Berbagi kisah nyata, bosss. Ini pengalaman beberapa minggu lalu. Gaada fotonya. Takut buat ngerekam. langsung aja ya [UPDATE DI PAGE 2] [UPDATE DI PAGE 3] — Ponselku berdering. Kulihat ada panggilan masuk dari Mbak Iza, tanteku. aku menduga, itu pasti soal anak perempuannya yang baru saja masuk SD, yang selama aku libur kuliah dititipkan pada keluarga besarku. Sepupuku itu memang lebih betah berada di rumah keluarga besarku karena ia punya lebih banyak teman ketimbang di kompleks rumahnya sendiri. Hal ini tidak aneh karena sekolah mereka dekat dengan rumah, dan selama ini sepupuku itu tinggal di rumah. Belum lama ini Mbak Iza memang pindah rumah, karena Om meninggal sekitar setahun yang lalu. Ia merasa sungkan untuk tetap tinggal di rumah sebab ia bukan keluarga kandung kami. Sebetulnya, keluargaku tak mempermasalahkan hal itu, toh, ia juga sudah jadi bagian dari keluarga. Tapi bagiku itu agak merepotkan, tiap hari aku jadi berkewajiban mengantar-jemput anaknya dari rumahnya yang baru ke sekolah. Dugaanku benar. Ia memintaku mengantarnya ke Semarang untuk menjemput anaknya yang sedang studi wisata di sana. Rencananya, dari Semarang, kami langsung bertolak menuju Salatiga dan menikmati akhir pekan di sana. Untuk rencana itu, ia meliburkan biro arsitek warisan suaminya dan menyewa sebuah mobil keluarga. Mbak Iza mendesakku untuk ikut karena aku diminta menyetir dan aku sudah terbiasa dengan jalur Semarang-Salatiga karena kuliahku di Solo. Aku tak punya pilihan dan alasan untuk menolak. Esoknya, aku dan Mbak Iza berangkat dari Semarang kira-kira pukul 4 sore. Menurut rundown yang diberikan sekolah, studi wisata berakhir pukul lima, dan kami menjemput mereka tepat ketika studi wisata itu selesai. Aku menurut saja dengan rencana itu, meskipun kemudian faktanya studi wisata selesai tepat ketika Maghrib, tak sesuai dengan yang telah dijadwalkan. Aku kemudian menanyakan apakah rencana liburan ke Salatiga dibatalkan atau tidak. “Lho memang perkiraanku juga berangkat jam segini, Rud,” jawabnya. Sial sekali. Aku sama sekali tak suka dengan segala bentuk keterlambatan. Prinsip itu kuterapkan juga di organisasi kampus. Aku tak punya kewajiban untuk menunggu orang yang tak tepat waktu. Tapi aku menyimpan gerutuan itu mengingat tak enak juga rasanya jika rencana Mbak Iza dan anaknya batal hanya karena terlambat beberapa jam. Aku menunggu dengan perasaan dongkol, karena selain menunggu acara selesai, mereka juga mesti berfoto untuk kenang-kenangan, dan segala macam keruwetannya. Kau tahu, kami betul-betul berangkat ke Salatiga kira2 pukul 7 malam. Perjalanan malam selalu jadi hal yang sulit bagiku. Kemampuan mataku terus menurun selama kuliah, kini ukuran minus kacamata yg kugunakan sudah ada di angka 2, dan aku juga harus berkendara di jalanan dengan mobil-mobil malam yang kelewat berani itu. Selama menyetir aku berkonsentrasi penuh dan nyaris tak ada percakapan diantara aku dan Mbak Iza, kecuali soal jalan mana yg harus kuambil supaya cepat sampai di salah satu tempat wisata alam di Salatiga. “Tempatnya seperti Lembang di Bandung. Kamu pernah ke sana?” “Belum, mbak” “Yasudah, nanti langsung cari tempat nginap ya” “Silakan” Di homestay kecil dengan dua kamar itu kami menginap. Ia meminta anaknya untuk segera tidur kalau ia merasa lelah. Benar saja, sehabis mandi dengan ibunya, ia langsung tidur. Aku tak langsung tidur. Duduk di kursi panjang dengan satu meja kecil tampak menyenangkan. Lagipula hawa sejuk Salatiga yang berada