Tinggi badanku 160cm, cukup tinggi untuk ukuran seorang wanita. Aku terlahir dari Mama yang adalah seorang wanita yang bertubuh tinggi dan montok, dan Papa yang bertubuh kurus, perpaduan ini membuatku mewarisi campuran perawakan mereka, perawakanku langsing dengan pantat yang montok berisi, dan sepasang payudara yang berukuran 34B, dengan puting yang kecil berwarna pink. Banyak yang bilang bahwa perawakanku seksi namun tidak berlebihan.
Ini adalah sebuah kisah yang terjadi saat aku berusia 22 tahun, sebuah kejadian yang mengubah hidupku dan membuka wawasanku tentang kehidupan seksual.
Aku dikenal sebagai pribadi yang polos yang tidak pernah macam-macam selama aku sekolah. Bahkan sewaktu kuliah di pun aku tidak pernah pacaran. Setalah aku lulus aku kembali ke Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan di ibukota.
“Udah harus ke kantor aja ya,” Aku menggeliat dengan agak malas mengingat hari ini adalah hari dimana aku harus lembur menyelesaikan banyak hal di akhir bulan. Dengan perlahan aku turun dari ranjang dan menuju ke kamar mandi. Dengan perlahan kunyalakan shower dan sembari menunggu suhu air aku melepaskan pakaian tidurku. “Kayaknya cukup nih..” Kataku sembari merasakan suhu air dengan tangan, perlahan aku masuk ke dalam bath up dan merasakan siraman shower hangat yang mengembalikan energi dan memberikan kesegaran tersendiri, perlahan aku mulai menyabuni bagian-bagian tubuhku yang mulus tanpa rambut. Ya, secara natural tubuhku mulus, mungkin faktor keturunan, hanya di area kemaluan saja yang ditumbuhi rambut-rambut halus tipis.
Usai mandi segera aku membalut tubuh dengan handuk dan menuju ke meja rias. Sembari mengeringkan rambutku yang panjang melewati bahu aku berpikir bahwa hari ini akan menjadi hari yang cukup panjang, mungkin ada baiknya aku menggunakan pakaian yang nyaman.
Kupilih blouse panjang berlengan panjang dan kupadukan dengan legging jeans biru kegemaranku dan sepasang sepatu flats. Paduan yang tidak berlebihan, santai, namun cocok untuk kerja, kebetulan memang perusahaan tempat aku bekerja mengijinkan pemakaian baju casual untuk ngantor. Aku sendiri memang bukan tipe wanita yang gemar mengenakan baju seksi, bukan tidak nyaman atau apa, tapi lebih kepada aku cenderung suka yang nyaman-nyaman saja.
Perjalanan ke kantor tidak memakan waktu lama, aku tiba pukul 07:45, jauh lebih awal dari jam masuk kantor, selesai memarkir mobil aku melakukan ritual aku yaitu make up di mobil. Make up simple adalah kegemaranku, yang penting terlihat segar. “Pagi Pak Rahman,” Sapaku kepada security kantor kami. “Wah pagi Non Amanda, sudah sampai aja, silakan Non,” Pak Rahman membukakan pintu dan aku masuk ke dalam gedung. Suasana kantor masih sangat lengang, beberapa teman-teman baru tiba dan masih duduk-duduk di meja masing-masing. Aku nyalakan komputer, memasang earphone dan segera mulai bekerja, “Moga-moga ngga perlu lembur deh,” pikirku sembari memasang alunan music supaya tidak terganggu.
Hari berlalu dengan cukup cepat, tanpa sadar jam di dinding kantor sudah menunjukan pukul 18:40. “Haduh, sudah jam segini, masih banyak lagi,” ujarku sembari meregangkan tubuh di kursi. “Man, ngga pulang? Aku duluan ya.” Ujar Mba nita, tetangga meja sebelahku. “OK Mba, aku setengah jam lagi deh, tanggung, lagian tol suka macet juga jam segini.” Kataku santai sembari melambaikan tangan. Yak tinggal lah aku sendirian di ruangan ini. Kantor ini cukup nyaman sehingga memang tidak perlu merasa takut atau apapun ketika harus lembur. Lagipula tower ini tidak hanya diisi oleh kami tapi masih banyak divisi lain yang masih aktif menyelesaikan pekerjaan, sehingga aku tenang-tenang saja.
“Sssttt.. Pak, sudah Pak, masih ada orang di luar,” suara seorang wanita terdengar mendesah, aku mengenali suara itu, itu adalah Ningsih, OL kantor kami, seorang gadis muda 19 tahun yang cukup manis dan rajin. “Iya Ning, sebentar lagi yah, tanggung…” Terdengar suara seorang pria yang aku kenali sebagai suara Pak Rahman, security kantor kami yang ramah. Rasa penasaran mendorongku mengintip melalui celah pintu pantry yang tidak tertutup rapat. Dan disitu kulihat Ningsih tergolek pasrah di meja makan dengan satu kaki menjuntai ke lantai, kaki nya yang satu ditekuk dan bertumpu di atas meja. Seragam Ningsih sudah tergeletak memamerkan bra berwarna krem yang dia kenakan, sementara celana dalam nya sudah entah kemana, rambut nya yang biasa diikat rapi sudah terurai. Dada Ningsih terlihat naik turun dengan napas tersengal. Tangan kiri nya menutup mulut nya sendiri sementara tangan kanan nya terlihat memegangi kepala Pak Rahman yang sedang asik di antara kedua paha Ningsih.
Tubuh Ningsih sudah lembab oleh keringat dan berkilau tertimpa cahaya neon Pantry yang kurasa sengaja sedikit dimatikan oleh mereka supaya tidak terlalu ketahuan. Terlihat Ningsih mendesah-desah tertahan, tangan nya menutup mulut nya sendiri sembari kepala nya mendongak. Aku tidak bisa melihat jelas apa yang Pak Rahman lakukan namun naluriku mendorongku untuk segera meninggalkan pemandangan itu.
Dengan cepat aku masuk ke salah satu bilik toilet, mengunci pintu, dan duduk dengan napas tidak teratur. Jantung aku berdegup dengan kencang. Aku sering mendengar suara-suara dari kamar Papa dan Mama sedari kecil, namun ini pertama kali nya aku melihat langsung adegan yang tidak bisa aku hapus dari memoriku. Ningsih yang bertubuh mungil sekitar 150cm, berkulit hitam manis khas perempuan jawa, sedang tergolek pasrah menikmati permainan Pak Rahman yang bertubuh tinggi besar dan berumur dua kali nya.
Nafasku mulai tenang, aku segera meloloskan celana aku untuk buang air kecil ketika aku sadari bahwa vaginaku melembab. “Ya ampun, masa aku ikut terangsang sih,” bisikku perlahan pada diri sendiri. Segera aku menuntaskan buang air kecil, menggeleng-gelengkan kepala seolah itu bisa membantuku menghilangkan bayangan ekspresi Ningsih dan aktivitas Pak Rahman. Usai mencuci tangan aku berjalan kembali ke mejaku, pintu pantry sudah tertutup rapat dan aku melihat Ningsih sedang membereskan meja-meja di sekitar mejaku.
