Mbah Surip, sang penjual mainan tua, duduk di atas tikar depan restoran Soto. Wajah keriputnya tersenyum ramah kepada setiap anak yang lewat, menggoda mereka dengan mainan-mainan murah yang tersusun rapi di depannya. Dari balon hingga boneka, semuanya terpampang dengan apik, menarik perhatian anak-anak yang tak sabar memilih.
Sambil menyusun ulang boneka dan mengelap balon agar mengkilap, Mbah Surip menyanyikan lagu-lagu kenangan masa kecilnya dengan suara merdu dari mainan musik lama yang ia mainkan. Bunyi gemerincing mainan dan tawa riang anak-anak yg bercanda dengan keluarga merekamenjadi bagian tak terpisahkan dari suasana di depan restoran soto.
“Dek, mau mainan? Ayo lihat-lihat, mainan murah-murah,” ucap Mbah Surip dengan suara lembut, senyum hangat di wajah keriputnya. beberapa anak kecil berbondong-bondong mendekat, tertarik dengan mainan-mainan yang ditawarkan, dan Mbah Surip dengan penuh kegembiraan melambaikan tangan mengajak mereka memilih.
Sayangnya, melihat penampilan mbah Surip yg agak kotor dan dekil, orang tua anak-anak mulai gelisah melihat anak-anak mereka menghampiri pedagang mainan itu. Dengan wajah serius, mereka mendekati anak-anak dan memanggil mereka pulang, berusaha menjauhkan mereka dari penjual mainan tua yang duduk di depan restoran Soto.
Mereka menarik tangan anak-anak mereka dengan lembut, berbisik agar segera pulang, sementara mata tajam mereka melirik ke arah Mbah Surip dengan ketidaksenangan yang jelas terpancar dari ekspresi wajah mereka.
“Jangan dek, udah ada mainan kyk gt dirumah, yuk pulang sekarang,” tegur salah seorang orang tua dengan suara tegas, sementara yang lain mengancam dengan nada serius agar anak-anak segera menjauhi Mbah Surip. Suasana yang tiba-tiba tegang menghiasi pagi di depan restoran Soto, meninggalkan Mbah Surip sendirian dengan mainan-mainannya yang tak lagi begitu diminati.
Mbah Surip melihat dengan hati sedih anak-anak dari keluarga kaya yang menjauhinya. Dengan napas berat, ia mulai mengumpulkan mainan-mainan murah yang tak lagi diminati, tersadar bahwa mainan-mainan tersebut tidaklah cocok untuk anak-anak dari kalangan yang jauh berbeda dengan dirinya. Namun, ia tetap tersenyum pahit, menerima kenyataan dengan lapang dada.
Dengan perlahan, Mbah Surip memasukkan mainan-mainan itu ke dalam keranjang, menyusun rapi beberapa maina yg ia tata di tikarnya. Ia memandang mainan-mainan itu dengan mata yang penuh dengan kesedihan, tetapi juga penerimaan akan takdir yang telah terjadi.
“Mungkin mainan ini terlalu tradisional untuk anak jaman sekarang,” gumam Mbah Surip dengan tatapan melankolis, suara lirihnya terdengar di antara suara ramai di depan restoran Soto. Ia menyadari bahwa dunianya yang sederhana tidak selalu bisa menjangkau hati anak-anak dari kalangan berbeda.
Perut Mbah Surip mulai menggeram, dan ia merasakan kelaparan mulai menguasai dirinya. Dengan gemetar, ia memegang perutnya yang keroncongan, sementara matanya melirik ke arah restoran Soto yang penuh dengan aroma harum makanan.
Mbah Surip mengeluarkan dompet kecilnya dan membukanya perlahan. Ia melihat isi dompet yang hanya terdiri dari beberapa lembar uang kertas, dan saat ia menghitung-hitung, ia menyadari bahwa uang yang ia punya hanya 5000 rupiah. Angka itu takkan cukup untuk membeli makanan di restoran.
“Hhhhh gk cukup ya…,” desah Mbah Surip dengan suara tertekan, keputusasaan mulai merayap dalam dirinya. Ia merasa terpaku di tempat, tidak tahu harus berbuat apa dalam situasi yang sulit ini.
Mbah Surip melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar kata-kata cabul yang diucapkan si cantik nakal. Dengan hati-hati, ia memastikan privasi percakapan mereka terjaga, khawatir akan potensi konsekuensi dari percakapan yang semakin meresahkan di antara mereka.
Dengan perasaan putus asa, Mbah Surip menghela napas panjang. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan dirinya sendiri di tengah situasi sulit ini. “Diamlah, perutku,” bisiknya pelan, berharap agar kelaparan yang melanda perutnya bisa mereda.
Dengan tangan yang menekan perutnya yang keroncongan, Mbah Surip menarik napas dalam-dalam mencoba meredakan rasa kelaparan yang semakin menggelayut. Ia merasakan perutnya bergemerutuk, tetapi ia tetap berusaha untuk menahan diri agar tidak terlalu terganggu oleh rasa lapar.
“Harus kuat, jangan menyerah,” Mbah Surip berbisik pada dirinya sendiri, suara dalam hati yang berusaha memberikan semangat di tengah kesulitan yang sedang ia hadapi. Ia tahu bahwa ia harus bertahan, meskipun kelaparan itu terasa semakin menyiksa.
Tiba-tiba, seorang gadis cantik muncul di depan Mbah Surip, menanyakan harga salah satu mainan tradisional yang ia jual. Dengan sopan, Mbah Surip memanggilnya ‘Neng’, tidak mengetahui nama gadis itu dan ingin bersikap sopan kepada pelanggannya. Ia tersenyum ramah sambil siap memberikan penjelasan tentang mainan yang diminati oleh Neng.
Mbah Surip dengan antusias menunjukkan salah satu mainan tradisional kepada Neng, menjelaskan dengan detail tentang fungsi dan keunikan mainan tersebut. Sementara itu, senyum hangat tak pernah lepas dari wajah keriputnya, menyambut gadis itu dengan penuh keramahan.
“Mau beli mainan Neng? Silahkan dilihat-lihat dulu. Nah yg ini cantik lho kyk neng ini” ucap Mbah Surip dengan suara lembut, sambil tetap menunjukkan mainan tersebut kepada gadis cantik di hadapannya. Senyum ramahnya mengembang, berharap dapat memuaskan hati gadis itu dengan penawaran mainan tradisional yang ia jual.
Gadis itu tertawa kecil ketika dipuji oleh Mbah Surip sebagai ‘gadis cantik’. Wajahnya sedikit tersipu malu, namun keramahan terpancar dari matanya. Melihat reaksi gadis itu, Mbah Surip ikut tertawa dan lega gadis itu tak tersinggung dg kata-katanya.
“Aah mbah ini bisa aja bilang cantik-cantik”, kata gadis itu.
“Benar kan, Neng? Neng ini kan memang cantik,” ucap Mbah Surip sambil tertawa hangat.
Dengan rasa penasaran, gadis itu pun bertanya tentang nama Mbah Surip, ingin lebih mengenal orang yang telah ramah kepadanya. Mbah Surip dengan senang hati memberikan nama aslinya, dan kemudian gadis itu pun memperkenalkan diri sebagai Intan, dengan senyuman yang tak kalah memikat dari keceriaan yang terpancar dari matanya.
“Nama saya Mbah Suripneng,” sapa Mbah Surip dengan senyum ramah, sementara Intan membalas sapaan dengan senyuman yang tak kalah ramahnya. Mereka berdua saling menyapa.
Intan dengan kebaikan hatinya bertanya kepada Mbah Surip apakah ia sudah sarapan pagi. Mbah Surip dengan jujur menjawab bahwa ia belum sempat makan, sibuk dengan urusan dagangannya.
Mbah Surip menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut, mengakui bahwa ia memang belum sempat makan pagi hari ini. Rasa lapar mulai mengganggunya, namun ia tetap berusaha untuk tetap bersemangat dalam menjalani hari.
“Belum, Neng. Terlalu sibuk dengan dagangan,” ucap Mbah Surip dengan suara ramah, sambil mengakui bahwa ia belum sempat makan pagi. Rasa lapar mulai menghantuinya, namun kebaikan Intan telah membuatnya merasa hangat dan dihargai di tengah kesibukannya.
Dengan tegas, Intan mengusulkan untuk membelikan Mbah Surip sepiring Soto. Meskipun awalnya Mbah Surip menolak, namun akhirnya ia setuju setelah Insan bersikeras.
Intan menunjukkan sikapnya yang tegas dan gigih, melihat keadaan Mbah Surip yang lapar. Wajahnya terpancar senyum senang ketika akhirnya Mbah Surip setuju untuk menerima tawarannya.
“Udah mbah ikut saya aja beli Soto, Mbah. Kita makan bersama,” ucap Intan dengan suara penuh kebaikan, sambil menawarkan bantuan untuk berbagi makanan dengan Mbah Surip.
Dengan perasaan sedikit canggung, Mbah Surip akhirnya menerima tawaran dari Intan untuk membelikannya sepiring Soto. Meskipun agak malu, ia mengakui rasa laparnya dan tersenyum malu-malu.