di dekat pegunungan tak boleh kulewatkan. Segera kunyalakan sebatang rokok, dan isapan pertama sengaja kulakukan dengan panjang. Nikmat. Belum habis satu batang itu, Mbak Iza datang. Ia duduk di sampingku dan segera mengambil satu batang juga untuk diselipkan di bibirnya. Aku kaget. Di daerahku, perempuan yang merokok tampak tak lazim. “Kamu kaget, Rud?” “Kaget juga, mbak. Tapi bagiku tak masalah. Merokok tak punya urusan dengan jenis kelamin,” “Baru-baru ini aku merokok. Tak punya pelampiasan lain. Kau tahu, berat hidup sendiri,” “Aku mengerti” “Aku masih baru awal 30, ditinggal suami, dan tak tahu apa2 soal bisnis warisan Om kamu itu. Kutinggalkan bisnis itu jelas pilihan bodoh,” “Tentu. Punya persiapan lain, mbak?” “Ada. Tapi aku menunggu modalnya cukup. Aku tak ingin bekerja kantoran,” Aku tertawa. Ia tersenyum. Seperti tahu maksudku, katanya, “kau tak perlu kerja kantoran kalau memang tak ingin. Aku yakin itu membosankan, sebab kamu harus hidup seperti mesin.” Senyumnya malam itu tampak menyenangkan. Obrolan kami terus berlanjut sampai larut malam, berbatang rokok kami habiskan, dan ia meletakkan kepalanya di pundakku. Aku mencoba melingkarkan tangan kiriku di pinggangnya, tangan kananku memegang tangannya, kemudian aku mengecup ubun-ubunnya. Tentu saja ia kaget. Ia segera melepasnya, tapi tanganku menahannya untuk lepas. “Jangan,” katanya sambil menatapku. Aku tahu maksudnya, mata kami bertemu dan ia kemudian mengangguk, ia bangkit dan segera menuju kamarnya, sementara aku masih di teras tak percaya dengan apa yang kulakukan barusan. Satu bagian diriku menolak bertindak lebih jauh, sedangkan bagian diriku yang lain sudah berontak meminta ijin untuk dimasukkan kandang. Aku menyusulnya ke kamar depan, lampu masih menyala pintu kuketuk tapi tak ada jawaban. Aku mengetuknya lagi dan meminta maaf. Masih tak ada jawaban, justru kudengar saklar lampu dimatikan. Mbak Iza pasti malu dan sangat marah. Aku menoleh ketika gagang pintu diputar dan bagian bawah pintu berderit ketika berimpitan dengan lantai, pintu nyaris sepenuhnya terbuka. Astaga, aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Ia sudah setengah telanjang. Hanya ada bra di dadanya dan celana dalam model g-string di pinggulnya. Aku yang masih diam karena terkejut segera ia dorong dan jatuh terduduk di atas sofa. Ia tersenyum. Tangannya melingkar di leherku, dan bibir kami segera bertemu.
Karena aku belum memberikan respon, ia melepas bibirnya, dan menamparku. “Kau kira untuk apa aku mengajakmu ke sini?” “Tapi,” belum selesai jawabanku, ia segera menciumku lagi. Kali ini ia berusaha membuka lidahku agar lidah kami juga ikut bertaut. Tamparan kedua mendarat di pipi yang sama. “Kalau kau tak mau, aku akan segera tidur,” ia melepas tangannya dari leherku. Dengan cepat kuraih pinggangnya, menahannya agar tak pergi, dan segera membalas perlakuannya tadi. Ciuman itu rasanya sudah terlalu lama, karena ketika aku melepas ciuman itu aku baru menyadari kaosku sudah tanggal dan dua buah susunya menggantung bebas di depanku karena ulah tanganku yang merayap di punggungnya. Ia tersenyum, “kamu curang”. Tanganku segera bergerilya mencari daerah baru. Aku sudah seperti penjajah yang menemukan daerah jajahan baru kemudian mengerahkan segala cara untuk mengekspoitasinya. Kini aku memegang kuasa atas tubuhnya. Kepalaku turun ke dua bongkah benda bulat di depanku, menghisap dan sesekali menggigit satu putingnya bergantian. Mbak Iza mendesah. Sesekali ia menjambak