Paralayang Di Bawah Langit Kebun Teh
KAMI berlima jadi juga berangkat ke villa temen kakakku ditemani suara seorang penyiar radio wanita dari sebuah stasiun radio swasta yang memandu perjalanan kami.
Kakakku cewek dan temen kakakku juga cewek. Sedangkan aku, dan 2 temanku cowok.
Di dalam mobil aku duduk di depan dengan temanku yang nyetir mobil, namanya Mantra.
Hadi dan Capung duduk di baris kedua. Di barisan ketiga duduk kakakku Diana dan temannya Yulia.
Sabtu siang, biasanya jalan di ibukota masih macet, tetapi siang ini kendaraan kami aman-aman saja melaju di jalan tol sampai keluar gerbang tol terakhir, kendaraan kami bisa terus melaju ke lokasi tanpa hambatan.
Tidak sampai 1 jam, mobil kami sudah sampai di jalan yang berkelok-kelok naik-turun, dan di kiri kanan jalan terlihat kebun teh yang hijau menghampar luas.
Mantra mematikan AC mobil membiarkan udara pegunungan berembus masuk melancarkan peredaran darah kami yang selama berapa hari belakangan ini dada kami disesaki oleh polusi udara yang mencemari langit ibukota dengan membuka jendela mobil.
Aku melihat beberapa orang yang bermain paralayang di atas kebun teh itu terbang tinggi seperti seekor burung elang, sedangkan di pinggir jalan banyak orang yang menghentikan sepeda motor mereka untuk menonton sambil menikmati sejuknya kebun teh.
Tetapi keindahan kebun teh sirna dalam sekejap mata sewaktu aku mendengar teman-teman yang duduk di belakang ribut kakakku mau muntah.
Mantra segera mencari warung terdekat menghentikan mobilnya.
Aku disuruh pindah duduk di belakang menemani kakakku, sedangkan Mantra masuk ke warung membeli minyak angin dan kantong plastik kresek untuk menampung muntahan kakakku jika jadi muntah. Mantra orangnya memang cekatan, tetapi terkadang menjengkelkan.
Tempatku di depan diduduki oleh Yulia.
Perjalanan dilanjutkan sambil kakakku menyandarkan kepalanya di pundakku, aku meminjit kepala kakakku dengan minyak angin.
Sekitar 20 menit kemudian kami sudah sampai di depan villa milik teman papi Yulia dan kakakku turun dari mobil muntah semuntah muntahnya sehingga kami harus menggotong dia masuk ke kamar.
Acara makan siang kami jadi berantakan karena harus ngurus Diana. Mantra pergi mencari obat di apotik, Hadi dan Capung makan siang duluan, aku dan Yulia di kamar mengurus Diana.
Yulia mikir aku ini adiknya Diana. Yulia melepaskan begitu saja kaos dan celana jeans Diana yang kotor kena muntahan di depan aku.
Diana pasrah mau diapapun juga dirinya oleh Yulia, sedangkan aku risih melihat Diana berbaring di ranjang hanya berbalut bra dan celana dalem berbentuk mini.
Namun apa boleh buat, aku harus menerima kenyataan karena aku mau keluar dari kamar tidak diizinkan, Diana minta minum dengan aku, sedangkan Yulia pergi ke dapur bikin air panas.
Aku memberi minum pada Diana dengan membangunkannya.
Diana yang memakai bra hitam berbentuk huruf V lebar itu dari bagian atas cup branya menyembul toketnya yang putih mulus tidak tertampung semua oleh cup branya.
Aku tidak hanya bebas memandang toket Diana tetapi gundukan di celana dalam Diana juga sampai Yulia datang membawa ember berisi air panas dan handuk.
Kemudian aku dan Yulia membawa Diana ke kamar mandi, setelah itu aku pergi ngobrol dengan Capung, Hadi dan Mantra yang sudah pulang membeli obat dan minyak kayu putih.
Capung dan Hadi juga sudah selesai makan siang. Lalu giliranku makan.
“Sudah dapet obatnya, Men…?” tanya Yulia yang bertubuh montok chubby itu pada Mantra.
“Sekalian gua beliin minyak kayu putih.” jawab Mantra.
“Kalo gitu, gua makan dulu, gua udah lapar.” kata Yulia.
“Lo yang udah makan…” Yulia menunjuk aku. “Olesin minyak kayu putih ke perut Diana, lalu nyuapin dia makan, baru dikasih minum obat, ya…”
Aku membawa makanan dan bungkusan kresek dari Mantra masuk ke kamar Diana.
“Kak, ini Mantra beliin Kakak minyak kayu putih, Kak Yulia nyuruh aku olesin ke perut Kakak.” kataku pada Diana.
Kakakku Diana menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya dan aku melihat kaos yang dipakai Diana, aku bisa memastikan bahwa Diana tidak memakai bra. Sepasang pentilnya yang mancung mencolok mata. Payudara Diana kecil.
