Berikut ini adalah kisah hidupku yang penuh dilumuri nafsu seks. Gara-gara menghindari guna-guna seksual majikanku, aku malah terjerumus jadi pemuas nafsu mbah dukun. Sejak suamiku meninggal karena sakit pada akhir Oktober 1994, aku tinggal di rumah sendirian. Kedua anak kami, Basuki dan Nina, telah dua tahun ini bekerja di Jakarta setelah lulus SMA-nya. Sewaktu ayahnya meninggal, praktis mereka hanya satu minggu tinggal di rumah menemaniku. Setelah itu mereka harus kembali bekerja karena izin cutinya habis. Ya, bagaimana pun kesedihan tak boleh berlarut-larut. Satu minggu cukuplah sudah menangisi kepergian orang yang sangat kami cintai itu. Selanjutnya kami kembali harus berjuang mempertahankan hidup, mengisi perut. Kami tergolong keluarga kurang mampu. Suamiku yang bekerja sebagai makelar tidak setiap hari membawa hasil. Ia jadi makelar apa saja. Dari sepeda motor, mobil, rumah, tanah bahkan kalau perlu jual sepeda sekalipun. Prinsipnya, yang penting halal dan menghasilkan. Aku kagum oleh semangat kerja dan keuletannya. Dan hasilnya tidak mengecewakan, terbukti dengan berhasilnya kedua anak kami menyelesaikan studi di SMA. Tidak sia- sia hasil jerih payah suamiku yang hanya lulusan SMP itu. Aku, yang SMP pun tidak lulus, hanya mendukungnya dengan sepandai mungkin mengatur keuangan keluarga sejak kami menikah sekitar 20 tahun yang lalu. Waktu naik ke pelaminan, usiaku masih 18 tahun, sedangkan suami sudah 25 tahun. Sementara itu, aku sendiri juga tidak mau diam menganggur di rumah. Aku jadi buruh cuci pada keluarga-keluarga yang memerlukan. Kadang cucian kubawa ke rumah, tidak jarang pula aku harus mencuci di rumah pelangganku. Gabungan penghasilan kami cukuplah untuk kehidupan sehari-hari dan menyekolahkan Basuki dan Nina meski hanya sampai SMA. Bersyukur pula kami dikaruniai dua anak yang penuh pengertian. Yang tidak menuntut studi terlalu tinggi mengingat ketiadaan biaya. “Kami akan bekerja dulu mengumpulkan uang, Bu. Nanti kalau ingin kuliah akan kami biayai sendiri,” kata kedua anakku membuat hatiku terharu sewaktu melepas keberangkatan mereka bekerja di Tangerang. Basuki bekerja menjadi buruh pabrik sepatu, sementara Nina yang dijemputnya setelah lulus SMA tahun berikutnya bekerja jadi karyawati di salah satu supermarket. Untuk menghemat biaya mereka tinggal di satu kamar kos kecil di perkampungan Tangerang yang sewanya 50 ribu rupiah per bulan. Bila ada rejeki dan waktu senggang mereka jalan-jalan ke Jakarta yang jaraknya tidak terlalu jauh. Suatu malam, beberapa minggu setelah peringatan seratus hari meninggalnya suamiku, mendadak aku terbangun dari tidur. Udara kurasakan panas sekali saat itu. Padahal jam weaker waktu itu baru menunjukkan pukul satu dini hari lewat beberapa menit, namun panasnya serasa kalau kita berdiri di jalan raya pukul 12 siang. Keringatku berleleran di seluruh tubuh. Daster tidurku rasanya sudah basah kuyup dan bisa diperas. Meski aku tinggal di perkampungan padat penduduk, tapi tidak pernah udaranya sepanas ini. Terpaksa daster kulepas dan kukeringkan tubuhku dengan handuk sebelum mengenakan daster baru. Namun sebentar saja tubuhku sudah basah lagi oleh keringat. Jendela kamar kubuka supaya udara masuk. Ini pun tidak menolong, karena rumahku yang kecil berada di sela-sela rumah besar lainnya yang bertembok rapat. Tidak banyak angin yang masuk melalui jendela. Akhirnya, setelah jendela kututup kembali, kuputuskan keluar rumah. Kututup pintu perlahan di belakangku tanpa menguncinya. Kuperhatikan sekitar, malu kalau ketahuan malam-malam seperti ini keluar rumah karena aku wanita. Mendadak, seperti ada yang menarikku, kakiku melangkah meninggalkan rumah. Aku yang semula hanya ingin berangin-angin di depan rumah tidak kuasa menahan kakiku yang berjalan dan terus berjalan melewati jalan-jalan kecil berkelok-kelok. Beberapa rumah tetangga sudah terlewati. Hatiku menyatakan ingin berhenti dan pulang ke rumah, namun pikiranku seperti kosong dan terus mengikuti kemana kaki melangkah. Akhirnya setelah beberapa puluh meter berjalan, aku sampai di depan rumah Pak Kosim, pria berusia 50 tahunan. Selama ini keluarganya juga menyuruhku membantu mencuci pakaian. Tidak lama aku berdiri, pintu rumah Pak Kosim terbuka dan nampak pria itu menyambut kedatanganku. “Silakan masuk Surti,” langsung saja Pak Kosim mempersilakanku masuk ke rumahnya. Entah kenapa, aku pun tidak canggung lagi melangkah masuk. Setelah menutup dan mengunci pintu, Pak Kosim menuntunku ke dalam. Kemudian aku tahu, karena sudah sering memasuki rumah ini, bahwa kami sedang menuju ke kamar Pak Kosim. Pintu kamar dibuka dan di dalamnya kosong. “Kemana Bu Kosim?” hatiku bertanya. Gilanya aku menurut saja ketika tanganku ditarik Pak Kosim memasuki kamar itu dan dibimbingnya ke tempat tidur. “Ini diminum dulu, Sur.” Entah kapan dibuat, ternyata di kamarnya