Author Note: Ini edited version dari versi sebelumnya yang ikutan ajang Fanfic Film LKTCP 2016.
Benerin typo dan agak coba perbaikin dikit sana-sini, tapi inti ceritanya gak diubah n tetap sama. Mungkin nanti ane bikin versi alternatif lain yang lebih hardcore. Ada masa panjang saat ane terobsesi sama banyak cerita-cerita panas hardcore dengan imajinasi liar dan buas, rintihan birahi, erangan multiple orgasm dan dialog naughty panjang saling berbalas ungkapan kenikmatan fantastis.
Tapi saat fanfic ini ane ketik terus terang ane lagi jenuh dan gak punya ide panas. So….. Warning: agak alay, garing dan gak panas. Terispirasi dari film Koala Komal yang dibuat atas inspirasi dari novel Koala Kumal.
Ada unsur nyontek dan meniru. But this is a fanfic so it’s a fiction story from a fans which usually would copies some things from their idol. Judul Koala Lumpur tidak ada hubungannya dengan Ibu kota negri jiran tetangga kita Malaysia. Lumpur cuma perlambangan sesuatu yang kotor dan terpendam, entah cukup nyambung atau tidak.
Ada seekor koala yang tinggal di New South Wales, Australia. Koala itu bermigrasi dari hutan tempat tinggalnya. Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke hutan tempat ia tinggal. Namun ternyata selama dia pergi, hutan yang pernah menjadi rumahnya ditebang, diratakan dengan tanah oleh para penebang liar. Si Koala kebingungan kenapa tempat tinggalnya tidak seperti dulu.
Ia hanya bisa diam, tanpa bisa berbuat apapun. Seorang relawan alam mengambil foto itu. Jadilah foto seekor koala kumal duduk sendirian. Memandangi sesuatu yang dulu sangat diakrabinya dan sekarang tidak lagi dikenalnya. Sama seperti gue, yang cuma bisa bengong pasrah.
Yah, itu adalah cuplikan dari novel gue “Koala Kumal”. Novel yang udah mandek lama gara-gara patah hati gue yang diakibatkan oleh calon istri gue Andrea yang dengan entengnya minta putus di detik-detik menjelang pernikahan kami.
Padahal segala keperluan buat resepsi pernikahan kami udah dipersiapkan, Mini Cooper, apartemen di Belleza dan berbagai barang juga sudah gue hadiahin. ….Gile, kurang apa coba!?! Kurang apah!
Saat gue udah siap lahir batin melangkah ke jenjang rumah tangga eh Andrea pacar merangkap calon mempelai wanita gue itu selingkuh dan digondol sama seorang dokter tajir yang lebih ganteng dan sukses daripada gue.
Keluarga dr.James ini punya Rumah Sakit sendiri Bro. Dari segala aspek bisa dibilang gue ini kalah dibandingkan si dr.James. Kampret Kan? kampret! Pait Man.
Tapi itu semua udah lewat. Gue berhasil “move on” dari patah hati gue pada Andrea dan namatin novel gue yang udah lama ditagih penerbit. Dan semua tentu saja berkat usaha dan jasa mahluk halus ajaib aneh yang bernama Trisna. Gue juga mulai tumbuh benih-benih cinta lagi sama seorang bidadari yang bernama Kinara.
Tapi entar aja gue bahas cerita soal Trisna dan Kinara nya.
The Hidden story of Siluman Koala Sebenarnya lebih dari soal si koala kumal yang patah hati, gue ngerasa punya ikatan batin yang kuat dengan koala. Gue sering ngerasa gue ini sebenernya Sun Go Kong versi Koala atau semacam pendekar koala sakti. Atau semacam Sun Go Koala gitu deh.
Koala itu abu-abu, kecil, buntet, lambat, pemalas dan tergolong jelek, tapi ajaibnya ternyata gemesin dan disukai, terutama oleh kaum cewek. Sama kayak gue
Karena rasa penasaran gue sempet nekat nyoba ngemil lalapan daun eucalipthus, yang jadi makanan khusus spesial exclusive kaum koala. Dan ternyata gak enak dan bikin gue jadi mual mual plus mules. Tapi tentu saja sedikit kelemahan itu tidak mampu meruntuhkan keyakinan gue. Toh Mr.Sun Go Kong juga gak maniak-maniak amat juga sama pisang.
Sun Go Kong punya senjata andalan tongkat sakti, yang bisa ngaceng aka konak alias ereksi. Tongkat kecil tersembunyi yang bisa jadi besar, panjang, kuat dan keras. Sebagai Sun Go Koala, gue juga punya. Yah memang jauh gak sesakti tongkat punya Sun Go Kong sih, tapi ada lah kemiripan fenomenanya.
Tongkat sakti gue berukuran standard, …Ok lah anggap aj kecil. ….Masih gak percaya? ….Ya deh gue ngaku punya gue ini mini, butet dan cebol. …Puas???
“It’s not about the size of the wand, it’ about how much magic you can creates with it”
Gitu deh, kurang lebih kalo gue gak salah contek.
Gue juga tau Sun Go Kong nyembunyiin tongkat saktinya di kuping. Suer gue juga udah coba nyari, ngorek-ngorek ke dua kuping gue sampe perih, tapi gak nemu.
Gue Dika si siluman koala yang cebol, gak ganteng, gak macho, gak six pack, gak bisa kung fu, gak lincah kayak Messi, gak …., yah gak segalanya nya deh.
Tapi nyatanya dalam perjalanan hidup gue cukup sukses deketin banyak cewek-cewek cakep.
Ya walaupun seperti kayak boneka koala gue juga seringnya cuma buat mainan aja, yang dengan mudah dibuang dan dilupakan kalo sang gadis udah bosen dan punya mainan baru lain.
Seperti koala, gue juga terlalu malas buat mengejar cewek yang pergi, dan lebih milih bengong gelantungan di pohon sambil ngemil daun eucalipthus.
Gue sempet kepikiran nyari guru dan dua ekor siluman lain untuk memulai misi mulia perjalanan ke arah barat untuk menemukan kitab suci. Tapi gue batalin karena gak seperti monyet yang lincah dan serba mau tau, sebagai siluman koala gue ini pemalas dan cuma bisa pasrah.
Tentu saja gak berarti kesempatan buat deketin cewek-cewek itu bisa gue lakukan dengan mudah tanpa kendala.
Siluman koala macem gue ini harus memenuhi berbagai persyaratan: gak neko-neko, gak banyak nuntut, pasrah, gampang diputusin dengan tiba-tiba tanpa alasan jelas kapan aja,… dan yang paling penting koala adalah binatang “berkantong”. Ya berkantong dalam artian gue harus punya duit buat selalu siap nraktir, ngasih kado, dan bayarin belanjaan cewek dll. Bukan berarti cewek yang gue deketin semuanya pasti matre, tapi sebagai cowok yang gak ganteng memang siluman koala kayak gue diharapkan lebih “peka” buat ngasih nilai lebih ke cewek.
Untungnya secara materi gue lumayan “ada” lah, biarpun gak berlebihan banget juga sih.
Cowok type siluman koala kayak gue ini tergolong maenan lucu yang dianggap klasifikasi “aman” buat cewek-cewek. Dari level Friendzone, semi TTM, sampai “Coba jalanin aja dulu”. Level tingkat ke-jaim-an dan ke-baper-an mereka ke gue secara insting lebih menurun dibanding sama cowok-cowok ganteng atletis idaman mereka.
Seiring dengan meningkatnya level tingkat ke-tegaan-an mereka buat minta, nyuruh-nyuruh dan mutusin gue.
No… no… no… Man! …Gue gak ngeluh.
