Prakata
Hai salam semprot sedunia, saya pujangga 2000 menghadirkan sebuah kisah baru ke hadapan kalian semua, cerita ini sebenarnya masih tayang di tempat berbayar, namun karena kecintaan saya pada teman-teman Semprot, maka akan saya bagikan cerita ini di tempat saya memulai menulis cerita panas. Untuk para Moderator, Admin yang bertugas, mohon di maafkan jika ada kata-kata yang tidak pada tempatnya, tolong saya diberitahu jika sekiranya saya melakukan kesalahan melanggar tata tertib, saya hanya ingin berbagi sebuah cerita saja. Sudah banyak cerita yang saya buat di tempat ini antara lain : Istriku Menikah Lagi, Istriku Menikah Lagi session 2, serta Diary Seorang Istri, ketiga cerita tersebut telah saya tamatkan di forum ini.
Beauty An Her Beast Lover, Hasrat dan Obsessi, Suami Kedua Istriku, serta Kazam, adalah sebagaian cerita yang belum saya tamatkan, biarlah itu menjadi tabungan dulu. Kali ini saya akan membagikan sebuah cerita orisinal karya saya sendiri, sebuah cerita yang lahir dari imaginasi dan khayalan di benak saya, cerita ini merupakan bagian dari Cerita Fenomenal Istriku Menikah Lagi. Sebuah Cerita yang di ambil dari sudut pandang Rina saat masa-masa tinggal di Solo, saat-saat dramatis dalam perjalanan hidupnya, dua sisi saling berbenturan dalam waktu yang sama, masa-masa indahnya sebagai seorang wanita dewasa, sekaligus masa terkelam dalam kehidupan pernikahannya. Saya rasanya tak perlu mengurai ulang apa yang terjadi dalam kisah Istriku Menikah Lagi, di sini saya hanya menceritakan yang asik-asik saja, sejak Rina mulai berkenalan dengan Frans, bagaimana mereka saling menggoda, semua hanya bagian yang mendebarkan saja yang akan saya ceritakan disini, kisah-kisah atau lebih tepatnya moment yang tak tertulis di cerita Istriku Menikah Lagi. Walau sedang tayang di situs berbayar, namun saya sama sekali tak kuatir untuk memuat cerita ini di forum semprot, ini adalah bentuk penghargaan saya atas perhatian yang ditujukan oleh para pecinta karya saya selama ini, khususnya untuk penggemar Istriku Menikah Lagi. Akhirul kalam, seperti biasa cerita ini hanyalah fiktif belaka, semua tokoh dan karakter yang disebut dalam cerita ini hanyalah bagian pelengkap saja, tidak mencerminkan kejadian di dunia nyata, namun meskipun demikian, saya selaku penulis, berharap kita semua dapat mengambil hikmah daari cerita ini. Last but not Least, selamat menikmati, semoga kalian semua terhibur
Pernikahanku dengan suami adalah karena perjodohan, bang Andi suamiku adalah pemuda yang baik, dan kala itu baru saja diterima sebagai PNS di departemen keuangan, kalau kata orang tuaku, ayahnya bang Andi dan ibuku masih saudara jauh, pernikahanku dengan bang Andi sudah berlangsung selama 10 tahun, dan di karunia seorang anak lelaki tampan yang kami beri nama Akbar. Sejak menikah, boleh dibilang aku tak punya tempat tinggal tetap, karena suamiku selalu dirotasi paling lama setiap dua tahun sekali, hampir seluruh pulau di Indonesia telah menjadi tempat tinggalku selama aku menikah dengan Bang Andi, di awal pernikahan bang Andi ditempatkan di Kalimantan, lalu pulau Jawa, kemudian ke Sumatera, dan 6 bulan terakhir ini, bang Andi ditempatkan di Surakarta Jawa tengah. Akbar sejak mulai sekolah, kami titipkan pada kakek dan neneknya di Jakarta, karena kasihan kalau dia harus berganti ganti sekolah karena mengikuti mutasi orang tuanya, Akbar saat ini berusia 9 tahun, sudah duduk di kelas 4 SD, walau begitu perhatian kita berdua sebagai orang tua tak pernah absen, apalagi jaman sekarang udah canggih, kita bisa video call kapanpun kita mau, dan hampir setiap hari kita selalu video call dengan Akbar. Sifat Aku dan Bang Andi sebenarnya sangat bertolak belakang, aku cukup supel dan mudah bergaul, sedangkan Bang Andi lebih pendiam dan terkesan kaku, bang Andi tidak mudah untuk akrab dengan orang lain, tapi sekalinya sudah kenal dia cukup menyenangkan sebagai teman bicara, aku ingat saat bapak memberitahukan tentang perjodohanku, aku tentu saja risih dan menolak, namun bapak memberi pengertian padaku yang membuatku mau berkenalan dengan bang Andi, bapak juga tidak memaksa aku untuk harus menikah, beliau hanya minta aku untuk mempertimbangkan semuanya, dan menyerahkan keputusan padaku, aku sangat sayang sekali pada bapak, beliau adalah seorang yang sangat bijaksana. Saat pertama bang Andi ke rumah untuk berkenalan denganku, aku sangat surprise, orang yang hendak dijodohkan denganku ternyata mirip seperti bintang sinetron, mungkin aku lebay, tapi tadinya aku sudah membayangkan kalau orang yang hendak dijodohkan denganku adalah lelaki kuper jelek dan ya seperti itu lah, karena butuh perjodohan dalam mencari pasangan. Namun bang Andi melebihi akspektasiku, wajahnya tampan, cool, dan badannya tinggi atletis, aku sungguh heran kenapa pria sempurna ini mau saja dijodohkan, dan aku curiga jangan-jangan dia gay hufff. Dan akhirnya malah aku yang kesengsem padanya, dia bener-bener cool alias dingin, dan itu yang membuatku tertarik padanya, semakin lama aku mengenalnya aku menjadi