Hai para pembaca, para penikmat cerita, para pengikut, dan para panutan. Salam kenal, Tolrat disini. Kali ini aku mau sekedar spill, sebuah cerita lain dari koleksi imajinasi yang memenuhi isi kepala. Cerita ini, sebenarnya sudah ada dan tayang di web premium. Sudah berjalan juga beberapa part terlebih dahulu. Tapi karena rasa terimakasihku yang terlalu besar kepada kalian semua, maka dengan berbangga hati, akan aku upload juga disini. Kemurnian Keluarga.
Jika Ayah adalah cinta pertama anak perempuan dalam hidupnya, maka Ibu, dapat dibilang nafsu pertama seorang anak laki-laki dalam pelampiasannya.
Mungkin ‘kesimpulan’ ini berbeda antara satu individu satu dan lainnya. Akan tetapi, berdasar hasil survey yang dilakukan beberapa bulan terakhir, hasilnya adalah seperti itu.
Dan, guna mengapresiasikan keinginan para peserta survey, ada satu lagi karya Original Tolrat yang sengaja gw tulis sebagai rasa terimakasih
05. TYTD – Tamu Yang Tak Diundang *Mohon doanya ya, supaya penulis selalu sehat, selalu waras, serta selalu kuat untuk dapat menghadapi kerasnya beban di real life. Mohon doa juga, supaya penulis bisa menyelesaikan semua judul diatas sampe tamat. Dan yang terpenting, buat pengikut setia (dan juga baru), mohon bantuan support serta cendolnya, supaya penulis bisa terus membeli kopi lemburan. Guna bisa membuat kalian semua lebih ‘bersemangat’ lahir dan batin melalui cerita-cerita terbaru ini.. Dan, tanpa menuggu lama. Selamat menikmati cerita terbaru gw ini.
Monggo. Semoga cerita ini, dapat menghibur kalian semua.
Kemurnian Keluarga
Part 01 | Semua tentang Keluarga
Namaku Rama. Rama Hernanda. Usiaku sekarang baru 16 tahun dan duduk di bangku SMA. Aku tinggal di kota kecil yang masih cukup asri, dengan dikelilingi gunung dan pantai. Ayahku Sumarto, adalah seorang pengusaha kecil yang bergerak di bidang tani dan ternak. Sedangkan ibuku Riani, adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Aku sebenernya punya dua saudara wanita. Kakakku, Kinanti, berusia 19 tahun, sudah lulus sekolah dan sekarang melanjutkan pendidikannya untuk kursus di ibukota. Dan adikku, Kinasih, sudah lama ‘menginggalkanku’ karena terjangkit demam berdarah, ketika aku masih kecil. “Rama… Abis sarapan, ada rencana apa…?” Tanya Ayahku dengan tatapan tajamnya. Mengintip dari balik lembaran koran yang selalu ia baca dipagi hari. Sesekali membetulkan kacamata tebalnya yang melorot ketika menunduk. “Ga ngapa-ngapain, Yah…” Jawabku yang sudah terbiasa dengan tatapan Ayah, “Palingan nanti agak siangan, kerumah Dewo…” “Kerumah Dewo…? Ada hal yang penting…?” Sahut Ayahku lagi. Kali ini, ia mengambil rokok di kantung kemejanya. Mematik api, lalu menyalakan lintingan tembakau itu. Pipinya kembang kempis, seiring tarikan nafasnya ketika mengalakan rokok. “Kalo ga ada yang penting-penting banget.. Ikut Ayah ke kandang…” Ucap Ayah tanpa menunggu jawabanku, sambil menghembuskan nafas penuh asap tembakau itu kelangit-langit rumah. Kulirik ibuku yang sedang menyiapkan sarapan pagi buat Ayahku. Ia hanya tersenyum ketika melihat aura wajahku yang seketika itu muram. “Udah ikutin aja…” Ucap Ibu sambil mengangguk pelan. Mulutnya berkomat-kamit, namun tanpa mengeluarkan suara sama sekali. “Jangan bikin Ayah marah…” Seperti biasa, lagi-lagi Ayah merusak rencana pagi hariku. Rencana yang sebenarnya tak terlalu penting untuk dibahas namun yang pasti lebih asyik ketimbang ikut kegiatan Ayah dikandang. Disana, hanyalah berisikan Mang Asep, Mang Ujo, Mang Rumi