“Eh Mba Manda, saya kira sudah pulang, kirain lupa matikan komputer.” Ujarnya dengan senyum manis nya yang khas. Pakaian nya sudah kembali lengkap dan rambut nya sudah kembali terikat rapih. “Eh, Ningsih, ng.. iya nih belum, sebentaran deh, Ningsih sudah mau pulang?” Jawabku berusaha tenang, padahal aku terus terbayang tubuh mungil nya yang telanjang, berkilau ditimpa cahaya neon. “Ngga kok Mba, saya masih beberes sedikit lagi, saya ke belakang ya Mba Manda.” Ujarnya tersenyum, mengangguk dan berjalan memasuki pantry. Aku hanya mampu tersenyum tipis membalas, lalu segera aku bersiap untuk pulang.
Aku memacu mobil ku pulang, jalanan yang lengang membuat perjalanan terasa cepat. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengalihkan perhatianku dari bayangan-bayangan adegan di dalam pantry. Tiba di rumah aku memarkir mobil di garasi, “malam Ma”, sapaku pada Mama yang masih duduk menonton TV di ruang tamu, “hey, sudah pulang, Mama tungguin kamu dari tadi, sudah makan?” Tanya mama sembari memelankan volume TV. “Sudah Ma,” jawabku, padahal siapa yang bisa makan dengan pikiran terganggu seperti ini. “Oh ya sudah, sana mandi dan istirahat, besok kamu pagi lagi kan? Nggak lembur lagi kan?” Tanya Mama. “Ng.. belum tahu Ma, ya sudah aku naik dulu ya Ma, mau mandi, rasanya lengket.” Jawabku cepat dan segera naik ke kamarku yang terletak di lantai dua.
Air shower mulai mengucur membasahi tubuhku dan aku menunduk membiarkan air membasahi kepala dan sekujur tubuhku, berharap ingatan barusan bisa hilang mengalir bersama air shower. Selesai mandi kubalutkan handuk dan keluar dari kamar mandi. Sejuknya AC membuatku merasa nyaman, aku duduk di meja rias sembari menyilangkan kaki dan mulai mengeringkan rambut. (Enak kan kalau make up simple, ngga usah ribet pakai pembersih hehehe..)
Sembari mengeringkan rambut aku memperhatikan tubuhku yang terbalut handuk. Perawakanku yang langsing membuat collar boneku terlihat dan memberikan kesan seksi, dengan pundak yang ideal dan tidak terlampau berotot memberikan kesan feminin dan sensual. Kumasukkan hair dryer ke laci dan berdiri sembari membuka handuk yang melilit tubuhku. Beberapa detik aku terdiam memandangi tubuh telanjangku di cermin dan saat itu juga kembali memori tubuh mulus Ningsih yang berkulit hitam manis hadir di ingatanku. Sejenak kupejamkan mata dan kembali duduk, tanpa sadar tangan kiriku mulai meraba payudara kananku. Aku sedikit tersentak, puting payudara yang sudah mengeras membuat rasa geli yang amat sangat ketika tersentuh. “Ya ampun, sudah lama sekali ya,” Pikirku, memang aku sudah lama tidak melakukan masturbasi, mungkin karena aku cenderung cuek dan tidak ada kejadian apapun di sekitar aku yang bisa memunculkan hasrat ini sampai dengan hari ini.
Aku berdiri dan merebahkan tubuhku di ranjang, dengan kaki menjuntai ke lantai. Kaki kananku mulai kutekuk ke atas bertumpu pada ranjang dengan posisi mengangkang, menirukan posisi Ningsih di meja makan pantry di kantor. Dengan posisi itu, terbukalah bibir vaginaku yang dihiasi rambut halus. Tangan kiriku terus memainkan payudara kananku sementara tangan kananku mulai membelai-belai lembut paha dalam kaki kananku, sesekali kubelai lembut selangkanganku tanpa menyentuh bibir vaginaku.
Tanpa sadar nafasku mulai tidak teratur dan pinggulku mulai bergerak kecil. “ohhh…sssss…” Desahku pelan. “Ya ampun, ini ngga baik… “ Pikirku, aku sungguh ingin menghentikan aktivitas ini namun sepertinya tubuhku bereaksi lain. Pinggulku terus bergerak-gerak, ke kanan, ke kiri, naik turun, menikmati belaian lembut jari jemariku di paha kananku. Sedikit demi sedikit aku mulai membelai rambut-rambut halus yang tumbuh di vaginaku, “ahhhhhh…. Sssssttt..” Tanpa sadar aku mengeluarkan desahan kegelian bercampur nikmat. Entah benar atau tidak tapi aku merasakan vaginaku mulai berdenyut-denyut lembut seiring dengan denyut jantungku yang semakin kencang.
Perlahan sembari menggigit bibir bagian bawahku dan memejamkan mata, jempol dan jari tengahku mulai membuka celah bibir labia vaginaku, spontan terasa sejuk nya hawa AC menerpa vaginaku yang membuatku bergidik merinding. Sejenak aku berhenti sambil terengah-engah perlahan, dadaku naik turun dengan tangan kiri yang sudah berpindah ke payudara kiriku, memainkan lembut putingku yang sudah mengeras. Dengan mata terpejam aku menengokkan wajah ke kiri, merasa malu dengan diriku sendiri, sembari telunjuk tangan kananku menyeruak masuk menyentuh klitorisku yang sudah sangat basah.
“ahhhhhgghhh…ennnggghhh…” desahku kuat merasakan aliran geli bagaikan aliran listrik yang merambat sampai ke leherku. Tanganku semakin kuat meremas payudaraku sembari telunjukku mengusap lembut klitorisku yang sudah basah. Merasa pegal dengan posisi ini, aku bangkit dan merebahkan diriku seluruhnya di atas kasur yang empuk. Kedua kakiku kutekuk dan mengangkang membuka seluruh akses ke vaginaku yang sudah semakin basah. Pikiranku semakin tidak menentu dan kembali kuusap klitorisku dengan telunjuk tangan kanan ku sembari tangan kiriku melakukan remasan-remasan pada payudara kiriku. Sembari memainkan putingku, kurasakan putingku semakin mengeras menandakan diriku sudah semakin terangsang. “ahhhh…..auuugghhh….ssstttt…” Desahan demi desahan keluar daru mulutku tanpa bias kucegah lagi sementara kumasukan telunjukku ke dalam vagina perawanku. Lama kelamaan kurasakan ada desakan yang hebat dari vaginaku, tubuhku menegang, “aaaahhh…ohhh…agggghhhh…”, pantatku naik dari ranjang sembari kuremas payudaraku dan menekan klitorisku, aku orgasme oleh jariku sendiri. Tubuhku rebah di ranjang, dapat kurasakan wajahku panas dan nafasku terengah-engah setelah mendapatkan gelombang orgasme yang sudah berbulan-bulan tidak kurasakan.
