerak-gerakan pantatnya ke kiri kanan, tetapi juga tidak bisa bergeser terlalu jauh, karena penis besar Worai masih tertancap di dalam anusnya, gerakannya justru malah menambah kenikmatan yang dirasakan Worai
“aauuugghh…! Saakkiiit! jerit Pevita ketika Worai mulai bergerak pelan-pelan keluar masuk anusnya.
Secara berirama Worai menekan dan menarik penisnya dari lubang anus Pevita, menikmati jepitan dinding anus yang bergerinjal-gerinjal itu. Kedua kaki Pevita yang sedikit terkangkang itu bergetar-getar lemah setiap kali Worai menekan masuk penisnya ke dalam lubang anusnya. Dalam kesakitan dan ketidakberdayaan itu, Pevita telah pasrah menerima perlakuan lelaki tersebut. Worai semakin menggebu menggenjot anus Pevita, kedua tangannyapun langsung meremasi kedua buah pantat Pevita yang sekal dan halus. Worai telah lupa diri, kenikmatan ini telah melandanya dan membuatnya gila. Gerakannya semakin kasar dan lelaki tersebut menekan pinggulnya keras-keras ke depan dan “Aduuuh… aauuggghh…!” keluh Pevita merasakan seakan-akan tubuhnya terbelah dua. Kedua mata Pevita terbelalak, kakinya menggelepar-gelepar dengan kuatnya diikuti badannya yang meliuk-liuk menahan gempuran penis Worai. Rasanya penis Worai seakan-akan menembus sedalam-dalamya, mengaduk-aduk di dalamnya. Tiba-tiba Worai merasakan sesuatu gelombang yang melanda dari di dalam tubuhnya, mencari jalan keluar melalui penisnya, suatu ledakan yang tiba-tiba mendorong keluar, sehingga penisnya terasa membengkak seakan-akan mau pecah dan…
“Aaduuuh…Pevitaaa….!” Kedua tangannya meremas kuat pantat Pevita dengan kekuatan penuh.
Worai menekan pantatnya, menyebabkan penisnya amblas dalam-dalam pada anus Pevita, disertai suatu semburan sperma yang keluar dan menyemprot secara deras, menyemburkan cairan kental panas ke dalam lubang anus itu. Pevita pun merasakan anusnya panas sekali, seakan terbakar. Worai mencabut penisnya dari anus Pevita, tampak anus itu membuka lebar, memerah dan memar. Worai terguling dan berbaring di samping Pevita, ia menoleh dan melihat wajah si gadis, mata Pevita masih terpejam, ia sesegukan menahan tangis dan rasa perih di anusnya. Worai langsung merasa bersalah, tadi ia hanya terbawa perasaan, tadinya ia mengira bahwa Pevita memang menginginkan Worai untuk menjebol anusnya sehingga Pevita menungging didepannya. Ketika Worai akhirnya menyadari kekeliruannya, ia sudah terlanjur merasa nikmat, dan melanjutkan genjotannya. Tapi kini ia merasakan sesal yang amat dalam karena telah menyakiti Pevita. Worai mengulurkan tangganya mencoba meraih wajah Pevita tapi ketika ia menyentuhnya, tangan Pevita langsung menepis tangannya dengan kasar. Pevita bangkit dan mengenakan pakaiannya yang tercecer, sesekali isak tangis keluar dari mulutnya. Setelah selesai mengenakan pakaiannya, Pevita berjalan menuju salah satu pohon, lalu duduk dengan lutut tertekuk depan dada, ia menundukkan kepala dan kembali menangis. Worai bangkit dan mendekati Pevita, ia mencoba meminta maaf, tapi suara bentakan Pevita mencegahnya.
“Jangan mendekat!… pergi kamu… aku tidak ingin melihat kamu lagi!” katanya terluka.
“Tapii… Worai mau… minta maaf… Worai cinta Pevita” kata Worai penuh penyesalan.
“Kalau kamu memang cinta, kenapa kamu nyakitin aku?!” teriak Pevita.
Worai tidak bisa menjawab, dengan lesu ia menundukkan kepalanya.
“Sudah, lebih baik kamu pergi pulang saja, biar Kabes yang mengantar aku” kata Pevita yang sudah mulai tenang karena melihat penyesalan Worai.
“Worai… ingin…” kata Worai terbata, tapi ia lalu mengurungkan perkataannya.
Walau bagaimanapun ia memang telah menyakiti Pevita, dengan rasa bersalah Worai menunduk memungut koteka dan busur dan anak panahnya. Ia lalu membalikkan badan dan melangkah. Sejenak ia berbalik dan menatap Pevita, mulutnya terbuka seakan hendak mengatakan sesuatu, tidak jadi, ia kembali berjalan menembus rapatnya semak dan pepohonan hutan, hingga akhirnya ditelan kegelapan.