Gue nikmati dan mensyukuri semua itu sebagai potensi kelebihan gue. Suatu saat cepat atau lambat akan ada cewek cantik yang khilaf dan sukses gue buat hamil, lalu si cewek terpaksa terikat dan nuntut tanggung jawab gue. HAHAHAHAHA…! Ini bukan soal jahat dan baik, bukan soal salah dan benar tapi soal persaingan adu jurus dan survival. Semua mahluk hidup punya insting bersaing buat kawin. Setidaknya itulah yang disampaikan National Geographic channel atau Animal Planet.
Sebagai cowok normal, gue juga ngalamin petualangan-petualangan panas. Kayak kesundut rokok, kesiram kuah Indomie, kesenggol strikaan, atau kecipratan minyak goreng panas abang-abang pecel lele dll.
Pengertian umum “normal” buat cowok dewasa adalah yang udah gak virgin alias udah pernah ML. Asik kan jadi cowok! Hehehehe.
Dan untungnya gue cukup sukses melewati proses kedewasaan itu.
Gak ada beban buat cowok ngelepas keperjakaan, justru seperti khitan atau sunatan, setiap cowok merasa bangga jika sudah melaksanakan proses kedewasaan itu lebih cepat dari yang lain.
Berawal dari liat gambar, ngintipin rok cewek temen sekolah, coli, nonton bokep, pacaran, ciuman, ngelus paha, grepe toket sampai akhirnya keperjakaan gue direnggut oleh seorang mbak-mbak penyusun bola billyard bernama Sari saat gue kelas 2 SMA.
Prosesnya berlokasi di sebuah bilik kecil dengan durasi sekitari 10 detik. Kalo gak salah inget gue cuma sempet goyang 5x atau 6x sebelum erupsi klimaks.
Gak ada drama, gak ada dialog romantis, gak ada desahan dan erangan binal. si Mbak Sari juga santai-santai aja kayak gak terjadi apa-apa dan gue bayar Rp 50.000.
Sampai sekarang gue masih ragu, apakah keperjakaan gue hilang waktu gue mulai nusuk?, saat gue mulai goyang ngenjot?, atau saat gue nyemprot klimaks?
Point-nya, gue gak sampai ke level maniaks seks atau jadi pecandu kenikmatan esek-esek yang wajib rutin tersalurkan, tapi gue gak suci-suci amat juga.
Dan kayaknya secara standard umum masyarakat modern “kebandelan” gue masih ada di tahap wajar yang bisa dimaklumi khalayak banyak.
Semacam rahasia umum yang gak harus repot dijelasin atau dipertanyakan.
Beda dengan kaum hawa yang masih sering dihakimi dengan tuntutan norma-norma yang jauh lebih ketat. Cowok memang egois, untungnya gue gak doyan cowok. Gue 97% yakin soal itu. Kenapa gak 100%?? Jawabannya karena Aliando dan Prilly. Pasangan yang belakangan ini sangat diidolakan kaum ABG.
Jujur gue gak pernah nonton sinetron mereka, bahkan gue gak tau judulnya apa. Gue sekedar iseng googling untuk melihat foto mereka. Alhasil walaupun gak sampe ada nafsu hasrat seksual, gue menilai Aliando cukup ganteng untuk ukuran cowok. Sebaliknya gue bingung dan gak ngerti dimana letak kecantikan si Prilly Latuconsina sampai dia begitu diidolakan. Kalo gue nongkrong di Mall manapun dan melakukan survey secara acak dengan nunjuk cowok yang lebih ganteng dari Aliando, gue yakin bakalan susah.
Sebaliknya kalau diisuruh nunjuk cewek-cewek yang lebih cantik dari Prilly, gue cukup yakin itu cukup gampang dan buanyak. Dari kebingungan itulah gue agak sedikit meragukan orientasi seksual gue. Tapi cuma 3% aja koq.
Gue coba ambil kesimpulan bahwa sesuatu yang digemari, dianggap bagus atau cantik oleh banyak orang belum tentu kita setujui.
*****
The Hidden strory of Trisna
Hubungan pertemanan antara gue dan Trisna makin akrab. Kami sering ngobrol bareng, jalan bareng dan bahkan berapa kali pergi kondangan bareng.
Gue cukup nyaman dan jujur gue ada rasa suka pada Trisna yang cuek, lucu dan agak aneh. Trisna memang adalah type gadis yang sangat mudah untuk disukai. Trisna punya aura pesona yang luar biasa sebagai wanita. Cantiknya Trisna lebih berlipat-lipat muncul dari kepribadiannya dibandingkan secara fisik lahiriah saja. Mungkin semacam “Inner Beauty” gitu deh. Tapi Trisna cukup tegas membatasi hubungan gue dan dia hanya di area Friendzone. Tiap kali pandangan gue agak terlihat mupeng Trisna selalu langsung nembak dan bilang dengan cuek “Kenapa lo bengong ngeliatin gue? Udah deh, gue gak mungkin jatuh cinta sama lo, selera gue kan tinggi” Biasanya gue jawab melas, “Iya. Makasih ya, untuk terus menerus mengingatkan betapa jeleknya gue” Dan Trisna biasanya setelah itu selalu ngakak dengan cuek, sementara gue cuma bisa tersenyum pahit antara gondok dan pasrah. Tapi sebagai teman gue paham bahwa patah-hati yang dipendam Trisna lebih dalam daripada gue. Trisna masih sangat mencintai Coki, pacarnya semasa SMA yang meninggal karena kecelakaan. Trisna masih menutup hatinya untuk sosok lain selain Coki sampai sekarang. Walaupun selalu tampil lincah dan ceria Trisna masih memendam luka yang teramat dalam atas kepergian Coki yang mendadak saat hatinya sedang berbunga-bunga begitu indahnya.
Sampai saat ini Trisna masih baru mulai belajar proses menerima takdir pahit kisah cintanya itu. Trisna udah membantu gue melewati proses penyembuhan patah hati kehilangan Andrea. Walaupun itu dia lakukan dengan alasan dan cara yang aneh-aneh, tapi gue merasa punya hutang budi pada Trisna.
Mungkin saat ini menjadi teman adalah cara terbaik yang bisa gue lakukan sebagai balas budi gue pada Trisna. * * * Hari itu gue bangun agak kesiangan gara-gara semalaman asik begadang chat dab bersosial media didepan laptop.
Saat gue periksa smartphone gue yang berada di mode silent ternyata ada 9 misscall dari Trisna. Gue jadi agak parno mendadak dan langsung nelpon balik
“Ada apa Tris? Sorrry gue baru liat hp” kata gue dengan nada panik.
“Gue lagi depresi Dika, ke rumah gue sekarang!” Jawab Trisna dengan nada agak jutek.
“Gue baru bangun Tris…”
“Bawel!,. Udah buruan, Lo kesini sekarang juga!” …. Trinsa lalu langsung menutup telponnya. Gue langsung mandi kilat dan meluncur ke rumah Trisna di kawasan Kemang. Sekitar 45 menit kemudian gue sampai di depan pagar gerbang rumah Trisna, gue nelpon Trisna lagi buat ngasih tau gue udah sampai. Gak lama Pak Marco satpam rumah Trisna bukain pager gerbang.
“Siang Om Dicky” Pak Marco sang satpam menyapa gue dengan ramah. “Selamat siang, Pak Marco” sahut gue membalas senyuman yang tersamar dibalik kumis tebalnya. Gue sedikit agak keki dipanggil “Om Dicky”, tapi diantara kami memang tidak kenal akrab, jadi gue maklumin. Btw Pak Marco ini nama aslinya Komar tapi dibalik biar lebih kekinian.
Setelah mematikan mesin mobil gue nelpon Trisna, ngasih tau udah sampai di rumahnya. Trisna nyuruh gue langsung naek ke kamarnya di lantai 2.