Aku oleskan minyak kayu putih ke perut Diana yang mulus dan berpuser mungil.
Setelah itu aku suapin Diana makan sambil dia duduk bersandar di dinding kamar pakai 2 bantal kepala di punggungnya.
Diana makan tidak sampai habis, lalu aku memberikannya minum obat.
Sisa makanan yang tidak habis dimakan Diana kubawa keluar.
Di halaman villa, Hadi berdangdut ria, sedangkan Capung bermain gitar. Dan sewaktu aku melangkah sampai di depan kamar dekat pantry, aku mendengar suara, “aaa… aaaa… aaa…” secara lamat-lamat di dalam kamar.
Aku baru ingat, kemana Mantra dan Yulia pergi kalau di dalam kamar itu bukan suara rintihan Yulia karena lobang vaginanya digenjot kemaluan Mantra?
Mereka pasti sex bebas, karena setahuku mereka baru saling kenal sewaktu pergi menginap di villa ini.
Yulia berumur 24 tahun, sama dengan umur kakakku, Diana.
Mantra berumur 23 tahun. Aku berumur 21 tahun. Hadi dan Capung sama dengan umurku.
Aku tidak ingin mempermasalahkannya. Kami makan malam berempat yang telah disediakan oleh pengurus villa tanpa Diana. Acara bakar jagung di depan halaman villa sambil menghirup dinginnya udara pegunungan yang embunnya sudah mulai turun membasahi bumi kami tunda sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Yulia berbisik padaku sebelum ia meninggalkan kerumunan kami, “Aku tidur di atas ya, kamu sama Diana…” katanya padaku, lalu ia berlalu.
Capung tergeletak kemudian di sofa. “Anjrit tuh anak…” omel Hadi. “Katanya mau ngajak aku ngopi di Cipanas, malah tidur…”
Mantra sudah tidak kelihatan batang hidungnya. “Lo tidur dimana, Bro?” tanya Hadi padaku.
“Sama kakakkulah…” jawabku.
“Waduhh…” keluh Hadi merasa ditinggal sendirian.
“Tenang Bro, nanti kamu kebagian kalo Mantra sudah selesai…” bisikku.
“Memang kenapa Mantra?” tanya Hadi culun.
“Ngehek sama Yulia di kamar atas sana…!”
Hadi mengernyitkan dahinya tidak habis pikir….
Aku meninggalkan Hadi yang masih duduk bingung di ruang tamu masuk ke kamar Diana.
“Sudah baikan…?” tanyaku.
Diana tersenyum yang paling indah yang pernah kulihat selama aku hidup bersamanya sampai detik ini. Bintik-bintik kecil jerawat di pipinya yang putih menambah keindahan kakakku Diana, meski hidungnya agak sedikit pesek bersayap mirip hidung Papa dan sekumpulan saudara Papa, termasuk om dan tante-tanteku.
Hidungku sedikit mendingan mirip hidung Mama, wkwkwk…
“Nasi yang tidak habis kumakan dibawa keluar, setelah itu olesin perutku dengan minyak kayu putih lagi, ya…” jawab Diana.
Di ruang tamu yang kutemukan hanya gitar yang terbaring kedinganan di sofa, sementara Hadi dan Capung sudah berpindah ke kamar saat aku membawa sisa makanan Diana keluar dari kamar.
Masuk ke kamar aku mengambil minyak kayu putih di atas meja. Diana membiarkan aku membalurkan minyak kayu putih ke perutnya, tetapi tidak hanya sampai di situ saja. Diana menyeret tanganku ke dadanya.
Mungkin saat itu sudah hampir jam 11 malam. Aku tidak tahu pasti. Villa dalam keadaan tenang dan sepi, tidak kedengaran desau kemesraan Yulia, mungkin ronde mereka bertarung di ring springbed sudah berakhir.
Kini giliranku. Masakan aku harus bertarung dengan kakakku sendiri? Pernah sih aku membaca cerita-cerita seperti ini di blog pribadi yang banyak tersebar di dunia maya, tapi itu cerita… cerita, Bro…
Sewaktu aku lagi bingung menentukan pilihan, belum lagi nanti pulang ke rumah menghadapi kedua orangtuaku… Diana menarik aku dan Diana mencium bibirku…
Sampai disitu pikiranku langsung macet, belum lagi Diana menarik tanganku untuk meremas payudaranya.
Di halaman sana mungkin embun sudah memenuhi seluruh halaman, sedangkan di kamar aku dan Diana, adik dan kakak berkutat dalam napsu dan birahi yang membara saling melumat bibir berganti ludah, beda dengan Diana yang tadi siang muntah-muntah sampai keluar semua apa yang ada di dalam perutnya.
Yang tidak pantas kami kakak dan adik lakukan pun terjadi sewaktu pakaian kami berserakan di lantai kamar.
Leher Diana tertarik panjang dan wajahnya terdongak saat buah dadanya yang kencang itu bulat-bulat kuhisap di dalam mulut saling bergantian kiri dan kanan.
