Namaku Surya Lesmana, sering dipanggil Surya oleh keluarga dan kawan-kawanku, lelaki pribumi yang telah memasuki usia matang bagi seorang laki-laki dewasa. Telah 44 tahun Tuhan memberi kesempatan untuk menghirup segarnya udara bumi. Bukan waktu yang singkat bagiku untuk bisa belajar membedakan mana hal yang baik dan buruk, hitam dan putih, tulus atau pamrih, dan begitu banyak hal lain yang saling bertolak belakang.
Selayaknya dua sisi mata uang, kehidupan ini akan selalu diwarnai oleh mereka yang saling berlawanan dan akan terus saling gencet hingga akhir waktu yang telah Dia tentukan. Kita juga belum tentu bisa memastikan bahwa kita akan berdiri dan berpihak kepada satu sisi saja. Ada kalanya sengaja ataupun tidak sengaja, kita berpindah ke sisi yang sebenarnya kita tidak mau memasukinya.
Pun demikian dengan masa laluku. Hitam, putih, baik, jahat, semua telah pernah kulakukan. Aku bukanlah seorang yang berasal dari masa lalu yang baik-baik saja, meskipun tidak juga dikatakan amat buruk. Aku hanya menjalani hidup apa adanya, seperti air yang mengalir, kadang berbelok ke kiri maupun ke kanan.
“Adduuuhhhh….. ”
Lamunanku tiba-tiba terputus begitu api di ujung rokok yg terselip di antara jemariku tak terasa telah menyentuh kulit dan memberi rasa panas yang secara otomatis mengembalikan sukmaku ke alam nyata.
Segelas kopi yang disajikan istriku sejam yang lalu untuk menemani duduk santaiku di teras belakang rumah sore ini masih tersisa setengah. Sepiring gorengan masih tak tersentuh sejak tadi. Benakku sedari tadi sibuk melanglang buana mencari dan berusaha merangkai beberapa serpihan kisah masa lalu yang pernah mewarnai hari-hariku.
Sebelum lanjut, mungkin perlu sedikit kugambarkan tentang sosok wanita 29 tahun yang telah menyiapkan kopi dan cemilan untukku sore ini.
Fitriani Indahswari, itu nama yang tertulis di dalam selembar kertas Akte Kelahiran yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil di kota kami. Nama yang indah sebagaimana tampilan fisiknya yang ditunjang oleh lengkungan tubuh proporsional serta payudara dan pantat yang membusung montok, yang dalam kesehariannya tertutupi oleh busana muslimah.
Fitri, demikian dia dipanggil sejak kecil oleh orang tuanya, adalah istri ketigaku setelah dalam dua pernikahan sebelumnya aku gagal dalam membina rumah tangga. Kami bertemu dan berkenalan setahun setelah hakim mengetok palu yang menandai jatuhnya talak kepada mantan istri keduaku.
Statusnya saat berkenalan denganku adalah janda tanpa anak. Mantan suaminya adalah seorang perantau yang akhirnya malah menikah lagi di perantauan dengan seorang janda kaya raya, yang menyebabkan fitri memutuskan untuk menggugat cerai.
Tak perlu terlalu panjang kuceritakan momen-momen kami berpacaran. Sebagai seorang duda yang dekat dengan seorang janda, tentunya kisah kedekatan kami dipenuhi oleh cerita-cerita panas yang nantinya malah akan membelokkan alur cerita ini jika kukisahkan secara detail.
Yang pastinya, kemampuan dan daya tahan alamiku dalam bercinta serta ditunjang oleh tombak standar Asia sepanjang 16 CM dengan diameter 4,5 CM sudah cukup untuk membuat Fitri kelonjotan, ketagihan dan hampir setiap kali kami bertemu, maka dia akan meminta jatah kepadaku.
Dan setelah kurang lebih empat bulan kami merajut asmara, kuputuskanlah untuk datang menemui kedua orang tuanya dan meminang Fitri sebagai pendampingku, dan sampai detik ini, tidak terasa kami telah mengarungi bahtera rumah tangga selama hampir lima tahun dan dikaruniai seorang putra lucu dan menggemaskan.
Kuseruput kembali kopi hitam yang hanya ditambah sedikit gula ini lalu kocomot sepotong gorengan yang tidak lagi terasa panas. Semilir angin sore yang masih saja terasa panas berhembus pelan membuyarkan gumpalan asap rokok yang baru saja keluar dari mulut dan hidungku.
“Ahhh…. Dian….. ”
Kusebut nama itu perlahan sambil menghembuskan nafasku yang sedikit terasa sesak. Nama itu kembali menyeruak dari relung masa lalu yang hampir terkubur. Memancing daya ingatku untuk kembali menata serpihan puzzle masa lalu yang selama ini kubiarkan berantakan entah kemana.