Gue memang udah lumayan hafal karena sempat berapa kali mampir maen ke rumah Trisna ini. Trisna duduk meringkuk di kursi bean bag hijau kamarnya. Dia tampak lusuh dengan rambut kusut dan mata sembab. Tatapannya kosong dan berkali-kali dia menghela nafas berat seperti bison. Kertas tissue berserakan di lantai sekelilingnya. Dia memakai kaos Harry Potter hitam yang agak longgar dan celana pendek hijau Hulk.
Gue agak bingung mau ngomong apa, takut salah ucapan. Detakan jam dinding kamarnya mengisi keheningan antara gue dan Trisna. “Ada apa Tris?” Gue mencoba memulai membuka percakapan. Hening…. “Berapa hari ini gue mimpiin Coki terus, Dik” akhirnya Trisna menjawab lirih. “Mungkin lo kangen Tris!??” kata gue berkomentar “MENURUT LO???!” Trisna sewot sambil melotot menyeramkan Gue cuma bisa nuduk terintimidasi dan merasa bersalah kayak maling sendal di masjid yang tertangkap basah. “Sorry Tris, gue gak bermaksud bikin lo jadi tambah kesel” Gue coba meminta maaf, tapi Trisna hanya membalas dengan dengusan. Gue yakin seberapa pun banyaknya pengalaman, setiap cowok selalu akan kebingungan saat menghadapai cewek yang sedang bete.
Biasanya cewek cuma akan diam dan memaksa kita menebak apa masalahnya. Semua kata dan jawaban kita akan hampir selalu akan salah. Tapi kita tetap tetap dituntut untuk terus berusaha melakukan sesuatu untuk menghibur mereka. Hening lagi…
“Sabar Tris, kirim doa aja biar dia tenang disana” Gue mencoba sok bijak, dan sepertinya cukup berhasil meredam aura kemarahan Trisna. Seandainya aura negatif Trisna sperti Kyubi rubah ekor sembilannya Naruto, setidaknya sekarang jumlah ekor silumannya menurun separoh tinggal 4 setengah. Trisna bangun dan mengambil gitar akustik kesayangannya lalu menyerahkan gitar itu ke gue. Gue nerima dengan bingung. “Nyanyi Dika, hibur gue!” perintah Trisna. “Lagu apa Tris?” “Apa kek, usaha dong! Sambel Lado by Ayu Ting Ting juga boleh” Trina berguman cuek dan menatap kosong ke jendela kamarnya.
“Gue gak hapal dan gak tau chords nya Tris” “Oasis deh, Don’t Look Back in Anger” request Trisna lagi. Gue pun menuruti dan mencoba bermain gitar sambil berusaha menyanyikan lagu permintaannya semerdu mungkin. Gue sadar suara gue ancur cempreng parah kalo nyanyi, tapi gue berusaha menghayati dan nyanyi pake hati. Malah sangking berusaha khusuk gue mejamkan mata. Baru mulai masuk bagian reffrain tau-tau tawa Trisna pecah membahana. Trisna ngakak guling-gulingan di ranjangnya. Gue bengong dan panik, takut Trisna kesurupan atau tambah stress, lalu jadi gila mendadak gara-gara suara nyanyian gue.
Gue takut ditangkap polisi, dipenjara dan disidang kayak Jessica Kumala Wongso. Gue langsung kebayang berbagai saksi ahli dari Jaksa Penuntut Umum menganalisa betapa berbahayanya efek suara cempreng gue dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. …..TIDAKKKK!!!!!!
Trisna akhirnya puas tertawa, dia tersenyum geli menatap gue dengan mata berkaca-kaca basah. “Makasih udah ngerusak salah satu lagu memori gue sama Coki” ujar Trisna sambil masih mengulum senyumnya. “Iya. Sama-sama makasih juga buat udah ngetawain gue. Walupun gue gak niat ngelucu, tapi sebuah tawa adalah bentuk apresiasi terbesar buat seorang stand-up comedian” balas gue.
Gue mulai memainkan lagu instrumental dengan gitar akustik Trisna. Beberapa komposisi gitar Jazz standar acak yang sempat gue pelajari waktu gue kuliah di Ostrali. “Tau gak? Coki itu baik banget deh Dik…. “ Trisna mulai berguman pelan, lalu dia mulai bercerita berbagai macam kenangan indah mereka. Bagaimana mereka mulai saling suka, Coki ngajarin maen gitar, tempat mereka sering jalan, sikap perhatian Coki, dan semua hal manis serta betapa perfect nya Coki sebagai cowok bagi Trisna. Apalagi kisah percintaan mereka terjadi saat masa SMA yang belum terlalu banyak terkikis berbagai pikiran dan tuntutan kewajiban. Di masa segalanya begitu excited dan menggebu-gebu penuh keceriaan. “….Lalu tiba-tiba Coki pergi gitu aja, ….dia ninggalin gue tanpa sempat ngucapin kata-kata perpisahan” lanjut Trisna kembali sendu, air mata kembali menetes di matanya. Gue bisa ikut merasakan kesedihannya dan himpitan rasa sesak didada gue. Mungkin juga gejala asma sih. Trisna berhenti bercerita. Dia berjalan kearah jendela dengan gelisah. Dia memandang ke luar jendela. “Lo gak apa-apa kan, Tris?” gue bertanya khawatir. “Waktu kecil gue dijejelin film-film princess Disney. Gue selalu nyari cowok yang bisa bikin gue berasa kayak putri-putri di film Disney itu. Cuma Coki yang bisa sesempurna seperti pangeran di film-film Disney itu. Gue udah coba berusaha ‘move-on’ tapi semua cowok dalam hidup gue semuanya jelek dan bego” “Termasuk gue dong?” “Terutama lo” kata Trisna enteng. Sebelum gue sempet protes Trina melanjutkan kalimatnya, “Gue ini susah jatuh cinta Dika, hati gue sekeras es. Es yang dilapisi besi adamantium yang super kuat seperti cakarnya Wolverine. Kokoh dan gak bisa retak. “Keuntungannya gue jadi jarang galau karena cowok. Tapi ketika gue beneran jatuh cinta, bisa sangat-sangat dahsyat. Kaya kena mantra Avada Kedavra nya Voldermort. ….BAM!!!” Dari belakang, gue liat Trisna menunduk dan menyeka air matanya. “Gue …gue gak tau kenapa gue musti ceritain ini ke elo” “Kalau lo nggak mau cerita gak apa-apa kok Tris, gue ngerti” “Gak!, gue harus ngeluarin ini dari dada gue” Trisna bergerak kearah lemarinya, dan mengeluarkan satu botol Vodka Absolute. Dia lalu menuangkannya kegelas kaca. Tatapan matanya terlihat sendu. Ada butir air mata bening yang menggumpal dan belum jatuh. Mata Trisna berkedip, lalu bulir itu jatuh meninggalkan bekas di sekujur pipinya. Dia menyekanya.