yakin, dia bukan hanya sempurna dalam penampilan, tapi juga sangat bertanggung jawab dan penuh disiplin, aku memantapkan diri untuk memilihnya sebagai imamku, dan setahun setelah perkenalan, kami menikah, kenapa butuh setahun, karena bang Andi mendapat tugas belajar ke Jepang selama 7 bulan. Setelah pulang dari Jepang, kami melangsungkan pernikahan. Di awal awal pernikahan, aku cukup kaget dengan perubahan yang terjadi dalam hidupku, aku yang biasa keluyuran hangout dengan teman-temanku, kini hidup di suatu kota yang asing tanpa seorangpun yang kukenal, begitu juga aku yang terbiasa tinggal makan, tinggal ganti pakaian, kini harus memasak dan mengurus semua keperluan rumah tangga. Namun anehnya semua itu tak ada kesulitan berarti bagiku, bang Andi bukan tipe suami yang bawel, dia gak pernah mengeluh padaku, baik soal makanan atau setrikaan pakaian yang masih kurang rapih, bang Andi selalu pulang tepat waktu setiap pulang kerja, seiring waktu aku terus belajar untuk menjalani tugasku sebagai ibu rumah tangga. Bang Andi sangat memanjakanku, saat baru pindah ke Kalimantan, dengan bantuan staffnya, bang Andi memperkerjakan seorang asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti ngepel ataupun mencuci, namun belakangan aku malah yang mutuskan untuk tidak menggunakan ART lagi, karena toh pekerjaan juga gak repot-repot banget, malahan ART yang ada banyak nganggurnya. 6 bulan menikah aku hamil Akbar, saat usia kehamilanku 7 bulan, aku pulang kerumah orang tuaku, Bang Andi sendiri yang memintaku, karena Bang Andi merasa khawatir kalau aku terus sendirian di rumah, di Jakarta paling tidak ada orang tuaku yang menjaga. Aku tinggal bersama orang tuaku hingga Akbar berusia setahun, kebetulan saat itu bang Andi dimutasi ke Tangerang yang tak terlalu jauh dari rumah orang tuaku. Aku cukup senang saat mengetahui bang Andi di mutasi ke kota Tangerang, aku merasa aku bisa berkunjung ke rumah orang tuaku kapanpun aku mau, dan terlebih lagi aku bisa berkumpul lagi dengan teman-temanku, namun rupanya menjadi ibu rumah tangga sudah menjadi kebiasaan yang merubah sifatku, di Tangerang aku malah malas untuk berkumpul lagi dengan teman-temanku, aku lebih suka berkumpul dan ngerumpi dengan ibu-ibu muda tetangga rumah di tangerang, rupanya aku telah menjadi emak-emak sejati hehehe. Aku dan bang Andi sama sama anak tunggal, kata orang anak tunggal itu manja dan egois, mungkin ada benarnya contohnya diriku ini, tapi bang Andi sama sekali tak terlihat manja ataupun egois, dia sangat tegas dan terkadang lembut mengalah dengan kekerasan hatiku, mungkinitu karena didikan ayahnya yang keras dan disiplin. Ayah bang Andi adalah seorang pejabat di direktorat Pajak, sejak remaja hingga telah bekerja hubungan bang Andi dan ayahnya tak terlalu harmonis, keduanya kerap bersitegang, namun sejak ibu bang Andi meninggal karena sakit saat setahun pernikahan kami, bang Andi mencoba memperbaiki hubungannya dengan sang Ayah, dua tahun setelah kematian ibu bang Andi, ayahnya memutuskan pensiun dan menetap di kampung halaman, sejak itu kesehatan ayah bang Andi semakin lama semakin menurun, dan tepat saat Akbar berusia 5 tahun, kakeknya atau ayah bang Andi meninggal dunia, bang Andi sangat sedih saat itu, dia terus menyesali sikapnya terhadap sang Ayah, bang Andi menyesal kalau selama ini tak pernah membelikan apapun untuk ayahnya dari uang gajinya. Sebagai anak tunggal bang Andi mewarisi rumah serta sawah dan perkebunan yang cukup luas di kampung halaman ayahnya, sebuah rumah di kawasan elit Jakarta Selatan, serta deposito yang cukup besar. Namun bang Andi sama sekali tak pernah menggunakan hasil perkebunan di kampung untuk kepentingan pribadinya, malahan bang Andi menyerahkan pengelolaan keuangan dari hasil perkebunan itu pada adik ayahnya, bang Andi meminta agar hasilnya sebagian bisa di gunakan untuk sedekah. Sedangkan uang kontrakan rumah di Jakarta Selatan di masukkan dalam tabungan, bersama deposito, bang Andi berencana suatu saat dia akan merenovasi rumah di Jakarta Selatan itu dari uang tersebut. Kehidupan rumah tanggaku dengan bang Andi sangat harmonis, tak ada pertengkaran yang serius mewarnai perjalanan rumah tangga kami, saat Akbar berusia 3 tahun aku memang pernah hamil, namun sayangnya aku keguguran, dan hingga saat ini aku belum hamil lagi. Kami tak pernah KB, ya mungkin karena belum rejeki saja, atau jangan-jangan karena memang takdir keluarga kami yang keturunan tunggal. Dan kini sudah enam bulani aku dan bang Andi tinggal di Surakarta Jawa tengah, dan setelah sepuluh tahun rumah tanggaku harmonis dan adem ayem, aku sungguh tak menduga kalau kinilah saatnya ujian terberat itu datang, ujian yang membuatku dan mas Andi menjadi orang berbeda dari sebelumnya, Ada tragedi, kesedihan sekaligus juga pengalaman yang mau tak mau harus kuakui sangat mendebarkan dan membuatku terlena. Aku tak akan mengisahkan tragedi serta kesedihan yang kualami, terlalu sesak rasanya untuk mengingatnya kembali, aku akan bercerita tentang kesenangan yang muncul dalam ujian ini..