sudah tersedia segelas air teh yang sepertinya memang disediakan untukku. Aku yang kepanasan segera meminumnya habis. “Tolong pijiti aku, Sur,” pinta Pak Kosim lalu membuka kaos yang dikenakan dan merebahkan diri ke ranjang. Seperti terhipnotis, aku yang seumur hidup belum pernah memijati orang lain selain suamiku, segera saja melaksanakan perintah itu. Gila! Mulutku pun rasanya kelu untuk berkata-kata menanyakan kejanggalan ini. Sementara tanganku terus sibuk memijat. “Kamu kepanasan ya, Sur? Keringatmu sampai keluar banyak sekali?” Pak Kosim melihatku sambil membalik tubuhnya jadi telentang. Aku hanya mengangguk. Tubuhku memang rasanya bertambah panas saja. “Buka saja dastermu kalau panas..” ucapnya lagi sambil bangkit dan berupaya membantuku membuka daster. Herannya, aku yang tetap yakin ada yang tidak beres, tidak menolaknya. Malahan diam saja ketika Pak Kosim tidak hanya membuka dasterku, namun juga seluruh yang melekat di tubuhku. Lalu membaringkanku ke ranjangnya, dan ganti dia yang memijatiku. Sebentar kemudian kurasakan tubuhku sudah digelutinya. “Ini perzinahan!” teriak bathinku. Tapi lagi-lagi semua nuraniku melayang entah kemana. Tambahan lagi aku yang sudah berbulan- bulan “puasa” dari nafkah bathin mendadak merasakan desakan kebutuhan itu meletup-letup. Seperti kesetanan aku pun melayani kegilaan Pak Kosim. Tubuh kami pun segera mandi keringat. Aku tersadar ketika tubuhku digoyang-goyangkan. “Bangun, Mbak. Bangun..!” samar-samar kudengar suara beberapa orang. Geragapan aku terbangun dan betapa kaget mendapati diri tergeletak di pinggir jalan di bawah pohon besar. Beberapa penduduk yang tugas ronda menemukanku tertidur di situ sekitar pukul empat pagi. “Ini Mbak Surti, kan? Kenapa tidur di sini?” tanya mereka. “Ak.. aku sendiri juga tidak tahu,” sahutku bingung. “Mbak dari bepergian ya?” tanya seseorang. “Ti.. tidak,” jawabku. Aku masih nanar, dan tidak begitu yakin apakah pengalamanku dengan Pak Kosim itu kenyataan atau bukan. “Tadi aku tidur di rumah,” sambungku. “Jangan-jangan..,” bisik yang lain, “Mbak Surti dipindahkan setan penunggu pohon ini! Katanya pohon ini memang agak angker.” Aku jadi merinding mendengarnya. Meski begitu aku diam saja. Demikian juga ketika mereka mengantarku ke rumah. Aku tetap bungkam, dan tidak hendak menceritakan pengalamanku tadi. Pertimbanganku, kalau kejadian yang kualami tadi hanya mimpi, pasti aku akan ditertawakan. Sebaliknya kalau sungguh-sungguh terjadi aku akan lebih malu lagi. Setelah para peronda yang mengantarku pergi, cepat-cepat kukunci pintu rumah, lalu bergegas ke kamar mandi. Kuperiksa diriku, dan benar saja.., masih terasa ada bercak-bercak cairan di sekitar pahaku. Segera kubersihkan tubuhku dan mandi keramas. Namun toh bayangan kejadian dengan Pak Kosim itu tidak dapat lepas dari benakku. Bahkan aku akhirnya meyakini perzinahan itu sungguh-sungguh terjadi, meski tidak pernah tahu bagaimana hal itu dapat berlangsung. Beberapa hari setelah itu aku merasa sangat malas keluar rumah. Pekerjaan mencuci kukerjakan di rumah. Aku hanya mengambilnya dari rumah ke rumah, lalu segera pulang. Untuk kemudian mengembalikannya sore hari setelah rapih kuseterika. Begitu pula dengan cucian keluarga Pak Kosim yang sudah langganan tiga hari sekali harus dicucikan. Aku agak jengah juga ketika mengambil cucian ke rumahnya. Di sana kutemui Bu Kosim dan anak-anaknya ada di rumah. Sementara Pak Kosim seperti biasa tidak mau ikut-ikutan urusan cucian. Aku sempat melirik kepadanya, tapi ia nampak biasa saja membaca koran seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hal ini membuatku jadi meragukan kesimpulanku mengenai peristiwa memalukan dengan Pak Kosim itu. “Apa aku cuma mimpi ya?” bathinku bertanya. Pertanyaan itu terjawab ketika tiga minggu kemudian kualami kejadian serupa. Aku terbangun dari tidur di tengah malam dengan tubuh mandi keringat. Aku juga sadar sesadar-sadarnya sewaktu membuka pintu, keluar rumah dan.. lagi- lagi berjalan menuju ke rumah Pak Kosim. Namun sejak minggu lalu aku sudah menyiapkan beberapa potong kayu kecil dan selalu menaruhnya di meja kamar. Kubawa kayu-kayu itu dan kuselipkan di beberapa cabang pohon yang kulewati. Kembali Pak Kosim menyambutku di pintu rumahnya dan membawaku ke kamarnya, lalu memberiku segelas teh manis. Gilanya, begitu teh habis kuminum, mendadak birahiku meledak-ledak menuntut pemuasan. Tanpa malu-malu kulepas daster dan seluruh yang menempel di tubuh, lalu serta-merta kutarik Pak Kosim. Sejenak kemudian kami sudah berpacu di dalam nafsu. Entah berapa kali aku minta dipuasi, yang jelas kurasakan Pak Kosim berkekuatan bak kuda jantan, padahal sehari-hari ia nampak seperti orang tua yang lemah. Mungkin ia minum obat atau jamu tertentu? Samar-samar kudengar jam dinding kuno berdentang tiga kali ketika kami menyelesaikan ronde