rambutku, atau menekan kepalaku kuat-kuat ke dadanya. Aku yg gelagapan justru meremas bokongnya kuat-kuat, sambil sesekali kutepuk untuk mengingatkannya bahwa aku juga perlu bernapas. Aku bisa saja mati kegirangan karena kaget dan kegirangan setengah mati untuk pertama kalinya merasakan bersetubuh, apalagi dengan tanteku sendiri, atau aku mati kehabisan napas di dadanya. Dua-duanya pilihan yang tanggung. Kontolku bahkan belum sempat masuk sarang barunya. Tanganku juga bergerak berusaha menurunkan celana dalamnya. Mengetahui aku kesulitan karena posisi duduknya tepat berada di atasku, ia segera mendorongku untuk jatuh ke samping. Posisi ini memungkinkan kami sama-sama melepas apa yang masih ada di tubuh kami. Aku melepas celana dalamnya, Mbak Iza melepas celana jins dan segala yang menutupi badanku. Kami sudah benar-benar telanjang. Ia turun ke tubuh bagian bawahku. “Aku yakin aku tak akan kecewa dengan ini,” kata Mbak Iza memegang dan meremas kontolku kemudian segera menjilatnya. Ukurannya tak seberapa, kira-kira hanya antara jempol yang direntangkan ke samping hingga ujung jari telunjuk, atau kira-kira 13 cm, ukuran kontol normal orang-orang sini. Rasanya ngilu-ngilu senang. Apalagi ketika kepala kontolku dikecupnya, dan lubang kontolku dijilat-jilatnya kepalaku segera tahu bagaimana rasanya terbang. Tak lama, sebagian kontolku sudah maju-mundur dalam mulutnya, dan tak sekalipun tersangkut di gigi. Ngeri juga membayangkan kontolku kena gigi kemudian rasa ngilunya justru membuatku gagal bercinta. Rasanya nikmat sekali sampai aku tak sadar kalau aku sudah memegang kepala Mbak Iza, memaju-mundurkannya seenakku sendiri, dan sesekali menekannya dalam-dalam hingga ke pangkalnya. Aku baru sadar ketika ia menepuk bokongku, dan mendengar suara sengguk hampir muntah. “Kau hampir saja membunuhku,” katanya. Ia bangkit dan segera meraih bibirku dengan bibirnya, dan lidah kami beradu lagi. Asu. Ini sama saja dengan aku menjilat kontolku sendiri, meskipun secara tidak langsung. Rasa jijik itu terus terbayang bahkan ketika lidah kami beradu dan bertukar liur, aku merasa mual. “Kau mau kita seharian berciuman, atau?” ujarnya dengan senyum nakal. Aku langsung mengambil posisi 69. Memek itu akhirnya tiba di depan mukaku. Pelan-pelan aku masih membukanya dengan tangan, dua jariku kutusukkan ke dalamnya, dan sesekali bergantian dengan lidahkku. Klitorisnya tak ketinggalan untuk kusergap dengan sekali sedotan kencang. Ia mengerang, meminta ampun atas nikmat yg ia rasakan. “Aduh. Ahhhsss, enak banget,” jeritnya kecil tapi berulangkali, sambil tetap mengocok atau menyedot-nyedot kontolku. Akhirnya, momen misionari itu tiba, juga berarti momen pertama kali kontolku berhadapan dengan memek. Aku ragu sejenak. Aku melihat mbak Iza yang tampak mengerti keraguanku. Ia mengangguk, tersenyum, memberi isyarat agar aku mendekatkan kepalaku ke kepalanya. “Aku takut, mbak”. Ia justru menggenggam kontolku dan mengarahkannya ke memeknya, beberapa kali memang gagal, tapi ia berusaha. “Ini akan jadi malam yang panjang,” bisik Mbak Iza. “Blessss” suara kecil yang muncul ketika kontolku berhasil masuk ke memeknya. Walaupun hanya kepala kontolku yang masuk, aku sudah merasa ini nikmat sekali, jauh berbeda dengan alat bantu sex memek buatan yg kubuat dari sarung tangan karet yang dijepit dua gabus dalam satu tabung yang diolesi minyak. Mbak Iza melenguh. Kakinya melingkar di pinggangku. Aku segera memaju-mundurkan pinggulku mencoba memasukkan seluruh