“Mannn, kamu udah tidur??” Tiba-tiba terdengar ketukan dan suara Mama di pintu, dengan kaget dan spontan kuhentikan aktifitasku dan duduk di tepi ranjang, “be..belum Ma, kenapa?” Jawabku sembari cepat-cepat mengenakan pakaian tidur, takut harus membuka pintu kamar. “Ngga apa-apa, Mama tinggalin kamu sandwich di kulkas ya, besok dibawa aja daripada makan siang di luar ya.” Ujar Mama. “o..ok Mam..” Jawabku gugup, “Duh mudah-mudahan ngga kedengeran suaraku barusan,” ujarku dalam hati. Tedengar langkah kaki Mama dan suara pintu kamar yang tertutup. “Aman..” Pikirku.
Sejenak aku melihat puting payudaraku yang masih tercetak jelas di baju tidur. Sembari menghela napas panjang, setengah terganggu, aku masuk ke dalam selimut dan mulai memejamkan mata. Mungkin karena perasaan yang memuncak dan vaginaku yang masih sensitif ikut tergesek-gesek guling selama tidur, membuat malam itu aku bermimpi, bermimpi melihat sosok yang tergolek pasrah di meja dengan kepala seorang pria di selangkangan nya, melihat sosok tersebut adalah diriku sendiri. Menjerit, mendesah, menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan sembari meremas-remas payudara, sebelum berteriak kencang melengkungkan punggung menyambut kenikmatan. Pagi itu aku terbangun dengan kondisi badan terasa panas, nafas yang terengah-engah dan vagina yang basah. Betul-betul malam yang terasa sangat panjang.
Pagi tiba, usai mempersiapkan diri aku turun, mengambil sandwich di kulkas dan bergegas pergi. Pagi ini rumah terasa sedikit lengang dengan kedua orang tuaku yang masih tidur dan suasana pagi yang sejuk, aku keluarkan mobil dan menuju ke kantor. Tiba di parkiran, seperti biasa aku melakukan ritual make up di dalam mobil. Hari ini aku akan menghadapi beberapa meeting sehingga aku harus tampil sedikit lebih rapi dan feminin. Dengan kemeja slim hitam yang dipadukan dengan blazer krem, rok A Line sepanjang lutut, dipadukan dengan heels ankle strap. Heelsku tidak terlalu tinggi, pegal kalau ketinggian, tapi aku selalu merasa ankle strap menambah keseksian kaki wanita.
Tiba di meja kunyalakan komputer, menyiapkan notebook, suasana kantor masih belum ada orang karena hari ini memang aku datang lebih awal dari biasa, sekedar untuk mempersiapkan mental untuk meeting hari ini. Usai mempersiapkan beberapa print out, aku menuju ke pantry untuk sekedar minum teh.
Aku menyeduh teh manis dan sembari mengaduk gula mataku tertuju kepada meja tempat kemarin Ningsih menggeliat dengan pasrah. Perlahan aku mulai mendekati meja tersebut dan meletakkan tanganku di atas nya. Jantungku mulai berdegup, aku menyeruput teh dan meletakkan nya di atas meja. Aku berdiri sedikit bersandar ke meja tersebut, dan aku tersadar bahwa heels yang kukenakan membuat posisi tepi meja berada tepat bergesekan dengan daerah pubic vaginaku.
Sekejap hasrat dan nafsuku kembali naik menguasai, membayangkan bahwa disinilah kemarin Ningsih sedang di lahap dan di nikmati oleh Pak Rahman. Aku berjalan menuju ke area tempat kemarin Pak Rahman berjongok yang terletak tepat di sudut meja. Inilah posisi di antara paha ningsih kemarin. Degup jantungku semakin terasa. Perlahan aku menekan sudut meja makan ike area pubicku. Dengan memejamkan mata aku sedikit berjinjit dan kurasakan sudut meja tersebut menekan area di atas klitorisku.
“nggghh… ahhh…” Desahku pelan takut ada yang mendengar, walaupun aku tahu betul bahwa tidak akan ada yang akan sampai ke kantor sampai 30 menit lagi. Rokku yang berbahan katun tipis dan celana dalamku tidak mampu menghalangi rangsangan yang diberikan pada kemaluanku lewat sudut meja ini. Perlahan2 aku mulai menggoyang-goyangkan pinggulku, menggesekkan vaginaku dengan sudut meja, “ya Tuhan, nikmat sekali,“ kataku dalam hati. Aku memejamkan mata sembari menggigit bibir bawahku, kedua tanganku bertumpu pada meja untuk menjaga agar tidak jatuh.
Gesekan demi gesekan berlalu, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, aku menggoyangkan pinggul ke kanan, ke kiri, terkadang dipadukan dengan gerakan memutar dan menekan. Sungguh nikmat sekali. Tidak puas dengan apa yang aku lakukan, aku menengok ke kiri dan kanan seolah memastikan bahwa tidak ada orang, padahal aku tahu aku sendirian, sepertinya akal sehatku masih sedikit bekerja. Pintu pantry tertutup rapat, aku was-was, namun tubuhku jauh lebih menguasai akal sehatku. Perlahan kutarik rok A Lineku, memamerkan pahaku yang kuning langsat dan terawat, sampai ke batas celana dalamku, lalu kutempelkan vaginaku ke ujung meja makan dengan hanya dibatasi oleh celana dalam yang tipis.
Rangsangan yang lebih hebat terasa di vaginaku. Aku menggosok vaginaku sembari memandangi meja dengan tatapan sayu, membayangkan ningsih yang kemarin tergolek pasrah di meja ini, membiarkan dirinya dicicipi oleh Pak Rahman. Pikiranku mulai menggila, hasratku kian memuncak. Tekanan dan gesekan kulakukan semakin kuat. “Hhhnnggghh… ahkk…. Shhhhhh.. hahhhh.. “ Desahan demi desahan keluar dari bibirku dan tidak lama kemudian kurasakan ledakan yang luar biasa, tubuhku menegang di meja makan itu, dengan tangan bertumpu pada meja, kakiku terangkat dari lantai, membuat vaginaku tertekan secara maksimal ke meja makan. “ahhhhhh… aggghhh.. ssshhh.. ahhhhh…” desahan demi desahan keluar tanpa bisa kukendalikan ketika gelombang orgasme menerpa tubuhku yang mengejang-ngejang, kakiku menegang, perutku mengencang, aku mendongak dan memejamkan mata menikmati detik demi detik orgasmeku yang terasa jauh leih dahsyat dari orgasmeku semalam.
Tubuhku terus menegang selama beberapa detik sebelum akhirnya ambruk dengan lemas ke atas meja. Betapa nikmat nya sensasi yang aku rasakan, vaginaku masih terasa berdenyut-denyut dan sangat sensitif. Aku bangkit dengan perlahan dan merapikan rokku, wajahku terasa panas dan nafasku masih terengah-engah, suasana dingin AC pantry tidak mampu mendinginkan tubuhku yang terasa panas. Aku bergegas memasukan cangkir teh ke tempat cuci dan keluar meninggalkan pantry.