***
Bersambung
Jurnal Kelam Seorang Istri Bagian Pertama
Malam itu aku dan Bang Andi baru saja pulang menghadiri perjamuan makan malam dalam rangka perkenalan Atasan baru Bang Andi di Kantor, Atasan baru itu bernama Pak Frans, dia rupanya orang Papua, aku sama sekali belum pernah bertemu dengan orang Papua sebelumnya, tampangnya terlihat sangar namun simpatik, cara bicaranya juga cukup menyenangkan, dia juga murah senyum, namun aku merasa tatapannya padaku terasa aneh, terkadang kupergoki dia memperhatikanku terus, saat pandangan kami bertemu dia menunjukkan senyumnya yang entah kenapa terasa begitu hangat namun membuatku tak nyaman. Malam itu Bang Andi mengajakku untuk bersetubuh, entah kenapa belakangan ini stamina Bang Andi terasa loyo, kalau aku perhatikan sejak Bang Andi di mutasi ke Surakarta ini, intensitas hubungan seks kami tidak terlalu sering, kalau dulu bisa seminggu dua kali, kini bahkan sebulan sekalipun jarang, itupun Bang Andi tidak seperti dahulu, hubungan seks kami hanya berlangsung dalam hitungan menit lalu kemudian Bang Andi mendengkur, sebagai seorang istri aku cukup maklum dengan kondisi Bang Andi, mungkin karena dia lelah dan telah terkuras pikirannya di kerjaan, aku tidak terlalu mempermasalahkan itu, setiap selesai berhubungan seks, aku selalu menuntaskan dengan bermartubasi di kamar mandi. Sebagai wanita terkadang aku rindu saat-saat masa lalu, Bang Andi terasa perkasa dalam melaksanakan kewajibannya di ranjang, tapi ya sebatas rindu itu saja, di Surakarta aku melampiaskan gairahku dengan berolahraga seperti zumba atau Yoga, namun alih—alih bisa menekan gejolak hasratku, Olahraga malah membuat libidoku lebih intens datangnya, namun seperti wanita lain, aku hanya menyalurkan lewat martubasi saja untuk memuaskan hasrat seksku, jujur aja aku sama sekali tak pernah menonton film seks seumur hidupku, apalagi kepikiran untuk macam-macam. Bicara soal Bang Andi, suamiku itu adalah tipe pegawai yang jujur, dia sama sekali tak mengerti cara melobi-lobi atau menjilat atasan, saat mendengar sahabat Bang Andi yang bernama Edwin naik jabatan sebagai Kasubag, aku cukup heran kenapa Karier Bang Andi tidak semoncer Edwin, padahal Bang Andi boleh dibilang setahun lebih dahulu menjadi PNS dibandingkan Edwin. Sebenarnya aku tak terlalu mempermasalahkan soal itu, secara ekonomi kehidupan kami cukup berlebih, selain penghasilan sebagai PNS, hasil kontrakan Rumah orang tua Bang Andi di Jaksel cukup membuat ekonomi kita sangat berkecukupan, namun terkadang saat arisan keluarga aku cukup risih mendengar sepupu-sepupuku membanggakan peningkatan karier suami mereka masing-masing, dan tentu saja hal yang lumrah jika aku juga ingin bisa membanggakan karier suamiku di depan mereka. Setiap topik karier aku buka, Bang Andi selalu beralasan, kalau dia telah berusaha menjalankan tugasnya dengan baik selama ini, soal karier dia hanya mengatakan hanya pasrah terhadap keputusan Atasannya. Aku sendiri cukup bangga karena Bang Andi terkenal tegas dengan pekerjaan dan idealismenya, dia sama sekali tak ingin terlalu akrab dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan dengannya.