kontolku ke memeknya meskipun sensasi nikmat yang baru saja kualami belum selesai. Tanpa hambatan. Aku mendiamkannya sejenak, kemudian mulai memompa. (Ohiya, aku bertanya pada kalian, yang enak dari sex apa cuma di bagian kepala kontol ya?) Badanku kubungkukkan agar lebih dekat ke badan mbak Iza, ia memelukku, dan tubuh kami seperti benar-benar bersatu. Pinggul mbak Iza digoyang-goyangkan mengikuti irama yang kubuat. Ia menjerit-jerit kecil, kadang-kadang jarinya mencengkeram erat punggungku, atau bahkan mencakarnya kecil. Perih di punggungku itu justru membuatku merasa makin bersemangat. Aku kian agresif memompa memeknya, bibir dan lidah kami sekali lagi bertaut. Aku sempat lupa kalau bibir kami baru saja saling menjilat kelamin satu sama lain, tiba-tiba aku tersedak, dan goyanganku berhenti. Ia mengartikannya sebagai isyarat untuk ganti posisi. Tangannya bergerak mencari ruang yang tepat bagi kami untuk melanjutkan permainan ini dengan aku berada di belakangnya. Aku kembali memompa. Kini gerakan pinggulnya tampak jelas di mataku, dan bongkahan bokongnya ternyata pas di tanganku dan aku tak tahan untuk tidak mencengkeram atau menepuknya. Bayangan yang tercipta dari tubuh kami tampak seperti seorang koboi dengan kudanya. Itu membuatku makin bersemangat dengan gaya ini. Tangan kirinya kupegang, seolah itu adalah tali kekang untuk kuasaku atasnya. “Plak. Plak. Plak.” Bunyi dari benturan paha depanku dan paha bagian belakangnya dan bokongnya yang mulai memerah. Di posisi ini, aku mengakui permainan ini sangat menyenangkan. Mbak Iza masih tetap menggoyangkan pinggulnya meskipun sesekali aku berhenti untuk menyambung kembali nafasku yang putus-putus. “Ah, Rud, kenapa berhenti. Terus, Rud,” erangnya diiringi desahan. “Ohhhh, ahhh, my goshhh, ohhh.” Kami berada dalam posisi ini sudah agak lama. Aku memompanya lagi, dan kali ini memeluknya dari belakang. Tanganku menggerayangi susunya yang pas sekali kugenggam. Sesekali kusodokkan kontolku keras-keras, dan ia menjerit lebih kencang daripada jeritan-jeritan kecilnya sedari tadi. Tubuhnya menegang, dan cengkeraman memeknya atas kontolku makin kuat, dan itu adalah momen paling nikmat dari permainan ini. Ia berhenti menggoyang pinggulnya, aku juga berhenti, memeknya berkedut-kedut, dan cairan hangat meleleh. Aku sudah kelelahan. Aku bingung, sebetulnya siapa yang memegang kuasa atas permainan ini? “Enak banget, mbak, shhhssshhh,” bisikku di telinganya. “Ganti kamu di atas dong, mbak,” lanjutku membisik dan mencubit kecil pinggangnya. “Aku capek, Rud,” “Yah” “Ayodeh” Kami memutar tubuh kami. Ia sekali lagi menggenggam kontolku dan mengarahkan kontolku ke memeknya. Kami tak lama dalam posisi ini, rasa nikmat di kontolku agak berkurang. Entah karena kami mulai kelelahan sehingga goyangan kami melambat atau apa, entahlah. Tapi dalam posisi ini, susu yang tadi menantangmu malah mengangguk-angguk seperti ia mengaku kalah. “Jawab aku dengan susumu, mbak. Enak ngesex denganku?” Ia tertawa. “Kamu ini ada-ada aja, shhh,” “Ini mengangguk, aku anggap itu jawaban ‘iya’,” kataku sambil meremas susunya. “Mbak ingin kesempatan yang lain?” Ia tertawa lebih kencang. “Idih maunya,” kata Mbak Iza sambil mencubit pahaku. Merasa posisi ini tidak memberi kontolku kebahagiaan tambahan, aku mendorongnya dengan tubuhku, ia jatuh dan aku berada di atas seperti posisi semula. Pompaanku kupercepat. Aku merasakan tubuhnya mulai menegang lagi, memeknya juga mulai berkedut. Aku menghentikan