Hari ini terasa sangat cepat, mungkin karena banyak meeting yang aku lalui hari ini, beberapa Client yang rewel membuat kami semua sibuk dan tanpa terasa sudah waktu nya untuk pulang. “Gilaaaa… TGIF!! Balik ya guys!” Seruku kepada teman-teman yang masih memutuskan lembur di hari Jumat. “Man! Jangan lupa Senin sore deadline buat pembukuan ya!” Teriak manager ku Mba Sally. “Ok Mba, udah dikit lagi kok, Senin siang juga kelar, hehe..” Ujarku sembari berjalan keluar.
Suasana parkiran masih ramai, aku masuk ke dalam mobil dan teringat kegilaanku tadi pagi. “Gawat juga nih kamu, masak ya pake meja kantor sih..” Ujarku sambil menatap diriku sendiri di cermin. Ku nyalakan mesin dan bergegas meninggalkan kantor.
Tiba di rumah kulihat rumah masih lengang dan kulihat ada sticky note di kulkas. “Man, ada urusan mendadak di pabrik Papa di Malang, kita balik Senin ya.” Wah sendirian all weekend, bisa pergi-pergi nih, pikirku. Segera aku naik, menghempaskan diriku di ranjang, dan tidak lama aku tertidur tanpa sempat ganti pakaian.
Aku terbangun mendadak, kulihat jam menunjukkan pukul 11:30, “Walah, udah jam segini, pantes lapar banget rasanya.” Aku segera mengganti rok ku dengan celana pendek dan turun ke bawah. Ku buka kulkas, kulihat ada makanan yang sudah di siapkan Mama sebelum pergi, “Hmmm.. kok agak kurang napsuin ya..” Ujarku. Aku naik ke atas dan berpikir untuk pergi keluar. Kebetulan di dekat rumah ku ada semacam pasar modern yang banyak tempat makan, aku berpikir untuk pergi makan disana. Segera aku ganti baju, kuambil kaos, celana pendek selutut, dan sandal jepit kesayanganku. Memang dasar cewek cuek ya, aku bahkan tidak berpikir untuk sekedar berpakaian layaknya mau keluar rumah.
Kuputuskan jalan kaki karena tempatnya cukup dekat dari rumah ku. Tempatnya cukup ramai dan banyak orang, kuputuskan untuk makan nasi uduk, menu yang tidak pernah salah. Sepulangnya dari situ aku melewati gerbang keamanan rumahku dan tanpa sengaja aku melihat Pak Deni, salah satu satpam yang sedang ganti seragam untuk pergantian shift. Posisi nya membelakangiku namun aku bisa melihat punggung nya yang kekar dan berotot. Pemandangan itu membuat ku sejenak terpana, namun kehadiran Pak Muchtar, satpam senior yang sedang tugas jaga membuatku langsung tersadar. “Malam Pak Muchtar,” sapaku tersenyum sambil berjalan masuk. Pak Muchtar tersenyum, mengambil posisi hormat sambil membungkukkan badan. Pak Muchtar adalah satpam senior yang memang sangat baik dan bisa diandalkan.
Malam itu aku sulit untuk memejamkan mata, pengalamanku yang bermasturbasi di kantor untuk pertama kali nya, yang adalah masturbasi pertamaku dalam berbulan-bulan, dengan pemandangan punggung Pak Deni yang kekar membuat ku deg-deg an sendiri. Pak Deni adalah satpam yang sudah lumayan lama bekerja di komplek perumahanku, usia nya sekitar 40an. Perawakan nya tinggi gagah khas petugas terlatih.
Aku terbangun pukul 6 pagi ketika sinar matahari masuk menembus gorden kamarku. Setelah bermalas-malasan sejenak, aku berjalan ke kamar mandi untuk gosok gigi dan menyisir rambutku. Kubuka gorden dan kulihat jalanan di kompleks yang masih lengang, hanya ada satu-dua orang yang sedang lari pagi. Kuputuskan untuk berolahraga, kuambil kaos panjang, celana ketat selutut untuk olahraga, dan kukenakan sepatuku, lalu aku berlari mengelilingi kompleks perumahan. Aku sengaja mengambil jalur yang dekat pos keamanan, kulihat Pak Deni masih disitu sedang mencatat-catat, mungkin akan bersiap untuk pulang karena sebentar lagi pergantian shift.
Sebuah pikiran gila merasuki pikiranku, aku tahu bahwa Pak Deni dalam perjalanan pulang akan jalan kaki melewati rumahku karena biasanya dia memarkir motor di depan taman di dekat belokan rumahku. Aku segera pulang, dengan cepat membersihkan tubuh, kukenakan bra mini, kaos pendek yang hanya pas melewati pusar, dan celana hot pants berawarna krem sepaha yang memamerkan kaki jenjangku.
Aku menunggu di teras, menunggu Pak Deni muncul. Dari kejauhan ketika kulihat dia mulai berjarak 3-4 rumah dari rumahku, aku segera membuka bagasi mobil ku yang menghadap ke jalan dan membungkukan badan seolah sedang membersihkan atau mencari sesuatu di bagasi. Ku bungkukan badanku sejauh mungkin sembari mengencangkan otot perut dan pantat ku, memberikan efek padat dan menantang. Posisi ku menyebabkan celanaku sedikit makin tertarik memamerkan bagian belakang pahaku yang mulus. Aku mengawasi bayangan Pak Deni yang berhenti di belakangku, dari bayangannya sepertinya dia sedang memandangi tubuhku dari belakang. Dengan menggigit bibir kubayangkan mungkin dia sedang terbelalak, seorang gadis muda sedang membungkuk pasrah di hadapannya. Dia bisa saja berbuat macam-macam tapi dia diam saja.
Aku tersenyum, tentu saja tidak ada titipan, hanya sebuah ide gila yang sedang merangsangku habis-habisan. Tidak sabar rasanya menunggu siang nanti, penasaran apa yang akan terjadi.
Jam 12:30 siang aku bersiap-siap untuk kedatangan Pak Deni. Kukenakan kaos tipis berwarna kuning muda, dan celana pendek ketat setengah paha yang sewarna dengan kulit. Di balik nya aku hanya mengenakan bra mini berwarna hitam yang biasa kupakai untuk di rumah dan celana dalam yang juga berwarna hitam.
Bel berbunyi dan aku membuka pintu, Pak Deni datang mengenakan kaos putih yang memamerkan bentuk tubuh nya dan celana jeans. Aku mempersilahkan Pak Deni masuk dan duduk di ruang tamu. “Sebentar ya Pak Deni,” Aku masuk ke dapur dan kembali dengan secangkir teh. “Eh Non, repot-repot banget.” Katanya sopan. “Ngga apa Pak Deni, enak kan nge teh siang-siang” kataku.