Trisna menenggak strike setengah gelas vodka, lalu ngengir lebar menahan panas panas alkohol di tenggorokannya. “Aaahhh, lo mau Dik?” “Gak, gue gak biasa minum Tris” tolak gue. “Ayolah dikit aja bro, buat solidaritas aja” kata Trisna cengengesan ala gaya preman terminal. Trisna mengambil gelas lain dan menuangkan. Dia juga mengisi lagi gelasnya. Trisna menyerahkan satu gelas ke muka gue. Gue bengong ragu. “Ayolah sekali aja, demi persahabatan kita” rayu Trisna agak mendesak sambil tersenyum geli. Apa coba hubungannya antara minum vodaka sama persahabatan? Tapi gue terima juga gelas pemberian Trisna itu. “Buat semua orang patah hati, cheers” kata Trisna sambil mengacungkan gelasnya mengajak tos Isi di gelas gue sedikit, gak sampai seperempat, jadi gue langsung tenggak dengan harapan biar gak terlalu terasa dan cepat beres selesai. “AAAKHHH!” gue langsung megap-megap sambil ngipas-ngipasin mulut gue karena kepanasan kayak nelen sprirtus (padahal gue gak pernah nyoba rasa spirtus). Biarpun jarang, gue pernah nyoba nyicipin minum wine, cocktail, wiskey cola, Johnny Walker sampai Jacks Daniels tapi belom pernah vodka. Trisna ngakak ngetawain gue. Lalu dia ngambilin Diet Coke kaleng dari kulkas mini kamarnya buat gue. Gue nenggak Diet Coke itu, mencoba menetralisir efek panas vodka. Gue masih megap-megap, tampang gak ganteng gue makin drastis turun tambah jelek aja. Sementara gue liat Trisna malah udah menuang vodka lagi dan menelan tenggakan ke tiga dari gelasnya. “Jika suatu saat aku meninggalkanmu, apapun alasannya, jangan pernah membenciku. Namun, bencilah perpisahannya.” Trisna berguman. Gue tahu itu pesan terakhir yang Coki sampaikan di Vlog nya. Semasa pacaran Trisna dan Coki memang punya hobby tukeran video. “Menurut lo, apa arti kalimat itu?” tanya Trisna. Terus terang gue bingung dan takut jadi salah ngomong. “Dika, lo dengerin gak sih??!” “Eh, iya…., emm ….mungkin maksudnya agar lo selalu jadiin dia sebagai bagian indah di hati lo.Tapi gue yakin Coki mau lo bisa ikhlasin dia, biar dia tenang dan ikut bahagia disana” jawab gue. “Biarpun Andrea batalin pernikahan lo tiba-tiba, se-enggak-enggak nya Andrea ngasih alasan, …dan kalo mau lo masih bisa terus usaha lagi deketin dia. Tapi Coki diambil tiba-tiba gitu aja ….We didn’t have a chance to say goodbye” Trina berguman kesal. Trisna lalu langsung menenggak Absolute Vodka langsung dari botolnya. “Kita gak bisa menolak takdir Trisna, semua udah digariskan Tuhan” bujuk gue standard. “Iya gue tahu Dik, tapi kok berat banget ya? Kayaknya semakin gue berusaha ikhlasin dia, bayangan Coki malah makin sering muncul di mimpi gue dan kembali menguak luka gue lagi” Trisna menjambak-jambak rambutnya sendiri. “Pelan-pelan aja Tris, jangan dipaksain” kata gue mengutip sedikit dari band Kotak. Trisna bagun dari sisi ranjangnya dan menghampiri gue yang duduk di kursi meja belajarnya. Trisna narik gue berdiri. Gue sempet bingung dan takut bakal digampar Trisna karena salah ngomong. Tapi Trisna malah meluk gue dan bersandar di bahu gue.
Mungkin harusnya di dada gue, tapi karena untuk ukuran cowok gue termasuk pendek jadi kepala Trisna nemplok di bahu gue. Dengan agak ragu dan hati-hari gue bales meluk pinggang Trisna dan mengusap-usap rambutnya. “Dika…” “Ya..” “Makasih ya..” “Iya Tris, sama-sama” “Dika…” “Ya, Tris?” “Lo pake parfum emak lo ya, kok bau tante-tante gini sih?” “Tadi gue buru-buru Tris, gue sempet salah nyemprotin hairspray dikit ke baju jadi nyampur, mau ganti baju males” “Ngapain lo punya hairspray emak-emak?” “Gak tau, tadi ada di meja kamar gue, mungkin punya nyokap gue ketinggalan” “Dika…” “Ya, Trisna”
“Lo konak ya?” Anjrit! What The Fffff!
Trisna tau-tau ngelepas pelukannya dan dorong gue sampe hampir kejengkang. “Ih najis lo Dika!, Victor! otak mesum!” maki Trisna, tapi sambil ketawa-tawa cekikikan. Lalu Trisna nunjukin ekspresi muka jijik yang justru bikin dia jadi terlihat tambah lucu and cute banget. “Ini efek dari Vodka lo!” gue mencari alasan untuk membela harga diri gue yang tiba-tiba terasa hancur lebur.
“Kapan novel lo terbit Dik? Jangan lupa mampir promo dan bedah di klub buku gue, ya nanti” Trisna (untungnya) bertanya mengalihkan topik sebelum jadi makin awkward “Ya, atur aja Tris, lu contact Mbak Windy aja, atur jadwal yang pas, ntar gue mampir. Lagian kalo gue nolak bakalan lo seret-seret juga. Walaupun klub buku lo kebanyakan fanatik fans Harry Potter dan Lord of the Rings yang beda banget sama jenis tulisan novel gue” sahut gue * * * Siang itu Trisna kembali menjadi sosok yang lincah, ceria dan konyol. Trisna ngajak gue makan siang di rumahnya. Rumah gede nya sepi karena semua anggota keluarganya sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya asisten rumah tangga dan Mr.Marco sang sang satpam yang berjaga di post depan dekat gerbang. Sehabis makan kita kembali naik ke kamar Trisna dan nonton Harry Potter And The Half-Blood Prince yang diputar ulang di HBO HD channel tv kamarnya. Sambil ngobrol random dan ngemil Pringles Potato Chips. Kami duduk di lantai yang dilapisi karpet bulu empuk.
Trisna berapa kali menguap lebar mengantuk, matanya memang terlihat sayu dan lelah. “Lo kayaknya butuh istirahat Tris, gue balik dulu aja ya?” kata gue. “Jangan ntar aja, gue lagi butuh temen Dik” sahut Trisna cuek dan tetap mengamati dengan serius film favoritnya yang entah sudah berapa ribu kali dia tonton ulang itu. “Tau gak Dik, gue selalu sedih banget, tiap lihat Dumbledore mati di episode yang ini” kata Trisna lagi. “Lah lo, udah tau lagi galau kenapa sih malah nonton film yang bakal bikin lo tambah baper” protes gue. “Ih, gak peka banget sih lo. Udah diem aja temenin gue, jangan banyak protes!” perintah Trisna antara ngambek manja dan judes gak jelas. Saat bagian kakek kepala sekolah sihir Hogwarts itu mati, Trisna memeluk erat bantal besar angry bird nya dan berulang kali mengusap air mata nya dengan kertas tissue, tapi tak terdengar isakan. Trisna menangis dalam keheningannya.
Gue pengen meluk Trisna buat menguatkannya sekalian sedikit modus, tapi gue takut Trisna malah salah sangka dan ngamuk. Jadi gue diam aja, membiarkannya. Saat gue jadi serius nonton bagian akhir film, terdengar suara dengkuran. Waktu gue tengok Trisna udah tertidur pulas dengan bibir terbuka menyenandungkan alunan symphony ngoroknya. Gue membelai-belai sambil agak merapikan rambut panjang Trisna yang agak kusut, lalu menghapus bekas alur aliran air mata di pipinya yang lembut dan halus.
Gue terus memandangi wajah Trisna terlihat sangat manis. ’Andai saja, lo mau ngasih kesempatan buka hati lo buat gue Trisna, gue pasti bakal seneng banget’, gue berkata dalam hati.
Dengan gemetaran gak jelas gue me-nekat-kan diri mengecup pipi Trisna yang merona merah alamai tanpa blush on, terasa begitu hangat, halus dan lembut.
Detak jantung gue terpacu makin cepat, paru-paru gue tiba-tiba seperti terjangkit virus bengek.