pompaanku, memberinya kesempatan untuk beristirahat. Itu tampaknya berdampak. Ketika aku mulai memompa lagi, pinggulnya juga bereaksi atas genjotanku. Fokus pandanganku bergeser ke dadanya. Susunya bergerak maju-mundur mengikuti irama persetubuhan kami. Aku berpikir untuk iseng dengan menamparnya kecil. Ia justru menggelinjang. Kurasa itu kelemahannya. Aku melanjutkan permainan itu. Tubuhnya ada dalam kuasaku, tak salah kalau aku menganggap tubuh Mbak Iza adalah taman bermain. Melihatnya menggelinjang kala kutampar kecil susunya, aku kian bersemangat memompa memeknya. Kemudian ujung kontolku mulai gatal. “Mbak, aku kayaknya mau keluar, deh,” “Uhh, terusin aja sayang, keluarkan di dalam. Jangan khawatir, aku ada pil,” Pompaanku semakin bertenaga memanfaatkan sisa-sisa tenagaku. Jeritan mbak Iza juga kian kencang, tubuhnya menengang, dan memeknya kian berkedut. Ujung kontolku semakin gatal. Aku menghentak keras-keras genjotanku, sedangkan tubuh Mbak Iza sudah bergetar. Aku sodokkan dalam-dalam dan segala yang kupunya kutumpahkan di dalam memeknya. Kami berdua melolong dengan nada yang sama. “Aooohhhhhhhssss,” Aku puas sekali, kemudian ambruk di atas tubuhnya. Lemas sekali, kontolku masih tegang, berkedut di dalam memeknya, dan kami berpelukan. Kulihat jam dinding, ternyata kami bermain tak sampai satu jam, tapi rasanya lelah sekali. Mataku tiba-tiba terasa berat. Kudengar saklar lampu dipencet, adik sepupuku keluar kamar, “Mama ngapain?” Doakan ane dapat jatah lagi gan
Setelah cerita pertama itu, jatah akhirnya kudapat lg meskipun caranya kurang oke. Aslinya bnyk percakapan kami menggunakan bhs daerah, tapi demi kepentingan yg lbh luas dan semua pembaca paham, maka lbh baik ditulis dgn bhs resmi. Ane coba buat nulis cerita ini sedetail2nya. Lancrotkan suhuuu. … Sepupuku yg masih sd itu memergoki mamanya bercinta denganku. Dia belum mengerti kalau dia lahir dari kejadian serupa antara mamanya dengan ayahnya. Tapi dia akan segera mengerti bahwa itu adalah kejadian paling agung di muka bumi ini. Mbak Iza tenang2 saja, sementara jantungku jedag-jedug waktu itu. Dia membisik di telingaku supaya aku tetap tenang dan biarkan dia menjawab anaknya. Pada anaknya, dia mengaku sedang dipijit olehku, karena bajunya mengganggu maka perlu dilepas. Kemudian dia dengan tenang mengantarnya ke kamar mandi, dan segera kembali untuk berpakaian. Kulihat raut mukanya tetap tenang meskipun masih tampak kelelahan. Sepertinya dia merasa baik2 saja. Sejak itu hubunganku dengan Mbak Iza mulai berubah. … Setelah pengalaman bercinta pertamaku, yg sialnya kepergok dgn cara yg tdk lucu itu, lima bulan sudah kontolku tidak pulang ke sarangnya. Rasa kepingin menikmati lagi memek Mbak Iza sementara harus kutahan, sebab sekitaran februari lalu aku kembali ke kampus, dan selama libur tahun ajaran baru dan lebaran, aku tak mendapat jatah sama sekali. Itu tidak aneh karena kami khawatir keluargaku curiga dengan kedekatan tak lumrah kami. Sebagai gantinya aku mengisinya dengan coli beberapa hari sekali. Kabar baik akhirnya datang ketika Mbak Iza mengabariku lewat telefon kalau dia akan mengunjungiku dalam minggu2 setelah bulan2 liburan ini. Katanya, ada urusan bisnis. Maka, kupersiapkan beberapa urusan perkontolan ini dengan amat rapi. Aku segera browsing beberapa hotel dengan tarif murah tapi oke, mengira2 daerah mana yg tidak memungkinkan relasiku di sini menemukanku berdua dengan Mbak Iza. Itu penting karena citraku sebagai aktivis bem di kampus bisa saja