Kuambil kursi kecil di ruang tengah dan aku berlagak naik ke atas nya seolah mencari sesuatu di rak di ruang tengah yang pasti terlihat dari ruang tamu. Aku berjinjit dan mulai beraksi. Dari belakang pasti terlihat sekali otot paha dan betis ku yang mengencang seksi, dengan pantat ku yang juga pasti semakin ter ekspos. Dari bayangan yang terpantul di kaca cermin penghias rumah di depanku kulihat Pak Deni yang sedang memperhatikanku, ekspresi nya tidak terlalu terlihat namun dapat kurasakan bahwa tatapan nya tidak lepas dari pemandangan tubuhku dari belakang.
“Wah Pak Deni, ngga ketemu nih, kayaknya padahal ditaruh sini, sebentar ya Pak, maaf nih,” Ujarku ber akting. “Wah ngga apa Non, nanti dicari pelan-pelan saja bila perlu kapan saya balik lagi sini juga ngga apa-apa,” Katanya. “Iya nih Pak, maaf ya, nanti saya coba telepon Tanya ya.” Kataku, sembari berharap kalimatku barusan memberinya petunjuk bahwa saat ini di rumah sedang tidak ada orang.
Aku duduk di sofa dekat Pak Deni, menumpangkan paha kanan ku ke atas paha kiri ku. “Pak Deni, maaf ya jadi ganggu waktu istirahat nih.” Kataku. “Ngga apa Non, hehe.. saya juga jam segini biasa keluar habis makan nih.” Katanya. Matanya kulihat sedikit melirik-lirik kea rah paha ku yang mulus, posisi jinjit barusan, dan posisi duduk sekarang, membuat celana ketat ku tertarik-tarik naik semakin memamerkan paha ku. Ku goyang-goyangkan kaki ku untuk berlagak santai sembari berharap bisa semakin membuat celana ku tertarik naik.
Kulihat Pak Deni dengan gugup menyeruput teh sembari melirik-lirik ke arah kaki ku. Kuakui memang kaki ku adalah bagian yang mungkin paling menarik, betis yang ramping dan paha yang padat sudah pasti akan menarik mata orang yang melihatnya. Apalagi celana ketat ku yang berwarna samar dengan kulitku memberikan kesan seolah tidak ada yang menutupi paha ku.
Semakin lama kulihat Pak Deni terlihat semakin gugup, “Pak Deni kayaknya kurang enak badan Pak?” Kataku sembari menggeser posisi ku ke sebelah nya. “Ngg.. ga apa Non, cuma rasanya kok agak keringat dingin saja.” Ujarnya gugup sembari menaruh cangkir dan menggaruk-garuk kepala. “Hihihi.. polos sekali Pak Deni ini,” Ujarku dalam hati. “Pak Deni sudah menikah belum sih Pak?” Tanyaku mulai memancing. “Belum Non, saya masih lajang sih,” Jawabnya sambil tersenyum. “Oh gitu ya, wah padahal masih muda dan ganteng kok ya betah lajang Pak,” Ujarku sembari menyandarkan tubuh ku ke sandaran sofa. Posisi ini membuat paha ku jelas terpampang di sebelahnya, dengan perut dan dada ku yang tercetak makin jelas karena posisi sandaran yang agak jauh membuat posisi tubuhku agak setengah terlentang.
“Ah, Pak Deni bisa aja, genit ah!” Jawabku dengan gaya sedikit sok centil, ingin rasanya aku duduk di pangkuan nya, membelai lengan nya yang kekar alami. “Ngga Non, sungguh, udah kulit nya bagus, langsing, ah.. maaf Non, jadi ngelantur saya.” Ujarnya. “Wah hebat ini orang kontrol dirinya,” pikirku.
Otakku berputar keras bagaimana membuat supaya dia maju duluan kepadaku, gengsi dong, pikirku, jangan seolah aku yang mau. Sembari berpikir aku berdiri hendak mengambil cangkir the di hadapannya “Eh, Pak Deni teh nya sudah habis, saya tambahin ya?” Ujarku sembari membungkuk mengambil cangkir di hadapannya. Yang tidak kusadari, posisi ini lah yang menjadi kunci keberhasilan skenario ku. Pinggul kurus ku dengan perut yang rata terhidang di hadapan Pak Deni saat aku membungkuk mengambil cangkir. Karena kaos ku yang cukup body fit, terpampang juga lah lekuk payudara ku yang memperlihatkan kepadanya bentuk payudaraku dari samping.
Sepertinya posisi ini lah yang membuat Pak Deni mulai kehilangan kontrol, reflek dia menjulurkan tangan nya menahan tubuh ku di perut dan di punggung ku. “Eh.. Pak Deni ngapain nih Pak?” Ujarku yang juga kaget karena memang ini tidak disengaja. “Ups.. mmm.. maaf Non.. saya kira..” “Dikira apa Pak?” Potong ku, tidak memberikan nya kesempatan untuk menghindar. “Ngg.. ngga Non, ga apa-apa, maaf Non maaf..” Dia tampak gugup sekali. Aku hendak duduk kembali di samping nya, tapi malah itu membuat tangan kanan nya yang berada di perut ku tertarik ke payudara kanan ku. Aku tersentak, dan muka ku memerah, Pak Deni dengan cepat menarik tangan kanan nya, “Eh.. ya ampun maaf Non.. maaf.. saya ngga sengaja..”
Aku menatapnya dengan tatapan menggoda, “Pak Deni suka sama yang kepegang barusan?” Kataku. Dia hanya terdiam melongo menatapku. “Kalau mau pegang lagi boleh lho Pak,” Kataku tersenyum manis sembari mengambil tangan kiri nya dan menggenggamnya lembut. Perlahan kuletakkan tangan nya di atas paha kanan ku dengan tangan ku di atas nya. Jantungku mulai berdegup membayangkan apa yang bisa terjadi selanjutnya. “Pak Deni kok diam aja sih? Ngga apa lho Pak, rumah lagi kosong kok,” lanjutku semakin menggoda sembari memainkan jari jemari ku di atas punggung tangan nya.
Sepertinya cukup berhasil karena perlahan Pak Deni mulai menggeser posisi duduk nya. Perlahan dia mulai mengelus-elus paha ku. Kusandarkan tubuh ku ke sofa seolah memberikannya kebebasan. Tangan nya mengelus-elus pahaku sembari menatap wajah dan tubuh ku. Nafasku mulai sedikit lebih memburu mengakibatkan dadaku bergerak naik turun. Sepertinya dia menyadari nya, tangan nya mulai bergerak semakin naik, mengelus pangkal pahaku, aku menggelinjang “ssshhh..” desah ku pelan, tangan nya bergerak naik ke perutku dan berhenti di atas payudara kiri ku. Cukup lama dia hanya meletakkan tangan nya disana, terlihat tangan nya naik turun seiring dengan nafas ku. Kurasakan tangan nya mulai meremas lembut payudaraku, aku menatap nya dengan tatapan sayu, Pak Deni pasti bisa merasakan bahwa jantungku berdegup semakin kencang.