Semua berawal dua hari yang lalu…
Aku baru saja menyelesaikan laporan kemajuan pekerjaan terkait project pembangunan Fuel Station yang kupimpin. Segera setelah tombol send ku klik untuk mengirim laporan lewat e-mail internal kantor kepada pimpinan, kuambil android yang sedari tadi berbunyi, pertanda ada notifikasi yang masuk. Benar saja, ada beberapa Whatsapp dan notifikasi lain yang memenuhi halaman notifikasinya.
Dari sekian banyak WA yang masuk, ada satu yang menarik perhatianku. Nomor telepon tanpa nama dengan foto profil seorang wanita berhijab yang rasanya seperti kukenal dan telah mengirimkan dua pesan kepadaku yang masuk dua puluh satu menit yang lalu.
“Assalamu’alaikum… ”
“Mas Surya, apa kabar…? ”
Kubuka foto profilnya, tergambar sesosok wanita berhijab sedang berdiri menyamping memandang sunset yang gambarnya seperti sengaja diambil dari jarak jauh untuk menampilkan panorama disekitarnya. Kucoba fasilitas zoom untuk melihat wajahnya, tetapi kualitas gambar yang rendah malah membuat gambar itu menjadi pecah. Belum lagi posisi tubuh yang menyamping membuat tingkat kesulitannya semakin tinggi.
Kucoba meng klik nomor itu untuk melihat info kontak, tetapi yang ada hanyalah sebaris kata mutiara tentang kehidupan. Tetapi meski begitu, sosok ini terasa tidak asing bagiku. Hal inilah yang membuat jemariku terpancing untuk mengetik sebaris balasan
“Waalaikumsalam… ”
“Alhamdulilah kabar baik. Maaf ini dengan siapa ya….? ”
Pesanku langsung terkirim yang ditandai dengan centang dua pada pesan itu. Sambil menunggu balasan, aku lalu kemudian membereskan meja kerjaku untuk bersiap-siap pulang berhubung hari telah semakin sore.
Suara notifikasi androidku kembali berbunyi sesaat sebelum aku memutuskan untuk berdiri dari kursiku.
“Alhamdulillah mas… ”
“Isshhhh…. Mas Surya udah lupa ya… ”
“Maaf mba, nomer mba ga ke save di HP ku… Mana foto profilnya pun ga jelas .. ”
“Hmm… Kalau orang yg pernah nungguin Mas Surya sampai magrib di depan ruang kuliah MKDU masih ingat..?
Aku yang telah berdiri dan memutuskan untuk segera beranjak dari meja kerjaku tiba-tiba terduduk kembali begitu membaca WA yang terakhir.
” Dian…. ”
Mulutku mengucap nama itu. Sosok yang pernah mewarnai hari-hariku sewaktu masih menjalani proses perkuliahan di Jurusan Arsitektur. Sosok dari fakultas sebelah yang sering bergesekan dengan fakultasku. Sosok yang membuatku sering diledek kawan-kawan karena dianggap pengkhianat. Sosok yang beberapa tahun ini tak lagi kudengar kabarnya setelah dia pulang satu hari menjelang hari pernikahanku yang pertama setelah dia dan dua orang kawannya bermalam seminggu di rumah orang tuaku.
Tak perlu menunggu lama, tombol panggilan langsung kutekan dan segera tersambung.
“Halo… Assalamu’alaikum.. ”
“Waalaikum salam mas… ”
Suara itu masih seperti yang dulu. Masih lembut, jenaka, dan tidak membosankan.
“Maaf mas ga tau kalo ini nomermu. Kamu dari mana aja? Kok ga ada kabar. Kenapa ga pernah menelp? Kamu juga pindah ga bilang2…. ”
Berondongan pertanyaan yang selama ini mungkin secara tidak sadar tersimpan di dalam memori otakku terhambur begitu saja.
Dian Sukmawati, seorang mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional yang pada awalnya adalah sahabat dekat adik kandungku. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan menggoda adikku dan kawan-kawannya ketika mereka datang ke rumah membuatku secara tidak sadar malah dekat secara emosional dengan salah satu diantara mereka.
Diantara kami tidak pernah terucap kata cinta. Kami tidak pernah sepakat untuk berpacaran. Aku tetap jalan dengan pacarku, dan dia tetap dengan pendiriannya untuk tidak berpacaran dengan orang lain. Bukan sekali dua kali kuajak Dian untuk berhubungan serius, tapi dia selalu saja punya alasan untuk berkilah.