tercoreng kalau ada yg mencium skandal ini. Kemudian kupilih hotel kecil di sekitaran tengah kota. Sebab, di daerah ini aku memprediksi bisa menyembunyikan diri dengan agak aman. Kuliah di kampus2 di sini belum aktif karena masih banyak yg libur, sehingga kemungkinan untuk ditemui relasiku cukup minim. Seminggu kemudian, atau Jumat lalu, dia berangkat. Mbak Iza memintaku menjemputnya pukul empat sore, setelah urusannya selesai. Di mana aku akan menjemput akan segera menyusul. Sebelum pertemuan itu, aku berdandan habis2an supaya aku tdk membuatnya malu ketika kujemput. Kau tahu, selama kuliah aku jarang merawat diri karena sibuk dengan kegiatan ini, itu, atau apalah. Kupersiapkan diriku sebaik mungkin, mengenakan setelan pakaian terbaikku, dan bergaya ala2 eksmud. Aku memprediksi Mbak Iza akan mengenakan setelan wanita2 karir, dengan kemeja polos, blus, dan rok kain. Dengan begitu, orang2 yg melihatku dengannya tak akan mengira kalau selisih umur kami belasan tahun, aku 22 dan dia kira2 36 tahun. Aku tiba di lokasi pertemuan agak telat. Motorku agak bermasalah dengan gasnya yg terus terbuka. Ini menyulitkan karena motorku akan menarik gas sampai maksimal dan itu berisiko sekali. Untunglah bukan masalah serius karena hanya butuh kira2 10 menit untuk membereskannya. Tapi Mbak Iza ternyata sudah menunggu sebelum pukul 4. Pertemuannya berakhir cepat dan spertinya tidak menggembirakan. Mukanya seperti sedang menahan marah, dan ketika kuhampiri ia mengomel panjang. Tas punggung yg ia bawa kuangkut dan kuletakkan di depanku. Sementara itu, terpaksa juga kudengar omelan itu dan menghiburnya dengan cara2 yg kubisa. Yg kutangkap adalah, transaksinya terpaksa batal karena harga bahan baku mereka tidak cocok dengan spesifikasi dari Mbak Iza. Aku memberinya beberapa alternatif untuk itu, kemudian mengajak dia makan. “Mbak cantik banget pakai baju gitu,” kataku. Tapi ia menjawab ketus dan memintaku tidak mencari gara2 dengan singa yg sedang marah dan lapar. Aku tertawa. Tapi itu justru membuatnya makin marah. “Kamu apaan sih. Aku turun sini aja,” “Oh silakan,” aku meladeni ancamannya, yg ternyata kemudian hanya gertak sambal. Dia mencubit pinggangku kencang, dan itu membuatku meresponnya dengan berteriak. Aku masih saja melempar lelucon2 bodoh supaya ia agak terhibur. Dia bilang itu tdk lucu tapi dari suaranya aku dengar ia tertawa kecil. Motorku tetap melaju dan segera menepi ke tempat makan langgananku. Di tempat makan, kami ngobrol. Kadang2 berbisik mesra, kadang tertawa, dan banyak seriusnya. Wanita karir seperti dia tentu tak bisa diladeni dengan cara seperti meladeni anak kuliahan (begitu kata temanku yg sudah berpengalaman merayu binor dan mengenalkanku dengan forum semprot ini). Maka hal2 terkait dengan pekerjaannya kuladeni dengan serius, meskipun celometan tetap muncul. Obrolan tarik ulur akan membuat nyaman perempuan2 yg seumurannya. Kau cuma perlu bersikap biasa saja, tanpa menunjukkan kau hebat, atau apalah. Aku menyinggungnya soal kejadian waktu itu. Tapi sepertinya dia merasa tak nyaman. Mungkin juga kondisi emosinya yg sedang kurang bagus. Beberapa kali usahaku sepertinya akan sia2. Maka aku memutuskan segera pindah tempat ke tempat2 asik yg bisa didatangi malam2. Dan disana kulancarkan semua bujuk-rayu yg kubisa untuk mengajaknya kembali bercinta. Usaha ini juga gagal. Maka satu2nya harapanku agar kontolku segera merasakan nikmat adalah dengan obat perangsang yg selalu kubawa. Agak terburu2, aku menggandeng