dan Mang Jalu. Tak ada keseruan sama sekali ketika bersama mereka. Meskipun mereka sering mengajak bercanda, akan tetapi becandaan mereka bener-bener ga nyambung bagiku. Mendengar permintaan Ayah untuk mengikutinya ke kandang, itu artinya aku bakal tak bisa bebas selama seharian. Entah diminta bawain berkas, diminta antar kesana kemari, atau diminta untuk membersihkan kotoran kuda. Yang jelas, setiap kali Ayah memintaku untuk ikut kekandang, waktu terasa berjalan begitu lama. Selain itu, dikandang tuh bau. Kotor, dan banyak banget nyamuk serta lalat. Gimana tidak, meskipun Ayah ‘hanya’ memiliki 30 ekor kuda, akan tetapi aku sama sekali tak tertarik untuk menghabiskan waktu disana. Satu-satunya hiburan yang menurutku bisa kulakukan disana, adalah ketika bersama Lik Yani. Istri Mang Jalu yang bohay semlohay. “Dimakan dulu sarapannya, Mas… Mumpung hangat…” Ucap Ibu menyajikan serpiring nasi goreng ikan asin kehadapan Ayah. “Makasih Dek…” Ucap Ayah yang kemudian mematikan bara rokoknya dan melipat koran. Setelah itu ia meletakkan koran itu disamping tempatnya duduk, lalu, tanpa pemanasan, ia menyantap sajian Ibu itu dengan kecepatan tinggi. Tak butuh waktu lama, nasi goreng di piring Ayah sudah hampir habis. Membuat Ibu selalu bangga dengan cara makan Ayah. Kata Ibu, Ayah adalah satu-satunya lelaki yang tak pernah menyia-nyiakan makanan buatannya. Karena segala jenis makanan buatan Ibu, selalu dapat beliau habiskan dalam waktu singkat. Oleh karenanya, badan Ayah terlihat begitu berisi. Meskipun agak buncit, akan tetapi postur tubuhnya tegap. Tinggi, besar, lebar. Benar-benar mirip tembok. Membuat siapa saja yang melihat penampilan Ayah, selalu gemetar dibuatnya. Termasuk diriku. Yang terkadang, masih saja khawatir mendapat tepukan ‘kasih sayang’ Ayah di wajah ataupun tubuhku. Yup. Ayah adalah seorang yang ringan tangan. Amat sangat ringan tangan. Salah sedikit, wajahku bisa lebam karena pukulan dari tangan kapalannya. Lengah sebentar, betisku bisa biru karena tendangan kakinya. Dan karena kepeleset lidah, bisa habis diriku dicaci maki olehnya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan aku bisa mengatasinya. Entah dengan mengalah, berucap kata yang berdasarkan fakta, ataupun membalas pukulan Ayah, dengan serangan yang lebih kencang. “Selama kamu benar, kamu boleh membalas siapapun yang menyakitimu…” Tak pernah kulupa, kalimat Ayah kujadikan prinsip dalam hidupku. Oh. Iya. Satu-satunya kelemahan Ayah yang paling besar adalah, beliau sama sekali tak berani terhadap Ibu. Entah kenapa, aku juga kurang paham. Cuman yang jelas, Ayah tak pernah membantah sedikitpun, ketika ibu memberi titah. “Yuk.. Berangkat… Nanti keburu siang…” Ucap Ayah menyeka kumis tebal dimulutnya, setelah melahap satu sendokan terakhir. “Heeeehh…. Duduk bentaran… Ngapain amat sih buru-buru…?” Potong Ibu ketika Ayah siap-siap beranjak dari kursi makan. “Minum dulu teh manisnya…” “Glek Glek Glek…. Aaaahhhhh….” Sahut Ayah tanpa membantah sama sekali. Menghabiskan satu gelas teh manis dengan tiga tegukan besar. “Udah ya Dek… Mas mau ke kandang… Udah jam 9 inih… Pak Darman pasti udah menunggu disana…” “Pak Darman jadi ngawinin kudanya…?” Tanya Ibu dengan wajah berseri “Iya… “ Jawab Ayah singkat. “Syukurlah…” Sahut Ibu, “Berarti nanti aku bisa ganti mobil ya, Mas…” “Sak karepmu…” Balas Ayah yang kemudian beranjak dari kursi makan. Mengambil dompet dan kunci mobil, kemudian melangkah kearah garasi “Ayo Le, Ayah tunggu didepan…” Ajaknya kepadaku.