Mbah Surip mengangguk setuju saat menerima tawaran dari Intan, merasa sedikit terharu dengan kebaikan hati gadis itu. Meskipun canggung, ia berhasil menahan senyum malu di bibirnya, menghormati tawaran yang diberikan.
“Terima kasih, neng Intan. Saya terharu dengan kebaikan neng Intan,” ucap Mbah Surip dengan suara penuh rasa, sambil mengakui bahwa ia sedikit canggung namun juga merasa terharu dengan tawaran yang diberikan. Senyum malu terukir di wajah Mbah Surip, menunjukkan perasaan campur aduk yang ia rasakan.
Dengan langkah cepat, Intan berlari masuk ke dalam restoran dan memesan dua porsi Soto serta dua gelas teh hangat untuk mereka berdua. Ia ingin memastikan Mbah Surip mendapatkan makanan yang cukup dan minuman yang hangat.
Berdesak-desakan di antara para pelanggan lain, Intan terlihat sibuk memesan makanan dan minuman untuk dirinya dan Mbah Surip. Mereka duduk di salah satu meja yg kosong sambil menunggu pesanan mereka segera datang, sehingga mereka bisa menikmati hidangan bersama.
“Aku pesan Soto dan teh untuk kita, Mbah. Semoga mbah suka ya,” ucap Intan dengan suara bersemangat, sambil menyampaikan harapannya agar Mbah Surip menyukai hidangan yang ia pesan. Senyum ramahnya menggambarkan keinginannya untuk memberikan yang terbaik bagi Mbah Surip.
Mbah Surip terbelalak dan tak percaya ketika Intan mengajaknya untuk makan bersama. Ia mengira Intan hanya akan pesan makanan untuknya saja kemudian pergi tp ternyata ia salah.
Dengan perasaan campur aduk antara kaget dan senang, Mbah Surip malu-malu merasa terharu dengan tindakan baik Intan. Ia pun bersiap-siap untuk menikmati sarapan pagi bersama Intan, merasa dihargai sebagai manusia yg memang membutuhkan bantuan orang lain oleh gadis itu.
“Benar, Neng? Mau makan bareng denganku? Wah saya gak nyangka aja neng,” ucap Mbah Surip dengan suara penuh kebahagiaan, sambil menyatakan rasa terima kasihnya kepada Intan. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya, menunjukkan betapa senangnya ia dengan kejutan dan kebaikan yang diberikan oleh Intan.
“Hihi ya gak apa-apa donk, lagian saya juga belum sarapan”, kata Intan.
Tak lama, pelayan yang membawa pesanan keduanya pun datang dan menaruh 2 mangkuk soto dan 2 gelas teh hangat di meja mereka.
Mbah Surip dan Intan duduk bersama, menikmati hidangan Soto dan teh hangat mereka, sementara pengunjung lain di restoran melihat dengan tanda tanya di wajah mereka. Suasana canggung mulai terasa di sekitar mereka.
Beberapa pengunjung lain mulai bergumam dan saling berbisik, bertanya-tanya mengenai kenapa Mbah Surip dan Intan yang terlihat akrab. Mereka menciptakan suasana penasaran di sekitar meja tempat Mbah Surip dan Intan duduk, mencoba mencerna kejadian yang terjadi di depan mereka. Meski begitu beberapa menyimpulkan Intan sebagai gadis yg sangat baik hati sehingga mau makan dengan orang yang terlihat jauh dibawah kastanya.
Mbah Surip menyadari bisikan-bisikan di sekitar mereka, namun ia melihat bahwa Intan sepertinya tidak menyadari apa yang terjadi di sekeliling mereka. Ia memperhatikan dengan was-was namun tetap tersenyum untuk mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Mbah Surip mencoba mengalihkan pandangannya dari pengunjung yang bergumam di sekitar mereka, berusaha untuk bersikap cuek meskipun hatinya sedikit gelisah. Ia kemudian memfokuskan perhatiannya pada makanan yang ada di depannya, berharap suasana akan segera tenang.
“Apa neng Intan tidak sadar ya?,” gumam Mbah Surip dalam hati, dengan wajah yang sedikit was-was meskipun mencoba untuk tetap tenang. Ia berharap agar kehadiran mereka bersama tidak menimbulkan masalah bagi Intan, yang tengah menikmati hidangan bersama dengannya.
Mbah Surip kaget saat Intan mulai bertanya mengenai kehidupan Mbah Surip, ingin tahu lebih banyak tentang pengalaman dan cerita di balik sosok yang duduk di hadapannya. Ia mendengarkan dengan antusias, memperlihatkan ketertarikan yang tulus.
Mbah Surip dan Intan mulai berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, tertawa bersama mengingat kenangan-kenangan yang lucu. Mereka terlihat akrab di tengah bisikan-bisikan yang terus terdengar di sekeliling mereka.
“Mbah, ceritakan lebih banyak tentang masa mudanya donk. Saya ingin tahu,” ucap Intan dengan suara penuh semangat, sambil menatap Mbah Surip dengan tatapan yang antusias. Mereka mulai akrab melalui percakapan yang penuh tawa itu. Kalau saja mbah Surip memakai baju yg rapih dg penampilan yg lebih bersih dan tak sekotor ini, mungkin keduanya akan dikira kakek dan cucu saja dan tak ada yang akan perduli dengan keduanya.
Mbah Surip mulai bertanya tentang Intan, tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang gadis muda di hadapannya. Intan mulai berbagi pengalaman sebagai mahasiswa baru yang baru saja memulai kuliah bulan ini, menceritakan kegembiraan dan tantangan yang dia hadapi.
“Saya mahasiswa baru, Mbah. Semoga bisa menyelesaikan kuliah dengan baik,” ucap Intan dengan suara penuh semangat.
Ditengah-tengah obrolan keduanya, Mbah Surip tidak bisa menghindari melirik lekuk dada Intan yang terlihat dari tank top-nya, dan ia terpana sejenak. Tersentak oleh pemikiran kotor yang muncul, pandangannya pun terpaku pada lekuk yang menggoda itu.
Meskipun berusaha untuk tetap fokus pada percakapan, Mbah Surip tidak bisa menahan diri untuk tidak tergoda oleh pemandangan yang menggoda di depan matanya. Ia menelan ludah, berusaha memaksa dirinya sendiri untuk tetap berpikir jernih.
“Lekuk dada Intan begitu menggoda sekali… Pasti isinya juga besar dan indah…,” batin Mbah Surip, meskipun pikirannya terganggu oleh kecantikan yang terpancar dari tubuh gadis di hadapannya. Napasnya agak tersengal-sengal, mencerminkan kegelisahan dr nafsu yang mulai muncul.
Intan perlahan menyadari pandangan Mbah Surip yang terus teralih pada dadanya, dan meskipun sedikit tersanjung, ia merasa merinding oleh tatapan itu. Namun, secara diam-diam, Intan merasakan dirinya terangsang oleh pandangan penuh hasrat dari Mbah Surip.
Dengan perasaan campur aduk, Intan tanpa sadar menyentuh bibirnya sendiri, merasakan denyut-deyut yang tak terduga di seluruh tubuhnya. Hatinya berdebar-debar, sementara rahangnya terkatup erat menahan gelora yang mulai memenuhi dirinya.
“Apa yang sedang terjadi padaku? Mengapa tatapan si kakek itu begitu… membangkitkan…,” batin Intan dalam kebingungan, sementara napasnya mulai tersengal-sengal akibat perasaan yang sulit ia kendalikan. Hasrat yang terpendam mulai memuncak di dalam dirinya, tanpa ia sadari sebelumnya.
Dengan senyuman kecil dan nada nakal, Intan bertanya kepada Mbah Surip mengapa ia terus menatap dadanya, suara penuh keberanian dan kegairahan. Ia ingin mengetahui alasan di balik pandangan penuh hasrat yang terus menerus dari pria tua di hadapannya.
Sambil memelintir rambutnya dan gerakan sedikit sensual, Intan memamerkan dadanya dengan sedikit gerakan tubuh yang menantang.
“Liatin apa sih mbah? Liatin ini ya?” tanya Intan dengan nada nakal, suaranya bergairah dan penuh keberanian. Ia mencoba menggoda Mbah Surip dengan pertanyaan yang penuh dengan tantangan, sambil membusungkan dadanya kedepan.
Mbah Surip terkejut dan sedikit bingung dengan pertanyaan Intan, ia gelagapan mencoba membantah bahwa ia telah menatap dengan penuh nafsu pada dadanya. Dengan muka yang memerah, ia berusaha keras untuk menyangkal kenyataan yang sebenarnya.
Berusaha menutupi kebingungannya, Mbah Surip berkedip cepat dan tersenyum canggung, sambil merasa tangan yang gemetar karena kegugupan. Ia mencoba untuk membantah kenyataan yang terang-terangan, meskipun hatinya seakan tahu bahwa tidak ada gunanya menyembunyikan keinginan yang sebenarnya.