Wajah gue kembali semakin mendekati wajah Trisna, nafas Trisna bisa gue rasakan berhembus hangat dan agak menebarkan aroma campuran antara bau vodka dan makan siang tadi.
Dan akhirnya gue mencium bibir Trisna.
Sebuah ciuman ringan singkat yang hanya menempel sedikit. Tapi hampir bikin jantung gue terasa mau meledak, gue merasa demam dan keringat dingin mulai mengucur di pelipis gue.
Ciuman colongan remeh yang sensasinya lebih dasyat dari semua ingatan pengalaman bokep gue. Dengan aroma aneh yang gue rasa lebih harum daripada semua sample pafum yang pernah disodorkan semua mbak-mbak SPG di Mall. * * *
Gue meninggalkan Trisna yang tertidur damai dengan nyenyak. Gue gak berani dan gak tega berbuat lebih cabul kepada Trisna. Ciuman singkat itu sudah cukup, dan gue percaya akan selalu jadi bagian memory indah yang gue kenang sepanjang hidup gue.
Ya, memang kentang. Tapi itu adalah kentang kualitas terbaik bagi gue. Mungkin rasa “gak tega” itu adalah bagian dari rasa cinta yang sesungguhnya. Entahlah.
Entah kenapa juga gue merasa mengetahui bahwa gue bukan pasangan yang sebenarnya buat Trisna.
Gue dan Trisna hanya sebatas teman, mungkin bisa dibilang sahabat, karena Trisna sudah percaya menuangkan perasaan terdalamnya pada Coki ke gue.
Gue dan Trisna sudah saling berbagi bagian rahasia terpahit yang tidak bisa diceritakan kepada sembarang Orang.
Semoga kamu menemukan pengganti Coki, Trisna.
******
The Hidden Story of Kinara Kinara adalah teman mantan gue Andrea, yah lebih tepatnya rekan kerja karena mereka satu kantor.
Sebenarnya antara gue dan Kinara hanya sesekali bertemu, alias jarang. Dan lebih sering secara nggak sengaja. Biarpun tergolong katagori cowok minus dibawah standard ganteng, gue termasuk cowok yang sangat pede saat berhadapan dengan cewek-cewek cantik. Daftar mantan, ttm, teman dan kenalan cewek gue bisa membuktikan fakta itu. Tapi pesona kecantikan Kinara ini benar-benar kebangetan. Kinara adalah sedikit dari spesies cewek langka yang bisa membuat cowok pede kayak gue jadi bisa merasa minder. Ketimpangan jenjang antara level kejelekan gue dan level kecantikan Kirana terlalu jauh jaraknya.
Kinara tidak menunjukkan pesona sex appeal yang terlalu mencolok, sebagai wanita secara fisik gue yakin banyak cowok yang bisa menemukan kekurangan pada Kinara. Kinara agak kurus, dia juga tidak terlalu tinggi semampai seperti model catwalk atau peserta ajang-ajang ratu kecantikan.
Kinara kira-kira hanya sepantaran tinggi gue yang memang ditakdirkan kutet, untungnya Kinara jarang memakai high-heels. Namun walaupun tidak tinggi, bentuk tubuh Kinara sangatlah proporsional sempurna hingga cocok memakai mode pakaian apapun tanpa harus repot mengakali dengan berbagai triks mix and match. Kinara seperti punya aura alami misterius yang berkesan“excusive limited special edition”.
Yah, ….gitu deh susah jabarinnya.
Bagaikan putri dari negri dongeng Kinara juga sangat ramah kepada siapa pun. Kinara gadis mandiri yang cerdas tapi sekaligus juga lugu dan menggemaskan. * * *
Pada suatu hari entah ada meteor jatuh di mana, tiba-tiba Kirana Whatsapps gue ngajak ketemuan, tentu saja gue sambut dengan penuh suka cita. Gue sampe bengong lama dan nyubit-nyubit diri sendiri buat nge-yakinin ini bukanlah sebuah mimpi. Di malam minggu yang sudah disepakati gue bertemu Kinara di sebuah Café. Kinara lebih mempesona dari bayangan gue yang udah gue khayalin setinggi mungkin sebelumnya di perjalanan. Dia mengenakan sweater coklat, rok lebar dibawah lutut berwarna hitam dan sepatu lepek santai, tapi entah kenapa Kinara bagaikan bidadari yang bikin dengkul gue mendadak lemes dan ciut.
Selayaknya umumnya orang yang kena sindrom minder, gue berusaha jaim dan se-cool mungkin. Gue dan Kinara sama-sama memesan cheese cake, gue pesen cappucino latte dan Kinara memesan Juice alpukat.
Sambil menikmati hidangan, kami bercakap-cakap ringan tentang hal-hal umum, sampai akhirnya Kinara mulai mengungkapkan tujuannya ingin bertemu gue. “Mas Dika belum jual kan, apartemen Mas yang di Belleza Permata Hijau?” tanya Kinara “Belum, kenapa? Kamu mau beli Kinar?” gue malah balik bertanya “Hahaha, aku sih belum mampu beli apartemen Mas Dika” Kinara menjawab sambil tersenyum lebar. Senyuman Kinara membuat capucinno yang sedang gue emut pake sedotan terasa pahit karena kalah manis. Tiba-tiba gue merasa takut kena diabetes karena senyuman Kinara.
“Mas Dika nempatin apartemen itu? atau udah disewain ke orang lain?” “Sempet disewa Tante Aline temennya Mama aku, tapi udah hampir 2 bulan gak lagi, dia udah pindah ke Denmark ikut suami baru nya” gue menjelaskan. “Memangnya ada yang mau nyewa, Kinar? Kinar memutar-mutar sedotan di gelas juice alpukatnya yang hampir habis, seperti sedang memikirkan menyusun kata-kata yang pas untuk diungkapkan. “Emm…. begini, mulai senin depan aku pindah kerja di kantor Pengacara daerah Permata Hijau, kejauhan kalo aku harus bolak-balik ke rumah. Sebenarnya tadinya aku mau cari rumah kost aja yang nyaman tapi gak sempat karena agak mendadak, terus Andrea nyaranin aku ngomong ke Mas Dika. Aku cuma perlu sementara beberapa hari aja kok, sampai aku nemu kost yang cocok dan dekat….” Kinara menjelaskan, tapi sepertinya masih menggantung. “Oh!, Ya udah gak apa-apa Kinar, pake aja” kata gue. “Eeeemmm ….tapi kayaknya aku gak mampu bayar harga standard sewa apartemen di Belleza deh” Kinara seperti agak ragu ngomongnya. “Ya elah, santai aja lagi Kinara, sama temen sih harus saling tolong-menolong, soal harga gak usah dipikirin” kata gue dengan sok cool. * * *
Bisa menolong cewek secantik Kinara adalah kebahagian buat cowok. Budi adalah kesempatan terbaik untuk bisa lebih dekat. Itu adalah rumus standard, makanya banyak cowok rela antar-jemput jauh menerpa hujan badai. Ya apartemen gue di Belleza adalah, apartemen yang sudah gue persiapkan tahun lalu sebagai tempat awal gue dan Andrea akan menempuh hidup baru sebagai pasutri. Tapi takdir menemtukan batal secara sepihak karena Andrea lebih memilih putus dan pacaran sama James si dokter ganteng yang punya rumah sakit. Sebenarnya gue udah lama pengen jual apartemen itu, tapi apartemen itu selalu membuat gue terbayang-bayang sama sosok seorang cewek.