***
Dua Hari setelah perjamuan Makan malam dengan Bos baru di Kantor, Bang Andi ditugaskan ke Jakarta selama tiga hari, dan sepulangnya dari Jakarta, aku merasa ada perubahan sikap dari bang Andi, bukan soal perselingkuhan, Bang Andi tipe pria yang dingin terhadap perempuan, aku tahu benar sifat suamiku itu, dia tak akan berbuat macam-macam, jika keluar kota karena urusan pekerjaan, ya memang karena urusan pekerjaan. Perubahan sikap yang kurasakan bukan berubah menjadi cuek padaku, tapi malah sebaliknya, entah kenapa intensitas hubungan ranjang kami semakin meningkat, walau Durasinya tak ada perubahan berarti, terkadang aku juga merasa bang Andi terasa aneh akhir-akhir ini, dia sering memintaku datang ke kantornya, ada saja alasan untuk membuat ku datang, terkadang minta dibikinkan makan siang, terkadang diminta mengantar dokumen yang tertinggal, padahal aku tahu kalau Bang Andi orang yang sangat cermat dalam segala hal, dan tak pernah lupa dengan dokumen penting yang harus dibawanya, bahkan sepanjang pernikahan kami, baru kali ini Bang Andi mmemintaku untuk mengantar makanan ke kantor. Dan yang lebih kurasakan aneh, setiap aku datang ke Kantornya, Bang Andi selalu bersama dengan atasannya, terkadang aku merasa Bang Andi sengaja membuatku berlama-lama di kantor dengan berbagai alasan, dan setiap aku ke sana tatapan Pak Frans sungguh terasa aneh padaku, seolah dia sedang menelanjangiku dengan mata bulat coklatnya, tentu saja aku risih dengan sikap Pak Frans itu, dan aku yakin Bang Andi juga bisa melihat cara atasannya itu memandangku, namun seolah dia pura-pura tak tahu. Belakangan ini kulihat Bang Andi sedikit pendiam, dan tak banyak cerita soal pekerjaannya, terkadang saat bangun tengah malam aku melihat Televisi menyala, sedangkan Bang Andi duduk termenung di teras, aku tadinya mengira kalau Bang Andi sedang sibuk dengan pekerjaannya, namun rupanya ada sesuatu yang ada dalam benak dan pikirannya, sesuatu yang merubah hidup kita berdua ke depannya. Melihat Bang Andi sering melamun, suatu malam di akhir pekan, aku mendekati Bang Andi yang sedang asyik menonton siaran Sepak bola, aku membuatkannya kopi dan pisang goreng kegemarannya, “Yah..nih kopinya ama cemilan..” Ujarku. “Ya makasih ya Bund..” Jawab Andi Singkat. “Siapa yang bertanding Yah?” Tanyaku mencoba membuka pembicaraan. “Ohh ehhh..ini Liga Inggris Bund.” Jawabnya, walau matanya menatap televisi, namun sepertinya dia tak fokus menyaksikan tayangan tersebut. Aku bangkit dan mengambil remote, kumatikan Televisi, Bang Andi menoleh dengan pandangan bertanya, “Kayaknya Ayah lagi banyak pikiran, bunda lihat Ayah sering melamun belakangan ini.” Ucapku. Bang Andi hanya diam, dan duduk menutup wajahnya, “Emang ada apa sih Yah? Coba ceritain ama bunda dong, kali aja bunda bisa bantu, atau paling gak beban ayah lebih ringan..” ucapku sambil duduk didekatnya. Bang Andi hanya menatapku, tatapannya cukup lembut, kelopak matanya terlihat lelah. Terlihat dia ingin bicara, namun kemudian dia menggeleng, tentu saja hal itu membuatku menjadi tambah penasaran dengan apa yang terjadi. “Ada apa sih Yah?” Tanyaku lagi sambil memijit pundaknya. “Gak ada apa-apa Bund.” Jawabnya pelan. “Bunda mungkin gak ngerti soal tugas Ayah di kantor, tapi Bunda sedih lihat Ayah seolah banyak pikiran gitu, dulu Ayah selalu tukar pikiran ama Bunda, kenapa sekarang dipendam sendiri?” Ucapku mulai meninggi. Bang Andi merubah posisi duduknya hingga kami saling berhadapan, digenggamnya tanganku, “Maafin Ayah ya, Ayah gak tahu musti bicara gimana..” “Bicara apaan sih..” Tanyaku penasaran. “Bunda gak marah kan kalau ayah…ahhh gak jadilah..” jawabnya malah membuat rasa penasaranku semakin kuat. “Apaan sih..apa ayah mau kawin lagi?” Ucapku dengan maksud bercanda, namun reaksinya sungguh tak terduga, dilepaskannya tanganku dan dia beranjak duduk di meja makan, dihirupnya kopi, lalu kemudian dia menunduk memangku kepalanya dengan kedua tangannya. “Maaf, bunda bercanda kok Yah, abis Ayah ngomong sepotong-sepotong gitu.” Ucapku yang juga mulai kesal. Baru saja aku hendak masuk kamar, Bang Andi memintaku duduk di hadapannya, aku kemudian duduk dihadapan bang Andi, hatiku mulai berdebar-debar dengan apa yang hendak diutarakannya. Bang Andi mulai