Dan para suhu disini, izinkan nubie ini menulis cerita dewasa delapan belas plus-plus, yang dimana masih amatiran sekali dan dengan gaya penulisan amburadul. Jikalau ada kesalahan tulis atau imbuhan yang rancu, saya akan sangat senang sekali jikalau ditegur.
Salam dari orang imut sak regional Jatim.
“Laris.. laris.. laris.”
Kata pria paruh baya, sembari mendorong keluar dari pekarangan rumahnya.
Pria itu bernama Sugito, tukang bakso keliling yang sudah tahunan berjualan. Dia dulunya seorang juragan minyak tanah, tapi karena bencana alam dia bangkrut. Maka dari itu, dia nekat untuk merantau membawa anak istrinya ke kota lain, agar tidak menanggung malu dan sekaligus kabur dari kejaran debt collector.
“Bu, aku berangkat ya. Doakan laris hari ini, supaya bisa buat biaya sekolah Andi.”
“Iya pakne, semoga ya. Aduh, tadi bikin bakso sampai kena ini ini ini nih.” Jawab Sinta, istri Sugito sambil menunjuk lengan, dada, leher, yang terkena adonan.
Sinta ini masih lumayan muda yaitu 28 tahun, dibandingkan Sugito yang 37 tahun. Dengan wajah cantik dan body yang semlohay, tutur kata sopan dan centil, membuat Sugito kepincut.
“Ah bune ini, ini yang mana hayoo.” Goda Sugito dengan matanya yang berkedip.
“Gak tau lah pakne, udah ah nanti aja kalau udah pulang. Berangkat sana.”
Setelah suaminya berangkat, Sinta kembali untuk membersihkan peralatan yang terkena adonan, lalu bersiap untuk mandi.
Suara kran menyala, gemercik air mulai bersahutan dan Sinta melepas satu persatu pakaiannya. Dia menyabuni badan mulusnya dengan perlahan hingga mulai nafsu. Memang sudah dua minggu, dia tidak tersentuh suaminya karena capek berjualan.
Tangan kirinya meremas dan menarik perlahan puting dadanya, sedangkan tangan kanannya menggesek perlahan klitorisnya.
“Ohhhh mmmhhhhhh.”
“Permisi bu.” Suara orang memanggil dengan mengetok pintu kontrakan.
Karena tidak ada yang menjawab, orang itu masuk hingga dapur, masih dengan memanggil.
“Bu, apa ada orang di dalam? pak bu?”
Dari kamar mandi Sinta berteriak,
“Siapa itu? saya masih mandi!”
“Ini saya Umar, ketua RT.” Jawab orang itu dengan sesekali menghisap rokok.
“Oh pak RT, silahkan duduk dulu. Saya masih mandi pak.”
Umar duduk di sudut kursi dapur sembari menikmati rokoknya. Dia mengecek data keluarga Sugito untuk keperluan pendataan di kelurahan.
Tanpa di duga, Sinta keluar hanya dengan memakai handuk dan sedikit berlari menuju kamar. Umar terkejut, antara senang dan lucu karena melihat badan Sinta yang seksi nan mulus hanya memakai handuk, berlari menuju kamar.
“Buseet boleh juga nih cewek.” Kata Umar dalam hati.
Pikirannya mulai mengembara kemana-mana melihat kejadian tadi. Tapi dia segera menepis dan menuju ruang tamu untuk mempersiapkan data.
“Jadi begini bu Gito, saya mendapat mandat dari kelurahan agar mendata penduduk, agar para penduduk mendapatkan bantuan pemerintah. Mohon melampirkan fotocopy KTP da KK sebagai persyaratan.”
“Oh gitu ya pak? sebentar ya saya ambilkan di lemari.”
Ketika Sinta berbalik menuju kamar, Umar melihat bongkahan pantatnya. Mendadak, kemaluan Umar tegang, tapi segera mungkin dia menutupi dengan memperbaiki posisinya.
“Apa aku godain aja ya? aduh jangan Umar, gak baik.” Kata-kata yang berkecamuk dalam pikiran Umar, memang libidonya belum tersalurkan semenjak istrinya meninggal enam bulan lalu.
“Ini pak.” Sinta menyodorkan lembaran KTP dan KK yang diminta.
“Oh iya, pak RT mau saya buatin kopi?” sahut Sinta lagi.
“Ohh nggak bu Gito, saya mau ke pasar. Beli sayuran buat masak anak-anak.” Jawabnya dengan sedikit grogi.
“Loh saya juga mau ke pasar pak, mau beli daging besok.”
“Yasudah sekalian aja bareng sama saya.”
“Loh boleh pak? yasudah siap-siap dahulu.”