yang entah keberapa. Meski masih ingin terus berpacu, namun rasa kantuk yang amat sangat memberatkan mataku. Aku terlelap dengan mimpi indah bersama Pak Kosim. Sekonyong- konyong mimpi indahku berantakan sewaktu kurasakan tubuhku digoyang-goyang. Aku terbangun dan mendapati diri tertidur di bawah pohon besar itu lagi! “Jangan tidur di sini, Mbak,” ucap yang membangunkanku. Aku terkejut. Di hadapanku berjongkok seorang pemuda berjaket kulit dengan tubuh besar dan atletis. Sedangkan dua temannya yang berpostur hampir sama ikut pula berdiri mengelilingiku. Lampu jalan yang tidak terlalu terang membuatku tidak mampu mengenali wajah mereka yang membelakangi lampu itu. “Mari ke rumah saya saja, Mbak. Nggak jauh kok. Besok pagi baru saya antar pulang,” ajaknya sambil memegang lenganku dan membantuku berdiri. Aku menurut saja ketika dia menuntunku, bahkan memakaikan jaketnya, lalu merangkulkan tangannya ke pundakku. Dalam keadaan yang masih nanar, aku justru tidak memilih diantar pulang. Kuikuti mereka hingga sampai ke sebuah rumah kecil di sudut kampung. Pernah beberapa kali aku melewati rumah itu di waktu siang, tetapi keadaannya selalu tertutup. Rupanya pemuda ini pemiliknya, pikirku. Aku pun jadi tidak kuatir pada mereka. Mereka pastilah anak-anak kampung sini juga. Bersambung……..
Lanjut!!!!! “Maaf rumahnya gelap, Mbak.” ucap pemuda yang membimbingku sambil menyalakan korek apinya dan membuka pintu rumah yang kelihatannya tidak terkunci. Aku mengikutinya masuk diikuti kedua teman si pemuda yang segera menutup pintu dan ikut menyalakan korek apinya. Pengap sekali rumah ini. Di dalamnya nampak banyak sarang laba-laba dan hanya ada satu dipan dengan tikar tua di atasnya. “Saya memang jarang tinggal di sini, mbak. Jadi rumahnya kurang terurus. Paling ke sini cuma untuk istirahat tidur saja seminggu sekali,” jelas si pemuda sambil membersihkan dipan dan tikar dari sarang laba-laba. “Silakan istirahat di sini, Mbak.” dia mempersilakanku. Aku duduk di tempat yang sudah dibersihkannya. Sedangkan temannya sibuk memasang lilin yang entah dari mana dapatnya, sehingga tidak harus memegangi korek apinya terus. “Mbak sakit ya..?” tanya pemuda itu setelah duduk di samping kiriku. Samar-samar kulihat tato bunga mawar kecil di lengan kanannya yang berotot. “Tt.. tidak,” sahutku. Dari tadi rasanya berat sekali mulut ini untuk bicara. Lalu aku menunduk lagi. “Kalau tidak, kenapa kami temukan tidur seperti orang pingsan di bawah pohon..?” “Saya tidak tahu, Mas,” jawabku masih dalam keadaan serba bingung dengan peristiwa yang kualami. Untuk menceritakan pengalamanku dengan Pak Kosim aku juga malu. “Wajah Mbak juga kelihatan pucat sekali. Lebih baik tiduran saja di sini..” Lalu kurasakan tangannya merangkul pundakku, dan setengah menarikku untuk berbaring di dipan yang telah dibersihkannya. Aku yang menerima maksud baik itu menurutinya. Kubaringkan tubuhku. “Kepalanya dipijit ya, Mbak, biar pusingnya hilang,” ucapnya lagi sambil merapatkan duduknya kepadaku. Sebentar kemudian kurasakan pelipisku dipijatnya. Mula-mula aku jengah juga dipijat seperti itu oleh seorang pria, namun lama-lama kubiarkan juga. Kepalaku memang terasa agak berat setelah mengalami peristiwa aneh tadi. Wajah kami berhadap-hadapan. Beruntung suasananya cukup gelap untuk menyembunyikan rona merah wajahku. Kupejamkan mataku untuk mengurangi rasa jengah itu. Kunikmati pijatannya. Sejenak kemudian kurasakan tangannya turun memijati pundakku dan.. kurasakan hembusan nafas di wajahku. Kubuka mataku dan kulihat wajah pemuda itu dekat sekali di atasku. “Mbak..” bisiknya pelan, lalu kurasakan desahan nafas itu semakin dekat dan semakin dekat hingga.. menerpa bibirku yang segera diciumnya. Sementara tubuhku pun kurasakan sudah ditindihnya. Aku tidak sempat mengelak. Apalagi ia juga memegang kepalaku dengan tangan kekarnya, sehingga untuk menggeleng pun aku tidak bisa. Mau tidak mau ciuman itu harus kurasakan, juga ketika lidahnya membeliti lidahku dan menelusuri langit-langit mulutku. Aku ingin memberontak, tapi rasanya tidak berdaya. Malahan aku ingat pengalamanku dengan Pak Kosim yang masih membekas, dan sedikit demi sedikit birahiku kembali meletup. Ada pertentangan antara keinginan menolak dan memenuhi gairah birahiku. Dan ternyata yang belakangan ini yang menang, apalagi setelah kemudian juga kurasakan belaian tangan-tangan kedua teman si pemuda di daerah sensitifku. Dengan cepat aku terangsang. Aku tidak ingat lagi kapan mereka membuatku seperti bayi yang baru lahir. Yang pasti, peristiwa seperti dengan Pak Kosim terulang lagi. Bedanya, kali ini aku melayani tiga pemuda bertubuh kekar. Entah berapa kali mereka menggilirku. Memuaskan syahwatnya di atas tubuhku selama berjam-jam. Anehnya aku tidak merasa lelah. Mungkin pengaruh minuman yang diberikan Pak Kosim masih bekerja, baik sebagai