lengannya untuk segera mengajaknya ke hotel. Tapi ternyata Mbak Iza justru ingin lebih lama di sini, aku berpura2 jadi laki2 yg romantis, melingkarkan tanganku di pinggangnya, kemudian mengambil jalan tercepat untuk sampai di tempat parkir. Motor kugeber dgn kecepatan sedang, Mbak Iza memelukku dari belakang. Posisi ini menantangku untuk mengusilinya, gas kutarik lebih dalam, kecepatan meningkat dan ia memelukku lebih eart. Meskipun telah kusiapkan sejak jauh2 hari, ternyata anggaranku untuk menginap di hotel tetap terbatas. Aku memilih hotel murah dengan pelayanan oke, yg sebelumnya kucari lewat internet. Kamar dengan satu bed kemudian kupilih. Mbak Iza spertinya tdak peduli dgn itu. Di kamar kami sempat ngobrol sebentar. Dia akan pulang besok sore, maka ia memnitaku mengantarnya ke terminal kira2 menjelang jam 3. Setelahnya, aku berbasa-basi memancingnya dgn mengatakan aku akan pulang karena hari sudah malam dan dia butuh istirahat. Tapi dia menolak. Mbak Iza ingin aku tinggal di sini saja mememaninya. Aku merasa rugi kalau menemaninya di hotel tanpa merasakan nikmat memeknya. Dia mengerti, tapi dia menolak melakukannya lagi. Sebagai gantinya, dia menawarkan blowjob. Kali ini aku yg menolak, dan memilih untuk pulang. “Cukup waktu itu, Rud,” katanya. Memang hubungan kami kian dekat, tapi dia rupanya masih ingat batas2 yg kami punya. Selain itu, Mbak Iza mengatakan kalau saat ini dia sudah merencanakan hidup baru dengan calon suami barunya. Mereka juga pernah bersetubuh setelah laki2 itu mengantar Mbak pulang kerja. Di titik itu, aku merasa sangat kacau. Aku merasa dia adalah milikku, dan memang hanya aku yg pantas memilikinya. Ditambah dengan fakta bahwa calon suaminya lebih muda darinya. Laki2 itu bahkan hanya selisih 7 tahun denganku, dan itu berarti selisih 7 tahun dengannya. Emosiku makin memuncak. Kami bertengkar hebat malam itu. Sesekali dia berteriak bahwa dia mengakui kalau malam itu dia khilaf, dan setelahnya dia menyadari kalau hidupnya harus dimulai lagi. Dia mengaku butuh laki2 yg bisa memberi apa yg jd kebutuhannya, materi maupun biologis. Aku tahu ini pilihan yg berat baginya. Dengan umur segitu laki2 itu memang sudah matang, tapi aku memintanya berpikir lebih jauh. Banyak kemungkinan yg selama ini dia abaikan dengan menutup mata. Mbak Iza kemudian lari ke kamar mandi. Aku melihatnya menangis. Kesempatan itu aku gunakan dengan baik untuk memasukkan obat perangsang yg telah kusiapkan ke air mineral yg disediakan hotel. Air itu kemudian kukocok. Busa2 kecil mulai muncul di permukaannya tapi segera menghilang. Efeknya memang tidak secepat jika dicampur dengan minuman bersoda, tapi tetap bisa diandalkan. Aku mengembalikan posisi air mineralnya seperti semula supaya Mbak Iza tdk curiga. Aku berniat akan menyusulmya ke kamar mandi. Ternyata pintunya tdak dikunci, kemudian aku langsung masuk. Dia menyalakan shower air hangat dan duduk di bawah shower tanpa melepas baju setelan kantornya. Dia kelihatan sangat frustrasi dengan pertengkaran kami barusan. Memang aku merasa terlalu jauh mencampuri urusannya. Itu karena aku menyayanginya. Aku hanya tak ingin laki2 yg datang padanya justru mengecewakan. Aku melepas baju luarku, dan setengah telanjang dgn hanya mengenakan dalamanku yg pendek (ini kulakukan karena aku tak membawa baju ganti, dan tentu saja lebih masuk akal ketimbang basah2an dgn baju lengkap). Aku duduk di sampingnya, meminta maaf. Mulanya ia memintaku menjauh, dia sedang ingin sendiri. Tapi