Bukan Andrea mantan calon istri gue itu, melainkan sosok seorang wanita STW bernama Feni Rose. Ya, Tante Feni Rose yang selalu rajin mengingatkan gue tentang pentingnya investasi dan kalimat sakralnya yang selalu dia ucapkan tiap weekend di salah satu stasiun tv: “Ingat Senin harga naik!” Tergiur janji manis dari Tante STW bernama Feni Rose itu setiap hari Senin tiba, gue merasa jadi lebih kaya dari minggu sebelumnya. Hal itu lah yang membuat gue menahan investasi gue itu, sampai Pemerintah RI akhirnya memutuskan untuk menghapus hari Senin dari sistem penanggalan di negeri ini. * * *
Malam itu hati gue berbunga-bunga, padahal gak jelas juga kenapa. Kinara kan cuma mau nyewa sebentar apartemen gue bukannya lantas mau gue pacarin. Setelah mengobrol-ngobrol sebentar, Kinara pamit mau pulang. Gue menawarkan diri untuk mengantar tapi Kinara bawa mobil sendiri, kita janjian besok Minggu sore di Belleza Permata hijau. Sepertinya Kinara berasal dari keluarga yang cukup berada, tapi Kinara lebih ingin mandiri. Memang menyewa apartemen Belleza termasuk boros dan tidak terlalu penting jika sekedar sebagai tempat kost sendirian. Sikap mandiri dan tidak manja Kinara itu membuat gue semakin kagum kepada nya.
Minggu pagi besoknya, gue udah duluan ke apartemen gue di Belleza Permata Hijau, sekalian memeriksa dan memastikan semuanya dalam keadaan baik. Sebelumnya gue cukup rutin mampir ke sini. Sedikit kenangan pahit akan Andrea masih terasa menyengat di dalam hati gue. Kinara nelpon jam 3.30 sore, udah mau sampai. Gue turun tungguin di bawah. Kinara datang bawa Pajero Sport Dakkar warna putih, aneh juga liat cewek cute abis kayak dia bawa mobil gede yang berkesan macho itu.
Gue bantuin Kinara nurunin travel bag nya dan langsung ngajak dia naik ke kamar apartemen gue. “Wah aku gak nyangka segede ini” Kinara memandang sekeliling
“Ah ini termasuk type kecil standard, cuma satu kamar tidur” gue merendah
“Emmm…. kayaknya kegedean deh buat aku, gak jadi aja deh Mas Dika” kata Kinara tampak ragu sambil menggigit bibirnya. “Loh kok gitu sih?…. gak apa-apa coba aja dulu” gue mendesak dengan wajah memelas. Gue menyeret travel bag Kinara kedalam kamar tidur, lalu bagaikan seorang agent marketing profesional gue menjelaskan dan menunjukkan tiap sisi apartemen. “Mas Dika, kita belum sepakat loh, soal berapa harga sewa yang harus aku bayar?” tanya Kinara “Udah gampang, gak usah dipikirin” sahut gue “Gak bisa begitu dong!” Kinara protes “Terserah kamu aja deh Kinar” “Gak boleh begitu Mas Dika” “Ya udah, kamu bayar aja senilai 10% gaji pertama kamu nanti di kantor baru kamu” “10% dari gaji aku yang ditawarkan itu kecil loh Mas Dika” “Gak apa-apa Kinara, itung-itung bantuin jaga dan ngurusin apartemen aku, daripada jarang di tengok” “20% gaji aku untuk harga sewa, 1 minggu aja” tawar Kinara. “Kamu tuh aneh deh, nawar kok lebih tinggi” gue ketawa “Deal gak Mas Dika?” Kinara menatap gue dengan ekspresi wajah serius. “Oke deh, deal” Kita pun bersalaman dan saling bertukar senyuman. Gue menemani Kirana membereskan barang bawaannya yang tidak banyak. Hanya beberapa helai pakaian dan perabotan kosmetika cewek.
Menjelang malam gue mengajak Kinara makan malam di sebuah restauran steak di daerah situ. Obrolan kami masih agak terasa canggung tapi cukup mengalir dengan saling respon yang baik.
Selesai makan gue sempat formalitas melaporkan ke pengurus apartemen bahawa untuk beberapa hari apatemen gue akan ditempati Kinara yang gue akui sebagai saudara, lalu gue temani Kinara kembali ke kamar apartemen. Gue sebenarnya masih sangat ingin berlama-lama bersama Kinara, tapi jadi gak enak juga dan ketara banget mupeng nya, jadi gue pun menyerahkan cardkey unit apartemen gue kepada Kinara. “Ya udah ya Kinar, aku pulang dulu. Telpon aku aja kalau ada apa-apa” gue pamit. “Makasih banyak ya Mas Dika” Kinara menerima cardkey sambil tersenyum manis banget. “Iya, masama” “Maaf ya, aku udah ngerepotin Mas Dika” “Eh, enggak kok Kirar, beneran. Aku senang kok bisa bantu kamu”
Sedikit jurus modus SSI awal standard mulai gue keluarin lengkap dengan topeng muka yang gue usahakan terlihat serius dan setulus mungkin. * * * Hari- hari berikutnya kecanggungan antara gue dan Kinara dengan cepat mencair. Kita jadi makin akrab dan lebih dekat sebagai teman.
Dengan berbagai alasan gue selalu berusaha mencari kesempatan untuk bertemu Kinara. Anterin makanan, kebetulan lewat, jemput, mau ganti bohlam, ada dvd bagus ,…apa aja.
Kinara pun memberikan jalan lampu hijau dengan baik dan gue juga terus menjaga batas kesopanan dan kewajaran sebagai seorang teman yang baik untuk dia.
Gue terus mendesak Kinara agar gak usah pindah ke kost dan tetap memakai apartemen gue. Gue selalu berusaha sebisanya berlama-lama bersama Kinara dan pulang semalam mungkin jika ada kesempatan berkunjung ke apartemen. Tapi tentu tetap dengan bersaha wajar, sopan dan tetap ‘jaim’ .
* * * Sabtu malam Minggu hari ke 28,
Pulang kerja gue mengajak Kinara Dinner di restauran ‘Daeng Naba’ cabang Pasar Santa, menu andalannya masakan khas Makasar. Kinara memesan Iga bakar lada hitam dan gue memesan Sop Konro.
Selesai makan dan ngobrol-ngobrol gue nganterin Kinara pulang ke apartemen Belleza. “Makasih ya, Kinar udah nemenin aku makan, aku pamit pulang ya” kata gue setibanya di depan pintu apartemen. “Ada urusan ya Mas Dika? Kok buru-buru sih, gak mampir dulu nih?” kata Kinara sambil tersenyum manis banget. “Eeemm…., gak ada sih sebenarnya cuma mau nonton El Clasico dirumah” sahut gue sambil reflek sedikit garuk-garuk kepala tanpa sebab dan tujuan, cuma kebiasaan aja kalo gue gugup. “El Clasico, itu film baru ya, Mas Dika?” “Bukan Kinar, El Casico itu pertandingan bola klasik antara musuh bebuyutan Real Madrid lawan Barca” “Oh, kayak film dokumenter hitam putih gitu ya?” GUBRAKK!
“Bukan Kinar, siaran langsung” “Jadi mereka musuhannya baru-baru ini ya?”
@#%^&*())????$$!*!^!^** “Udah lama Kinar, makanya jadi pertemuan klasik” “Oh, gitu” Kinara ngangguk-ngangguk serius seperti baru paham. “Nonton disini aja Mas Dika, sambil temenin aku dulu” HAH! Serius nih?? “Boleh?” tanya gue rada tulalit “Hahaha, ya boleh lah” Kinar tertawa. ***
Akhirnya gue pun nonton siaran langsung El Classico di apartemen bersama Kinara.
Sepanjang nonton gue teriak-teriak seru gak karuan, Kinara diam saja sambil sesekali senyum. Sampai akhirnya dia nanya ke gue
“Itu kalau ‘offside’ artinya apa?”