Vaginanya sewaktu kupegang dengan tangan sudah berair basah dan berbau amis merangsang seperti bunga yang hendak memancing tawon datang menghisap serbuk sarinya.
Aku semakin tidak bisa menghindar dari persetubuhan sedarah mau dijuluki dan mau dihina orang apapun aku saat itu.
Aku mencium perut Diana yang wangi minyak kayu putih, lalu kami lakukan posisi seks 69 yang belum tentu dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah secara sah dan resmi, tetapi kami yang masih ‘recehan’ melakukannya.
Aku tidak meragukan kepiawaian Diana yang menghisap penisku sehingga membuat napasku tidak beraturan, kubalss dengan menjilat vaginanya yang berbau amis. Bulu kemaluannya hanya sejumput hitam di atas area belahan vaginanya yang masih mulus.
“Ssstth… ooouugh… aggghh… Dek…” Diana mendesis, pinggulnya meliuk.
Mulutku jadi ikut bau vagina Diana, tetapi setiap mililiter lendir cintanya yang berwarna bening kujilat dan kutelan sehingga belahan vagina Diana mulai merekah dan liang vaginanya tampak menganga siap menampung sodokan penisku, tetapi nanti dulu… di dalam liang vagina Diana nampak selaput keperawanannya yang masih utuh!
Tapi aku tidak melepaskan jilatanku, lidahku masih terus membelai dan menyapu vagina Diana. Sekarang klitorisnya muncul seperti sebiji kacang tanah terselip di bagian atas lipatan vagina Diana.
Dians semakin menggelinjang dan merintih saat lidahku menjilat biji kacang itu. “Ooohhh… Dek… ooohhh… ooohhh… ooohhh….”
Tubuh telanjang Dianapun melenting ke atas, dan vaginanya didorongnya merapat ke mulutku, rambutku dijambak… lepas mendengus dan melenguh Diana dalam orgasme.
Segera kusodorkan penisku yang tegang dan keras ke selangkangan Diana, kakakku itu mumpung ia masih terpengaruh kenikmatan orgasmenya, tapi teman… pernah belum masukin benang ke lubang jarum mesin jahit tanpa menggunakan alat pembantu?
Kudorong… terpental, kudorong lagi, terpental juga… sampai 3 kali baru berhasil kepala penisku kumasukan ke dalam liang rahim Diana.
Peluh mambasahi tubuhku. Tetapi aku tidak putus asa memasukkan penisku ke liang vagina kakakku, karena penasaranku ingin merasakan secepatnya batang kemaluanku menyumbat lubang sempit kakakku.
Terus kudorong dan kutekan penisku meskipun terasa penisku nyeri saat menguak lubang nikmat dunia senikmat di surga itu.
Akhirnya dengan satu sentakan kuat hingga membuat Diana menggigit leherku saat penisku tembus selaput daranya….
Napasku ngos-ngosan, Diana juga… halangan bisa ditembus, kesulitan bisa dilalui dan bila nanti Diana punya pacar, penis pacarnya sudah bisa melewati jalan bebas hambatan yang kubangun.
Lalu akupun mulai tarik dorong memompa penisku memompa liang vagina kakakku Diana… saat air maniku mau keluar dari penisku, aku seperti melayang dengan paralayang di atas perkebunan teh…
Crrroottt…. crrooottt… crroottt… crrooottt…
“He… siang bolong mimpi… mimpi apa sih…?” tanya ibuku berdiri di depan tempat aku berbaring.
“Mimpi basah…”
“Pantesaaa..aann… celana sampai basah gituuu…!”
Mungkin ini adalah pengalaman mimpi basahku yang paling fantastis dan fenomenal. Penisku rasanya ngilu, dan lubang kencingku sampai perih.
“Mama kompres air anget, ya…?” kata Mama.
Sambil membawa ember berisi air, mama juga membawakan aku segelas jamu kuat lelaki, campur madu Sumbawa asli, plus kuning telur bebek untuk memulihkan staminaku.
Mama mengompres penisku dengan handuk yang dibasahi air hangat. Setiap 5 menit diganti sekali, sampai penisku bisa berdiri gagah, Mama mencium penisku.
“Hemmm… suka diginiin?” tanya Mama menggenggam telapak tangannya, lalu digoyang,
Mama sudah janda, jadi ia berani bicara vulgar tentang sex denganku. Papa mati muda karena serangan jantung di kantor.
Terus terang aku pernah punya obsesi menggauli mamaku, mungkin ini kesempatan…
“Kulum, Mah…”
“Haa… apa?” Mama kaget sampai matanya terbelalak.
“Tadi diisep sama Kak Diana enak…” kataku.
Tetapi, siapakah Kak Diana? Aku tidak pernah punya kakak yang namanya Diana, aku lahir anak pertama, umurku 18 tahun. Aku mempunyai seorang adik laki-laki.