– – – – – – -
Menjadi satu-satunya anak lelaki didalam keluarga, bukanlah hal yang bisa dianggap mudah. Anak lelaki, sudah sepatutnya menjadi ‘penerus dan pengganti Ayah’ dalam hal apapun. Terlebih, ketika aku terlahir sebagai anak dari seorang Sumarto, seorang ahli ternah dan tani yang cukup disegani di kotaku. Membuatku seolah selalu bisa dan paham segala sesuatu yang ada hubungannya dengan Ayah. Aku harus tahu, kapan waktunya ternak harus mendapat vitamin supaya tak mudah sakit. Harus tahu apa langkah yang harus dilakukan ketika ternak sedang kurang sehat. Harus tahu kapan waktu terbaik untuk masa pembenihan. Harus paham, silsilah dan cara-cara perkawinan, perawatan ketika mengandung, bahkan hingga melahirkan. Aku harus mengerti luar dalam mengenai itu semua. Yah, meskipun aku angot-angotan ketika mempelajari itu semua, ada sedikit banyak ilmu yang nyangkut di dalam otakku. Yang ujung-ujungnya, aku bisa juga menjadi seorang ahli ternah, persis seperti apa yang diinginkan oleh Ayah. Pada awalnya, Aku tak pernah berpikir aneh-aneh terhadap ibuku. Samasekali tidak. Aku adalah cowok yang punya pemikiran normal, dengan orientasi seks yang juga normal. Jangankan berpikir aneh. Membahas segala sesuatu mengenai ibu-pun, aku jengah dibuatnya. Jujur, setiap kali teman-temanku memperbincangkan ibuku, aku langsung pergi. Tak peduli sefanatik apa mereka terhadap ibuku, aku buru-buru menghindar. Menurutku, ibu adalah sosok wanita yang harus dihormati. Bukan dijadikan sebagai bahan imajinasi, ataupun bahan masturbasi. “Gila cuiy… lihat deh… Ibunya Rama… Makin semok aja ya…?” Ucap Rejo ketika melihat ibuku melintas di depan kantin saat acara pengambilan rapot semester. “Iya.. Makin montok aja tuh… MILFsejati… Hahahaha…” Sahut Uday “Gokiilll… Pinggang ama Pantatnya bahenol beud…” Timpal Budi. “Hiyak… Belum lagi teteknya…” Ujar Tikno, “Pengen gw isep-isep tuh sampe kempes…” “Andai aja aku bisa jadi Rama… Udah aku entot habis-habisan tuh meki…” Ucap Rejo sambil mempertontonkan gerakan bersetubuh dihadapan ketiga temannya. “Ikut dong… Ikut…” Celetuk Budi, “Rejo ngentotin memeknya… Aku ngentotin anusnya…” “Aku yang ngecrotin pejuh kemulutnya pake kontol…” Timpal Tikno ”Trus aku yang ngerekam…” Sahut Uday, “Lumayan.. Videonya pasti bakalan laku keras kalo dijual…” “Jangan videonya aja yang dijual…” Sahut Budi, “Kalo bisa mah… Sekalian ama memeknya kita jual…” “HAHAHAHA…” Tawa mereka berbarengan. Aku yang mendengar percakapan mesum itu, tak dapat lagi menahan emosi didalam dada. Dan tanpa mereka sadari, aku berjingkat pelan kearah empat temanku duduk. Kuambil satu kursi kayu yang tak digunakan, lalu kubanting kursi tersebut, tepat ke arah kepala mereka berempat. BRAAAAAKKK SEEERRRR…. Seketika itu pula, dahi, pelipis, dan ubun-ubun, Rejo, Ubay dan Budi bocor. Mengucurkan darah merah segar ke seragam sekolahnya. Sementara Tikno, yang keburu melihat kedatanganku, secepat kilat langsung lari tunggang langgang, dengan wajah pucat pasi. Perkelahian diantara kamipun tak dapat dihindarkan. Meskipun perkelahian tiga lawan satu itu terlihat tak seimbang, akan tetapi dengan stamina dan ketahanan tubuhku, justru aku yang berada diatas angin. Terlebih, karena aku sering mendapat ‘pelajaran’ dari Ayah, perkelahian melawan 3 orang seperti itupun, hanyalah seperti makanan ringan buatku. Karena tak perlu waktu lama, ketiga ‘pembicara mesum’ itu-pun tumbang ditanganku. “Raamaaaaa…” Jerit Ibuku ketika melihatku berdiri diatas tubuh musuh-musuh cabulku itu dengan tangan bersimbah darah. “Kamu gak kenapa-napa Nakk..” Panik Ibu sambil buru-buru berlari kearahku. Memeriksa keadaanku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku hanya menggelengkan kepala dan berusaha menenangkan ibuku dengan senyum lebarku. Yah, meskipun setelah itu, aku mendapat skorsing 3 minggu, karena dianggap menganiaya anak kepala sekolah hingga 3 giginya lepas dan salah satu lengannya patah.