“Itu artinya kalau pemain depan kita ada ada di depan pemain terakhir lawan ketika teman kita ngoper bola” jelas gue. “Oh gitu” Kinara diam sebentar, seperti sedang berusaha mencerna kalimat yang gue katakan. Dia lalu bertanya lagi, “Gimana, gimana?” “Pokoknya gitu deh” kata gue, bingung gimana cara menjelaskannya lagi. Beberapa menit kemudian Kinara kembali bertanya, “Kalau kartu kuning artinya hati-hati ya?” “Bukan itu artinya pelanggaran” “Jadi kalau pelanggaran wasitnya ngasih kartu kuning ke pemain nya?” tanya Kinara. Gue mengangguk Kinara berhenti sebentar, lalu melanjutkan bertanya, “Memang kartunya gak habis kalau dikasih-kasih gitu?” “Kartunya gak beneran dikasih, tapi dikasih liat doang. Abis itu dikantongin lagi” “Kalau kartu merah?” “Itu artinya pelanggaran berat, pemain yang kena harus keluar lapangan” “Kartu hijau, ada gak Mas” “Gak ada Kinara” jawab gue mulai stress. “Nah, ‘offside’ itu kayak gitu barusan!” kata gue sambil menunjuk TV. “Oh, sekarang aku ngerti” kata Kinara sambil tersenyum senang. “Tapi bukannya tadi masih ada pemain belakang di depan Christiano Ronaldo, gak ‘offside’ dong!” protes Kinara. “Siapa? Gak ada ah, aku gak lihat!” gue balik bertanya “Itu kipernya Barca kan masih di depannya Christiano Ronaldo, Mas Dika” Gue reflek menepuk jidat gue. “Kenapa Mas Dika?” Kinara tampak bingung “Ada nyamuk Kinara” Gue beralasan
* * * Pertandingan hampir usai dengan skor 3-2 untuk Barcelona ketika Kinara bertanya, “Boleh jujur gak Mas Dika?” Gue langsung deg-deg kan dan entah kenapa jadi tiba-tiba ‘konak’ dengernya “Emmm…. Kenapa Kinar?” tanya gue dengan suara parau nahan gejolak dadakan yang tidak beralasan. “Kemarin aku baru nonton ‘Conjuring’ sama sepupu aku, terus terang aku masih agak takut Mas…” kata Kinara dengan nada galau dan ragu Kita sama-sama diam, sampai akhirnya Kinara ngomong lagi, “Boleh gak, aku minta tolong Mas Dika temenin aku malam ini?. Aku tidur di sofa deh biar Mas Dika yang tidur dikamar” “Aduh jadi malu, udah deh gak usah Mas. Maaf, konyol banget yah aku ini kayak anak kecil aja” lanjut Kinara lagi dengan agak panik sendiri. “Eh gak apa-apa Kinar, beneran. Biar aku yang tidur di sofa” kata gue. Perdebatan kecil selanjutnya pun jadi terbalik. Kinara yang terus nolak batalin permintaannya dan gue yang terus desak yakinin gak apa-apa mau nemenin Kinara nginep. “Apa aku anterin kamu pulang kerumah kamu aja, biar kamu gak takut sendirian?” tanya gue memberi alternatif solusi. “Rumah aku juga lagi sepi Mas Dika, keluargaku sedang liburan ke Korea, hadiah ultah adik aku yang gila Kpop dan pengen nonton langsung SNSD live ” jawab Kinara. “Ya udah, aku temenin ya. Please,…. Jangan protes lagi” desak gue. Kinara pun mengangguk malu-malu. “Kok, Mas Dika baik banget sih sama aku?” tanya Kinara “Karena aku sayang sama kamu Kinara” Ups…damn! Kelepasan #panic mode on “Maksudnya?” Kinara menatap gue “Aaaaa…, eeeeh…., uuuuh…., yaaaa…. begitu deh”
#hyper panic mode activated “Ini maksudnya kamu ‘nembak’ aku bukan sih?” tanya Kinara lagi. OMG baru kali ini Kinara nyebut gue pake kata ‘kamu’ bukan ‘Mas Dika’ “Salah ya Kinar? Maaf ya!” gue lemes dan bersiap mendapat SP penolakan. Gak biasanya gue secupu ini di depan cewek, tapi Kirana memang pengecualian special.
“Aku harap kita tetap berteman baik ya Kinar” kata gue lagi dengan lemas. Kinara tertawa, “Idih apaan sih kamu, belum juga dijawab, udah nyerah duluan” “Jjaa…. Jadi???” “mmm……, pikir-pikir dulu boleh kan?” kata Kinara sambil senyam-senyum jahil.
Hati gue campur aduk berjuta perasaan antara senang, bingung, penasaran, excited, galau dan gejala diare. Serius…. perut gue mules beneran.
Gue akhirnya ke WC dan beneran boker.
* * *
Selesai melepas hajad, Kinara udah masuk kamar tidur, gue pun berbaring bengong dan gelisah di sofa sambil gonta-ganti channel TV kabel dengan remote. Pintu kamar tidur kebuka sekitar 2 jam kemudian. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.15 WIB. Gue reflek bangun dari posisi berbaring ke posisi duduk.
Kinara memakai kaos kuning yang longgar, gue melongo terkesima kagum denger iler menetes di sudut bibir gue. “Mas Dika belum tidur?” tanya Kinara sambil menghampiri gue dan duduk di sofa samping gue. “Mikirin Kinar ya?” tanya Kinara lagi. “Eh, iya” jawab gue sedapetnya. “Beneran kamu serius sayang sama Kinar?” “Banget, … sayang banget!” jawab gue kayak orang idiot. Kinara tersenyum geli. “Ada syarat nya” kata Kinara “Apa???” “Kamu gak boleh nulis tentang kita di Novel kamu, boleh sekilas tapi jangan ditulis detail” lanjut Kinara. “Gitu doang?? …Oke, aku janji!” jawab gue cepat dan pasti. (Dan gue menepati janji gue itu, karena yang gue tulis di sini bukan lah novel gue) Gue memberanikan diri merapat ke Kinara, gue genggam jemarinya. “Jadi kamu terima aku?” gue bertanya, masih tidak percaya. “Tampar aku Kinar, buktiktikan ini bukan mimpi!”. seru gue lagi. Kinara tertawa geli “Apaan sih sok drama banget deh kamu” Tau-tau kemudian Kinara mengecup pipi gue, sedikit tapi rasanya gue kayak melayang.
“Lagi Kinar, aku masih belum percaya” kata gue. Kinara ngakak dan nimpuk gue pake bantal kursi.
Gue menarik Kinara dalam rangkulan gue, Kinara gak mengelak malah dia merebahkan kepalanya di bahu gue, gue membelai-belai rambut hitam panjangnya yang halus dengan hati bahagia berbunga-bunga. “Kenapa sih kamu gak pernah nulis novel romantis? aku kan suka novel romantis” tanya Kinara, setelah beberapa lama kami saling terdiam.