“Bukan, bukan begitu, neng Intan. Saya… saya tidak sengaja,” ucap Mbah Surip terbata-bata, suaranya gemetar karena usahanya untuk menyangkal kenyataan yang begitu jelas. Meskipun berusaha keras, keinginannya yang sebenarnya terus merayap ke permukaan, sulit untuk disembunyikan.
Intan tak terlihat marah, ia masih saja tersenyum dan kemudian mengutarakan keinginannya secara merayu dengan berbisik pada Mbah Surip. Dengan suara yang penuh godaan, ia mengejutkan pria tua itu dengan permintaan yang tak terduga, menyiratkan keinginannya untuk memiliki “teman” di kota baru tersebut.
Mbah Surip terkejut namun merasa tergoda oleh permintaan tak terduga yang disampaikan secara merayu oleh Intan. Dadanya mulai berdebar-debar dan pikirannya dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang tidak senonoh, merasakan sensasi yang memabukkan di tengah percakapan yang semakin intens.
“Saya gk marah kok mbah. Tp karena Intan masih baru di kota, saya kyknya butuh ‘teman’,” bisik Intan pada Mbah Surip dengan penuh godaan, sambil menampilkan senyum nakal di wajahnya. Ungkapan tersebut menyiratkan keinginannya untuk lebih dari sekadar pertemanan, menciptakan energi yang semakin panas di antara mereka.
Mbah Surip, sebagai seorang pria, tentu saja dapat mengetahui makna tersembunyi dari kata-kata Intan. Namun, ia tetap merasa ragu dan takut bahwa Intan hanya bercanda. Siapa yang mau melakukan hal seksual dengan pria tua, jelek, dan miskin seperti dirinya?
Dalam batinnya, Mbah Surip merasa tidak percaya diri dan cemas. Ia berpikir negatif, meragukan bahwa Intan benar-benar serius dengan ajakannya. Keraguan dan ketakutannya membuatnya merasa semakin terjebak dalam situasi yang membingungkan di antara mereka.
“Siapa yang mau dengan pria tua, jelek, dan miskin sepertiku? Mungkin ini hanyalah lelucon belaka,” batin Mbah Surip, dipenuhi oleh pikiran negatif dan rasa tidak percaya diri akan dirinya sendiri. Ia merasakan konflik internal yang membingungkan di tengah keinginan terlarang yang mulai melandanya.
Mbah Surip menanggapi dengan skeptis, mengatakan bahwa apa yang Intan katakan pasti hanya sebuah lelucon. Dengan rasa ragu dan kekhawatiran, ia mencoba untuk menekan hasrat yang mulai timbul di dalam dirinya, takut untuk percaya bahwa keinginan yang terlarang tersebut dapat menjadi kenyataan.
“Ah neng ini, pasti itu hanyalah lelucon, kan? Tidak mungkin neng serius, kan?” ucap Mbah Surip dengan ragu, menunjukkan ekspresi waspada dan defensif. Ia mencoba untuk menekan keinginan yang mulai memuncak di dalam dirinya, tidak yakin apakah percakapan ini benar-benar berakhir di situ atau akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih panas seperti harapan dari nafsunya.
“Lhoo kok dikira bercanda sih mbah?”, tanya Intan dengan nada menantang, sambil tersenyum misterius dengan mata penuh godaan. Ungkapannya menunjukkan ketertarikannya pada respons dari pria tua itu, menciptakan dinamika yang semakin intens di antara mereka.
Dengan reaksi yang defensif, Mbah Surip menghindari kontak mata dan menunjukkan ekspresi sedih. Sikapnya pasrah dan penuh dengan rasa rendah diri, mencerminkan perasaan yang membebani hatinya di tengah pengakuan yang sulit untuk diutarakan.
“Yaaa, saya kan cuma pria miskin, terlalu tua, dan jelek kalau dibandingkan dengan neng Intan.” ungkap Mbah Surip dengan suara rendah, sambil menunjukkan ekspresi sedih yang mendalam. Pengakuan tentang keterbatasan dirinya itu membuatnya merasa semakin terpukul di hadapan keinginan yang begitu menggoda dari Intan.
Tapi kemudian Intan menanyakan sesuatu yang bisa membuat laki-laki tua manapun kena serangan jantung.
“Mbah, tapi ‘senjata’mu masih bisa ‘berdiri’ gak mbah” tanya Intan dengan nada suara nakal yang menyiratkan keinginannya, tanpa menyadari dampak kata-katanya yang begitu mengejutkan. Pertanyaan tersebut menciptakan ketegangan dan kebingungan di kepala mbah Surip.
Mbah Surip mengangguk pelan, dan dalam benaknya, kemungkinan untuk melakukan sesuatu yang nakal membuatnya ingin mengambil risiko. Di tengah keinginan yang semakin membara, ia merasa tergoda untuk menjelajahi wilayah terlarang dengan si cantik nakal itu, tanpa memikirkan konsekuensi dari niat nakal yang mulai menghantui pikirannya.
“Buktikan padaku, Mbah. Aku ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri,” ucap Intan dengan suara menggoda, memancing dan menantang pria tua itu untuk mengambil langkah berani yang akan mengubah dinamika antara mereka.
Mbah Surip terbata-bata, menyatakan bahwa jika Intan benar-benar ingin dia membuktikan kemampuan ereksinya di sini. Dengan suara yang gemetar, ia mencoba memahami maksud sebenarnya dari permintaan ganjil yang dilontarkan oleh gadis muda itu, menunjukkan kebingungan dan kegugupan yang semakin memenuhi pikirannya.
“Di… di sini neng?” ucap Mbah Surip dengan suara gemetar, sambil menunjukkan ekspresi campur aduk dari rasa malu dan kebingungan yang memenuhi pikirannya.
Intan tertawa, membuat Mbah Surip merasa malu telah memikirkan hal kotor seperti kemampuan ereksinya menarik perhatian Intan. Namun, Intan belum menjelaskan alasan di balik tawanya, meninggalkan pria tua itu dalam keadaan bingung dan tercengang dengan reaksi tak terduga dari gadis muda itu.
“Tentu tidak di sini, mungkin kita bisa menemukan tempat yang lebih… Sepi?” ucap Intan dengan suara menggoda, menambah kebingungan Mbah Surip dengan ajakan yang begitu terbuka dan menantang. Kata-kata yang keluar dari mulut gadis cantik itu terdengar tak masuk akal bagi orang normal jika ada yang dengar.
Mbah Surip terlihat seperti terhipnotis. Keduanya selesai makan dan kemudian berjalan meninggalkan restoran. Sekarang mereka berada di dalam sebuah bangunan tak terpakai dan belum selesai. Suasana sepi dan terbengkalai menciptakan aura misteri dan ketegangan yang semakin memanas di antara mereka.
Kini keduanya berdua saja di tempat yang sepi, mbah Surip makin berani.
“Kau begitu cantik dan menggoda, Intan. Aku tak percaya aku berada di sini denganmu,” ujar Mbah Surip dengan suara penuh kagum, mata dipenuhi kekaguman dan nafsu yang semakin membara. Dengan pujian yang jujur, ia memuji kecantikan dan sensualitas Intan yang begitu memikat hatinya, menciptakan atmosfer erotis yang semakin intens di antara mereka.
“Ah mbah bisa aja nih”, kata Intan kemudian berjalan dan memutar dirinya, kini menghadap si pria tua itu.
Intan merasa terangsang oleh pujian dan ekspresi nakal Mbah Surip. Kemudian dia menggoda pria tua itu dengan perlahan melepas tank topnya. Dengan gerakan sensual, ia memperlihatkan tubuhnya yang memikat, menambah ketegangan dan gairah di antara mereka, sementara tatapan menantangnya menunjukkan betapa ia menikmati permainan provokatif yang sedang terjadi dan tatapan mbah Surip yg jelas tak percaya dg apa yg sedang terjadi didepannya.
Intan tersenyum nakal sambil melihat ekspresi nakal Mbah Surip. Lalu, ia meremas payudaranya yang telanjang, mungkin berukuran double D atau lebih, membuat pria tua itu segera melepas celananya, memperlihatkan penisnya yang tegang dan gelap. Dengan aksi provokatifnya, Intan memperlihatkan sisi liar dan menggoda dari dirinya, menimbulkan reaksi sensual dan memicu gairah yang semakin memanas di antara mereka.
Mbah Surip menggosok-gosok penisnya dengan harapan Intan akan melakukan sesuatu pada kejantanannya. Seolah memahami keinginannya, Intan mendekat dan dengan mengejutkan, ia mulai menggunakan mulutnya untuk memberikan layanan istimewa pada penis Mbah Surip.
“Mmmhh besar sekali…”, gumam Intan sebelum kemudian mencoba memasukkan benda itu kedalam mulutnya.
“Slllrrpp slllrrppp mmmmmhhhhhh mmmhhhhh… Nikmatkan, Mbah,” bisik Intan sambil mempermainkan lidahnya di sekitar ujung kontol yang tegang. Suara desahan pelan terdengar dari Mbah Surip, menandakan kenikmatan yang mulai melandanya.
“Ooouuuhhh ssshhhh edaaaan… Enak bangettthh neeeng!!”, erang mbah Surip. Tak pernah seumur hidupnya ia akan bermimpi akan merasakan mulut indah dr gadis cantik seperti Intan akan mengulum kepala kontolnya.