dengan cerita dia bertemu Edwin di Jakarta, dan mereka berdua ngobrol tentang berbagai hal rupanya, termasuk soal karier, Bang Andi cerita kalau kenaikan Karier Edwin rupanya di bantu oleh Pak Frans atasan Bang Andi sekarang, rupanya ada balas budi pak Frans terhadap bantuan Edwin, dan saat Bang Andi berkata kalau bantuan itu berupa wanita, tentu saja aku kaget.. “Jadi Ayah mau kaya Edwin gitu? Kasih cewek buat atasan ayah itu?” Tanyaku dengan nada tinggi. “Ahh gak kaya gitu bund, kalau kaya gitu mah gampang, gak bakalan jadi pikiran buat Ayah.” Ucapnya enteng. “Pak Frans gak sembarangan kayak gitu bund..” lanjutnya. “Trus kalau gitu kenapa ayah seolah sampai kepikiran kaya gini..” Tanyaku heran. Bang Andi menatapku tajam, aku sedikit bergidik melihat tatapan matanya itu, “Bunda tahu gak kenapa ayah menyuruh bunda datang ke kantor dengan berbagai alasan..” Bang Andi malah balas bertanya. Aku terdiam, aku sungguh tak mengerti arah pembicaraan ini, tadi bang Andi cerita soal Edwin, soal cewek, sekarang mengungkit soal aku di minta datang ke kantor, aku terdiam sambil menunggu jawaban atas pertanyaannya sendiri. “Ayah hanya ingin memastikan sesuatu Bun, dan ayah akhirnya bisa memastikan kalau pak Frans menyukai Bunda..” Ucapnya sambil terus menatapku. “Apa? Maksud ayah apa sih? Bunda gak paham..” Balasku. “Apa Bunda gak menyadari bagaimana cara Pak Frans menatap Bunda? Lalu dulu saat kita baru pulang dari acara perkenalan Pak Frans sebagai atasan baru, bunda pernah cerita kan kalau tatapan Pak Frans pada Bunda sangat aneh…” Ujar Bang Andi. “Ya Bunda emang menyadari kayak gitu, trus apa hubungannya dengan Ayah mengungkit Edwin dan cewek tadi…Ya Tuhan…. apa jangan-jangan?” Aku melotot dan menatap tajam ke arah suamiku itu, Bang Andi tertunduk. “Sekarang coba apa yang sedang ayah pikirkan, apa Ayah bermaksud mengumpankan Bunda gitu..” aku mulai emosi dan kehabisan kesabaran. Bang Andi mengangkat wajahnya, “Ayah gak sekeji itu bund.” Ucapnya datar. “Lalu apa?…coba ayah jelaskan biar bunda gak salah paham….ayah sendiri kan yang membuka omongan kalau kenaikan karier Edwin karena hutang budi pak Frans, dan karena Edwin cariin cewek buat dia kan!” Suaraku mulai meninggi. “Trus apa salah kalau Bunda punya pikiran kayak gitu, tadi kan Ayah bilang kalau diam-diam pak Frans menyukai Bunda…, lalu apa sebenarnya yang Ayah mau? Jelaskan biar bunda gak salah paham!” Aku semakin emosi hingga dadaku bergejolak menahan kesal. “Ayah gak bermaksud kaya gitu Bund…ayah Cuma punya pikiran, gimana kalau Bunda bantu ayah…itu aja..” Ucap Bang Andi lirih. “Bantuan? Bantuan apa, coba Ayah ngomong yang jelas..” Tanyaku… “Bantu deketin Pak Frans, bantu ngomongin ke beliau supaya bantu karier ayah…tapi itu Cuma ada di kepala ayah aja, karena ayah tahu bunda pasti marah dengar kaya gini, maafin ayah bun, Cuma ayah juga pingin membuat Bunda bisa membanggakan karier ayah…udahlah gak usah dipikirin…maafin ayah ya..” Ujar Bang Andi. Ucapan Bang Andi itu membuatku sedikit merasa bersalah, tanpa sadar aku telah membuat suamiku tertekan dengan cerita soal sepupuku itu, namun biar bagaimanapun aku juga belum paham dengan maksud bang Andi dengan deketin atasannya itu.. “Trus tadi ayah nyuruh bunda deketin, maksudnya gimana itu..” Tanyaku. Bang Andi hanya diam menatapku, kepalanya menggeleng, “Gak apa, gak usah dipikirin bun…” “Gak..Bunda pingin tahu, bagaimana cara bunda bantu ayah…apa yang ayah maksud dengan deketin itu..” Tanyaku mulai kembali kesal dengan sikap bang Andi yang plintat-plintut. “Maksud ayah, bunda suruh godain pak Frans gitu, itu yang ayah maksud Ya kan.? trus apa bedanya dengan Edwin? Ohh bunda tahu bedanya Edwin mengumpankan perempuan yang tak ada hubungannya dengannya, namun ayah berencana mengumpankan istrinya sendiri gitu kan!!!” aku begitu emosi hingga kemudian terisak-isak menangis. “Bun.***k kaya gitu juga..” Bang Andi bangkit dan berusaha mendekatiku, dia terlihat panik melihatku menangis. Aku menolak tangan yang ingin mendekapku, aku bangkit dan tanpa bicara aku masuk kedalam kamar, kubanting pintu kamar, ku hempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, aku terisak-isak diatas Bantal, aku sungguh tak menyangka suamiku bisa punya pikiran seperti itu..