– – – – – – -
Menjalani masa skorsing, aku sama sekali tak mendapat intimidasi dari Ayah. Justru, aku dipuji karena bisa menjaga kehormatan ibu didepan teman-temanku. Malahan, karena pujian Ayah, aku menjadi bangga, karena bisa melindungi ibu, dari pikiran-pikiran mesum teman sebayaku. Yang aku yakin, hal itu tak akan bisa mengurangi imajinasi kotor mereka dari sosok cantik ibu kandungku ini. “Rama… ” Ucap Ayah membuyarkan lamunanku terhadap ibu, “Kamu aja yang bawa mobil… Ayah mau periksa berkas-berkas dulu…” Sambungnya sembari melempar kunci mobilnya kearahku. “Oke…” Jawabku singkat menuruti permintaan Ayah. Mengantarkan kami berdua ke kandang keluarga yang ada di pinggir kota. Dalam keseharian kami hidup berkecukupan. Bisa dibilang kami cukup mapan. Karena meskipun Ayah hanya bekerja sebagai peternak dan petani, akan tetapi kami tak pernah kekurangan satu dan lain hal. Bahkan, kami juga bisa menghidupi beberapa keluarga pekerja yang tinggal disekitaran rumah. “Pagi Juragan…” Sapa Mang Asep ketika kami tiba di kandan. Membuka kunci pintu dan membukanya lebar. Membiarkan mobil Ayah masuk, sebelum kembali menutup pintunya. “Pagi juga Den…”. “Semua udah disiapin, Sep…?” Tanya Ayah tak menjawab sapaan Mang Asep. Ia segera melangkah masuk, guna memeriksa segala sesuatu yang perlu disiapkan untuk proses perkawinan kudanya. Kandang Ayah, tidaklah besar. Hanya menampung sekitar 30 kuda dengan berbagai ras, umur, dan jenis. Selain itu, disamping kandang kuda, Ayah juga beternak kambing, sapi dan kerbau, yang jika ditotal semua, ada sekitar 400 ekor. Lalu dibelakang kandang, ada beberapa ratus pohon buah yang selalu siap dipanen kapan saja. Yah, sedikit bangga lah aku bisa dilahirkan di keluarga Sumarto dan Riani ini. Yang meskipun tak kaya raya, akan tetapi, lumayan lah, jika asset Ayah sewaktu-waktu diwariskan untukku. TIN TIN.. Suara klakson terdengar nyaring dari arah pintu pagar “Aseeeeppp. Tolong bukain pintu… Itu pasti Pak Darman…” Teriak Ayah lantang, membahana ke penjuru kandang. “Siap Juragaaaannn” Sahut Asep dari kejauhan. “Yowes, kalo gitu, ayo siapkan paca calon mempelainya…” Sambung Ayah sambil mengajakku masuk. Hari itu, Ayah beserta pekerja kandangnya, hendak mengawinkan 4 pasang kuda. 1 kuda dengan milik Pak Darman, dan 3 dengan kuda dari kandang sendiri.
