Bab 1. Ini Dosa!
Listiana sudah menikah tiga tahun yang lalu. Saat ini usianya 27 tahun dan masih bekerja sebagai guru matematika di sebuah yayasan pendidikan Islam pada level SLTA. Berbekal nilai studi sarjananya yang hampir sempurna dan ilmu agama yang cukup mumpuni, dia dengan mudah langsung diterima sebagai pengajar di yayasan itu selepas kuliah. Suaminya tidak mempermasalahkan keinginan Listiana untuk tetap mengabdi di yayasan itu. Toh kesibukannya sebagai pengusaha membuatnya harus sering meninggalkan rumah secara rutin dan dalam periode waktu yang tidak pernah sebentar.
Listiana semakin menjaga penampilannya semenjak menikah. Dulu—meskipun dia aktivis mahasiswa masjid kampus—baginya cukup asal berjilbab dipadu dengan celana bahan bukan jeans atau kulot dan kaos longgar yang dipadu kardigan atau kemeja. Sekarang sudah berbeda. Gamis longgar terusan adalah seragam wajib kesehariannya. Jilbab sepanjang pinggang menjadi tirai bagi tetek yang selalu ditopang oleh beha berukuran 32C. Tubuhnya memang langsing, tetapi berhiaskan tetek yang cukup besar. Tinggi tubuhnya mencapai 160 centimeter dan berat badan 52 Kilogram-nya secara alami sebagian besar tersebar di antara tetek dan pantatnya.
Listiana adalah idola di sekolah itu, baik untuk rekan sesama guru mau pun para pelajar. Pada hari pernikahannya, tersiar kabar banyak rekan guru pria yang patah hati. Bukan hanya yang masih sendiri, melainkan juga yang sudah beristri dan berniat menjadikan Listiana sebagai istri selanjutnya. Untuk sesama pengajar dan pelajar wanita, Listiana adalah panutan karena kecerdasan dan perangainya.
“Eh! Ustazah! Jangan!”
“Yang lain tetap kerjakan tugas kalian! Tidak ada yang perlu dilihat di sini!”
Listiana segera berlalu kembali ke mejanya setelah merebut buku dari salah seorang murid lelakinya. Dimasukkannya buku tulis itu ke dalam tas, lalu kembali menerangkan setelah memastikan muridnya tadi telah kembali berkutat dengan pelajaran. Sampai selesai jam mengajarnya, tidak ada lagi peristiwa lain yang membutuhkan perhatiannya. Seperti motto wanita itu, hari yang membosankan adalah hari yang sempurna.
“Ustazah Lis! Sudah selesai ngajar?” sapa seorang guru pria—satu-satunya yang ada di ruang guru—kepadanya. Jelas bukan sapaan biasa, karena tubuhnya yang tadi nampak malas-malasan, tiba-tiba saja menjadi tegak—ditegak-tegakkan—dengan wajah yang menjadi jauh lebih cerah meskipun masih tampak mengantuk. Embusan kipas angin listrik lantai yang cukup besar menyergap jilbab Listiana dan membuat tonjolan teteknya bebas sekejap menjadi santapan guru pria itu. Seperti dewa keberuntungan sedang berbelas asih, guru pria itu jelas melihat kulit mulus bongkahan tetek Listiana yang puncaknya masih tertutup beha krem lewat lepasnya sebuah kancing kemeja Listiana.
“Baru saja selesai, Pak Tarno,” jawab Listiana. Dia tidak sadar degan kondisi jilbabnya dan terus berjalan melewati guru pria yang tidak mampu mengalihkan pandangannya dari tetek Listiana.
Tarno—guru pria itu—mengajar olahraga. Hanya ada dia di ruangan guru saat itu. Tubuhnya kekar meskipun tidak terlalu tinggi. Sempat menjadi tenaga keamanan pabrik sebelum diterima di sekolah itu. Karena itu pula dia juga diberi amanah sebagai kepala keamanan dan tinggal di mess lingkungan sekolah. Istrinya tinggal di kampung halaman bersama mertuanya. Kontolnya berdiri membentuk gundukan di celana training yang dia kenakan tanpa disadarinya.