*** Bersambung
Jurnal Kelam Seorang Istri Bagian Kedua
Keesokan harinya suasana pagi terasa kaku, aku yang masih kesal dengan suamiku tak banyak bicara padanya, setelah bang Andi sarapan dan berangkat kerja, aku kembali ke kamar, tayangan televisi tak mampu membuat hatiku terhibur, aku melakukan pekerjaanku seperti biasa, aku mengambil pakaian kotor dan mencucinya di mesin cuci, kesibukan pekerjaan rupanya membuatku sedikit melupakan kekesalanku. Saat menjemur pakaian, kudengar tukang sayur langgananku berteriak memanggil para ibu-ibu, aku sendiri malas memasak hari ini karena hatiku masih kesal dengan Bang Andi. “Biar dia makan mie instant aja..” ujarku dalam hati. Setelah selesai menjemur, aku kembali ke dalam rumah, aku kunci pintu, aku ingin tidur saja sepanjang hari ini, karena tadi malam aku sama sekali tak nyenyak tidur, sambil berbaring aku mengecek hpku, kulihat banyak chat yang belum kubaca di grup whatsapp teman-teman kampusku dulu, ada satu chat yang menarik perhatianku, rupanya dari Dona, sahabat lamaku yang tiba-tiba japri. Dona cerita kalau suaminya sedang dinas di Jogja, lalu dia teringat padaku, dia bertanya kota yang kuhuni sekarang, dia juga bilang kalau nanti sempat, dia akan minta suaminya mampir ke tempatku. Entah mengapa obrolan kami sampai pada topik soal niat Bang Andi itu, jawaban dona malah membuatku terhenyak, menurutnya hal itu sudah biasa, dan dia juga sama, karier suaminya bisa melesat karena dia berhasil merayu atasan suaminya, dan gilanya lagi Dona malah tidur dengan bos suaminya itu, Dona bilang tadinya karena terpaksa, namun lambat laun dia malah menikmati semuanya. “Suami gue, sekarang udah kecapean ama urusan kantor say, dan gue dapat kepuasan dari bosnya, sama-sama menguntungkan kan, suami dapat jabatan, dan gue dapat kepuasan.” Begitu entengnya ucapan Dona itu.
“Dan ternyata bosnya suami gue itu perkasa banget, dia bikin gue sampai kewalahan di ranjang say, hihihi…gue kasih tau ya say…orang kulitnya gelap itu, barangnya gede-gede loh hihihi…dan tenaganya ampunnn…” lanjut Dona tanpa malu, bahkan aku yang membaca chatnya merasa risih. Dona juga mengirimkan Video persetubuhannya dengan Bos suaminya itu, katanya biar gak dibilang Hoak, aku betul-betul gak bisa melihat adegan yang muncul di video itu, bahkan aku malah mematikan video yang sedang kutonton. Setelah pembicaraanku dengan Dona, aku malah menjadi malu sendiri, aku gak habis pikir seorang perempuan bisa sebinal itu, dengan gemetar ku putar kembali video yang dikirimkan Dona, dalam layar terlihat Dona sedang ditindih lelaki berkulit gelap, Dona dan lelaki itu sedang berciuman rupanya terdengar dari suara liur yang saling berkecipak, suara erangan Dona terdengar berisik, aku kembali mematikan video itu, hatiku berdebar-debar tak karuan, pertama kali dalam hidupku aku menonton video mesum, dan bahkan yang berperan disana adalah sahabatku sendiri. Aku yang selama ini bercinta dengan gaya konvensional cukup terkejut melihat gaya bercinta Dona dan atasan suaminya, adegan-adegan mereka membuat hatiku berdesir-desir, terlihat sekali Dona begitu menikmati permainan terlarang itu. Tanpa sadar, jemariku bermain di sekitar vaginaku, aku mulai bermartubasi sambil membayangkan adegan Dona dan Bos suaminya tadi, sekitar 10 menit aku menggesek klitorisku, akhirnya orgasmeku meledak, kali ini terasa luar biasa…aku terengah-engah di atas ranjang dan tak lama tertidur. Hampir jam tiga sore aku terbangun, aku segera merapihkan rambutku, kuikat rambut panjangku, aku kemudian mengambil jemuran yang telah kering, lalu aku bersiap-siap untuk setrika pakaian, saat sedang menyetrika, kembali aku teringat chat dona dan adegan persetubuhan Dona dan bos suaminya, sepertinya aku mulai terasuki oleh cerita mesum dona itu, hingga aku kemudian terlonjak saat jemariku sedikit tersentuh panas setrika yang kupegang. Setengah jam kemudian, Mobil suamiku terdengar di depan rumah, bunyi pagar dibuka, lalu kudengar lagi suara mesin mobil suamiku saat sedang diparkir mundur, aku membawa pakaian yang rapih kusetrika ke lemari. Terdengar suara Bang Andi memanggil, namun aku tak menyahut, hatiku masih kesal dengannya, Bang Andi masuk kedalam kamar, “Bun, ayah beli pizza kesukaan Bunda tuh…kita makan yuk..” aku sama sekali tak menjawab, aku malahan keluar kamar menuju kamar mandi. Setelah mandi sore, aku mendapati bang Andi tengah duduk di meja makan, “Yuk sini Bun, kita makan Pizza bareng-bareng yuk..” Aku memasang muka cemberut, tanpa kujawab aku masuk