Pevita mengawasi kepergian Worai, perasaanya bercampur aduk. Ia memang sedikit merasa kesal atas perlakuan Worai tadi, tapi amarahnya tadi tidaklah dilandasi kebencian, melainkan justru kasih sayang. Jika nanti di Jayapura ia dan Worai berpisah dengan baik-baik, kemungkinan besar Worai masih akan menyimpan harapan untuk bisa bersanding dengan Pevita suatu hari nanti, Worai mungkin akan terus mengenangnya dan merindukannya. Jika itu yang terjadi, Pevita lah yang akan merasa bersalah, karena telah melukai hati orang yang telah menyelematkan jiwanya. Tetapi jika kejadiannya seperti sekarang ini, Worai yang merasa bahwa Pevita telah membencinya, mungkin akan lebih mudah melupakannya, dan berpindah ke lain hati begitu ada kesempatan. Pevita berpikir sejenak, berdoa semoga pertimbangannya tidak keliru. Ahh, hati perempuan memang sulit dipahami, lebih membingungkan dari problem matematika atau teori ilmu fisika yang paling rumit sekalipun.
*******
Paginya Pevita dan Kabes bersiap untuk berangkat melanjutkan perjalanan. Kabes tidak berkomentar apapun mengenai kepergian Worai. Kabes sebenarnya tidak tertidur malam itu, ia mendengar dan melihat semuanya, hanya saja ia memilih untuk tidak ikut campur urusan anak muda. Pevita pun tidak berusaha menjelaskan pokok persoalannya. Mereka melanjutkan perjalan tanpa banyak bicara, hanya langkah kaki yang saling susul menyusul menembus belantara Papua. Lebih cepat dari perkiraan, petang itu mereka telah sampai di pinggiran kota Jayapura. Jalan aspal telah terbentang didepan mereka, dan gerbang kota pun telah terlihat, sesekali kendaraan bermotor menderu melewati mereka. Pevita memandang Kabes, ia tersenyum, perjalannya telah berakhir.
“Akhirnya sampai eh?” kata Kabes ramah.
Pevita mengangguk, ia tersenyum.
“Terima kasih, udah nganter aku sampai sejauh ini” katanya.
Pevita pun memeluk Kabes, yang dibalas dengan pelukan hangat pula. Sejenak mereka terhenti, sama-sama merasa haru. Meskipun mereka baru saling mengenal namun jalinan persahabatan telah terjalin erat diantara mereka. Pevita melepaskan pelukannya.
“Selamat tinggal Kabes, titip salam dan terima kasih aku pada semua penduduk desa” katanya dengan mata sedikit berkaca- kaca.
“Pasti… kapan-kapan datang lagi ke desa” kata Kabes tak kalah terharunya.
“Ehmm..” Pevita mengangguk.
Pevita pun membalikkan badan dan berjalan ke arah gerbang kota, langkahnya terasa berat. Setelah agak jauh, ia berbalik dan melambai kearah Kabes yang masih berdiri mengawasinya. Kabes balas melambai dengan kedua tangannya, amat bersemangat, Pevita pun tak bisa menahan tawa melihatnya. Tapi tiba-tiba sudut matanya menangkap suatu sosok yang berdiri di bawah pohon tak jauh dari Kabes. Sosok Worai! Worai memandangnya dari kejauhan, tampak ragu-ragu mengenai apa yang harus diperbuat. Pevita merasa sedih bukan kepalang, bukan perpisahan seperti ini yang ia inginkan, tapi ia percaya bahwa jalan ini adalah yang terbaik buat mereka. Pevita membalikkan badannya dan melangkah cepat kearah gerbang. Satu tanganya menutup mulut, mencoba menahan isak tangis yang mendesak keluar, sementara tangan yang satu lagi mengusap air mata yang mengucur deras dari bola matanya yang indah. Ia mempercepat langkahnya.
Pevita tidak melihat bagaimana Worai menatapnya dengan sedih, lalu melambaikan tangannya dengan lemah. Worai merasa bahwa sebagian dari dirinya telah terbawa pergi seiring dengan kepergian Pevita. Worai berusaha menghibur diri, mungkin suatu saat ia bisa melupakan Pevita, dan bisa menemukan tambatan hati yang bisa mengisi kekosongan tubuhnya, ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia pasti bisa melupakan Pevita. Worai menunduk lesu, ia tidak bisa membodohi diri, rasa ini tidak mungkin bisa hilang seutuhnya. Kabes yang menyadari kehadiran Worai, berjalan menghampirinya. Kabes menepuk perlahan pundak Worai.
“Ayo pulang…” katanya pendek.
Worai menatap Kabes, lalu menganggukan kepala. Keduanya lalu berjalan menembus hutan, untuk kembali ke desa kelahiran mereka. Mereka berdua adalah bagian dari bumi Papua, mereka adalah bagian dari alam Papua, Pevita bukan…Cinta memang tidak selalu menang dan mengalahkan segalanya…
By : Raito Yagami
NB : Penulis ingin menyatakan rasa terima kasih pada Pevita Pearce, yang wajah cute & Innocent-nya telah menginspirasi munculnya cerita ini. Girl If you read this, please tell me what you think.
Penulis juga ingin menyatakan salut kepada Kabes, yang telah dua kali disuguhi tontonan “menggemaskan”, namun mampu menahan diri untuk tidak ikut-ikutan. Dan juga terima kasih dan permohonan maaf pada Ian Kabes, pemain tim nasional kita yang namanya telah dicomot dengan semena- mena J demi untuk terselesaikannya cerita ini.
Dan terima kasih pula pada para mupengers yang telah meluangkan waktu untuk membaca hasil karya sensional saya ini, He…he…he.
Anda puas, kami lemas (ngetik)!