– – – – – – -
JDUUUGGG. Suara hantaman keras, mendarat di lengan kananku. “Rama…” Sapa Pak Darman mengagetkan lamunanku, “Serius amat liat kuda kawin… “ “Ah Pak Dhe, ngagetin aja…” Ucapku sambil buru-buru mengusap lenganku yang kesemutan. “Abisan ngelamun baee… “ Celetuk Pak Darman yang masih mengambil ancang-ancang, siap untuk menghantam lenganku lagi, “Gimana? Ibumu nggak diajak lagi…?” “Enggak… “ Jawabku yang juga mengambil posisi siaga. Melihat kesigapanku untuk melawan pukulan-pukulannya, Pak Darman buru-buru mengankat tangannya. “Ampun… Pak Dhe ga bakalan ngelawan…” “Ahhh. Cupu…” “Ketimbang gigi Pak Dhe pada copot kaya Rejo, anaknya si Marwan…” “Abisan, dia ngejek Ibu…” “Iya-iya, Pak Dhe tahu cerita itu kok…” Kuturunkan ancang-ancang tanganku, lalu menghela nafas dalam-dalam. “Ya salah sendiri…” Sewotku, “Siapa suruh mereka ngomongin ibu dengan hal-hal jorok seperti itu…” “Cah Baguusss… “ Puji Pak Darman sambil mengacak-acak rambutku, “Jadi anak cowok ya emang harus seperti itu… Lindungi keluargamu tak peduli sehebat apapun lawanmu…” “Bener khan Pak Dhe… Rama nggak salah…” “Yaaa. Sebenernya… Kamu… Ataupun mereka… Nggak ada yang salah sih…” Celetuk Pak Darman memberi pendapat. “Maksudnya…?” “Ya abisan… Ibumu memang menggoda, Le… Membuat lelaki mana aja, selalu berpikiran mesum karenanya…” Jelas Pak Darman tanpa sungkan, “Udah cantik. Putih. Semok. Bahenol. Beuh… Idaman setiap laki-laki lah..” “Gitu ya Pak Dhe…?” “Iyalah… Siapa juga yang ga mau punya istri seperti Ibumu, Le…” Puji Pak Darman, “Semisal Pak Dhe bisa memutar waktu, udah Pak Dhe hamilin duluan tuh Ibumu… Biar bisa nikah ama Pak Dhe… Hahahaha…” “Hah…? Hamilin Ibu…?” “Heeeh… Darman… “ Teriak Ayah lantang sambil melempar ember minuman dari jauh. “Jangan kau racuni cerita asmaraku dengan stensilan mesummu…” Sahut Ayah dengan nada sebal. “Hahaha… Biarin.. Biar putramu ini tahu, sebejat apa Ayahnya dulu, ketika memperebutkan Ibunya dariku… Hahahaha…” “Bangsaaattt… Enak aja memperebutkan Riani darimu… Riani udah kesengsem duluan ama aku… Jangan kau tambah-tambahin ceritanya…” Umpat Ayah yang kali ini, melempar 2 ember secara berbarengan kearah Pak Darman. “Hahahaha… Memang bajingan tuh si Sumarto, bisa beruntung banget dapet bini seperti Ibumu…” Ucap Pak Darman yang menyempatkan diri karena kelengahanku, untuk menghantam lenganku lagi JBUG JBUG JBUG Mendengar perdebatan Pak Darman dan Ayah, aku tiba-tiba menjadi penasaran. Ada apa gerangan, antara Ibu, Ayah dan Pak Darman itu. “Berhasil masuk…” Seru Mang Ujo, ketika kuda Pak Darman telah berhasil dikawinkan dengan kuda Ayah. “Pejuhnya… Ga ada yang keluar…?” Tanya Pak Darman “Masuk semua, Juragan…” Jawab Mang Ujo “Bagussss… Semoga langsung jadi ya, To…” Ucap Pak Darman memanggil nama belakang Ayah sambil menjabat tangannya. “Amiiinnn…” Sahut Ayah singkat, “Jangan lupa pelunasan uang panjernya, Man…” “Amaaannn…” “Sore ini loh ya…?” Celetuk Ayah basa-basi. “Siaaapp… “ Sahut Pak Darman sambil mengacungkan jempol, “Asal yang ambil duitnya, Riani…” “Yooohhhh…” Sahut Ayah mengiyakan. “Suruh pake baju seksi juga…” Goda Pak Darman “Kalo gitu… Tambah 50 juta…” Pinta Ayah “Okee… Gamasalah… Malahan… Aku kasih bonus 100 juta lagi, kalo dateng ga pake Beha…” “DEAL…” Ucap Ayah tersenyum lebar. “Bener ya…?” Tambahnya sambil menjulurkan tangan “Yoooohhhh…” Balas Pak Darman tersenyum girang. Menjabat tangan Ayah penuh semangat Sebenarnya aku tahu, Pak Darman adalah seorang yang humoris. Akan tetapi, apa yang Ayahku bicarakan dengannya, membuat isi kepalaku, penuh dengan tanda tanya. “Ibuku diminta datang mengenakan pakaian seksi kerumah Pak Darman..? Apa maksud lelaki tua itu…? Kok bisa-bisanya meminta ibuku datang kerumahnya tanpa beha…? Dan anehnya lagi, kok Ayah tak marah mendengar permintaan aneh itu…?” Memikirkan segala jawaban yang ada, membuat batang penisku seketika itu mengeras. Menggelembung di tengah selangkanganku.