Dengan gerakan sensual, Intan terus memberikan perhatian khusus pada alat vital Mbah Surip. Dengan tekun, ia menjilati dan mengulum kontol hitam tua itu sehingga si kakek melenguh enak. Mbah Surip merasa sensasi hangat merambat dari selangkangannya, mendesah pelan menikmati rangsangan yang diberikan. Suara gemetar terdengar dari bibir Mbah Surip, menunjukkan betapa nikmatnya perlakuan Intan pada dirinya.
Intan terus menggoda dan menyenangkan Mbah Surip dengan keahlian blowjob-nya yang memikat. Dengan cepat, ia menuntun pria tua itu ke puncak kenikmatan. Mbah Surip mengepalkan tangan di sampingnya, menikmati sensasi yang mengalir dari ujung penisnya hingga ke seluruh tubuhnya. Nafas beratnya semakin terengah-engah, menandakan kegairahan yang semakin memuncak.
“Hhhh hhhooouuhh nnneeennggg!!! Intaannnn!!”
Seketika itu, Intan melanjutkan aksi sensualnya dengan penuh gairah. Dengan gerakan lincah, ia mempercepat ritme dan mendalamkan penetrasi mulutnya pada penis Mbah Surip.
“Kau suka, Mbah?” bisik Intan sambil menatap penuh nafsu ke arah pria tua itu. Mbah Surip merespons dengan mengangguk cepat, tubuhnya merasa terbakar oleh panas dan gairah yang semakin memuncak.
Di tengah kenikmatan yang melanda, Mbah Surip merasa dirinya hampir tak bisa menahan lagi. Sensasi yang memuncak dan desahan pelan yang terus keluar dari bibirnya menandakan bahwa dia hampir mencapai titik puncaknya. Intan terus bermain dengan penuh gairah, membawa Mbah Surip ke tepi kenikmatan yang memabukkan. Suara desahan dan gemetar semakin terdengar jelas di ruangan yang sunyi, menciptakan atmosfer erotis yang memenuhi ruang yg penuh debu dan tanaman liar itu.
Mbah Surip masih tak percaya bahwa seorang gadis cantik dengan payudara besar sedang mengulum penisnya. “Aku hampir keluar neeenggg! U… Udah neng, saya takut nanti saya akan keluar di dalam mulutmu,” desah Mbah Surip dengan napas tersengal-sengal. Namun, nampaknya Intan tak mendengar dan malah terus menyimpan penis pria tua itu di dalam mulutnya. Dengan penuh gairah, Intan mengisap dan menjilati penis tersebut tanpa ampun, mempermainkan setiap sentimeter dengan liarnya.
Intan terus mengulum dan menjilati penis Mbah Surip dengan ganas, membawa pria tua itu ke puncak kenikmatan yang tak terbendung. Rangsangan yang tak tertahankan membuat Mbah Surip tak bisa menahan lagi, dan akhirnya, cairan panas itu tumpah di dalam mulut Intan.
Crooott croooottt croooottt!!
Isi zakar si kakek pun akhirnya menyembur masuk kedalam mulut Intan. Intan tetap menahan posisinya sehingga tak sedikitpun cairan kental panas itu keluar dr mulutnya. Suara desahan penuh kenikmatan terdengar dari Mbah Surip, sementara Intan menelan semuanya dengan penuh nafsu.
Mbah Surip merasa takut Intan akan marah, namun Intan justru melepaskan penisnya dari mulut dan perlahan menelan cairan panas dari pria tua itu.
“Wow… Enak banget pejunya mbah. Tak perlu khawatir,” ucap Intan dengan senyuman nakal, sambil merasakan sensasi gurih dari sperma yang ditelannya. Pria tua itu terkejut melihat bagaimana Intan dengan sukarela meminum cairan kotor dari dirinya, menciptakan aura sensual yang semakin menggairahkan.
Sementara itu, penis Mbah Surip mulai menyusut dan terkulai, seolah telah menyelesaikan tugasnya dengan sempurna. Intan terlihat puas dengan aksinya, menunjukkan bahwa ia menikmati setiap detik dari permainan yang baru saja berakhir. Sensasi hangat dan kenikmatan yang melanda keduanya menciptakan momen intim yang penuh gairah, meninggalkan Mbah Surip terpesona oleh keanggunan dan keberanian Intan.
Mbah Surip terasa seperti berada di surga dan ia kini rebahan di tanah. Dalam kenikmatan itu mbah Surip tak menyadari sekelilingnya, Intan melepaskan hotpantsnya, membuatnya telanjang. Perlahan, ia bergerak mendekati pria tua yang terbaring, hingga akhirnya Mbah Surip sadar dan melihat vaginanya yang basah dan menggelepar tepat di atas wajahnya. Intan dengan gerakan sensual melingkarkan pahanya di sekitar kepala Mbah Surip, memperlihatkan kelembaban dan kehangatan vaginanya yang menebarkan rangsangan.
Tanpa kata, Mbah Surip terpaku dan tak bisa berkata-kata melihat keindahan dan ketertarikan yang memikat dari vaginanya yang memanas dan menggoda. Intan merasakan denyut nadinya yang cepat, mengisyaratkan keinginan liar yang semakin memuncak. Vagina Intan basah dan licin, memancarkan keinginan dan hasrat yang memabukkan, membius Mbah Surip dengan pesona dan daya tarik yang tak terbantahkan. Dengan gerakan gemetar, pria tua itu merasakan aura hangat dari vaginanya yang menggairahkan, membuatnya terlena dalam pesona dan paham apa yang Intan inginkan.
Tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun, ia merasakan kelembaban dan kehangatan vaginanya yang semakin dekat dengan wajahnya, menciptakan sensasi yang tak terlupakan. Intan bergerak dengan penuh nafsu, menunjukkan betapa dia mengendalikan situasi dan penuh hasrat. Suara desahan pelan terdengar dari kedua pasangan, menciptakan ketegangan erotis yang menguar di udara.
Intan perlahan menurunkan tubuhnya hingga akhirnya duduk di wajah pria tua yang keriput. Intan langsung mendesah kenikmatan saat vaginanya dijilat dan dicium oleh pria tua di bawahnya. Mbah Surip menjilati vaginanya dengan penuh nafsu, seolah itu adalah permen paling lezat yang pernah ia jilati. Suara desahan dan desiran basah terdengar dari Intan, menandakan rangsangan yang tak tertahankan yang ia rasakan.
“Aaaah nnnhhh aaahhhh enaaakkhh mbaaahhh… Aaahh geliii tp enaaakkhhhh…”, desah Intan merasakan kumis dan jenggot mbah Surip yg sudah ubanan seperti rambut yg sudah jarang2 di kepala pria itu.
Dengan gerakan liarnya, Intan merasakan lidah Mbah Surip yang menjelajahi setiap sudut vaginanya dengan penuh gairah.
Slllrrpp slllrppp cpppphhh aahhh slllrrpppp
Suara desahan dan rintihan kenikmatan, diiringi suara basah dan erangan dibawah memek Intan semakin menggema di ruang yang sunyi, menciptakan atmosfer erotis yang memabukkan. Mbah Surip terus menjilati dan menyedot vaginanya dengan rakus, memberikan kenikmatan yang tak terlupakan pada Intan.
“Aaahhh iyaahh astagaaahh disitu mbaaah plisss… Disitu duluuuhh aaaaahhhh!!”, desah Intan merasakan mbah Surip menemukan G-Spot nya.
“Slllrppp sllrrpppp cppphhh cppphhh cppppphhh!!”
Intan merasa kenikmatan yang melanda tubuhnya semakin memuncak, membuatnya merintih dan mendesah dengan penuh gairah. Mbah Surip terus menjilati dan merangsang vaginanya dengan penuh keahlian, mempermainkan setiap syaraf sensitif yang membuat Intan melayang-layang dalam puncak kenikmatan. Suara desahan yang semakin keras dan desiran basah yang semakin intens menandakan bahwa keduanya telah terbuai dalam kenikmatan yang memabukkan. Sensasi hangat dan basah dari jilatan Mbah Surip menciptakan gelombang kenikmatan yang tak tertahankan bagi Intan.
“Ooouuhh!!! Mbaaaahhhhh!!!!!”
Intan akhirnya mencapai puncak kenikmatannya dengan lidah pria tua yang memiliki teknik yang menakjubkan. Tubuhnya menegang dalam kebahagiaan surgawi yang tak terlukiskan. Dalam momen ekstasi yang memabukkan, Intan merasakan gelombang kenikmatan yang melanda setiap serat tubuhnya, membuatnya merintih dan mendesah dengan penuh gairah. Tanpa kata-kata, dia membiarkan dirinya terhanyut dalam puncak kenikmatan yang memabukkan, mengalami sensasi puncak yang melampaui batas.