Wajahnya mulai mendekat ke wajahku. Aku memejamkan mata, cukup nervous rasanya bahwa sebentar lagi keperawanan bibir ku akan segera direnggut oleh Pak Deni, seorang security yang gagah. Tapi ternyata bibir nya menyeruak melewati rambut ku dan menyerang leher ku. Pak Deni dengan lembut mengecup leherku sembari menjilatinya dengan lembut. “Aduh.. Pak Deni… geli Pak..” Rintihku mulai terangsang, sementara tangan nya terus meremas lembut payudara kiri ku. Kedua tangan ku tergolek pasrah tidak melakukan perlawanan sedikitpun, paha ku mulai merapat dan kaki ku mulai naik ke atas sofa, gerakan reflek karena menahan geli yang amat sangat. “Pak Deniiii.. agghh.. Pppaakkkk..” Desahku pelan. Kurasakan dia memegang kedua pundak ku dan mendorong lembut tubuhku rebah di sofa. Disitu aku terlentang, menatapnya dengan sayu, kurasakan kedua pipi ku mulai panas. Sembari kupejamkan mataku, kutaruh kedua tanganku menutupi mataku ketika Pak Deni mulai menarik kaos ku melewati dadaku. Terpampanglah kedua payudaraku yang terbungkus bra hitam mini. Kugigit bibir bawahku saat Pak Deni mengangkat kedua cup bra ku ke atas membebaskan kedua payudaraku yang padat dengan puting yang sudah mengeras.
“Hhh.. hahhh..” Kudengar nafas Pak Deni mulai memburu, di remasnya kedua payudaraku sembari memainkan kedua puting payudaraku. “Yahhh.. ahhh.. Pak Den..ahhhh…” Aku menyambut tindakan nya dengan desahan panjang, nafasku tertahan ketika kurasakan jemari nya memainkan puting payudaraku dengan lembut. Pak Deni meraih kedua tanganku dan mengangkat nya dari wajahku, wajahny sekarang sangat dekat, kulihat tatapan mata nya yang tajam menatap mata ku dalam-dalam dan perlahan dia mengecup bibir ku. Naluri ku menyambut bibir nya, dia melumat bibir ku sembari tangan nya bergerak mengelus-elus daerah privat ku yang belum pernah dijamah siapapun. Pinggulku bergerak-gerak menyambut elusan tangan nya. Celana ketat dan celana dalam ku tidak mampu menghalangi rangsangan-rangsangan nikmat yang diberikan oleh jari jemari Pak Deni.
Kurasakan tangannya mulai masuk ke balik celana ketat ku, meremas-remas pantat ku, kunaikkan pinggul ku untuk memudahkan Pak Deni melakukan aktivitas nya. Sementara tangan Pak Deni meremas pantat ku, dia mulai mencicipi puting payudara ku secara bergantian. Kutahan kepala nya seolah tak ingin dia berhenti, “Pak Deniii.. aduh Pak.. aduh.. pelan-pelan Pak… Ge… liii.. Pppaakkk…” Rintihku penuh nafsu, akal sehat ku sudah mulai kalah oleh nafsu ku, aku takut, ya, takut akan apa yang akan terjadi, namun nafsu sudah semakin membutakan akal sehatku.
Kubuka kaos ku dan kutarik bra ku lepas sementara Pak Deni masih terus menikmati melahap payudaraku yang belum pernah terjamah. Dari cermin di ruang tamu kulihat bayangan kami, seorang wanita muda berkulit kuning langsat mulus sedang menggeliat-geliat menahan nikmat sembari payudara nya sedang di nikmati oleh seorang security berkulit gelap yang bertubuh besar. Pemandangan yang luar biasa, sementara pinggul ku terus bergerak-gerak menikmati rangsangan demi rangsangan di pantat dan payudaraku.
Pak Deni terlihat semakin bernafsu, tangan nya menarik lepas celana ketat tipis ku, “auuuhh.. Pak…. Kok dilepas Pak?” Protesku, tapi tak bisa kupungkiri aku sangat terangsang melihat pemandangan dilepas nya celanaku melalui cermin ruang tamu. “Hhhh.. mmm.. maaf Non.. Saya ngga tahan Non,” ujar Pak Deni sembari menggosok kemaluan ku dari luar celana dalam mini ku. “Aaahhh.. Pak Deni… pelan-pelan Pakkkkk.. geli banget Pakkkkk… Ppppaaaakkk..” Rintih ku semakin terangsang. Pak Deni membungkam rintihan ku dengan kecupan yang panas di bibir ku, kupejamkan mataku menikmati lidah nya bermain-main di dalam rongga mulut ku sementara tangan nya terus memainkan kemaluanku yang aku yakin sudah semakin basah.
Aku bangkit dari posisiku, duduk menghadap tubuh nya, posisi kepalaku berada tepat di depan perut nya. Entah setan dari mana yang merasuki ku, aku mulai meraba tonjolan keras di celana dalam nya sembari mendongak memandangi wajah nya. Pak Deni yang berlutut di atas sofa kulihat memejamkan mata nya sembari wajah nya mengkerut, aku yakin elusan-elusan ku sangat membuat nya terangsang. Ku kecup perut nya sambil tanganku terus mengelus tonjolan keras yang membuatku penasaran. Pak Deni mengubah posisi nya kembali duduk, tubuh ku diangkat ke atas pangkuan nya, tubuh ku menghadap Pak Deni dengan posisi kaki mengangkang dan kami mulai kembali berciuman. Kedua payudara ku tidak lolos dari tangan nya, di remas-remas dan di jilati nya kedua puting payudaraku.
“Hahhhh…hhh…sssshhh..aggghhh..” Desahan kami saling bersahutan di ruang tamu rumah ku yang sepi. Pinggul ku bergerak-gerak menggesek-gesekkan vagina ku ke tonjolan keras di selangkangan Pak Deni. Besar, keras, dan hangat. Kemaluan kami hanya tinggal dipisahkan oleh kain tipis yang tidak mampu menahan rangsangan-rangsangan yang timbul. Tidak lama aku rasakan bahwa orgasme ku akan segera datang. Goyangan ku semakin cepat dan liar menggesekkan vagina ku sambil bibirku melumat bibir Pak Deni. Tak lama kulepaskan ciuman kami, dengan kepala mendongak, punggung ku melengkung, kudekap erat kepala Pak Deni ke dada ku, “aaaaaahhh!! Agggghhhh!!! Yaaaahhhh!! Aaaahhhhhhhh…ssssshhhh…ooooohhh!” Kulepaskan teriakan panjang orgasme ku yang menggema ke seluruh rumah. Lalu ambruklah tubuh ku sembari memeluk Pak Deni, sesekali tubuh ku masih tersentak-sentak karena gelombang orgasme dahsyat yang masih terasa di sekujur tubuh ku.