perangsang maupun obat kuat. Aku seperti orang ketagihan dipuasi terus menerus, tidak perduli sudah berkali-kali orgasme. Terang sinar matahari yang panas menerobos dari lubang-lubang atap menyilaukan dan membangunkanku dari tidur. Kudapati tubuhku masih tergolek telanjang di dipan beralas tikar. Pakaianku berserakan. Cepat aku sadar dan berusaha bangkit meraihnya, namun tubuhku kembali ambruk ke dipan. Lututku gemetaran. Luluh lantak rasanya badanku, bergerak sedikit saja terasa sakit semua. Terpaksa aku merambat perlahan menuruni dipan, lalu memunguti pakaian. Dengan berpegangan dinding, kucoba berjalan keluar tertatih-tatih. Terasa agak nyeri di selangkanganku. Pasti gara-gara dirajam oleh ketiga pemuda yang sudah tidak terlihat lagi bayangannya itu. Ternyata aku telah tertipu oleh para pemuda yang nampaknya alim dan kukira pemilik rumah itu. Dengan cara yang amat halus, aku telah menjadi korban mereka. Gara-gara obat perangsang Pak Kosim pula aku tidak menolak untuk melayani nafsu mereka, oh.. Dengan berpegangan pagar atau pepohonan, aku berjalan pelan menuju ke rumah. Kuusahakan tidak ada orang yang melihatku. Sengaja aku lewat jalan yang semalam kulalui untuk melihat potongan- potongan kayu yang kupasang. Ternyata memang masih ada. Berarti semalam aku tidak bermimpi ketika berjalan menuju ke rumah Pak Kosim. Segera kusimpulkan, pasti aku telah diguna-guna oleh pria itu. Baru setelah agak dekat ke rumah, kukuat- kuatkan untuk berjalan biasa meski harus menahan sakit. Sampai di rumah, segera aku masuk ke kamar dan langsung menjatuhkan tubuh lunglai ini ke ranjang. Aku menangis sedih teringat apa yang telah terjadi. Tanpa kuasa menolak aku telah terjerumus ke lembah perzinahan. Pertama, aku melayani Pak Kosim hingga dua kali. Kedua, menjadi korban kebiadaban tiga pemuda yang telah memanfaatkan kondisiku yang tidak wajar waktu itu. Baru setelah matahari berada di puncaknya, kupaksakan untuk membersihkan diri. Mandi dan mencuci segala noda yang menempel. Dalam kesendirian sekarang ini, kurasakan hidup terasa jadi berat sekali. Suami tempatku bersandar tiada lagi. Anak-anak pun jauh di rantau. Tinggallah aku sendiri, di usia menjelang 40 tahun ini harus memutuskan segala sesuatunya sendiri. Meski tubuhku sudah sehat kembali, dua hari aku tidak keluar rumah. Aku masih tergoncang oleh peristiwa durjana yang kualami. Beberapa tetangga dan pelanggan cucianku sampai berdatangan. Aku hanya memberi alasan sedang tidak sehat. Mereka pun maklum kalau kemudian selama seminggu itu aku tidak mencucikan pakaiannya. Tiga hari berikutnya, kuputuskan untuk berupaya melawan guna-guna Pak Kosim. Pagi-pagi sekali sebelum jalanan ramai, aku sudah pergi ke desa Sumbersari, sekitar 25 km dari kotaku. Aku pernah dengar di sana ada seorang dukun atau semacam paranormal yang dapat mengobati bermacam penyakit dan membantu orang-orang yang kena teluh atau guna-guna. Dengan berganti kendaraan dua kali ditambah sekali naik ojek, sampailah aku ke rumah dukun yang bernama Mbah Purwo itu. Rupanya memang dia sudah terkenal sampai tukang ojek pun tahu rumahnya. “Saya sudah biasa mengantar orang ke sini, Mbak,” kata si tukang ojek. “Lalu pulangnya nanti bagaimana, Mas?” tanyaku. “Kita janjian saja, Mbak. Nanti saya jemput ke sini sekitar tiga jam lagi bagaimana..?” “Baiklah kalau begitu. Sekarang jam 8 pagi, berarti nanti jam 11 Masnya ke sini ya,” pintaku sambil melihat jam tangan. “Ya, Mbak. Sekarang saya mau kembali dulu ke pangkalan.” Masuk ke rumah dukun itu ternyata saya harus menunggu, karena sedang ada pasien di dalam. Pagi benar ia datang? Beruntung tidak sampai satu jam mereka telah selesai. Kulihat seorang pemuda keluar dari ruang praktek Mbah Purwo. Jalannya nampak tergesa-gesa tanpa menoleh kiri-kanan. Mungkin takut kedatangannya diketahui orang lain. Pada umumnya memang orang-orang yang datang ke tempat semacam itu tidak mau diketahui orang lain. Persis seperti orang yang datang ke tempat judi atau pelacuran saja, pikirku. Kenapa harus malu kalau memang kita tidak berbuat yang memalukan? Mungkin pemuda tadi telah berbuat hal yang memalukan? Kumasuki ruang praktek Mbah Purwo. Nampak agak remang-remang karena lampunya yang dipasang hanya balon sekitar 15 watt. “Selamat pagi, Mbah,” sapaku pada pria yang ternyata usianya masih separuh baya itu. Aku geli karena seumur ini sudah dipanggil “Mbah” yang berarti kakek tua. “Pagi, mbak. Ada yang bisa saya bantu..?” Setelah memperkenalkan diri saya berkata, “Iya, Mbah. Saya mengalami peristiwa aneh. Bahkan sampai dua kali.” “Peristiwa apa itu, Mbak Surti?” “Begini, Mbah..” lalu kuceritakan semua yang kualami dengan Pak Kosim. Tentu saja aku tidak menceritakan pengalamanku yang amat memalukan dengan ketiga pemuda berandal itu. “Jadi Mbak menduga Pak Kosim memakai guna- guna untuk menguasai, Mbak, begitu?” “Iya, Mbah. Kalau