Sementara itu, seolah belum minum sepanjang hari, Mbah Surip meminum semua jus vagina yang keluar dari Intan. Dengan nafsu yang memuncak, pria tua itu menelan setiap tetes cairan manis yang mengalir begitu deras dari vagina Intan. Dengan rakusnya, dia mempermainkan setiap sudut dan celah yang tersembunyi, menciptakan sensasi yang tak terlupakan bagi keduanya. Dalam momen intim itu, Mbah Surip menunjukkan kelaparan dan kehausan yang hanya bisa terpuaskan oleh kehangatan dan kelembutan dari Intan.
Setelah beberapa saat dan kenikmatan yg ia rasakan mulai pudar, intan perlahan mencoba bangkit. Namun, ia melihat sesuatu yang menarik. Penis pria tua itu terlihat seolah-olah ingin ereksi lagi. Intan menggoda Mbah Surip sekali lagi, sementara pria tua itu hanya bisa menyimpulkan bahwa penisnya ingin memasuki vaginanya yang indah. Meskipun demikian, keduanya masih menahan diri karena penis Mbah Surip belum benar-benar keras.
“Ihi kok kontolnya gerak-gerak gt sih? Ingin mencicipi vaginaku pake itunya ya, hm?” goda Intan dengan senyum nakal.
Mbah Surip menjawab dengan napas terengah-engah, “Hehe, maaf neng, ya… Wajar lah kalau saya pengen… Ngerasain punya saya masuk ke punya neng Intan”
Intan membalas dengan suara sensual, “Tapi kyknya belum bisa tuh mbah. coba tunggu bentar ya sampe kontolnya benar-benar siap.”
Mbah Surip tersenyum penuh hasrat, “Iya neng Intan. Aku tak sabar untuk merasakan tubuhmu lagi.”
Intan kemudian bertanya pada pria tua itu apa yang diinginkannya untuk memastikan bahwa ia bisa ereksi lagi. Kakek tua itu menelan ludah, lalu menjawab bahwa ia ingin menghisap puting susu cokelat muda yang menakjubkan milik Intan. Intan tertawa kecil karena meskipun Mbah Surip sudah tua, ia masih menginginkan apa yang biasanya diinginkan bayi.
“Mbah Surip benar-benar seperti bayi deh. Ingin nenen ke puting susuku seperti anak kecil,” ejek Intan sambil tertawa.
Mbah Surip membalas dengan mata penuh nafsu, “Hehehe ya mau gimana lagi neng, dada neng Intan bener-bener luar biasa…”
Intan menatapnya dengan tatapan nakal, “Iya deh mbah tua rakus. Intan ijinin mbah memuaskan hasrat itu, tapi pastiin itu nya bisa berdiri lagi ya”
Mbah Surip tersenyum penuh keinginan, “I.. Iya, pasti bisa neng!”
Intan mendesah lagi saat ia duduk di tanah, masih telanjang bulat dengan keringat yang menghiasi kulitnya yang putih bersih. Mbah Surip, seperti apa yang ia minta tadi, menghisap puting susu Intan seperti seorang bayi sambil tangan satunya memainkan payudara dan vaginanya dengan tangan yang lain. Suara desahan erotis dan desisan basah terdengar di ruang antara mereka, menciptakan atmosfer sensual yang memabukkan.
“Ooh, Mbah… itu rasanya begitu nikmat,” desah Intan dengan mata yang berkaca-kaca.
Mbah Surip menatapnya dengan nafsu liar, “Kau begitu indah, Intan. Tubuhmu seperti surga yang tak terhingga.”
Dengan gerakan gemetar, Mbah Surip terus menghisap dan memainkan puting susu Intan, menciptakan sensasi yang tak terlupakan bagi keduanya. Suara hisapan yang bergemuruh dan desahan kenikmatan terus mengisi ruang di bangunan kosong itu. Mbah Surip benar-benar tergila-gila bisa menjilati puting yg keras karena nafsu ini. Tak hanya itu, payudara Intan pun bulat indah sehingga menyusu pada gadis cantik ini membuatnya makin hanyut dalam nafsu dan ia merasa tak ingin apa yang ia nikmati berhenti.
Intan merasakan kenikmatan yang memuncak, membuatnya merintih dan mendesah dengan penuh gairah. Tubuhnya terasa seperti berada di awan-awan, terbang dalam puncak kenikmatan yang melanda setiap serat tubuhnya. Mbah Surip terus memanjakan tubuhnya dengan penuh semangat dan keinginan, menciptakan sensasi yang memabukkan yang tak bisa ditahan oleh Intan.
Mbah Surip terus menghisap seperti seorang bayi. Sementara Intan terus mendesah seolah-olah dia adalah sebuah boneka seks kecil yang penuh nafsu bagi pria tua itu. Namun, sayangnya, bahkan setelah sekian lama, penis yang keruh itu tidak ereksi lagi. Mbah Surip merasa kecewa pada dirinya sendiri, matanya penuh dengan ketidakberdayaan dan frustrasi yang mendalam.
Intan bisa melihat betapa kecewa pria tua itu. Namun, dia memberinya semangat, berjanji bahwa mereka masih bisa bertemu lagi. Mbah Surip tidak percaya dengan apa yang dia dengar dan ingin memastikan bahwa apa yang dikatakan Intan benar. Intan kemudian mengatakan bahwa biasanya dia berlari di taman terdekat setidaknya sekali setiap dua hari.
“Kita pasti akan bertemu lagi, Mbah. Jangan khawatir,” ucap Intan dengan senyum penuh harapan.
Mbah Surip terkejut, “Beneran neng? Kita bisa gini lagi?”
Intan menjawab dengan lembut, “Aku sering berlari di taman deket sini kok mbah. Kmbah masih jualan di depan restoran Soto tadi ya pasti Intan bisa ketemu lg sama mbah Surip”
Mbah Surip tersenyum senang, “Mbah pasti akan tunggu di sana neng. Mbah janji.”
Setelah percakapan itu, keduanya mulai berpakaian kembali dan berpisah. Intan meninggalkan Mbah Surip dengan senyuman ramah, sementara pria tua itu merasa bersemangat dengan harapan akan pertemuan mereka di masa depan. Dengan hati yang penuh harapan, keduanya meninggalkan tempat itu dengan pikiran yang penuh dengan janji-janji erotis yang belum terwujud.
Hari-hari pun berlalu, Mbah Surip masih duduk di pinggir jalan dekat restoran Soto, menunggu malaikat yang telah menjanjikan kepadanya kenikmatan surga untuk datang. Dalam monolognya, Mbah Surip tak sabar untuk bertemu kembali dengan Intan. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan erotis tentang apa yang bisa mereka lakukan ketika akhirnya bertemu.
“Ckckck neng Intan memang cantik. Dia seperti malaikat yang turun dari langit, membawa kenikmatan yang tak terkira,” gumam Mbah Surip dalam hati, matanya penuh dengan keinginan yang tak terbendung.
Setiap hari, ia duduk di sana dengan hati yang penuh harap, menanti kedatangan Intan yang dijanjikan. Fantasi-fantasinya melayang jauh, membayangkan momen intim yang mereka bisa bagikan bersama. Kesenangan dan gairah memenuhi pikirannya, membuatnya gelisah menanti saat pertemuan yang telah dijanjikan.
Tak lama setelah itu, gadis cantik itu akhirnya muncul. Intan masih berjalan sedikit jauh dari restoran. Dia mengenakan kaos pendek yang memperlihatkan tubuh seksi dan payudara besarnya. Bahkan, dia mengenakan celana pendek yang lebih pendek dibandingkan kali terakhir ia dilihat, membuat pahanya yang indah dan menggoda semakin terpancar. Setiap tatapan pria tertuju pada keindahannya, terpesona oleh pesonanya yang memikat.
Intan melangkah dengan penuh percaya diri, memamerkan tubuhnya yang memikat dengan langkah-langkah yang mempesona. Rambut hitamnya berkibar di angin, menambah keseksian penampilannya. Setiap gerakan tubuhnya seperti tarian yang menggoda, memikat siapapun yang melihatnya dengan daya tariknya yang tak tertahankan.
Gadis itu seolah memancarkan aura sensual yang tak terbendung. Senyumnya yang nakal dan tatapannya yang penuh pesona membuat hati siapapun yang memandangnya terbakar oleh nafsu yang membara. Kecantikan dan kemolekan tubuhnya seolah siap memabukkan siapapun yang berani mendekatinya.
“Hey, cantik, kenapa buru-buru?” tanya salah satu pria yang mencoba mendekati Intan.
Intan hanya melirik sekilas tanpa memberikan respons, lalu melanjutkan langkahnya menuju Mbah Surip.
“Sendirian aja nih cantik, gak ada temen?” coba pria lain memulai percakapan.
Intan tersenyum tipis tanpa menjawab, fokus dengan tujuannya untuk bertemu dengan Mbah Surip.
“Jangan sombong dong. Kita bisa jalan-jalan pagi bersama lho,” goda pria ketiga sambil mencoba menghalangi jalannya.
Intan menggeleng ringan, “Maaf, aku punya urusan penting. Terima kasih.”
Dengan langkah mantap, Intan akhirnya sampai di depan Mbah Surip yang masih duduk dengan mainan-mainannya, memperlihatkan senyuman manisnya.
“Berapa harganya untuk mainan ini, Mbah?” tanya Intan sambil tersenyum pada Mbah Surip.