ke kamar dan menonton televisi di kamar. Biasanya setiap sore, aku menyiapkan pakaian ganti suamiku setelah mandi, dan kini aku juga menyiapkan seperti biasa, walau hatiku kesal, namun aku juga tak ingin lalai dengan tugasku sebagai istri. Setelah Mandi dan berganti pakaian bang Andi berbaring disebelahku, dia menatapku sambil berusaha menghiburku, berkali-kali dia minta maaf, namun aku tak menjawab ucapannya, entahlah hatiku masih kesal dengan suamiku itu. Malamnya bang Andi tengah asyik menonton sepak bola di luar, sedangkan aku nonton di dalam kamar, sekitar jam 11 malam, Bang Andi masuk ke kamar, dia hanya diam dan berbaring membelakangiku, begitulah sifat suamiku, setiap bertengkar dia tak akan membujuk berulang-ulang, aku melirik kearahnya, entah kenapa aku juga merasa bersalah padanya, aku juga yang duluan mengungkit masalah karier, dan sungguh aku baru tahu kalau dunia pekerjaan tak selalu hitam putih, ada berbagai faktor yang membuat karier seseorang meningkat. Tiba-tiba aku kembali teringat chat Dona, kuambil hpku dan kubaca kembali chat Dona, aku melirik ke arah bang Andi yang telah lelap tidur, perlahan berusaha tanpa suara, aku keluar menuju kamar mandi, di kamar mandi kuputar kembali video dona sedang bersetubuh, video itu memantik gairahku, ku gesek klitorisku sambil menatap kontol hitam bos suami Dona keluar masuk memompa vagina merah Dona, terus kugesek cepat hingga tak lama aku menggigit bibir sambil terpejam, desakan orgasmeku begitu hebat menyeruak keluar..aku terengah engah di atas toilet… “Suamiku udah gak seperkasa dulu say, malahan bosnya yang memuaskanku sekarang, kan sama-sama senang, suamiku semakin bagus kariernya, dan aku juga puas di ranjang hihihi…” Chat Donna itu semakin dalam merasuki sanubariku, perlahan chat itu membangkitkan fantasi kelam di relung terdalam hatiku.
***
Keesokan harinya adalah hari libur tanggal merah, aku hanya bermalas-malasan di kamar, Bang Andi juga sedang sibuk mencuci mobil, aku kemudian keluar kamar dan mengintip ke depan, kulihat Bang Andi kini sedang merapihkan tanaman hias di taman, Bang Andi juga sibuk menggunting rumput-rumput yang menjulang tinggi. Setelah membuatkan sarapan untuknya, Aku duduk rebahan di kursi depan televisi, tak lama kudengar Bang Andi masuk ke rumah, “Wow enak nih, Ayah mandi dulu ya bun..” ucapnya, aku hanya diam sambil terus memperhatikan televisi, Bang Andi kemudian mandi, setelah Bang Andi selesai, gantian aku yang mandi, setelah mandi dan berganti pakaian, aku melihat bang Andi sedang menungguku di meja makan, “yuk sarapan bun..” ucapnya, aku duduk dihadapannya sambil memasang muka cemberut. “Bun udah dong ngambeknya…ayah kan udah minta maaf, masa gak dimaafin sih..” Ucap Bang Andi terdengar memelas, aku hanya menatapnya… Sebenarnya aku sudah tak kesal lagi dengan suamiku itu, malahan kini aku memikirkan ucapannya untuk menggoda bosnya, entah kenapa sejak aku melihat video Dona itu, pandanganku sedikit berubah, apalagi sudah sekian lama aku tak mendapatkan kepuasan bercinta, membuatku menjadi sedikit berfantasi… “Udah ya bun, kita gak usah ngomongin lagi soal itu, Ayah gak punya niat untuk segila itu kok…maafin ayah ya bun…kita baikan lagi ya..” Ujarnya tersenyum… “Lalu gimana karier Ayah?” Tanyaku pelan. “Heh..apa bun?” tanya Bang Andi, entah dia benar tak dengar atau pura-pura saja. “Trus bagaimana dengan karier ayah?” tanyaku lagi. “Ahh udahlah gak usah dipikirin, kita makan aja ya, laper nih..” jawab suamiku. Aku diam, dan kemudian kita sama-sama makan dalam hening, setelah selesai aku membawa piring kotor ke dapur, aku meletakkan saja tanpa mencucinya, aku kembali ke meja makan, kulihat Bang Andi tengah asyik dengan hpnya. “Yah…gimana kalau bunda bersedia membantu..” Ucapku. “Hemmmh….kenapa bun?” ujar Bang Andi rupanya tak fokus dengan ucapanku tadi. Aku mengulang pertanyaanku, dan kali ini bang Andi menoleh menatapku, diletakkan hpnya, dia menatapku begitu tajam, dan sungguh aku seolah melihat sekilat cahaya seperti kegembiraan terpancar di bola matanya. “Bunda serius?” Tanya suamiku. “Apa ayah Yakin?” aku balas bertanya. “Apa Ayah yakin ingin bunda merayu pak Frans? Bagaimana kalau dia kurang ajar ama Bunda, misalnya colek-colek bunda, atau yang lebih parah lagi. Dia ingin meniduri bunda?” lanjutku, Entah kenapa aku juga tak tahu, begitu lugasnya aku bisa berkata seperti itu. “Bun…” Suara Bang Andi terdengar lirih, namun aku merasa aneh, suaranya seperti orang yang tercekat karena terangsang. “Emangnya ayah