tidak, mana bisa saya sampai begitu menurut.” “Ng.. baiklah. Coba saya lihat telapak tangan kiri Mbak Surti..” Kusodorkan telapak kiriku pada Mbah Purwo yang kemudian memegang dan mengamatinya. Kemudian ia memejamkan mata dan beberapa kali membuat tanda silang dengan jarinya di telapakku. Setelah beberapa menit, barulah ia membuka matanya. “Aduuhh.. karena kejadiannya sudah tiga hari, saya tidak mampu melacaknya hanya melalui tangan yang sudah seringkali dicuci,” ungkap Mbah Purwo, kemudian melanjutkan, “Maaf, Mbak, kalau tidak keberatan saya akan melacaknya melalui bagian tubuh Mbak yang kemungkinan besar masih meninggalkan bekas keringat atau cairan tubuh Pak Kosim..” “Bagian tubuh yang mana, Mbah?” tanyaku. “Sekali lagi maaf, Mbak. Kemungkinan yang pertama ada di bibir, dada atau bagian tubuh lain yang pernah dicium, sehingga air ludah atau keringat Pak Kosim menempel di situ. Yang kedua adalah bagian kemaluan yang menerima siraman air maninya. Sudah tentu yang kedua berkemungkinan lebih besar karena bagian itu terletak di dalam sehingga tidak mudah hilang walau sudah mandi beberapa kali.” Mendengar ini aku tercenung sejenak, berpikir untung-ruginya bila memenuhi permintaan itu. “Apa tidak ada cara lain, Mbah?” aku coba mengelak. “Ada sih ada Mbak, tapi ini berarti Mbak harus pulang dan berusaha mendapat pakaian yang baru dikenakan Pak Kosim dan masih dilekati keringatnya. Dan pakaian itu tidak boleh dicuci. Saya harus mendapatkan pakaian itu hari ini juga sebelum daya magis yang mempengaruhi Mbak hilang seluruhnya.” Sebenarnya tidak sulit untuk mendapatkan pakaian itu, karena aku biasa mencucikan pakaian keluarga Pak Kosim. Tapi sekarang aku terbentur soal waktu. Rasanya tidak mungkin mendapatkannya hari ini langsung aku harus kembali ke sini lagi. Bisa-bisa aku nanti harus menginap. Akhirnya, setelah kupikir-pikir kupilih cara pertama, yakni mengambil bekas cairan tubuh yang masih menempel di tubuhku. Toh ini sama seperti kalau aku diperiksa dokter, pikirku. “Silakan buka pakaian di kamar itu, Mbak,” instruksi Mbah Purwo sambil menunjuk ke sebuah bilik kecil tertutup berukuran sekitar 1,5 kali 2 meter di sudut kamar prakteknya yang cukup luas. Kumasuki bilik kecil itu yang penerangannya hanya lampu merah lima watt. Segera setelah pintu kututup, kucium bau dupa harum dan seperti cendana yang menyengat. Bau tadi berpadu dengan bau bunga melati yang bertebaran di atas dipan berkasur tipis di ruang itu. Mula-mula seram juga dengan suasana itu, tapi kemudian bau itu terasa semakin harum di hidungku. Semakin menyegarkan dadaku yang menghirupnya. Kubuka gaunku, seperti bila sedang memeriksakan diri ke dokter kandungan. Lalu kubaringkan tubuhku telentang di atas kasur.Bermenit-menit kutunggu Mbah Purwo, tapi belum juga datang, sampai mataku terasa mengantuk lalu kupejamkan. Kuhirup bau-bauan harum di ruang itu sepuasnya. Betapa nikmat kalau aku dapat terus beristirahat dalam suasana tenang dan harum seperti ini. “Maaf, Mbak..” entah kapan masuknya, mendadak saja kudengar suara Mbah Purwo di sampingku. Mata segera kubuka dan kulihat pria itu bertelanjang dada. Dadanya nampak berbulu lebat dan kekar. Besarnya hampir dua kali tubuhku. Dia memakai kalung dengan liontin berbentuk patung kepala ular. “Tolong mulutnya dibuka!” perintahnya. Kubuka mulutku lalu sebentar kemudian jari telunjuk kanannya dimasukkan. Jari yang besar panjang itu kemudian merayapi langit-langit mulutku. Kadang berhenti sejenak dan menekan-nekan di suatu tempat. Lalu bergerak lagi hingga beberapa menit. Karena capai membuka mulut, maka aku mengatupkan bibir sedikit. Yang penting toh jarinya masih bisa bergerak, pikirku. Mbah Purwo diam saja, dan jadilah aku seperti orang yang sedang mengulum jarinya. Kututup mataku kembali karena agak jengah dengan situasi ini. Diputarnya jari itu beberapa kali di sepanjang langit-langit, pipi hingga bagian bawah mulutku. Akhirnya berhenti dan ditempelkan ke lidahku. “Hisap, Mbak. Hisap yang kuat!” perintahnya lagi dengan suara terdengar keras. Dengan canggung-canggung aku menurutinya. Pertama kuhisap sedikit, lalu kulepaskan sambil menelan ludah. Terasa manis jari tangannya. “Lagi, mbak. Yang lebih kuat!” suara keras itu terdengar lagi. Maka bagai tersugesti aku sekarang menghisapnya lebih kuat. Herannya, rasa manis pada jari itu seperti tidak berkurang. Aku seperti sedang mengulum kembang gula yang tidak habis-habis sari manisnya, kuhisap dan kutelan rasa manis itu berlama-lama. Bersambung meneh…..