Mbah Surip juga tersenyum, tahu bahwa itu hanyalah lelucon di antara mereka.
Namun, seorang pria lain yang sedang menunggu makanannya di restoran mendekati Intan dan bertanya dengan ramah, “Mainan untuk adik kecilnya ya, dik?”
Intan langsung mengabaikan, bahkan pura-pura marah, “Maaf, urusan saya bukan urusan Anda. Tolong jangan ganggu saya”
Pria itu terkejut dengan reaksi ketus Intan, dan Intan kembali tersenyum manis saat kembali berbalik ke arah Mbah Surip, melanjutkan kehangatan di antara mereka.
Intan mendekarkan tubuhnya ke Mbah Surip sehingga dr kaosnya terlihat 2 bukit terbalik, berbisik pelan agar tak seorang pun bisa mendengarnya kecuali pria itu sendiri. “Tahu gk mbah? Tadi malem Intan masturbasi sambil membayangkan Mbah Surip bersetubuh denganku sampe aku lemes,” bisik Intan dengan suara serak penuh nafsu.
Mbah Surip terdiam, terkejut dengan keberanian dan keinginan liar Intan. Hatinya berdebar kencang, tak pernah terbayangkan bahwa ia akan bertemu dengan gadis yang penuh nafsu seperti Intan.
Intan terus berbicara, memasuki detail yang semakin menggairahkan, “Aku bayangin bagaimana Mbah Surip menggenjotku dengan penuh gairah, membuatku merintih tak terkendali dan memohon untuk lebih.”
Wajah Intan terpancar dengan keinginan yang liar, matanya dipenuhi dengan hasrat tak terbendung. Meskipun tidak menyentuh dirinya sendiri, ekspresi wajahnya begitu memikat dan membangkitkan nafsu.
Mbah Surip terdiam, tak bisa berkata-kata. Dirinya terpesona oleh keberanian dan keinginan Intan, merasa terpukau oleh fantasinya yang liar dan penuh nafsu.
“N… Neng… Mau ke…” ucap Mbah Surip gugup, menunjuk ke bangunan terbengkalai tidak jauh dari sana di mana mereka sering menikmati keintiman.
Intan tertawa, melihat raut wajah gugup Mbah Surip, “Hihi, enggak lah. Drpd main diatas tanah mendingan di ranjang aja di rumahnya Mbah Surip.”
Mbah Surip terkejut dengan jawaban Intan, “Di… di rumah saya neng?”
Intan masih tertawa, menambahkan, “Iya, di rumahmu mbah. Kita bisa lebih nyaman, kan?”
Mbah Surip tersenyum gugup, “O… Oh siap, a… Ayok neng.”
Intan terus tertawa, menikmati bagaimana Mbah Surip begitu gugup namun penuh nafsu. Dalam tawa Intan terdengar sentuhan nafsu liar yang siap membara.
Mbah Surip buru-buru membereskan mainannya, membingungkan beberapa orang yang melihatnya, lalu keduanya mulai berjalan berdampingan. Sambil berjalan, mereka berbincang tentang rumah Mbah Surip.
“Rumahmu di mana, Mbah?” tanya Intan dengan ramah.
Mbah Surip terlihat agak ragu, “Anu, tapi. Rumah saya kecil, kotor, dan penuh sampah, neng. Mungkin tidak layak untuk…”
Intan tersenyum, “Tidak apa-apa, Mbah. Aku tidak peduli dengan itu. Yang penting kita nyaman aja ya.”
Mbah Surip merasa hangat di hati, melihat bagaimana Intan tidak mempermasalahkan kondisi rumahnya. Mereka terus berjalan di trotoar dekat taman, langkah mereka seiring sejalan dengan percakapan yang penuh kehangatan.
Saat mereka terus melangkah, mereka tiba di sebuah tempat di sekitar pasar tradisional. Intan memandang sekeliling dengan penuh antusiasme, “Hihi, rasanya asik juga berjalan-jalan gini sama Mbah Surip. Lain kali kasih tahu tempat belanja yg bagus dan murah ya mbah”
Setelah masuk kedalam jalan dan gang sempit, akhirnya keduanya sampai didepan sebuah rumah. Mbah Surip membuka pintu rumahnya, menampakkan rumah dan pemandangan di lingkungan kumuh tempat ia tinggal. Rumah-rumah kecil saling berjejer rapat, dengan hampir tak ada ruang kecuali jalan kecil di depan setiap rumah.
Mbah Surip memalingkan wajah, “Ya ini neng, rumah saya. Mungkin agak kotor dan berdebu…”
Intan tersenyum lembut, “Tidak masalah, Mbah. Ayo masuk.”
Mbah Surip masih ragu, “Neng yakin? Tetangga-tetangga mbah pasti penasaran melihat ada gadis cantik di lingkungan ini.”
Intan tertawa, “Yeee biarin aja mereka penasaran. Yang penting kan mbah yg nemenin Intan disini.”
Mbah Surip tersenyum penuh haru, lalu membuka pintu lebih lebar untuk mempersilahkan Intan masuk. Begitu pintu terbuka, terlihatlah ruang tamu yang dipenuhi debu dan kotoran, dengan perabotan tua dan hampir rusak.
Intan melangkah masuk dengan hati lapang, “Hmmmm… Rumahmu memang kumuh, Mbah. Tapi gk masalah kok. ”
Mbah Surip merasa hangat di hati, melihat bagaimana Intan menerima rumahnya apa adanya. Mereka duduk bersama di ruang tamu yang sederhana namun penuh kehangatan, menikmati kebersamaan mereka di tengah kekacauan yang mengelilingi.
Mbah Surip dengan cepat menutup tirai jendela rumahnya, memastikan tidak ada yang bisa mengintip dari depan rumah meski tirai kumuh dan usang itu jelas tak sepenuhnya bisa menyembunyikan apa yang terjadi di dalam ruangan. Intan hanya tersenyum, tahu bahwa Mbah Surip tidak ingin membaginya dengan tetangganya. Mereka berdua mulai mencium satu sama lain dengan penuh asmara.
“Kamu cantik sekali neng…” bisik Mbah Surip sambil meraih wajah Intan.
Intan membalas dengan senyum nakal, merasakan sentuhan hangat Mbah Surip di wajahnya. Tubuh mereka saling berpelukan, menciptakan gesekan yang membangkitkan gairah.
Sensasi bibir Mbah Surip yang lembut merayapi bibir Intan, membuatnya merasa hanyut dalam kenikmatan. Intan merespons dengan desahan kecil yang menggairahkan, mengeksplorasi setiap sentuhan dengan penuh nafsu.
Mbah Surip memeluk erat tubuh Intan, merasakan denyutan gairah yang memenuhi dirinya. Suara desahan mereka bergabung dalam serangkaian suara erotis yang memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang begitu intens.
Intan merasakan getaran di seluruh tubuhnya saat Mbah Surip mulai menjelajahi setiap lekuk tubuhnya dengan penuh kehangatan. Mereka tenggelam dalam sentuhan yang penuh gairah, membangun ketegangan yang tak terbendung di antara mereka.
Mbah Surip mulai menggunakan lidahnya untuk mengeksplorasi mulut Intan, menyentuh setiap sudut dengan penuh nafsu. Mereka beralih ke French kissing yang penuh gairah, bibir mereka bergerak dengan serasi, menciptakan sensasi yang memabukkan.
Bibir merah Intan membara saat bersentuhan dengan bibir pria itu. Kulitnya terasa hangat dan bergelora, menanggapi setiap sentuhan dengan gairah yang memuncak. Suara desahan erotis mereka mengisi ruangan, menciptakan atmosfer yang memabukkan.
Mbah Surip merasakan jenggot abu-abu kasar di dagunya bersentuhan dengan kulit halus Intan, lidahnya menggoda saat menari dengan lidah Intan. Nafas hangat mereka saling beradu, memenuhi ruangan dengan aroma keinginan dan gairah yang melonjak. Suara desahan penuh gairah terus terdengar, menciptakan irama yang memabukkan dan membangkitkan hasrat.
Kedua pasangan itu tenggelam dalam kehangatan dan nafsu yang memuncak, menikmati setiap sentuhan dan getaran yang memenuhi ruang. Mereka saling bermain dengan lidah, menikmati sensasi air liur yang bercampur di dalam mulut mereka, menciptakan ikatan yang semakin kuat di antara mereka.
Mbah Surip mulai menggerakkan tangannya, merindukan kelembutan dan kebesaran dada Intan. Intan mulai mendesah nikmat sambil keduanya masih berciuman. Tangannya meraba gumpalan kebahagiaan yang seluruh pria idamkan.
Dengan penuh gairah, Mbah Surip meraih dada Intan, merasakan daging lembut dan kenyal yang memenuhi genggaman tangannya. Ia memainkan dada Intan dengan cara yang penuh nafsu, meremas dan mengelus dengan gesekan yang menggairahkan.