“Mari, Pak, saya ke meja ….” Listiana bukan hanya menghentikan ucapan, tetapi juga langkahnya. Ada yang membuatnya berdiri mematung di sebelah Tarno. Tonjolan kontol rekan gurunya itu benar-benar menyihir matanya yang biasanya terjaga. Namun, ternyata hal asing bukan berarti tidak disukai, nyatanya Listiana terpaku tanpa bisa mengalihkan pandangan.
Tarno yang tidak menyadari bahwa Listiana berhenti sedikit di belakangnya, secara insting mengelus-elus kontolnya agak kasar. Di kepalanya sudah berjalan khayalan-khayalan yang dibintangi oleh dirinya dan Listiana dalam beragam adegan yang diidamkan oleh pria itu. Karena itulah dia tidak sadar apa yang dilakukanya lahap disantap mata Listiana.
“Be-be-besarnya! Punya Mas Seno gak sebesar itu. Mmmh!” Hati Listiana sepertinya juga tidak menolak visual itu. Sama seperti Tarno, Listiana juga sempat membuat sebuah skenario adegan panas di mana pemainnya adalah dia dan Tarno. Memeknya berdenyut seolah kontol Tarno benar-benar menggenjot keluar masuk memberinya kenikmatan semu yang terasa amat nyata. Terlebih pada saat matanya jelas menangkap noktah basah di ujung tonjolan celana Tarno. Kontol Tarno jelas berkedut-kedut dan noktah basah itu makin meluas. Hidung mancung Listiana dalam selang waktu sekejapan saja diterjang aroma asing. Kombinasi antara hasil tangkapan mata dan hidung membuat memek Listiana seperti tidak terkontrol, berdenyut sambil menyemburkan air yang andai tidak tertahan kancut, celana legging, dan roknya pastilah sudah membasahi Tarno.
Air kepuasan yang mengaliri pahanya menyadarka Listiana. Wanita itu buru-buru menuju mejanya dengan perasaan kacau balau. Seiring pantanya mendarat di busa empuk kursi, matanya terpejam menyesapi nikmat di kepalanya dan sesal di hatinya. Namun, senyum kepuasan yang tidak dapat dilihatnya sendiri jelas memberi tahu siapa pemenang di antara puas dan sesal. Denyutan memeknya yang masih berlangsung meskipun berangsur pudar sedikit membuat tubuhnya bergetar menahan geli. Perlahan matanya yang masih terpejam benar-benar terpejam karena kelelahan yang tiba-tiba. Listiana tertidur dengan beralaskan lengan mengganjal pipi kanan, sehingga wajahnya menghadap kiri.
Dengkur halus Listiana balas menerpa telinga Tarno. Dengan perasaan tidak percaya akan keberuntungannya hari itu, Tarno berjingkat-jingkat mendekati Listiana. Telah lama guru olahraga itu menaruh hati kepada Listiana, dan amat kecewa ketika Listiana mengakhiri masa lajangnya. Di dalam hatinya, terbersit keinginan untuk mencicipi kesempatan langka itu dalam segala bentuk imajinasinya, tidak peduli seliar apa pun itu.
Ketika dengkur halus Listiana semakin jelas terdengar dan tidak tampak terganggu dengan keberadaan dirinya, Tarno pun lupa diri. Diplorotkannya celana training dan sempaknya sekaligus, lalu dia kocok kontolnya sendiri sambil berjongkok, berharap kancing kemeja Listiana belum dipasang kembali. Betapa senang Tarno ketika dia dapatkan kancing itu masih terlepas dan membuat celah besar yang menampakkan tetek besar Listiana yang menggantung indah. Jilbabnya tertimpa pipi, memberi Tarno tantangan baru, apakah dia berani melakukan sesuatu atau tidak, karena kesempatan tidak akan datang lagi.
Tarno mendekatkan wajahnya ke area tetek Listiana, lalu menghirup aroma keringat guru matematika itu dalam-dalam. Tarno sakau, merasa tidak cukup hanya dengan mendapatkan aroma keringat di tetek Listiana. Dengan jantung berdetak kencang, tangan pria itu bekerja keras dengan sangat berhati-hati membuka satu lagi kancing kemeja Listiana. Berhasil! Serasa tidak puas, tangannya merogoh ke dalam kemeja Listiana, tidak lagi peduli apa pun yang akan terjadi bila wanita itu terbangun. Dikeluarkannya kedua tetek Listiana dari cakupan beha dengan cara yang cukup kasar. Namun, wanita itu masih mendengkur.