– – – – – – -
Sepanjang hari, otakku berpikir keras mengenai teka-teki yang muncul akibat percakapan Ayah dengan Pak Darman mengenai Ibu. Namun, sekeras apapun aku berusaha mencari jawabannya, sama sekali tak membuahkan hasil. Yang ada, penisku makin mengeras karena menebak-nebak segala kemesuman yang ada dibalik obrolan aneh mereka barusan. “Secara genetik, kuda betina bertanggung jawab atas setidaknya 50-60 persen anak kuda..” Kata Ayah sedikit memberikan penjelasan ketika sedang mengawinkan pasangan kuda ketiga hari itu. “Karena Ibu kuda yang bagus, akan memberikan kemungkinan anak kuda yang premium juga..” “Ibu kuda yang sehat, besar, ramah, dan penurut, adalah segalanya…” Sambung Ayah lagi. “Oleh karenanya, ketika mendapat satu keturunan yang bagus, Ayah akan mengulangi perkawinan itu lagi…” “Dengan kuda sebelumnya…?” “Iya… Bahkan jika kuda anakannya lebih juara daripada bapaknya… Ayah akan mengawinkan anak kuda itu dengan ibunya…” “Ibu kuda.. Dikawinkan dengan anak kudanya sendiri…?” Ulangku. Ayah melirik kearahku. “Kenapa…?” “Ibu dikawinin dengan anaknya sendiri…?” Ulangku lagi dengan alis bertaut. Lagi-lagi, Ayah melirik kearahku. Kemudian tertawa, “Jangan terlalu kamu pikirin, Le. Itu hanya berlaku buat keluarga kuda… Belum tentu berhasil dengan keluarga manusia… Itu incest… Hahaha…” “Tapi, Yah….” Potongku masih penasaran, “Nabi dulu khan juga mengawini saudara-saudara kandungnya…” “Iya.. Tapi khan itu jaman dulu…” “Emang kalo sekarang kenapa…?” “Hmmm.. Kamu penasaran ya, Le…? Emangnya kamu mau ngentotin ibumu? Hahaha…” Goda Ayah dengan senyum mencemoohku. “Udah-udah… Obrolan kita makin absurd…” Sergah Ayah menghentikan topik pembicaraan yang makin melenceng ini.
– – – – – – -
Sepulang dari kandang, entah kenapa pikiranku menjadi begitu kalut. Aku masih terbayang-bayang dengan kalimat Ayah mengenai persetubuhan ibu anak tadi siang. Meskipun konteks pembicaraan itu seputar hewan ternak, akan tetapi inti obrolan itu jadi melebar kemana-mana. ”Emangnya kamu mau ngentotin ibumu…?” Kalimat Ayah kembali terngiang-ngiang dibenakku. “Ngentotin Ibu…?” Ulangku sambil mencoba memahami kalimat aneh yang seharian ini berputar-putar di kepalaku. “Ibumu cantik loh. Ibumu seksi. Badan Ibumu sehat bener ya? Semok. Tetek Ibumu besar banget. Postur Ibumu sempurna. Ibumu kalem. Ibumu penurut. Ibumu… Ibumu… Ibumu….” AAAARRRGGGHH “Ada apa sih dengan dirikuuuu…” Raungku sambil meremas batang penisku yang sedari makin menegang karena pemikiran-pemikiran mesum yang semula tak pernah ada di kepalaku. “Udah pulang nak..?” Sapa Ibu ketika melihatku berdiri mematung di depan pintu rumah. Sejenak, aku tertegun melihat ibu. Ternyata, selama ini aku tak sadar jika parasnya begitu cantik. Dan lagi penampilannya, begitu menarik. Aku seolah baru saja melihat sesosok wanita yang sama sekali belum pernah aku kenal. Kuamati lagi sosok wanita sempurna dihadapanku. Ibuku, seorang jawa asli. Berkulit kuning langsat, dengan rona dipipi ketika ia tersenyum ataupun kepanasan. Rambutnya hitam lebat, sepanjang pinggang. Yang selalu memamerkan leher jenjangnya ketika rambut itu digelung dibelakang kepala. Tinggi tubuh ibu se-pelipisku. Ramping dengan pinggang yang meskipun sedikit tertutup lemak, tetapi masih meliuk menggiurkan. Dan yang paling juara, adalah payudaranya. Yang dengan bodohnya, baru aku sadari, jika ukurannya begitu besar. Bahkan saking besarnya, aku bisa melihat dua tonjolan mungil yang menyembul dibalik daster mungilnya. “Itu pentil Ibu…” Batinku yang menyadari, jika ibu selama ini, jarang mengenakan beha ketika sedang berada dirumah. “Rama…?” Panggil ibuku sambil melambaikan tangannya ke wajahku. “Ehhh..? I.. Iya Bu…” Jawabku gelagapan. Buru-buru mengalihkan tatapan mataku dari payudara Ibu. “Kamu kok diem aja disitu…? Ayo masuk Nak, pamali kalo berdiri ditengah-tengah pintu gitu..” “I… Iya Buu…” Jawabku kikuk sambil buru-buru membuang pikiran mesumku.
