Part 1
AMELIA, BRIAN DAN SEBASTIAN​
SATU Seorang cowok yang mengklaim dirinya paling ganteng dan paling kaya seBandung Barat, turun dari mobil sedannya. Brian Hendra Setiawan sangat percaya diri dengan baju dan sepatu bermerk yang dikenakannya, dia berhenti di depan pintu pagar sebuah rumah minimalis. Rumah itu bercat abu-abu muda pada garis-garis pilarnya dan biru muda pias pada dindingnya. Cahaya sore demikian cemerlang menyirami hati yang gembira dan optimis. Cowok itu masuk ke halaman yang luas penuh bunga-bunga karena pintu pagarnya terbuka. Rumah itu bukan rumah terbaik atau termegah di sepanjang jalan kecil itu. Hanya rumah biasa yang terawat dengan baik, apik dan terlihat nyentrik. Shafira Amelia Putri berjongkok membelakangi Brian, sedang memperbaiki letak pot-pot bunga. Amelia tidak merasa sia-sia membolak-balik susunan pot dan tidak pernah sungguh-sungguh merasa puas dengan hasilnya. Inilah hiburan satu-satunya untuk mengusir hati yang gundah. Sebab, cowok bermata dalam itu selalu hanya melemparkan senyum, tapi tidak pernah menyapanya. “Parah sekali aku.” Batinnya. “Amel.” Tiba-tiba terdengar suara Brian dari arah pintu pagar. “Lagi ngapain?” Amelia menoleh dan melihat Brian berdiri di dekat pintu pagar. Cowok itu tersenyum dengan wajah penuh harapan. Entah berapa puluh kali Amelia membunuh harapan pada wajah itu tapi kelihatannya Brian tidak merasakannya. “Kamu tahu aku lagi ngapain.” Kata Amelia. Dia berdiri dari jongkoknya dan mengambil teko penyiram tanaman. “Enggak bosan kamu ngurus gituan?!” Kata Brian. Suaranya agak menekan. “Jalan yuk ke depan.” Amelia tertawa pelan. “Kamu lihat kan aku lagi sibuk.” Katanya. Otot-otot lengannya yang putih berbulu halus tampak menegang. Amelia mengangkat teko itu dengan menunggingkannya. Lalu mengucurkan airnya pada tanaman yang terletak paling ujung. “Masa yang gituan aja dibilang sibuk.” Kata Brian. “Sibuk itu mengerjakan hal yang penting.” “Jadi menyiram tanaman bukan hal yang penting?” Sergah Amelia dengan tekanan suara yang jelas dan kuat. Brian terdiam. Dia selalu kesulitan jika berdebat dengan cewek itu. Dia tak pernah bisa mematahkan argumen-argumen sederhananya bahkan sejak kelas 10. Amelia memiliki hidung yang mancung dan runcing, binar sepasang mata jelita serta kecerdasan yang tak dimiliki oleh umumnya cewek-cewek cantik. “Maksud aku…” “Sebaiknya kamu ngajak Shinta. Dia tidak akan menolak.” Wow! Brian terhenyak. Dia berpikir bahwa dia ganteng dan kaya. Dia tidak layak mendapat penolakan. Apa yang diharapkan seorang cewek dari seorang cowok, seluruhnya ada pada dirinya. “Sebentar aja, yuk. Kita refreshing.” “Kita?” Amelia terperangah. “Bagaimana mungkin kamu mengatakan kita. Kamu pikir aku suka jalan-jalan ya?” “Terus kamu sukanya apa dong?” “Aku sukanya kamu jalan-jalan sama Shinta. Kalian serasi.” Amelia mengucurkan air terakhir di dalam teko itu ke tanaman yang terletak dekat pagar. Pada saat itu, Amelia melihat lelaki bermata dalam itu datang dari arah jalan raya, baru pulang kerja. Turun dari motor bututnya. Dia membuka pintu pagar yang sudah karatan dan menimbulkan decit nyaring. Pelahan mendorong motornya masuk ke dalam halaman, menutupkan kembali pintu pagar karatan itu. Menimbulkan decit nyaring lagi. Ironis sekali. Cowok itu tinggal di depan rumahnya. Mereka sudah 2 tahun saling mengenal. Tapi tak pernah satu kali pun, tak sekali pun, cowok itu mampir ke halaman ini dan menyapa Amelia yang setiap sore menunggu. “Hai, Amelia. Lagi