Kami pun memutuskan untuk menjalani kebersamaan kami sebagai sahabat. Tapi ada beberapa momen yang kami pun sempat kebablasan karena saking dekatnya hubungan kami. Dan bahkan first kiss Dian, menurut pengakuannya belakangan, adalah denganku.
Hingga pada suatu waktu, aku terlibat dalam kecelakaan hebat sewaktu mengendarai sepeda motor, yang hampir saja membuatku kehilangan nyawa. Karena pada saat kecelakaan itu aku berboncengan dengan pacarku dan dia juga menderita luka parah, keluarga kami pun memutuskan untuk menikahkan kami begitu kondisi kami membaik. The real Married by Accident…
Kabar tentang pernikahan ini ternyata begitu memukul psikologi Dian. Dia secara terbuka menyatakan perasaannya, dan dia bahkan mengajakku kawin lari setelah sebelumnya menawarkan kesuciannya kepadaku yang keduanya kotolak. Aku menyayanginya bahkan melebihi rasa sayangku ke diriku sendiri, mana mungkin aku bisa menambah rasa sakitnya dengan cara seperti itu? Dan mana mungkin aku sebagai anak lelaki satu-satunya di keluargaku malah mencoreng muka dan nama baik keluarga?
Satu-satunya yang kusalahkan saat itu adalah mengapa perasaan itu baru terucap setelah semua kejadian yang membelengguku terjadi.
Rencana pernikahan ku tetap berlanjut. Seperti yang sudah kusampaikan sebelumnya, Dian bersama dua orang sahabat adikku yang lain datang seminggu menjelang acara. Satu minggu yang sangat amat terasa singkat untuk menikmati saat-saat terakhir kami. Satu minggu yang hanya diisi dengan saling tatap penuh makna karena tidak ada kesempatan untuk memadu kasih di rumah yang telah dipenuhi oleh keluarga yang berdatangan.
Setelah itu, sehari menjelang hari akad nikahku, Dian pamit dengan derai air mata. Aku pun menangis, melepas kepergian bidadari yang sebetulnya telah memiliki hatiku sepenuhnya.
“Mas…… ”
“Mas Suryaaaaaaaa….. ”
Teriakan Dian di ujung telepon menyadarkanku dari lamunan tentangnya. Selanjutnya adalah dia dengan celotehnya yang dulu selalu kurindukan bercerita tentang perjalanannya setelah hari itu.
Tentang dia yang menggunduli rambutnya sepulang dari rumah orang tuaku…
Tentang dia yang memutuskan balik ke rumah orang tuanya di Jakarta…
Tentang dia yang memutuskan pindah kuliah…
Tentang dia yang sudah dua kali menikah…
Tentang anak lelakinya yang katanya mirip denganku…
Tentang kerinduannya untuk sekedar berlibur di kotaku…
Serta banyak hal lainnya….
“Mas, minggu depan Dian sama suami mau ke tempat Mas Surya…”
“………???? ”
Bersambung…..
Enam hari berlalu dengan cepat. Waktu berputar laksana mesin yang tak kenal istirahat. Perihal rencana kedatangan Dian dan suaminya berkunjung ke kota kami pun telah kubicarakan dengan Fitri. Plus dengan berbagai kisah kedekatan kami dahulu. Jangan berharap bahwa Fitri akan cemburu.
NO………!
Dia adalah typical istri pengertian dan memberi kebebasan penuh kepada saya suaminya, asalkan apa yang kulakukan itu tidak mengorbankan keluarga dan anak-anak kami. Bahkan dalam kurun waktu enam hari itu, Fitri dan Dian telah begitu akrab bak kawan lama meski komunikasi yang mereka lakukan baru sebatas telepon.
Tidak seperti kami para suami yang masih kaku dan bicara seperlunya.
Dian dan Rio (suami Dian) yang awalnya berkeras untuk tidur di hotel selama berada di sini pun akhirnya luluh setelah Fitri berkeras dan mengajak mereka untuk setidaknya bermalam dulu di rumah kami barang semalam atau dua malam. Satu kamar di lantai dua yang selama ini sering ditempati oleh mertua ketika datang berkunjung pun telah disiapkan oleh Fitri. Kamar itu berhadapan dengan kamar tidur utama yang kami tempati, dan dipisahkan oleh sebuah ruangan yang kami fungsikan sebagai ruang bersantai yang dilengkapi sofa dan seperangkat sound system untuk sekedar bernyanyi.
“Assalamu’alaikum…. Mas… Mbak…. ”
“Wa’alaikumussalam…. ”
Kami yang lagi duduk berdua di teras belakang sore itu kompak menjawab salam begitu terdengar suara perempuan yang begitu akrab di telingaku. Oh iya, tadi pagi si kecil yang selama ini menjadi sumber segala kegaduhan di rumah ini kami titipkan ke orang tua Fitri selama dua hari ke depan.