membayangkan apa? Yang dirayu ini bukan anak-anak, tapi orang dewasa, pasti arahnya kesana kan, gak mungkin Cuma pak..bantu suami saya ya..emang bisa kaya gitu?” ujarku sudah terlanjur basah.. Jawaban suamiku malah tak kuduga, dia berkata sudah siap dengan segala konsekuensinya karena dia yang meminta, aku sungguh bingung ada apa dengannya, kenapa dia merasa seolah senang melihat istrinya merayu lelaki lain, dan juga aku heran kenapa juga aku berdebar-debar tak karuan seperti ini, membayangkan merayu pak Frans, lalu ahhhhh…ini benar-benar gila.. Dan hal berikutnya semakin aneh, Bang Andi sama sekali tak berusaha membatalkan niatnya, dia malah memikirkan skenario untuk permulaan menggoda Pak Frans, aku sungguh terkejut mendengar rencananya, dia akan membawa pak Frans ke rumah, lalu pura-pura menjamu makan, tapi dia akan membeli makanan dulu di luar dan meninggalkanku berdua dengan pak Frans, dan luar biasanya dia juga telah merencanakan kostum yang akan kupakai nanti, sungguh aku bergidik mendengar rencana Bang Andi itu, di balik sikap kalemnya dia punya fantasi yang luar biasa, dan jujur aja aku juga semakin berdebar menantikan semuanya…aku mungkin sudah gila, atau kita berdua sudah gila… Sorenya aku dan bang Andi pergi ke Mal untuk mencari kostum yang akan kupakai nanti, dan aku kembali kaget melihat bang Andi memilihkan daster yang sangat seksi untukku, daster selutut dengan tali kecil di pundak, aku bisa membayangkan kulit betis dan pundakku yang putih mulus akan terpampang jelas, duhh…memikirkan tatapan Pak Frans yang penuh napsu membuat hatiku berdesir-desir tak karuan.
***
Malam yang dinantikan tiba, aku saat itu sengaja tak mengenakan Bra, aku tak tahu apakah pak Frans mengetahui hal itu atau tidak, namun sungguh saat itu hatiku berdegup kencang merasakan gairah yang semakin menjalar, tepat saat bang Andi pergi dan pura-pura akan membeli makanan diluar, aku mulai bertingkah seperti wanita penggoda, entah darimana keberanianku muncul, tapi suasana emang mulai sedikit hangat. Aku sengaja mengangkat lenganku pura-pura mengikat rambutku, dan bisa kulihat tatapan pak Frans tak lepas dari ketiakku yang putih mulus tak berbulu, YA tuhan.***irahku semakin merambat naik, tubuhku mulai terasa hangat, ucapan-ucapan kami yang menjurus semakin melecutkan gairahku, saat menawarinya minum, dengan sengaja aku bertanya “Pak Frans suka susu apa kopi..” aku tahu ucapanku itu akan memancing jawaban yang vulgar, dan seperti kuduga, pak Frans menjawab kalau dia suka susu putih…duhhh desiran-desiran hatiku semakin terasa membuat ngilu.. Aku menyuguhkan minuman yang kubuat sambil menunduk sedemikian rupa hingga mungkin putting payudaraku bisa dilihat olehnya, aku lalu duduk dihadapannya sambil menyilangkan kaki, “Pak Frans datang kok tiba-tiba ya, bang Andi juga gak bilang kalau pak frans mau datang, maaf ya gak sempat ganti pakaian jadinya, mana saya juga gak pakai Bra, ehh maaf…” ucapku, dan kulihat pak Frans tersedak mendengar ucapanku itu, minumannya sebagian tumpah membasahi celananya, aku kemudian refleks menuju kearahnya sambil menarik tissue, kuseka celananya, dan aku sedikit terkejut saat melihat gundukan seperti sebuah pisang ambon di balik celananya, aku menelan ludah melihat itu semua. “Emangnya Bu Rina kalau di rumah gak pernah pakai Bra?” Tanya pak frans mulai berani, aku terkejut mendengarnya namun entah kenapa aku malah meladeni pertanyaannya yang vulgar itu. “Soalnya sekarang panas pak, gerah, sebentar ya…” Aku kembali sengaja mengangkat lenganku memamerkan ketiakku, Pak Frans yang duduk begitu dekat tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke ketiakku, refleks aku menghindar, kulihat pak frans tersenyum aneh, aku hanya menunduk sambil menggigit bibir. Tak lama Bang Andi tiba membawa bahan makanan, aku kemudian membawa makanan itu ke dapur, rupanya bang Andi hanya membeli makanan yang hanya perlu dihangatkan di microwave. Setelah itu kami bertiga makan, sambil makan aku sempat melihat tatapan Pak Frans begitu tajam menusuk relung jantungku, insting wanitaku seolah berkata itulah tatapan pria sejati yang bakalan mampu membuatmu menjerit di ranjang, duhhh… Sebelum pulang, Pak Frans meminta ijin pada bang Andi untuk mengajakku menemaninya menghadiri resepsi pernikahan, Bang Andi lalu bertanya apa aku bersedia menemani pak Frans, dan aku tanpa ragu mengatakan aku bersedia, aku sungguh penasaran dengan permainan ini, hatiku terus berdebar menantikan apa yang akan terjadi nanti.
***
Bersambung