“Ustazah! Oooh!” Ujung lidah Tarno mengusap lembut ujung puting tetek coklat muda Listiana. Seperti tersengat listrik, Listiana terbangun. Masih belum sadar sepenuhnya, wanita itu malah melenguh keenakan. Bahkan ketika Tarno yang sudah merasa kepalang tanggung bukan lagi hanya menjilat, melainkan memasukkan puting tetek kiri Listiana ke dalam mulutnya, Listiana masih belum sadar juga. Barulah ketika tangan kanannya yang terjuntai diraih Tarno dan diarahkan untuk menggenggam kontol pria itu, Listiana sadar penuh.
Listiana yang terkejut menegakkan tubuhnya. Didapatinya Tarno merangkul tubuhnya dengan tangan kanan, membuat kenyotan pria itu di teteknya tidak lepas. Akibatnya seperti dihipnotis, Listiana tidak sadar tangan kanannya telah menggenggam kontol Tarno. Anehnya, waita itu tidak sanggup menjerit walau ingin pada saat matanya beradu pandang dengan Tarno. Mata pria itu seperti mengemis, memohon kepadanya untuk diizinkan menyalurkan syahwatnya.
“Tapi … ini dosa, Pak!” kata Listiana lirih akibat tiba-tiba saja tangan kiri Tarno sudah melesak ke belahan memeknya lewat bawah rok. Belaian jari Tarno ke itilnya, membuat otak Listiana tumpul. Tidak dia sadari, kontol Tarno malah dikocoknya lembut.
“Iya … Ustazah. Ini dosa,” timpal Tarno melepas tetek Listiana. Didekatinya wajah wanita itu yang malah membuka bibir seolah siap menerima apa pun yang akan diberikan Tarno. Melihat itu, Tarno mengumpulkan ludahnya. Tangan kanannya yang tadi merangkul pinggang Listiana, kini menjambak lembut rambut wanita itu yang masih tertutup jilbab sehingga mendangak. Dari atas, Tarno mengalirkan ludahnya yang tepat mendarat di bibir atas Listiana. Usapan lembut di itilnya seperti bius, membuat Litiana tidak merasa jijik sama sekali diperlakukan seperti itu. Padahal biasanya, wanita itu amat menjaga kebersihan.
Listiana mencecap ludah Tarno dengan lidahnya, membuat Tarno kesetanan. Ludahnya tidak lagi sekadar dialirakn, melainkan dilucurkan dengan kuat. Sebagian masuk ke mulut, sebagian lagi membuat wajah Listiana mengkilap karenanya.
Tarno makin kalap. Pria itu bangkit, mengangkangkan kedua paha Listiana yang cuma melenguh lirih sebagai reaksi setelah memeleorotkan celana legging wanita itu. Hidung Listiana masih beradptasi dengan bau ludah yang beraroma tembakau. Selesai beradaptasi dengan bau ludah, hidung Listiana menuntunnya menuju sumber aroma yang tak kalah kuat, keringat di ketek berbulu lebat Tarno. Tarno begitu kaget sekaligus terangsang ketika dengan sukarela Listiana membenamkan wajahnya di keteknya. Tidak hanya itu, Listiana menghirup aroma ketek dan menjilati setiap mili kulit dan bulu ketek Tarno.
“Oooh!” Keduanya mendesah bersamaan ketika kontol Tarno dengan beringas langsung masuk sampai tidak bersisa ke dalam memek Listiana. Akibatnya, jilatan di ketek Tarno berubah menjadi gigitan dan sedotan. Tarno pun tidak mau kalah, mempercepat entotannya sambil sesekali meludahi wajah Listiana dan kembali mengusapkan keteknya ke wajah si guru idola yang sesekali tersenyum sakau meskipun dengan mata terpejam.
“I-i-ini do-do-dosa, Pak! Oooh!” desah Listiana yang jelas merasakan bahwa kontol Tarno menyentuh lebih dalam mendekati rahimnya ketimbang kontol sang suami. Setiap mili syaraf memeknya yang berhasil dicicipi kontol Tarno seperti berpesta miras, membuat Listiana mabuk kepayang, rela diperlakukan layaknya pelacur murahan dari pinggiran kota.
Bab satu teaser, ya.