“Ya ampun Pak Deniiii… ahhhhh…enak sekali Pakkkkk..” Desah ku sambil masih menahan sentakan-sentakan tubuh ku. Pak Deni mengelus punggung ku, “Non Amanda cantik sekali tadi, ngga tahan saya Non ngeliatnya..”, “Aduh Pakkk..ya ampunnn.. enak ba.. nget.. Pakkk..” Aku masih belum mampu mengontrol kata-kata dan tubuh ku. Tidak lama kontrol tubuhku kembali, aku bangkit dari pelukan Pak Deni dan mencium nya mesra. “Sekarang giliran Pak Deni ya Pakkk..” Ujarku manja, “Pak Deni mau diapain?”. Pak Deni tidak menjawab, dia hanya mengarahkan tangan ku masuk ke balik celana dalam nya. Tersentuh oleh ku kemaluan nya yang sudah sedikit basah ujung nya pertanda dia sudah sangat bernafsu. “Pakk.. ajarin Manda ya Pak, saya belum pernah Pak,” Kataku sembari perlahan mengelus-elus kemaluan nya. “I.. Iya Non Manda.. gitu terus Non, iya, usap2 ujung nya Non.. ssshh.. duh tangan Non Manda halus sekali”, Pak Deni meracau tak menentu.
Lama kelamaan posisi ini membuat ku pegal, aku turun dari pangkuan nya, kuturunkan celana dalam Pak Deni dan terpampanglah batang kemaluan Pak Deni, tegak berdiri, berkilau, tidak panjang sampai bagaimana tapi tebal dan ber urat. Sembari berlutut di lantai di antara kedua kaki Pak Deni, kuusap-usap batang kemaluan yang ada di hadapanku, tak sengaja jari ku mengelus ujung kemaluan nya yang bersunat. “Ssssshhh… ahhh.. Non…” Tiba-tiba Pak Deni menggelinjang. Melihat reaksi Pak Deni maka kukocok perlahan batang kemaluan Pak Deni dengan tangan kiri sembari ku gosok-gosok kan perlahan telapak tangan kanan ku ke kepala kemaluan Pak Deni. “Aaaahhh.. aduhh.. Non Amanda… ahhh.. enak Non.. begitu terus Non…” Pak Deni mengejang dan meracau, tangan nya meremas-remas pundak ku. Tangan Pak Deni meraih daguku dan mengangkat wajahku, menatapku dengan tatapan mata yang bernafsu. Wajah nya mendekat dan kembali melumat bibir ku. Tubuhku yang enteng diangkat dengan mudah dan kembali dibaringkan nya di sofa. Dengan cepat dia meraih celana dalam ku, menurunkan nya sampai ke pergelangan kaki ku, dan membuka paha ku lebar.
Kedua kaki ku ditahan oleh Pak Deni ketika kepala nya menyeruak masuk ke area selangkangan ku, “Yaaaahhh…aggghhh..Pak Dennn..niiiii….aaaaaahhh…ya ampun Pakkk.. jjjaaannggaann Pakkkk…adddduhhhhhh…” aku merintih dan berteriak, tubuhku menggeliat, lidah Pak Deni tiba-tiba sudah menyentuh bibir vagina ku dan bergerak naik turun dengan lembut sepanjang garis lipatan vagina ku yang rapat. Geli sekali rasanya, tubuhku menggelinjang dan menegang menikmati saat lidah nya yang basah dan hangat menyusuri lipatan vagina ku. Lidahnya yang semula menyusuri vagina ku dengan lembut perlahan kurasakan mulai sedikit-sedikit berani menyeruak masuk membuat tubuhku semakin menegang tak terkontrol. “Nnnggghhh Pakkkk.. jangannn Pakkk.. cukup.. Ppppakkkkkkk..” Sejenak Pak Deni menghentikan aktivitasnya, aku terengah-engah, dadaku bergerak naik turun, bibirku terbuka sedikit sementara lengan kiri ku kutumpangkan menutupi mataku dan tangan kanan ku meremas tangan Pak Deni yang sedang menahan kaki kanan ku.
“Enak Non Manda?” Tanya nya lembut. Aku tak mampu menjawab, terengah-engah menahan kenikmatan yang baru saja kurasakan. Kulirik sekilas Pak Deni yang sedang memandangi ku. Kaki ku terkangkang lebar di hadapannya, sebuah pemandangan yang pastinya sangat erotis. Tubuhku tersentak saat Pak Deni meraba-raba vagina ku, dia melebarkan bibir vagina ku ke kiri dan kanan, mempertontonkan area privat ku yang berwarna pink, basah, dan terangsang hebat. “Aaahhh.. Pak Deniii.. jangan Pakkk…” Rintihku menahan malu, bayangkan, aku, seorang gadis muda yang sedang mempertontonkan bagian privat ku yang belum pernah dilihat oleh siapapun. Kurasakan jemari Pak Deni mulai memainkan klitoris ku yang sudah sanga sensitif, tubuhku menggelinjang tak terkendali, desahan demi desahan tertahan keluar dari mulutku, kepalaku menggeleng-geleng menahan nikmat yang tiada tara di selangkanganku.
Aku mengumpulkan segenap tenaga dan bangkit dari posisi ku. “Pakk.. kita ke dalam saja ya Pak.. jangan disini Pak,” kataku. Pak Deni hanya menatapku, dia berdiri, ku lihat tubuh telanjang nya dengan kemaluannya yang sudah tegak berdiri. Pak Deni mengangkat tubuhku dengan mudah, membawa ku naik ke kamar di lantai dua. “Kamar saya saja Pak yang di ujung,” kami masuk ke dalam kamar dan Pak Deni merebahkan ku di ranjang. Dia terus menatap sekujur tubuhku dengan penuh nafsu. Pak Deni perlahan naik ke atas tubuh ku dan mendaratkan bibir nya di leher ku, tangan kanan nya meraba selangkanganku. Tubuhku kembali menggelinjang, geli, malu, bercampur takut semua bercampur, aku memejamkan mata sembari tanganku meremas seprei ranjangku. Pak Deni menggenggam kedua pergelangan tanganku, mengangkat nya dan menahan nya di kanan-kiri kepalaku, dan kali ini ketiak ku yang mulus tanpa rambut menjadi sasaran jilatan nya. “Aaaaghhh… Ppppaakkk…geliiiiiii… Ppppaakkk… su.. dahhh.. agggghhh..” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku menahan rasa geli yang amat sangat. Lidahnya menyapu ketiak ku, samping payudaraku, dan kembali mendarat di kedua puting payudaraku. Dihisapnya, dijilatnya, digigit-gigit nya puting payudaraku dengan gemas sementara aku hanya mampu mendesah dan menggeliat tak mampu berbuat banyak karena tubuhku ditahan dengan kuat.