Sensasi dada Intan yang lembut dan penuh itu membuatnya mendesah merasakan kenikmatan yang memuncak. Tangan kasar dan keras Mbah Surip meraba dan meremas dengan penuh keinginan, menciptakan gelombang sensasi yang memenuhi ruangan. Suara desahan dan erangan penuh hasrat memenuhi ruang, menciptakan suasana yang dipenuhi keinginan dan gairah.
Intan melepaskan bibir Mbah Surip, napasnya terengah-engah dan penuh nafsu. “Lakukan apa pun yang mbah inginkan denganku, Mbah.”
Mbah Surip terkejut namun tersenyum, “B… Beneran boleh neng??”
Intan menunjukkan keserahannya, matanya dipenuhi keinginan. “Iya mbaaahh… Intan akan nurut”
Mbah Surip merasa gairahnya memuncak, tersenyum penuh nafsu. “Neng Intan nakal sekali ya”
Intan memohon, suaranya penuh gairah. “Entotin Intan mbah… Pleaseee.”
Mbah Surip dengan penuh keinginan,”Baik neng.”
Diberanikan permintaan Intan, Mbah Surip pun menjadi agressif. Mbah Surip dengan cepat merobek kaos Intan, semakin yakin dg kata-kata Intan saat melihat tidak ada bra di bawah kaos yang longgar itu. Kedua putingnya tertutup selotip kecil. Mbah Surip pun tak heran karena ia sudah curiga Intan tak pakai bra dan karena itu banyak laki-laki yang tadi menggoda gadis itu. Ia merobek selotip tersebut untuk memperlihatkan puting yang tegak berwarna cokelat muda, terlihat begitu menggoda.
Dengan mata tua yang penuh kepuasan, Mbah Surip melihat apa yang ada di depannya. Seorang gadis muda memberikan dirinya pada pria tua seperti dirinya, sebuah fantasi cabul yang begitu memuaskan.
Intan merasakan putingnya yang tegang dan sensitif, berwarna cokelat muda yang menarik jadi santapan mata si kakek tua. Suara erangan kecil yang dipenuhi nafsu keluar dari bibirnya, menandakan betapa dia terangsang.
Pandangan Mbah Surip yang lapar dan cabul memperdalam kerutan di wajahnya. Tangan-tangannya gemetar karena antisipasi yang memuncak, suara kain yang terkoyak mengisi ruangan, menciptakan suasana erotis yang memabukkan.
Dengan cepat, Mbah Surip menjilat dan mengisap puting Intan, lidahnya berputar dengan lembut, bibirnya menghisap dengan perlahan. Ia mendengar desahan Intan, merasakan kehangatan gairah yang semakin memuncak.
“Ooooouuuhhh yessshhh aaahhh enak bangeetthh mbaaahhhh aaahhh…”, desah Intan.
Pada saat yang sama, Intan merespons dengan puting yang semakin mengeras, punggungnya melengkung dalam kenikmatan. Desahannya menjadi lebih intens, gasp-gasp yang dipenuhi nafsu keluar dari bibirnya.
Sensasi lidah Mbah Surip yang membelai dan menggoda putingnya membuat Intan merasakan kenikmatan yang begitu mendalam. Tubuhnya terasa panas dan bergelora, merespons setiap sentuhan penuh gairah. Desahannya memenuhi ruang tamu itu, menciptakan irama erotis yang memabukkan.
Mbah Surip dengan semakin liar, tangannya kini masuk ke dalam celana Intan dan mulai meluncurkan dua jarinya ke dalam sarang kenikmatannya, membuat desahan Intan semakin keras.
“AAAAHHHH MBAAAHHH!! Oooohhhhh memekkuuuhh diobooookkhh obookkhh”, erang Intan merasakan kedua jari itu didalam memeknya.
Intan merespons dengan pinggulnya yang melonjak dalam kenikmatan, kelembapan melapisi jari-jari si kakek. Desahan yang semakin meningkat menjadi suara erangan penuh nafsu terdengar jelas di ruangan kecil itu.
Dalam kenikmatan yang memuncak, Intan merasa tubuhnya bergetar dalam orgasme, desahan yang cukup keras keluar dari bibirnya. “Oooouuuh, Mbah Surip… Hebatthh bangeeetth main jari nyaaaahhh!!!”
Dalam suara yang penuh nafas dan kekaguman, Intan terus memuji, “Iyaaaah disituuuhhh teruuusssshhh!!!… Ooouuh, Mbah!”
Dengan ekspresi kepuasan yang memuncak, Intan berpegangan pada kenikmatan yang diberikan Mbah Surip, “Jangan berhentiiiihhh… AAAAHHH, Mbah Surip!”
Saat mencapai puncaknya, Intan berteriak dalam ekstasi, “Mbah Surip, aku nyampeeeeeee!”
Mbah Surip menikmati bagaimana hangatnya tangannya dari cairan kehangatan yang membasahi tangannya. Intan sendiri masih merinding dari sisa kenikmatan surgawi yang baru saja dia capai.
Dengan penuh kenikmatan, Mbah Surip bertanya, “Bagaimana rasanya dipuaskan oleh pria tua sepertiku neng?”. Suara Mbah Surip yang serak dan menggoda membuat Intan tergoda, “Lebih enak daripada main pake jari sendiri kan??”
Intan merespons dengan penuh nafsu dan kepuasan, “Iyaahh… Mbah udah pengalaman banget ya… Mainin memek?”
“Hehe iya neng, walau saya gak pernah nikah, tp dulu pas masih muda mah sering bikin cewek-cewek klepek-klepek”, kata mbah Surip bangga. Tentu ia tak bisa bilang cewek yang ia maksud adalah PSK dan wanita murahan yang jelas kalah level dari Intan yg kualitasnya super premium.
Mbah Surip, yang masih tergoda melihat gadis cantik dan berpayudara besar itu, segera membopong Intan ke kamarnya. Di dalam kamar itu hanya ada tempat tidur sederhana dan lemari kayu tua yang hampir rusak. Bau lembab karena tak adanya jendela di ruangan kecil tersebut, namun itu tidak terlihat mengganggu Intan dari nafsu baru yang dia rasakan.
Intan merasakan dorongan nafsu yang sangat kuat, mengabaikan kondisi yang pastinya kurang nyaman bagi orang lain. Hatinya berdebar kencang, penuh antisipasi yang membuatnya terengah-engah.
Mbah Surip menjatuhkan Intan ke tempat tidur yang reyot dengan kasar, Intan mendarat dengan bunyi dentuman keras. Tempat tidur berderit di bawah mereka, ketegangan gairah semakin memuncak.
Dengan cepat, Mbah Surip meraih celana Intan, suara kain yang robek terdengar. Celana itu pun terlempar jauh, membuat Intan terbuka dan rentan. Gairah semakin memuncak dalam keadaan yang intens.
Seolah menyambut kedatangan mbah Surip dan senjatanya, Intan membuka kedua kakinya, memperlihatkan vagina yang indah nan menggoda yang basah. Mbah Surip dengan cepat menjilati vagina Intan seperti anjing menjilati tulang, membuat lubang cinta yang basah kini juga terbasahi oleh air liurnya.
Intan merespons dengan desahannya. Desahan keluar dari bibirnya dalam rintihan mesra. Gairah menguasainya, membuatnya merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Mbah Surip memuji dengan hasil ciuman di memek indah itu, “Rasanya luar biasa. Mbah pengen jilat-jilat memek neng Intan tiap hari”
Intan merespon dengan desahan kenikmatan, “Hihihi geliiiihhh… Kumisnya bikin memek Intan merasa tergelitik mbah”
“Hehehe tp enak kan neng?”, kata mbah Surip menggesekkan kumisnya yg sudah putih di memek itu sehingga kumis dan brewok panjangnya mulai basah oleh air liur dan cairan memek Intan.
“Aaaahhh geliiiiihh tp enaaaakkkhhhh”
Mbah Surip kemudian kembali ber jilmek ria. Intan mengungkapkan kenikmatannya dengan suara napas yang terengah-engah, “Oh, Mbah Surip… Jangan berhenti.”
Mbah Surip menikmati momen itu dengan penuh kepuasan, “Lezat sekali….”
Intan menikmati sensasi yang luar biasa, “Aaaahh udah aaahh masukin aja, Mbah Surip.”
Mbah Surip merespons permintaan Intan dengan nafsu yang memerintah, “Hehe udah gk sabar ya neng”
“Ih kyk mbah juga gak sabar… Mbah pasti udah pengen masukin kan?”, kata Intan kini bisa bicara dengan normal setelah mbah Surip tak lagi menjilati memeknya.
Mbah Surip hanya tersenyum malu-malu.
Mbah Surip dengan cepat melepaskan semua pakaian di tubuhnya hingga dia benar-benar telanjang. Tubuh tua dan kurusnya memperlihatkan tulang-tulang di bawah kulitnya. Biasanya tak seorang pun akan tertarik, namun, nafsu seakan menyala di mata Intan, membuat Mbah Surip tak sabar untuk menjadikan gadis cantik ini miliknya hari ini.
Intan terpesona oleh pemandangan yang tidak biasa, matanya dipenuhi oleh keinginan. Nafsu yang mengalahkan logika, gairah yang semakin memuncak, dan hasrat terlarang yang menyala di dalam dirinya.