“Cukup!” suara itu menghentikan hisapanku. Mbah Purwo mengeluarkan jarinya dari mulutku, lalu memasukkannya ke mulutnya sendiri sambil memejamkan mata. Tubuhnya nampak berkeringat dan licin. “Masih tidak terlacak, Mbak,” desahnya sambil geleng-geleng kepala. “Kita sekarang harus coba di bagian leher dan dada. Maaf, Mbak..” Kali ini kulihat Mbah Purwo menggerakkan kaki, sehingga mengangkangiku di atas kasur, lalu meletakkan kedua telapak tangannya di dadaku. Jari-jarinya lurus berada di bawah daguku. Agak geli juga aku ketika jari-jari itu bergerak-gerak seperti memijat atau mengelus dagu hingga leher. Kemudian terasa tangan itu bergeser turun, dan terus turun hingga penutup dadaku pun ikut merosot terbuka. Getar-getar aneh tapi nikmat kurasakan sewaktu kedua telapak tangan itu menelangkup tepat di kedua payudaraku yang sudah telanjang. Mata kupejamkan lagi, dan kurasakan pijatan-pijatan lembut itu. Berkali-kali ludah kutelan membayangkan kemesraan dan kenikmatan. “Apa Mbak juga merasakan yang begini ini dengan Pak Kosim?” tanya Mbah Purwo. “Ii.. iya, Mbah,” jawabku malu-malu sambil mendesah nikmat tanpa sadar. Tubuhku pun menggelinjang. Birahiku melonjak- lonjak. Hal ini berlangsung cukup lama, selama pijatan-pijatan di sekitar dada dan payudaraku terus dilakukannya. Lama sekali rasanya sampai aku terlena setengah mengantuk. Sekonyong- konyong kurasakan hisapan pada puting kananku. Keras sekali. Aku terlonjak, tapi lenganku kiri-kanan segera ditekannya dengan kedua tangan hingga tidak dapat bergerak. Hisapan itu lalu berpindah ke kiri. Begitu dilakukannya berkali-kali sampai kurasakan payudaraku menggembung kian besar, seperti birahiku. “Maaf, saya terpaksa harus mengambil cairan yang di bawah, Mbak Surti!” pintanya setelah menghentikan hisapannya. Belum sempat kujawab, dengan cepat salah satu tangannya turun dan terus turun menelusupi celana dalamku hingga terlepas. Aku tersentak ketika salah satu jarinya menyentuh, membelai dan memasukiku. Aku tambah tersentak-sentak manakala jari itu semakin nakal dan liar seperti ular.. menjadi besar dan panjang. Tanpa sadar kubuka pahaku lebar-lebar. Mataku yang semula terpejam jadi terbeliak menahan kenikmatan. Entah kapan dilakukan, ternyata kulihat milik Mbah Purwo lah yang telah memasukiku. Tidak tahu pula kapan ia menanggalkan busananya hingga bugil sepertiku. Ia menikamku bertubi-tubi dengan bertumpu pada lututnya. Mencangkul dan memasak diriku dengan gencar. Gerakannya yang lihai membuatku terlonjak-lonjak, dan aku terpaksa harus bangkit terduduk berpegangan pundaknya karena tidak tahan gempurannya. “Bertahanlah.. Kita harus keluar bersamaan..” bisiknya ke telingaku sambil memeluk tubuhku dan terus membuatku kelojotan. “Ampun, Mbah..” antara sadar dan tidak aku mengeluh karena merasakan kenikmatan sekaligus sedikit rasa sakit bersamaan. “Tahan sebentar sakitnya, kau pasti akan mengalami puncak kenikmatan yang belum pernah kaurasakan seumur hidup.. Paku Bumiku terkenal paling hebat.” Setelah ucapan ini, dia membaringkanku dan menindihku dengan berat tubuhnya yang laksana tiga karung beras. Aku tidak dapat bergerak selain membuka paha semakin lebar dan merangkulkan kaki ke pahanya. Puluhan menit lamanya kami bertahan dalam posisi menggairahkan itu. Hebat sekali pria ini mengolah gerak tubuhnya memuasiku dan dirinya sendiri tanpa kenal lelah. Menikam. Menghantam. Memacu dan terus memacu. Akhirnya kurasakan dia bagaikan seorang joki yang hendak mencapai garis finish. Dipacunya kuda sekencang-kencangnya. Nafasnya memburu menyapu wajahku. Dipagutnya bibirku. Aku tidak tahan lagi. Seerr.. Bentengku jebol sudah.. kenikmatan yang dikatakan tadi benar-benar kualami. Bersamaan dengan itu tubuh di atasku pun mendadak tersentak-sentak belasan kali, sebelum akhirnya terpuruk lunglai. Keringat yang berleleran tidak kami hiraukan. Kami berpelukan meredakan nafas yang menderu. “Mandilah di belakang,” suruh Mbah Purwo sambil mengenakan pakaianya kembali. Ia ternyata cepat pulih lagi. “Aku sudah memasang penangkal Paku Bumi pada kelaminmu. Nanti kau akan kuberi penangkal guna- guna Pak Kosim dan obat kuat untuk menyembuhkan rasa capai,” lanjutnya sambil keluar dari bilik. Perlahan aku bangkit. Tubuhku terasa hancur sama seperti setelah digilir ketiga pemuda itu. Bisa kubayangkan kekuatan Mbah Purwo. Setelah mandi dan merapikan diri, aku kembali menghadap Mbah Purwo. Dengan agak malu-malu aku bertanya, “Untuk apa penangkal di dalam kelamin saya ini, Mbah?” “Oh, itu supaya Mbak tidak mudah terangsang. Saya rasakan tadi Mbak memiliki nafsu syahwat yang sangat kuat. Rangsangan sedikit saja sudah bisa membangkitkannya. Sengaja aku tidak beritahu sebelumnya bahwa untuk memasang penangkal Paku Bumi harus dalam keadaan orgasme. Kalau sebelumnya diberitahu, biasanya malah susah mencapai orgasme, dan mana mungkin Mbak mau saya begitukan, kan?” goda Mbah Purwo sambil tersenyum padaku. Aku menunduk malu teringat ekspresiku sewaktu kesakitan tadi. “Sampai berapa lama penangkal ini berfungsi, Mbah?” tanyaku masih penasaran. “Selama belum diambil. Selama Mbak masih mudah terangsang, maka ia otomatis akan bekerja. Ia akan mengingatkan Mbak