– – – – – – -
“Ramaaaa.. Makan malemnya udah Ibu siapiinn…” Panggil Ibu dari balik dapur, “Ayo makan dulu…” “Iyaaaa… Sebentar…“ Jawabku tanpa mengindahkan panggilan Ibu karena masih sibuk rebahan dilantai untuk bermain game console. Aku tahu, biasanya Ibu akan membawakan makanan ke kamarku, ketika aku tak ikut turun untuk makan bersamanya. “Heh Rama… Ayo taruh dulu itu stick gamenya… Makan dulu…” Ucap Ibu yang tak lama kemudian, muncul dari balik pintu kamarku. Melihat Ibu sore itu, aku tiba-tiba tersedak. UHUK UHUK UHUK. “Aduh Nak, kamu parah deh… Masa ngeliat Ibu, kamu bisa keselek gitu…” Ucap Ibu yang kemudian meletakkan nampan saji disampingku. “Raamaaa… Rama… Kamu memang anak ******…” Umpatku dalam hati ketika melihat penampilan ibu sore itu. Sebenarnya, tak ada yang special dari apa yang Ibu kenalan sore itu. Ibu hanya mengenakan daster tidur kegemarannya yang setiap hari ia kenakan. Mirip seperti daster bali warna-warni polos yang potongan bawahnya cukup tinggi. Memamerkan kaki jenjang ibu yang putih mulus. Ditambah bukaan lehernya rendah banget, seolah mempertontonkan payuda Ibu yang bergoyang-goyang seiring langkah kakinya ketika berjalan.. “Leher Ibu tanpa lipatan kulit… Mulus ta ada kerutan…” “Pundak Ibu, benar-benar bening. Mengkilap karena siraman cahaya lampu kamar…” “Ketek Ibu, putih mulus. Tanpa rambut sama sekali..” “Urat-urat tetek Ibu, terlihat begitu nyata dihadapanku…” “Dan kulit kakinya yang seperti pualam, terlihat begitu halus, tanpa cela ataupun luka…” Aku hanya melongo melihat sosok wanita dewasa yang ada disampingku ini. “Rama…? Rama? “Panggil Ibu heran melihat tatapan mataku, “Heeh Rama…” Panggil Ibu lagi sambil menyentil dahiku. CTUK “Ini Ibu bukan sih…?” Ucapku spontan karena seolah tak mengenali sosok wanita tersebut. “Ini Ibu, Rama.. Emang kamu pikir siapa…?” “Ibu Cantik…” Sahutku yang masih belum sadar akan kalimat ucapanku. “Iiihhhsss.. Menghinaaa… Ibu ga makepun gini dibilang cantik…” Balas Ibu tersipu, “Ini kamu bilang cantik-cantik, nanti pasti ujung-ujungnya kamu mau minta tambahan uang saku yaa..?” “Hahaha. Enggak Bu, aku baru sadar, kalo Ibu ternyata memang cantik…” CTUK Sentil Ibu lagi, tanpa mempedulikan tatapan dan lirikan mataku yang merekam seluruh gerak-gerik serta aurat tubuhnya yang menggiurkan. “Genit…” Jawab Ibu singkat, “Udah mulai ngegombal kamu ya…” “Enggaak Buu.. Ibu memang cantik…” “Udah-udah… Ayo buruan dihabiskan ini makanannya. Nanti keburu dingin…” “Sebentar Bu, nanggung. Ini kalo aku tinggal, aku bisa kalah…” “Yaudah, sini coba, Ibu terusin gamenya..” “Emang bisa…?” Tanyaku ragu dengan jawaban Ibu “Gampil… Game gini mah sambil merem juga bisa Ibu kelarin…”Ucap Ibu sotoy, yang tanpa aba-aba, langsung merebut stick game dari tanganku. “Eeehh.. Ehhh.. Buu…” Seperti dugaanku, Ibu sama sekali tak bisa memainkan game tersebut. Berulang kali, jagoan di game itu mati. Bahkan, beberapa kali, Ibu