Mbah Surip memasukkan batangnya yang tebal ke dalam vagina Intan dengan perlahan. Bagi pria tua itu, seperti dalam mimpi, seakan dia akan bersetubuh dengan seorang malaikat yang menunjukkan wajah cantik nan genit. Perlahan, persatuan terlarang antara pria tua yang jelek dan wanita muda yang cantik dimulai.
Dalam gerakan yang perlahan dan penuh makna, Mbah Surip mulai menembus Intan. Batangnya yang tebal memasuki tubuhnya, menyatukan dua kutub yang bertentangan. Kenikmatan terlarang mulai memuncak.
Pengalaman sensual bagi Mbah Surip membuatnya merasakan ekstasi dalam setiap gerakan. Ia merasa seperti sedang memenuhi mimpi, keinginannya yang tak terbendung. Nafsu yang meluap-luap, mencapai puncaknya.
Persatuan terlarang antara tubuh-tubuh yang tua dan muda terjalin, kecantikan yang malaikat bertemu dengan hasrat yang berdosa. Gairah tabu yang menyala, nafsu yang mengendalikan. Intan merespons dengan desahan kenikmatan, merasakan kepuasan, perasaan penuh dan campuran antara ekstasi dan kenikmatan.
Intan mulai mendesah, sensasi dari kontol pria tua di dalamnya membuatnya merasa begitu nikmat. Perlahan, Mbah Surip mendorong dan menarik kontolnya, menyebabkan Intan terus mendesah.
“Uhh… Ahh…” desahan Intan terdengar, merasakan nikmat yang tak terbendung.
“Kontolmu besar mbaahhh… rasanya begitu nikmat di dalamku,” puji Intan sambil mendesah.
Mbah Surip menikmati ketatnya vagina Intan, “Memekmu begitu rapat… ooouuhhh luar biasa…”
Dengan perlahan, mbah Surip mempercepat gerakannya.
Plokk plookk plookkkk!!
Akhirnya kejantanan mbah Surip dengan mudah keluar masuk, maju mundur kedalam memek indah milik si gadis cantik dibawahnya. Suara gempuran basah terdegar bagai musik yg disertai desahan, erangan dan pujian-pujian yang keluar dari mulut kedua insan yg beda kasta itu.
Kulit lembut Intan bertabrakan dengan pinggang kasar Mbah Surip, keringat mengilap, aroma seks melayang di udara. Dalam pelukan, keduanya saling bertukar kehangatan dan cairan mulut saat kaduanya berciuman lagi sambil menikmati kenikmatan yang seolah tak ada habisnya itu.
“Terus… Jangan berhenti…” desah Intan meminta, matanya penuh dengan nafsu.
“Neng… sempit… nikmat sekali…” Mbah Surip menjawab, suaranya penuh gairah.
Intan memuji, “Oh, Mbah Surip… Mbah masih perkasa ajaaahhhh…” sambil menikmati goyangan yang diberikan.
“M-memekmu begitu basah… rasanya luar biasa…” Mbah Surip hampir tak bisa mengendalikan nikmatnya.
Ploookk ploookk plooookkk!!
Mbah Surip menerjang vagina Intan dengan keras hingga menyentuh rahimnya. Intan mulai berkonvulsi dan memeluk pria tua itu semakin erat. Jelas sekali keduanya akan mencapai puncak kenikmatan dalam gempuran gila itu.
PLOOKK PLOOKK PLOOKKKK!!
“Oooooouuhhhh Neng Intaaaann!… Aku akan keluar…” Mbah Surip menyatakan kenikmatannya, mendekati puncak kenikmatan.
“Iya… Tolong… Isi aku…” desah Intan, merindukan momen klimaks yg ia sudah bayangkan akan luar biasa.
CROOOTTT!! CROOOOTTT!! CROOOTTT!!
Mbah Surip membebaskan seluruh sperma yang dimilikinya, mengosongkan diri sepenuhnya. Intan terhanyut oleh sensasi yang luar biasa, klimaks mencapai puncaknya, ekstasi merasuki dirinya. Saat klimaks Intan mencapai puncaknya, sensasi yang luar biasa, tubuhnya bergetar, indera-indera terasa terbakar, ekstasi merajalela.
Dengkuran dan rintihan kenikmatan, tak mampu membentuk kata-kata Intan terlalu terhanyut oleh ekstasi yang dirasakannya.
Desahan pelepasan dan kepuasan Mbah Surip merasa puas dengan momen tersebut.
Intan dan Mbah Surip kini berhenti bergerak, kedua alat kelamin masih saling terjalin. Cairan putih kental perlahan merembes dari vagina Intan. Mbah Surip tak ingat kapan terakhir kali dia bisa bersetubuh seperti ini. Namun, kontolnya terasa seperti berada di surga saat ini.
Sementara itu, Intan terlihat begitu lelah, hampir tertidur setelah bersetubuh dengan pria tua itu. Ekspresi wajahnya terlihat puas, matanya yang lelah menandakan kenikmatan yang baru saja dirasakannya. Keduanya tenggelam dalam kepuasan seksual yang mendalam, tubuh mereka terasa hangat dan puas.
Mbah Surip merasa begitu puas dapat memberikan kenikmatan pada Intan. Dia merasa puas dan bahagia, sementara Intan terdiam dalam keletihan, tersenyum lembut dalam kepuasan yang memenuhi dirinya. Momen itu terasa seperti surga bagi keduanya, di tengah kehangatan dan ketenangan setelah badai nafsu yang melanda.
Intan perlahan mendapatkan kesadarannya kembali, lalu menggumam kenikmatan luar biasa dari peju si kakek tua yang ada dalam dirinya. Mendengar kata-kata itu, Mbah Surip mulai panik.
“Ada apa, Mbah Surip?” tanya Intan, memperhatikan ekspresi panik di wajah pria tua itu.
“M… Maaf neng, harusnya… Harusnya saya gak…” jawab Mbah Surip dengan nada cemas, merasa kepanikannya semakin memuncak. Mbah Surip menyesali tindakannya yang membiarkan sperma masuk ke dalam Intan, takut dengan kemungkinan terjadinya kehamilan.
“S… Saya seharusnya tidak boleh keluar di dalam neng… K… Kalau neng hamil bisa-bisa…” ucap Mbah Surip penuh penyesalan dan kekhawatiran.
“Oooooh hihi kirain apa. Tenang aja mbah, hari ini adalah hari aman kok,” jelas Intan, memberikan penjelasan yang membuat Mbah Surip lega.
Si kakek pun lega mendengar itu, jelas ia tak tahu apa yang akan terjadi kalau Intan benar-benar hamil. Kalau Intan marah soal itu, bisa-bisa ia tak bisa menikmati kenikmatan seperti tadi lagi.
Tapi kemudian Intan menyampaikan pertanyaan yang membingungkan kepada Mbah Surip, “Kalau aku hamil, emang Mbah Surip mau bertanggung jawab?”
Mbah Surip terperangah dengan pertanyaan itu. Di dalam benaknya, tentu saja ia ingin memiliki seorang istri karena ia tidak pernah menikah. Memiliki anak dengan gadis cantik seperti Intan pasti merupakan berkah dari Tuhan. Namun, secara logis, tidak mungkin seorang gadis mau memiliki pria tua, miskin, dan jelek seperti dirinya. Ia terjebak dalam pertarungan batin antara keinginan untuk memiliki keluarga dan keraguan tentang usia dan penampilannya. Penuh harapan namun juga ragu.
Mbah Surip jelas terlihat bingung dan tidak tahu harus berkata apa, namun kemudian Intan menyentuh bibir Mbah Surip dengan jarinya.
“Udah gak usah dipikirin, nikmatin aja mumpung mbah bisa ngentot sama Intan yah,” ucap Intan, membawa kedamaian dalam momen tersebut.
Intan pun akhirnya terlalu lelah dan kemudian menutup mata, tenggelam dalam tidurnya. Mbah Surip turun dari tempat tidurnya dan memperhatikan, terpesona melihat seorang gadis cantik yang telanjang dan berpayudara besar tertidur di ranjang tua miliknya. Dan lagi, melihat memek Intan melelehkan cairan kental pembuat bayinya membuat kontolnya yg lemas agak tergelitik.
Tapi kemudian ia melihat jam dan menyadari hari hampir siang. Tentunya gadis yg sudah pulas tertisdur itu nantinya perlu makan. Ia pun keluar dari rumah untuk membeli makan siang, dengan senyum senang diwajahnya.
Didepan rumahnya rupanya para tetangganya sudha berkumpul, rata-rata laki-laki semua dan jelas mereka punya pertanyaan yg ingin diutarakan pada tetangga mereka yang keluar rumah sambil tersenyum itu.
“Eh Mbah Surip, siapa gadis cantik itu? Habis main ya?” tanya tetangga dengan nada becanda, menggoda pria tua itu.
“Wah, Mbah Surip, kok bisa dapet cewek cakep kyk gitu? Pake pelet apa mbah” goda tetangga lain, sambil tertawa. Mbah Surip hanya tersenyum dan pergi menjauh, tak mau terlibat dalam percakapan nakal mereka.
-End?-