“Aku gak bakat nulis novel yang serius, itu susah, harus bisa mendalami perasaan karakter tokoh khayalannya” jawab gue “Lagian novel romantis dewasa biasanya ada adegan panas, aku gak bakat nulis soal itu” lanjut gue. Kinara tertawa
“Masa sih kamu gak punya pengalaman soal itu? Bohong banget” pancing Kinara “Ya gak munafik ada, tapi cerita romantis biasanya hampir pasti selalu dari sudut pandang tokoh cewek, mau penulisnya cowok tetep aj harus bisa mengkhayal ngerasaain jadi cewek biar dapet greget feel nya dan aku belom mampu mengkhayal jadi cewek” gue menjelaskan. “Kenapa begitu?” “Karena cowok itu simple. Cowok cuma tau nama warna dasar sedangkan cewek bisa tau membagi jadi ribuan nama warna. Cowok cuma tau “enak” sedangkan sudut pandang cewek bisa menjabarkan lebih luas jadi ribuan kata puitis. Walalupun menurut aku kebanyakan sebenarnya bukan dari sudut pandang perasaan wanita tapi lebih ke imajinasi khayalan lelaki atas ke kekaguman wanita yang gak berdaya atas kehebatan dan superior-an sang lelaki di ranjang ” “Oh gitu” sahut Kinara sambil tersenyum-senyum geli denger penjelasan gue yang sok pakar. Gue perlahan mendekatkan wajah gue ke wajah cantik Kinara, Kinara diem aja. Nafas gue terasa berat diselimuti gejolak nafsu.
Gue nekat nyosor nyium bibirnya dengan lembut, rasanya lembut dan manis kayak strawberry. Kinara agak kaget tapi gak ada gejala penolakan.
Gue cium lagi bibir Kinara lebih lama dan Kinara sekarang membalas lembut. Kami saling melumat dengan syahdu dan penuh perasaan. Lagi dan lagi.
Tidak ada dialog-dialog nakal menggoda, tidak ada erangan dan rintihan mendayu-dayu liar merangsang imajinasi. Hanya nafas yang berhembus hangat dalam desahan halus yang samar-samar. Ciuman gue menelusuri leher jenjang Kinara sambil membelai-belai punggungnya. “Dika…” Kinara berbisik Gue langsung menghentikan aksi gue. Gue sadar bahwa gue agak terlalu lepas kontrol dan terburu-buru.
“Maaf Kinar, aku lepas kontrol” kata gue menyesal.
“Iya, Dika kamu terlalu terburu-buru” kata Kinara sambil tersenyum. “Maaf” gue cuma bisa menunduk malu
Kinara lalu tertawa.
“Kamu terlalu-terburu-buru nembak aku Dika, kamu belum benar-benar kenal aku” kata Kinara “Maksudnya?” gue bingung. “Aku tahu kamu menganggap aku seperti seorang gadis cantik yang polos, memang banyak yang melihat aku seperti itu. Aku sudah mengenal seks sejak aku berusia 15 tahun waktu aku masih tinggal di Swedia. Aku bukan pecandu seks tapi aku bukan gadis polos yang terikat tabu dan adat istiadat timur. Aku dibesarkan sebagai wanita modern yang mandiri. “Nah sekarang apa setelah kamu tahu aku bukan seperti bidadari yang suci yang dibayangkan apakah kamu masih mau jadi pacar aku?” Kata Kinara dengan santai Gue bengong beberapa detik. “Aku juga gak suci kok Kinar, aku ini juga penuh lumpur tapi aku tetap percaya dan sayang sama kamu” jawab gue.
Kinara tersenyum dan menggandeng gue masuk kedalam kamar tidur. Kinara lalu melepaskan pakaian yang melekat di tubuh indah langsing mulus nya satu per satu. Gue cuma bengong takjub.
Kinara berlutut dan dalam waktu singkat celana jeans gue sudah melorot berikut celana dalam gue. Lalu baju gue juga dilepaskan Kinara.
Kinara membimbing gue naik keranjang, gue berbaring bugil dan tegang sekujur badan. Gue menggeliat waktu bibir lembut Kinara langsung mulai mengulum batang penis gue, rongga mulutnya yang basah dan hangat mulai mengocok-ngocok penis gue, lidahnya yang lembut ikut lincah menjilat-jilati ujung rudal penis gue.
Sensasi rasanya dasyat banget antara rasi geli dan desir rangsangan yang bikin seluruh badan gue merinding disko. Gue juga heran sendiri gak nyangka gue bisa tahan dan gak muncrat ejakulasi dini. Kinara kemudian memasangkan kondom di batang penis gue. Kinara merangkak mengangkangi tubuh gue, dia menggenggam batang gue, mengarahkan dan menyusupkan masuk ke dalam liang vaginanya.
Rasanya luar biasa susah buat gue jelasin. Gak terlalu sempit tapi cengkaramannya terasa pas.
Kenikmatannya makin dasyat waktu Kinara mulai bergoyang memompa turun naik, walalupun dilapisi karet kondom, gue rasakan gesekan jepitan liang vagina memek sangat luar biasa.
Gue cuma pasrah merem melek keenakan sambil ngelus-ngelus ke 2 paha mulus Kinara.
Setelah entah berapa lama, gue membalik tubuh bugil Kinara telentang dibawah tindihan gue.
Gue susupin lagi “tongkat sakti” gue yang terlepas ke dalam liang vagina memek mungil Kinara.
Gantian gue yang ngenjot-ngenjot memompa liang vagina memek nikmat Kinara. Gundukan belahan memeknya terlihat mungil dan bersih hanya ditumbuhi sedikit bulu pubis halus di bagian atas.
Gak seberapa lama gue gak mampu lagi membendung desakan klimaks gue. Gue nyemprotin klimaks ejakulasi gue dengan deras beberapa kali. Lalu lemas, lega dan puas.
Gue menindih Kinara dan menciumi melumat bibirnya yang lembut.
“Makasih Kinara” bisik gue.
Kinara gak menjawab, hanya membelai-belai rambut gue
Gue dan Kinara gak banyak ngobrol lagi setelah itu. Kami sama-sama lelah dan ngantuk, jam dikamar juga sudah menunjukkan hampir pukul 4 pagi.
Kami membersihkan diri dan berpakaian, lalu tidur sambil berpelukan.
* * *
Gue dan Kinara hanya bertahan jadian selama sekita 3 bulan lebih dikit. 1 bulan pertama gue lewati bersama Kinara dengan sangat manis dan indah. Kami sempat beberapa kali ML jika sama-sama sedang mood dan ada kesempatan. Tapi tidak rutin dan wajib. Gue bahagia saat bersama Kinara pada semua aktifitas yang kami lakukan.
Memasuki bulan ke dua, hubungan antara gue dan Kinara mulai merenggang karena kami makin sibuk dengan urusan masing-masing. Gue cukup rutin roadshow keluar kota, Kinara juga makin sibuk dengan klien-klien kantor hukumnya.
Mungkin karena pengalaman gue udah punya firasat bahwa hubungan gue dan Kinara gak akan bisa bertahan lama, seiring makin jarangnya komunikasi dan pertemuan kita. Akhirnya gue dan Kinara putus baik-baik, gak lama setelah Kinara mengutarakan keputusannya untuk meneruskan S2 Hukumnya di Amrik.
Setelah resmi putus, walaupun makin jarang gue dan Kinara kadang masih berkomunikasi dengan baik. Gue dan Trisna juga masih bersahabat baik. Trisna sempat 2 kali jadian pacaran walaupun gak ada yang lama dan kayaknya dia gak serius, tapi gue senang melihat sahabat gue itu mulai membuka hatinya lagi
* * * Terkadang kita sadar saat sesuatu terlalu indah untuk kita miliki, kadang kita tahu keindahan hanya sebentar, kadang kita mendapatkan kenyataan tidak seindah khayalan dan ekspektasi, kadang kita juga tahu sejak awal bahwa kita akan terluka dan merasakan sakit. Tapi walau hanya sesesaat ada hal-hal yang layak untuk dijalani betapa pun resikonya.
Kadang beberapa luka terasa layak kita mikili sebagai bagian dari pengalaman terindah dalam hidup kita.
Beberapa luka bisa membuat kita tersenyum dan ingin mengulanginya walaupun harus terluka lagi.
THE END