harus kembali memulai level sebelumnya. Namun, Ibu tak mudah menyerah. Ia terus berusaha dengan serius, membantu memainkan jagoan gameku, hingga ke level selanjutnya. Tanpa menghiraukan aurat tubuhnya, kurekam tanpa jeda oleh mata mesumku. Mungkin, karena ibu sudah terbiasa dengan cara berpakaiannya, ia sama sekali tak risih akan sikap dan perilaku penasaranku sore itu. Bahkan, meskipun sesekali putting payudaranya terlihat olehku, sikap Ibu masih biasa-biasa saja. “Astaga, putting tetek Ibu imut banget…” Erangku sambil menahan ereksi kemaluanku yang makin terlihat jelas. Menggelembung kearah yang salah, ditengah selangkanganku. Ingin rasanya kurogoh batang penisku, supaya bisa ngeceng lebih nyaman. “Heeeehh.. Lihat apa kamu Rama…?” Celetuk Ibu ketika mendapati mata mesumku melirih kearah payudaranya, “Ayo buruan, dihabiskan lagi itu makanannya…” Sambung itu tanpa membetulkan posisi pakaiannya yang masih terbuka disana-sini. Ingin rasanya, kuremas payudara Ibu yang menggemaskan itu. Ingin rasanya, kukenyot putting coklat muda itu. Tanpa sepengetahuannya, aku keluarkan handphoneku. Dan merekam setiap gerak-gerik Ibu. Wajah seriusnya, goyangan payudaranya, intipan celana dalamnya, hingga gerakan-gerakan kaki jenjangnya, tak luput dari rekaman sembunyi-sembunyiku. ANJIMMM. Ibu memang seksi. “Udah ah… Ibu nyerah…” Ucap Ibu sambil menyerahkan stick game kearahku, “Susah ternyata…” “Apanya yang susah sih Buu..Lihat nih.. Gini-gini-gini…” Sombongku memamerkan kemahiranku bermain game. “Dibilangin ga percaya sih…” “Hahaha. Game jaman sekarang, ga semudah jaman Ibu dulu ya..” “Yaaah, ya jangan samain Bu, game congklak dengan game mahal kaya gini… Hahaha…” “Ihhhhssss. Songong ya kamu sekaaranggg…” Cubit Ibu menarik kedua pipiku kekanan dan kekiri. Kemudian menggoyang-goyangkan cubitannya, mirip seperti sedang menyetir mobil. Membuat mataku, tak henti-hentinya menatap ke arah putting serta payudara Ibu juga pontang-panting seiring gerakan tubuhnya. Lucu. Menggemaskan. Sekaligus membuatku terangsang. Dan setelah acara makan malam serta bermain game bersama Ibu selesai. Ibu langsung membawa peralatan makan itu keluar kamar. Sementara aku, buru-buru kekamar mandi, untuk melepas beban yang sudah begitu membuncah dipikiranku. GILA. Ternyata, memang benar dengan apa yang dikatakan orang lain. “Ibu ternyata memang seksi… Ibu ternyata menang jago bikin kontolku terangsang…” Tanpa menunggu waktu lama, aku segera mengambil sabun guna membalurkan di sekujur batang penisku. Setelah itu, kukocok kemaluanku itu kuat-kuat, sambil menonton video kemulusan dan keseksian tubuh Ibu yang baru aku dapatkan barusan. TEK TEK TEK TEK Suara betotan kulit kulupku, mulai berbunyi nyaring, seiring gerakan tanganku yang maju mundur dengan cepat di sekujur batang penisku. TEK TEK TEK TEK TEK TEK TEK TEK “Ssshhh.. Ibuuu.. Maafkan kesangean anak kandungmu ini, Bu…”
***
Bersambung,