Pak Deni menyudahi aktifitas nya, kembali mengecup bibirku dengan lembut, perlahan Pak Deni mengarahkan batang penis nya yang sudah tegak ke vagina ku. Nafasku tertahan saat Pak Deni mulai menggesekkan kepala penis nya yang bulat dan besar ke klitoris ku, rasa geli dan nikmat melanda sekujur tubuhku. Aku merasakan kepala penis Pak Deni mulai menyeruak masuk ke dalam lubang perawanku, “ahhh.. Pak… pelan-pelan Pak, saya masih perawan Pak….ahhhhh…” desahku, akal sehatku sudah kabur, keperawananku segera akan kuserahkan kepada seorang security pribumi yang berkulit hitam. Perlahan-lahan penis Pak Deni masuk semakin dalam lalu tiba-tiba dia berhenti, “Non, apa Non yakin diteruskan?” Pak Deni rupanya masih bisa berpikir. Aku menatap mata nya sembari tersenyum dan mengangguk, kurangkulkan tanganku di lehernya sembar sedikit kugoyang pinggulku seolah memberi persetujuan. Menerima perlakuanku, Pak Deni mengecup bibirku sembari mendorong pinggul nya semakin dalam sampai kurasakan selaput dara ku tertembus. “MMMMHHHH..MMMGHHHHHH…” Desahku tertahan lumatan bibir nya, vagina ku terasa perih walaupun sudah sangat basah, rasanya besar dan sangat penuh. Pak Deni melepaskan lumatan nya pada bibir ku dan menatapku, “Sakit Non?” kuanggukkan kepalaku “Sedikit Pak, pelan-pelan ya Pak..” Ujarku lembut. Pak Deni menindihku, mencium telingaku dan mulai menggerakkan pinggulnya.
Desahan kami terdengar memenuhi kamar, rasa perih perlahan sudah menghilang berganti dengan rasa nikmat dan geli yang luar biasa. Ini gila sekali, keperawananku baru saja kuserahkan kepada seorang security komplek, tapi jujur sulit merasa menyesal karena ini nikmat sekali.
Pak Deni mengecupku dan mencabut penis nya, “Non ganti posisi ya, saya ingin lihat Non di atas.”
Pak Deni berbaring di ranjang, perlahan kunaiki tubuhnya, kupegang penis Pak Deni yang basah oleh cairan ku seraya kuarahkan ke vagina ku, agak sulit menemukan posisi yang pas dengan lubang vagina ku karena baru pertama kali aku melakukan ini, saat kutemukan lubang vagina ku dan kuselipkan kepala penis Pak Deni ke lubang vagina ku, perlahan kuturunkan tubuhku mengijinkan penis nya untuk masuk kembali ke dalam tubuhku. “Aaaahhhh…. “ Aku mendesah nikmat sembari menurunkan tubuhku, selangkanganku semakin turun sampai rambut kemaluan kami bertemu dan saling bergesekan. Aku terdiam sesaat, posisi ini membuat penis Pak Deni masuk sangat dalam dan terasa sangat penuh sekali, nikmat sekali rasanya. “Tidak apa-apa Non?” Pak Deni bertanya, kuanggukkan kepalaku dan aku mulai mencoba untuk menggerakkan pinggulku. Rasanya sangat canggung, aku agak bingung bagaimana cara yang benar, pinggulku kegerakkan naik turun mengocok penis Pak Deni. “Non coba masukan semua lalu gerakkan pinggul Non maju mundur” Ujar Pak Deni seraya menyetop gerakanku.
Aku berhenti dan mulai mencoba untuk menggerakkan pinggulku maju mundur dan ohhhh ini nikmat sekali, klitoris ku bergesekan dengan rambut kemaluan Pak Deni yang kasar, geli dan nikmat kurasakan menjalar ke seluruh tubuhku. Kulihat Pak Deni menatapku dengan mata yang bernafsu, tangan nya yang memegang pinggangku bergerak naik meremas-remas kedua payudaraku. “Ahhhhh Non seksi sekali… ya Non goyang seperti itu…” Racaunya merasakan nikmat nya jepitan vaginaku di batang penis nya. “Oooohh… ahhhhh… iya Pak, seperti ini ya Pak? Aaaahhh… “ Aku meracau tidak kalah ramai. Posisi kami di ranjang membuatku bisa melihat ke arah cermin meja riasku, reflek kutegakkan tubuhku membuat payudaraku membusung indah sembari terus bergoyang maju mundur.
Tubuhku yang ramping, perutku yang rata dengan payudara yang membusung indah, seorang gadis berkulit kuning langsat sedang bergoyang di atas tubuh seorang lelaki berkulit gelap. Pemandangan yang sangat erotis sekali, aku semakin bersemangat menggoyang pinggulku, tanganku yang berada di atas paha sekarang sibuk meremasi payudaraku sembari mataku menonton tubuhku bergoyang dari cermin. Entah bayangan gila dari mana kali ini kunaikkan kedua tanganku memamerkan ketiakku yang mulus tanpa rambut sedikitpun, posisi ini membuat bayanganku di cermin terlihat sangat seksi, perutku yang rata semakin terlihat, payudaraku yang padat dan bulat semakin membusung.
Posisi ini membuat klitorisku semakin tertekan, desahanku semakin kuat merasakan gelombang orgasme yang semakin mendekat. “Aaahhh… Oooohh… enak sekali… Aaaahhhh…” Desahanku semakin kuat sembari terus menegangkan tubuhku. Rupanya gerakan dan posisi ini cukup membuat Pak Deni gila, tangan nya meremasi payudaraku, memainkan putingku sembari kurasakan penis nya menegang di dalam vaginaku, “Oooohhh… Non, seksi sekali…. Aaaahhh.. goyangan Non luar biasa… saya mau sampai Non… Aaaahhh…”, gelombang orgasme yang semakin kuat juga menghampiri tubuhku, “Aaaaahhh iya Pakkkk… sa…ya… juga… Paaaakkkkk aaaaaaaahhhh…sedikit lagi Pakkkk… semprot saya Paaakkkkk…” Aku meracau dengan sangat bernafsu. Tubuh Pak Deni menegang nyaris bersamaan dengan tubuhku, kami orgasme di waktu yang nyaris bersamaan “OOOOHHH PAKKKKK!!! AAAAHHHH… “ Aku mendesah kuat dan kencang sembari tubuhku melengkung ke belakang menegang tersentak-sentak dengan hebat. “OGGGHHH… NONNN…AGGGGHHHHHHHH..” Pak Deni pun menegang, memegang pinggulku dengan kuat sembari menghantamkan penis nya dari bawah menyemprotkan sperma hangat ke dalam vagina ku yang basah.
Tubuhku ambruk ke atas tubuhnya, nafas kami terengah-engah, rasanya lelah sekali, kugulingkan tubuhku dan tertidur bersandar di lengan Pak Deni. Waktu aku bangun kulihat Pak Deni sudah tidak ada, dan beberapa hari kemudian ada surat edaran menyatakan bahwa Pak Deni sudah tidak bekerja lagi di perumahan ini. Aku dengar dia pulang ke kampung nya, mungkin ada perasaan takut setelah merenggut keperawananku, padahal aku tidak akan melaporkan apa-apa ke siapapun, toh sejujurnya, sampai hari ini aku masih merindukan penis nya yang tegak dan permainan nya yang kuat dan tegas.
-TAMAT-