nyiram tanaman ya?” “I ya, Kak.” “”Jalan yuk ke depan, melemaskan kaki biar enggak kaku.” “Ayuk.” Tapi percakapan itu tentu saja hanya ada di kepalanya. Brian masih menatapnya dan Amelia tak ingin menggubrisnya. Sejujurnya ya, Brian itu bukan cowok jelek. Cukup tinggi, putih, anak orang kaya, penampilan oke dan semua cewek setuju mengatakan Brian ganteng. Tapi Amelia tidak menginginkan Brian. Amelia menginginkan cowok bermata dalam itu. “Kamu akan membiarkan aku menunggu seharian di sini, Mel?” Tanya Brian, memelas. “Kamu bisa pergi kapan pun kau mau.” Jawab Amelia. “Tak ada yang melarangmu, kan?” “Mel, kamu sama sekali tak memberiku kesempatan.” Kata Brian lagi. “Mau kah kau memberi tahu aku, apa kekuranganku agar bisa mengajakmu sekedar jalan-jalan sore.” “Tidak, Brian. Kamu sempurna. Kau cocok dengan Shinta.” Kata Amelia. “Shinta juga sangat menyukaimu.” “Tapi aku menyukaimu.” “Tentu, Brian. Kita adalah teman.” “Aku menyukaimu lebih dari sekedar teman.” “Kalau begitu, aku adalah sahabatmu.” “Lebih dari sahabat, Mel. Aku ingin lebih dekat dari sahabat.” Brian berkata dengan suara gemetar. “Kalau begitu, kita adalah saudara. Setuju kan?” Sekali lagi, Brian terdiam. “Sebagai saudara, mau kah kamu menemaniku jalan-jalan ke depan sebentar saja. Cuma menemui teman-teman, setelah itu pulang.” Amelia menatap Brian dengan tatapan tajam. Brian menunduk. “Aku enggak mau. Aku sibuk.” Kata Amelia. “Please…” “Brian, sudahlah. Kau lebih cocok dengan Shinta.” DUA Brian mengendarai mobil menuju kafe tempat biasa dia dan teman-temannya nongkrong. Di sana sudah ada Sandy, Bagas, Ginanjar dan Shinta. “Gagal lagi?” Tanya Sandy. Brian tidak menjawab. Dia melempar kunci mobil ke atas meja, memesan minuman kepada pelayan yang datang mendekat dan tertawa kering. “Bayar.” Kata Ginanjar. “Kamu kalah lagi.” Kata Bagas. “Amel bilang apa, Bri?” Tanya Shinta. Brian menoleh ke arah Shinta dan tersenyum. “Dia tidak bilang apa-apa. Cuma sibuk. Dia lagi banyak tugas.” Jawab Brian. Shinta tertawa kering. “Anak Ekonomi emang selalu dibebani banyak tugas.” Kata Shinta. “Siniin duitnya, aku mau cabut.” Kata Bagas. “I ya duitnya.” Kata Ginanjar. Brian tersenyum kecut dan merogoh dompetnya, mengeluarkan uang pecahan seratus ribu empat lembar. Bagas dan Ginanjar diberinya masing-masing dua lembar. “Ini apa-apaan? Koq gua enggak dikasih?” Tanya Sandy. “Gak bisa, lu kan gak ikut taruhan.” Kata Bagas. “Taruhan?” “Ya. Gua bilang kalo dia bisa bawa Amel ke sini, gua kasih 200, tapi kalau kagak, dia yang ngasih gua.” Kata Bagas. “Gua sama si Gin yakin Amel enggak akan mau. Udah ya gua cabut dulu, sore ini ada kerkom di ruang jurusan.” “Gua juga, gua mau jemput cewek gue.” Kata Ginanjar. “Ya udah, gua juga ikut cabut. Nyokap nyuruh gua nganter dia check up.” Di meja kafe itu, yang tersisa kini tinggal Brian dan Shinta. Selama beberapa saat mereka dicekam kebisuan. “Gua juga cabut, ya, Bri.” Kata Shinta, memecah kesunyian di antara mereka. “Soalnya taxi pesenan gua udah dateng, tuh itu dia.” Shinta menunjuk sebuah mobil dengan logo kecil sebuah perusahaan taxi online pada kaca depannya. “I ya, Bye. Hati-hati ya.” Kata Brian. TIGA Brian duduk manis sendirian, berteman latte dan cemilan kacang mete. Bermain smartphone dan mengambil beberapa gambar suasana kafe yang sepi. Serta mengambil selfie untuk dirinya yang patah hati. Dia kemudian mengunggah foto-foto itu di Instagram dan menuliskan sebuah quotes, “Harus sesempurna apakah aku agar bisa memilikimu?”