dengan sedikit rasa tidak enak seperti orang sedang menstruasi..” “Apa ini berarti saya akan merasakan sakit itu setiap akan berhubungan dengan pria?” kejarku lagi. “Lho, bukankah Mbak ini janda? Mau berhubungan dengan siapa?” Pertanyaannya yang tidak terduga ini membuatku malu besar. “Oh.. eh.. maaf, Mbah..” “Ngg.. ya saya tahu,” ujarnya penuh pengertian,” wanita seusia Mbak dengan nafsu sangat kuat pasti masih membutuhkan hubungan seks dengan lawan jenis, tidak perduli janda atau bukan. Jangan kuatir, penangkal saya cuma akan memberi rasa tidak enak sekitar lima menit. Hal ini cuma untuk mengingatkan saja. Kalau suatu ketika Mbak benar- benar sudah tidak tahan dan harus bersetubuh dengan pria, maka lakukanlah setelah lima menit itu berlalu, maka rasa tidak enak itu akan hilang sendiri. Paku Bumi memang cuma untuk mengingatkan. Kalau yang diingatkan tidak mau maka penangkal ini akan melemah sendiri dan membiarkan segalanya terjadi.” Panjang lebar Mbah Purwo menjelaskan. “Oh ya, kalau nanti sewaktu-waktu Mbak menikah lagi, penangkal itu sebaiknya diambil supaya tidak mengganggu. Datanglah ke sini karena yang bisa mengambil hanyalah orang yang memasangnya..” “Bagaimana mengambilnya, Mbah?” tanyaku bodoh. “Yah, kira-kira sama seperti waktu memasangnya. Harus dalam keadaan.. orgasme. Tidak susah kan, Mbak, wong cuma tidur telentang sebentar dan merasakan kenikmatan?” lagi-lagi Mbah Purwo menggodaku sambil tersenyum nakal. Aku tersipu-sipu. Mbah Purwo masih melanjutkan, “Atau kalau Mbak Surti sewaktu-waktu tidak tahan dan cuma butuh kenikmatannya saja, boleh kapan saja datang ke sini. Pasti saya layani tanpa resiko kehamilan dan tak perlu bayar he.. he.. he..” “Sudah.. sudah, Mbah, saya tahu. Sekarang saya mau pulang,” aku memutuskan obrolan ngeresnya. “Ini obat penyembuh rasa sakitnya tadi, sekaligus pencegah kehamilan. Diminum dua kali sehari selama tiga hari,” diberikannya enam butir kapsul padaku dan sebungkus kain hijau. “Bungkusan hijau ini gantungkan di atas pintu kamar. Bila Mbak berdiri di bawahnya, maka otomatis guna-guna Pak Kosim atau yang sejenisnya, pokoknya yang berkaitan dengan rangsangan birahi, akan tidak mempan dan hilang.” Aku pun pamit pulang setelah menerima benda- benda itu, dan memberikan selembar puluhan ribu pada Mbah Purwo. Hampir jam 11 waktu itu, berarti sekitar dua jam aku di ruang Mbah Purwo. Dan mungkin satu setengah jam lebih kami habiskan waktu di bilik kecil itu. Oh.. bisakah kejadian dengan Mbah Purwo ini disebut guna-guna juga? Nyatanya toh aku melayaninya dalam keadaan sadar tanpa paksaan. Aku juga tidak disuruhnya minum atau makan pemberiannya yang mungkin dicampur obat perangsang. Apa benar nafsu syahwatku memang sangat besar? Seingatku dulu aku juga melakukannya dengan suamiku secara wajar-wajar saja. Seminggu tiga atau empat kali. Apa mungkin aroma harum di bilik kecil itu merupakan bau-bauan perangsang? Aku tidak sempat berpikir lebih lama, karena si tukang ojek kelihatan sudah menjemput datang. Aku bergegas pulang. Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku sudah kembali melakukan pekerjaan rutin mencuci. Penghasilan dari mencuci cukuplah untuk kehidupanku sehari- hari, bahkan kadang lebih. Lebihannya ini kutabung di bank. Kadang Basuki, anakku lelaki, mengirimiku beberapa puluh ribu rupiah, ini pun kutabung. Sementara Nina yang gajinya lebih kecil belum bisa mengirimiku. Aku maklum akan hal ini. Bekerja di Tangerang dengan standar hidup seperti Jakarta pasti memerlukan biaya besar. Untuk makan, bayar kost, dan keperluan hidup sehari-hari pasti menghabiskan sebagian besar gajinya. Aku hanya berharap mereka dapat menimba pengalaman sebanyak-banyaknya dengan bekerja di kota besar. Aku hanya berpesan pada Basuki dan Nina, “Kalau berhasil, kalian akan mencapai hidup lebih baik di sana. Kalau toh gagal, jangan malu untuk pulang, karena pengalaman yang didapat dari bekerja di kota besar dapat digunakan di sini.” Hari ini aku mendapat surat dari Nina. Ya, dia memang lebih sering menulis surat dibanding kakaknya. Maklum anak laki suka malas menyurati. Paling Basuki hanya titip salam lewat surat Nina. Ini pun bagiku sudah cukup. Asal mereka sehat dan bahagia, senanglah aku. Tentu saja dalam surat balasanku selalu kuceritakan kesehatanku dan hal- hal lain yang baik-baik, supaya mereka pun senang dan tidak kuatir dalam bekerja. Sedangkan kejadian memalukan dengan Pak Kosim, ketiga pemuda dan Mbah Purwo tidak pernah kusinggung-singgung. Biarlah peristiwa itu kusimpan menjadi rahasiaku sendiri. Meski demikian, dalam hati kecilku sebenarnya masih ada rasa penasaran untuk mencoba keampuhan penangkal Mbah Purwo. Enam butir kapsul yang diberikannya padaku dulu memang telah terbukti kemanjurannya. Bahkan pada hari kedua setelah kuminum, tubuhku sudah segar kembali. Dan haidku bulan ini juga lancar