Kami pun bergegas keluar. Fitri langsung menyambut Dian dengan sangat akrab bagai dua sahabat yang lama tidak bertemu. Sedangkan aku..?
Aku berdiri layaknya patung memandang tak berkedip ke arah sosok mungil setinggi 155 cm berkerudung biru berbaju model long dress span yang samar-samar membentuk lekukan pinggul dan pantatnya. Secara fisik Dian tidak banyak berubah. Hampir dua puluh tahun kami tidak bertemu, dan badannya masih seperti dulu. Mungkin ada perubahan seperti kulit yang mungkin tidak lagi sekencang dulu, tetapi di umur dia yang sudah 43 tahun (umur kami cuma beda setahun), Dian sangat pintar merawat badannya.
“Mas… Oiiii Mas…. ” Suara Dian tiba-tiba mengagetkanku.
“Ishhhh… Ayahhh… Ga sopan…. ” Diselingi suara Fitri yang tau-tau ujung jarinya telah mendarat dan mencubit pinggangku.
“Oh…. Iya…. Maaf… Maaf… ” Sahutku gelagapan sambil kusambut tangan Dian yang dijulurkan kepadaku. Kugenggam tangan itu, hangat… Dan sekilas sempat kuliat sorot penuh kerinduan di mata yang dulu pernah kukecup mesra.
“Kenalkan, ini suamiku mas… ”
“Rio… ”
“Surya… Ayo mari masuk mas,… Dian… Jangan sungkan, anggap rumah sendiri” Ujarku sambil berusaha meredakan kegugupanku.
“Ayo mba, mas… Silahkan… ” Timpal istriku seraya menggamit lengan Dian lalu mereka berjalan duluan langsung menuju lantai dua.
“Mari mas, tasnya langsung kita bawa aja, kamarnya di lantai atas… ”
“Mari mas… ” Jawab Rio.
Lima belas menit kemudian kami berempat telah berkumpul di sofa ruang keluarga. Tak banyak yang bisa kukisahkan, kami bercerita tentang pengalaman kami masing-masing. Percakapan tentu lebih didominasi keseruan reuni aku dan Dian, sementara Fitri dan Rio lebih banyak menyimak dan sesekali menimpali obrolan kami.
Malam ini sesudah makan malam, kami berempat kembali duduk bersantai di tempat yang sama. Setelah tadi sore obrolan kami (terutama aku dan Rio) masih agak kaku, maka malam ini suasananya sudah sangat mencair. Rio bahkan memintaku untuk tidak memanggil mas kepadanya berhubung usiaku yang masih di atasnya. Rio sendiri masih berumur 38 tahun yang berarti lebih muda 5 tahun dari Dian istrinya.
Istri-istri kami malam ini sudah tidak lagi menggunakan hijab mereka. Fitri memakai daster Fuji panjang hingga ke pertengahan betisnya, serta memamerkan bagian dada di atas payudaranya. Sedangkan Dian memakai celana pendek casual yang memang sejak dulu menjadi pakaian favoritnya yang dipadukan dengan kaos gombrong lengan pendek.
Obrolan kami terus mengalir. Fitri tak lagi sungkan bercanda dengan Rio, demikian juga Dian yang semakin sering menyentuhku. Posisi duduk kami sedari awal Fitri di sofa tunggal berhadapan dengan Rio yang juga duduk di sofa tunggal, sedangkan aku dan Dian duduk di sofa panjang.
Jam dinding berdentang sepuluh kali ketika kami mulai merasa kehabisan bahan obrolan dan memutuskan untuk nonton bareng. Aku mengusulkan untuk menonton film Your Place or Mine yang spontan disetujui mereka.
Posisi duduk pun berubah, Fitri pindah ke sampingku, dan Rio pun bergeser ke sisi istrinya. Akhirnya kami berempat duduk berdempetan di sofa panjang dengan urutan aku, Fitri, Dian, dan Rio.
Film yang bercerita tentang dua pasangan suami istri yang sepakat untuk bertukar pasangan selama satu minggu itu pun mulai kami nikmati. Lampu ruangan telah kupadamkan dan hanya tersisa cahaya dari layar televisi berukuran 50 inch yang menempel di dinding ruangan.
Film terus berputar. Banyaknya adegan panas yang ditampilkan membuat suasana menjadi terasa kaku. Tidak ada lagi suara komentar seperti pada saat awal film ini dimulai. Sekilas kulirik Dian menyandarkan kepala ke bahu suaminya dengan posisi sedikit meringkuk. Sementara disampingku Fitri berulang kali bergerak gelisah.
Bersambung….