Hati Umar sangat senang sekali, sudah kepalang tanggung. Bisa jadi, ini jalan agar punya relasi lebih erat dengan Sinta.
Langsung dia balik untuk mengambil mobilnya.
Sinta terlihat memakai celana jeans dan kaos yang lumayan ketat, sehingga dadanya menyembul.
“Pak, terima kasih lo ya aduh jadi merepotkan pak Umar.”
“Alaah tidak apa-apa bu, saya kan pelayan masyarakat jadi sudah sepantasnya. Apalagi yang di layani secantik bu Sinta.” Sahut Umar dengan candaan genitnya.
Sinta hanya tertawa menanggapinya, dengan sesekali mencubit lengan Umar. Suasana mencair seiring banyak obrolan ngalor ngidul mereka berdua.
Ketika masuk pasar, mereka berdua berjalan layaknya suami istri. Berjalan beriringan, tertawa bercanda. Umar sangat senang sekali dengan momentum ini. Setelah berbelanja banyak dan makan, mereka kembali.
“Pak Umar ini umur berapa sih? kok badannya masih seger sekali?” tanya Sinta di sela perjalanan.
“Hayoo tebak berapa?” jawab Umar dengan sedikit menggoda.
“Ah males ah, situ aja gitu jawabnya.”
Umar terkekeh melihat ekspresi manja Sinta.
“Umur saya masih 36 tahun bu, terlihat muda kan saya? perawakan 22 sih saya.”
“Aseemm, hahaha. Tapi jujur lo pak Umar ini badannya kekar. Ini lengannya aja gede, apalagi anunya.” Jawab Sinta dengan sedikit godaan.
“Anu apa sih bu?”
“Itu lohhh itu.”
“Ohh dengkul kaki ya? iya bu dengkul kaki saya gede dan keras.” Umar menimpali dengan tidak terlalu agresif, dia takut kalau momentumnya rusak.
“Ah pak Umar ini gak peka, di atasnya tuh.” Canda Sinta semakin vulgar.
“Oalah ini to, saya gak tau bu kalau ini. Coba bu Sinta pegang sendiri aja.” Jawab umar dengan memancing.
“Emangnyaa boleh nih? hihihi.”
Belum sempat menjawab, tangan Sinta mengelus selangkangan Umar, elusan itu semakin ke atas dan sampailah ke area kemaluan. Umar sangat kaget melihat tingkah Sinta, tapi karena sudah kepalang tanggung dan hasrat seksualnya di pendam, dia membiarkan saja.
“Duh pak, ini kok semakin gede semakin gede pak? kasihan sekali masih terkurung hahahaha.”
Tanpa pikir panjang, Umar langsung membelokkan arah mobilnya menuju ke sebuah desa yang jalanannya sangat sepi. Entah kenapa, mungkin karena efek kalap seksualnya. Dia memberhentikan mobil di jalanan sepi tengah sawah, yang hanya sesekali motor lewat disitu.
“Loh pak, ini dimana pak?” tanya Sinta dengan bingung.
“Bu, saya mau ngomong. Jujur saya ini duda meski masih enam bulan, dan hasrat seksual saya belum keluar semenjak istri saya meninggal. Nah karena bu Sinta tadi mengelus-elus kemaluan saya, nih jadi bengkak.”
Umar tiba-tiba membuka celananya, terlihat kemaluannya yang sudah menegang. Sinta terperangah melihatnya. Tangannya dituntun kembali oleh Umar agar memegang kemaluan Umar yang sudah mebengkak.
Seperti ia tau pikiran Umar, dengan posisi masih duduk di jok masing masing, tangan kanan Sinta mulai menggenggam kemaluan Umar yang besar dan berurat itu, mengkocoknya.
Perlahan tapi pasti, dia masih terperanga melihat kemaluan Umar.
Umar sesekali melenguh karena efek kocokan Sinta.
“Tanganmu kok halus banget.. uuuhhh.”
Sinta tidak menjawab, ia masih mengkocok kemaluan Umar.
Tangan kiri Umar mulai bergerilya, sasaran pertamanya adalah dada Sinta. Pada awalnya Sinta menepis, tapi karena mungkin sudah capek, tangan Umar dibiarkan saja.
Dengan masih memakai baju, diremasnya dada Sinta. Dada yang montok, berbalut kaos kuning itu kini ada di genggaman Umar.
Remasan, sesekali mencoba mencari posisi putingnya Sinta.
Sinta melumuri tangannya dengan ludahnya sendiri agar licin tangannya. Ia membayangkan bagaimana jika kemaluan ini masuk ke dalam liang senggamanya?
Pikiran liar hasil perbuatan liar ini.
Akan saya usahakan update di tengah kesibukan saya.
Kalau gak update mohon di lempar wajan, syukur di lempar duit. hahaha
Terima kasih.