seperti biasa. Aku memang pernah kuatir terjadi kehamilan setelah pengalamanku dengan Pak Kosim. Apa jadinya kalau janda sepertiku yang baru ditinggal suaminya tiga bulan hamil? Pasti akan sangat memalukan. Pasti aku akan dikucilkan masyarakat. Untunglah kapsul pemberian Mbah Purwo sangat mujarab. Sekarang yang masih ingin kubuktikan adalah penangkal berbungkus hijau yang sudah kugantung di atas pintu kamar. Katanya ini akan menangkal guna-guna yang sifatnya perangsang birahi. Sudah sebulan lebih sejak kudapat penangkal itu ternyata Pak Kosim tidak lagi mengguna-gunaiku. Aku tahu ini karena aku tidak pernah lagi terbangun di tengah malam dengan tubuh kepanasan. Berkali-kali aku ke rumah Pak Kosim mengambil cucian atau mencuci di sana, dan ia nampak wajar- wajar saja. Apa mungkin karena anak-istrinya di rumah maka ia tidak mengguna-gunaiku lagi? Aku jadi teringat, dari dua kali pengalaman diguna-gunai, selalu rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada Pak Kosim seorang diri. Istri dan anaknya sedang pergi. “Akan kutunggu sampai mereka pergi,” pikirku ingin mencoba. Dan saat itu pun tiba ketika hari itu aku mengantar cucian dan bertemu Bu Kosim. “Mbak Surti, maaf ya, besok pagi libur dulu karena saya dan anak-anak akan pergi ke luar kota berlibur selama tiga hari. Di rumah tinggal Bapak sendiri, jadi cucian cuma sedikit. Nanti saja sekalian diambil kalau kami sudah kembali,” ujarnya. Aku pun mengiyakan. Maka kumasuki hari-hari berikutnya dengan penuh kewaspadaan. Dua hari berlalu tanpa terjadi apa- apa. Baru pada hari ketiga malam, mendadak aku terbangun di tengah malam dengan mandi keringat. “Inilah saatnya,” pikirku. Kubiarkan beberapa lama keadaan itu sebelum aku melangkah keluar kamar. Kusiapkan beberapa perlengkapan yang sengaja akan kubawa untuk memerangkap Pak Kosim. Setelah merasa siap, aku pun berjalan keluar kamar. Tepat di ambang pintu, aku berhenti di bawah bungkusan penangkal yang pernah diberikan Mbah Purwo dan.. benar saja, perlahan-lahan tubuhku seperti ditiup kipas angin. Sejuk menyegarkan dan dengan cepat mengeringkan keringatku, sehingga suhu tubuhku pun normal kembali. Aku pun semakin yakin akan keampuhan penangkal Mbah Purwo. Namun sesuai rencanaku, aku tetap berjalan menuju ke rumah Pak Kosim dengan membawa beberapa perlengkapan yang kusembunyikan di saku daster. Aku ingin memberi pelajaran pada Pak Kosim supaya ia tidak mengulang perbuatannya lagi. Sengaja kulalui jalan yang sama yang pernah kulewati dua kali. Sebelum sampai, dari kejauhan sudah kulihat Pak Kosim tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Langkahku pun semakin yakin. Dengan ekspresi pura-pura terkena guna-guna, kudekati rumah itu. “Mari, silakan masuk, Surti,” sambut Pak Kosim seperti biasa sambil membuka pintu. Tanpa bersuara aku masuk lalu menunggunya hingga selesai mengunci pintu. Setelah itu kuikuti dia ke kamarnya. Ketika dia memberikan segelas teh manis, meski semula ragu-ragu, kuteguk habis juga. Benar saja, sebentar kemudian aku merasa birahiku mulai meronta minta pemuasan. Bersamaan dengan itu kurasakan pula rasa kurang enak di bawah pusarku seperti hendak menstruasi. Maka aku teringat kalau penangkal Mbah Purwo pasti sedang bekerja. Oleh karenanya aku pun bertahan sebisa mungkin untuk tidak dikuasai pengaruh jahat minuman Pak Kosim. Hanya dua menit gejolak itu mereda dan hilang sendiri. Dalam hati aku semakin salut pada penangkal Mbah Purwo. Lalu mulailah Pak Kosim minta aku memijatnya. Aku pun pura-pura mematuhinya sambil mengamat-amati situasi. Juga ketika ia menyuruhku membuka daster, ini pun kuturuti. Supaya dia lebih terlena aku memijat dengan duduk setengah bugil di atas punggungnya. Aku harus tahan malu untuk membuka kedoknya. Toh hanya kami berdua yang tahu peristiwa ini. “Silakan tidur dulu, Pak,” bisikku ke dekat telinganya. Ia hanya manggut sedikit, lalu memejamkan matanya. Nampaknya kali ini Pak Kosim tidak terburu-buru lagi. Ia merasa dirinya sudah cukup pengalaman dan dapat mengatur waktu kapan harus membawaku ke bawah pohon itu selagi aku tertidur. “Biar cepat tidurnya matanya ditutup ya, Pak,” bisikku lagi. Ia tak bereaksi. Perlahan kuambil kain hitam yang sudah kusiapkan. Sambil memijit-mijit pelipis dan keningnya, kututup mata Pak Kosim. Ia tersenyum merasakan ulahku. Mungkin menganggapku sedang bermain-main. Diam-diam kuambil cairan pewarna dari saku daster yang kuletakkan di dekatku. Sambil tetap memijit, tanganku asyik pula melumuri punggung Pak Kosim dengan pewarna merah itu. Kalau sudah kering, dalam waktu berhari-hari berulah pewarna itu bisa hilang. Di bagian punggung yang sulit terjangkau tangan kutulisi “Ini bukti aku main serong”. Aku ingin hal ini menjadi bukti di depan istrinya nanti kalau Bu Kosim sudah pulang. APA YANG AKAN TERJADI NANTI……. SIMAK TERUS LANJUTAN CERITANYA…..