. Beberapa menit kemudian, puluhan “like” menghujani unggahannya. Beberapa komentar pun bermunculan, yang pertama dari Andri teman kuliahnya. “Harus sesempurna rokok, bro. Lu isep, nikotin itu selamanya milikmu.” Brian menjawab, “Ha ha ha mantul.” Lilian berkomentar, “Sesempurna lagu… sempurrrrnnaaa…” dengan emoji not balok turun naik dan seorang perempuan bernyanyi malu-malu. Brian menjawab “Ya, cocok buat dia @shafiraameliaputri”. Devi, mantan ceweknya komentar “Enggak perlu sempurna, gw udah pernah jadi milik elo” dengan emoji perempuan bersedih. Brian tak menanggapi. Justru yang menanggapi adalah Dani, temannya waktu di kelas 12 dan sekarang kuliah di fakultas yang sama dengan Brian, tapi beda jurusan. “Cie…cie… CLBK nih yee @devimaharani07 he he he… Cinta Lagi Balikan Kagak” Brian tersenyum-senyum membaca sejumlah komentar yang kebanyakan konyol dan tidak nyambung. Sebagian komentar ada yang dibalasnya, sebagian lagi tidak. Begitulah, dia terbawa oleh alunan media sosial sebagai salah satu sarana hiburan dan komunikasi, untuk melepaskan beban di hatinya. Tiba-tiba ada sebuah notifikasi Privat Messengger (PM) muncul dari salah satu followernya. Foto profilnya menunjukkan dia seorang wanita usia sekitar 40-an. “Kamu lagi di Kafe Ungu ya 17.56?” Sebelum menjawab, Brian membrowsing profil yang memPMnya itu dan mengetahui kalau dia adalah seorang wanita pengusaha di bidang kuliner. Dari foto-foto yang diunggahnya, tampaknya wanita ini selalu menyanggul rambutnya dan mengenakan blazer resmi. Namanya Hariani Soekanto. “I ya nih 18.04.” Jawab Brian. “Gabung yuk. Aku di lantai 2. Aku juga lagi sendirian 18.05.” Sebuah tantangan menggoda Brian, antara ragu dan penasaran berkecamuk di kepalanya. Tapi akhirnya Brian memutuskan naik ke lantai 2. “Masa bodo.” Pikirnya. “Kalau dia jelek dan menyebalkan, aku bisa langsung kabur. Apa susahnya?” Pikir Brian. “Oke. Siapa takut 18.07?” Balas Brian. Balasan Brian dijawab lagi dengan emoji tepuk tangan. Sambil menating kopi dan cemilannya, Brian menaiki lantai 2 dan celingukan ke kiri ke kanan. Tapi dia tak menemukan wanita itu. Beberapa pasangan yang duduk di meja memandanginya dan seorang pelayan mendekatinya. Brian akhirnya mendekati sebuah meja di mana seorang perempuan berkacamata, berambut panjang sebahu, yang sedang sibuk menelpon sambil menghadapi laptop. Maksud Brian mendekati meja itu adalah menyimpan cangkir latte dan mangkuk cemilannya, lalu dia akan membalas PM dan menanyakan di mana mejanya di lantai 2 itu. “Makasih udah berani datang.” Kata perempuan itu. Brian bengong sejenak. Dia memperhatikan perempuan yang berdandan mirip Customer Service sebuah bank itu. Cantik dan seksi. “Duduklah Brian, saya nelpon dulu.” Katanya lagi. Brian masih berdiri dan memperhatikan perempuan itu. Ah, ternyata dia. Hariani Soekanto. Orangnya koq lebih cantik dari fotonya. Brian terpana. “Sorry ya.” Kata perempuan itu setelah menutup telponnya. “Kamu koq lebih ganteng aslinya daripada fotonya. Saya Ani.” Kata perempuan itu menyorongkan tangan. “Brian.” Brian menjawab sambil menggenggam uluran tangan itu dan menjabatnya dengan erat. Selama sepersekian detik, sambil berjabatan tangan, mereka saling menatap di mata. Seperti saling menakar sesuatu satu sama lain. Tiba-tiba mereka saling melepaskan tawa kecil saat melepaskan jabatan tangan. “Lucu ya. Kita berkenalan dengan cara yang aneh seperti ini.” Brian tak menjawab. Dia hanya menatap perempuan itu dan menikmati kecantikannya.