aku berkeras tetap di situ. Lenganku memutari punggungnya supaya kepalanya bersandar di dadaku, dan aku bisa mengelusnya supaya tenang. Hanya ada suara air yg jatuh membahasi vadan kami sampai Mbak Iza mulai berbicara, masih sambil sesenggukan. Dia mengatakan kalau aku memang banyak mencampuri urusannya, tapi dia juga mengamini kalau ia tdk membuka matanya lebar2. Kami sama2 meminta maaf. Lenganku kini lebih erat memeluknya. Sesekali ubun2nya juga kucium untuk membantunya menenangkan diri. Sementara satu lenganku turun ke pinggangnya lewat depan untuk memeluk bagian depan tubuhnya. Dia tidak menolak. Tanganku lebih leluasa untuk menjamahnya. Tapi aku tak mau gegabah. Dia harus dibuat setenang mungkin dan senyaman mungkin. Maka serangan2 seksualku tidak kulakukan dengan agresif. Aku memulai dengan mengelus pipinya sambil sesekali mencium keningnya. Aku menunggu momen sampai ketika mata kami beradu pandangan, dan ketika momen itu tiba, aku akan mendekatkan bibirku dengan bibirnya, menghapus bekas bibir laki2 itu dengan bibirku. Dia tidak berontak, malah rupanya dia cukup menikmatinya. Bibirku dikecup kecil, memainkan lidah di dalam mulutku, atau kadang2 bibir bawahku digigitnya lembut. Aku membalasnya, ciuman kami malam itu begitu sensual. Liur yg keluar dari mulut kami langsung hilang oleh air hangat ug mengguyur kepala kami. Sesekali aku mengentikan ciuman itu dengan mencium matanya, kemudian melanjutkan di bibirnya lagi. Kali ini aku meningkatkan intensitas serangan. Ketika lidah kami bertemu, aku melilitnya dengan lidahku, kadang2 juga menyedotnya kuat. Suara air itu kemudian tersaingi suara yg timbul dari ciuman kami, entah ketika kecupan2, gigitan, atau sedotan2 kecil di bibir. Pelan2 pakaian yg dia kenakan kulucuti. Mulai dari membuka kancing blusnya, dan kemejanya, sementara rok bahan yg dipakainya masih belum kusentuh, karena posisinya tdk memungkinkan. Semua itu kulakukan dengan tetap menciumnya. Kemudian Mbak Iza mengambil posisi dgn duduk di atas pangkuanku.
Kontolku yg mendadak tegang setegang2nya, mulai ia rasakan. Sesekali dia meremasnya. Ruang kecil di kamar mandi itu kian panas, sebab aktivitas kami juga meningkat. Mbak Iza melepas pakaian atasnya, menyisakan bhnya yg sudah basah kuyup. Tanganku bergerilya di balik punggungnya, mencoba melepaskan pengaitnya. Ketika bh itu lepas, dua buah bulatan itu menggantung di depanku. Susunya memang tidak besar, tapi bentuknya bagus sekali dan yg paling penting pas di tanganku. Butir2 air yg mengalir di atas susunya membuatku makin bergairah, ditambah dengan lampu kuning di kamar mandi, membuat suasana kian meningkatkan libido. Kuremas2 kecil dua buah susu yg menggantung itu, pentilnya berwarna agak kecoklatan. Tanganku bergantian antara menjamah susunya atau punggungnya, sementara ciuman kami berhenti dan dia menyedot2 leherku. Tubuh kami sudah tidak bisa diam. Setiap jengkal bagian yg ada di tubuhnya tidak lepas dari sasaran kegiatan seksualku. Leher dan dadanya adalah sasaran utamaku saat ini, sementara tanganku bergerak di bokongnya yg masih mengenakan rok bahan. Di lehernya kusedot kecil, kadang2 kuat supaya meninggalkan bekas. Kurasa dia tdk keberatan dengan itu. Aku berniat segera memulai permainan ini dengan membuka resleting roknya yg ada di belakang. Bibir kami berpagutan lagi. Tangannya yg sering menggantung di tengkukku mulai menjambak2 rambutku ketika susu dan pentilnya kunikmati. Aku mencoba berdiri untuk mematikan shower, tapi tangan Mbak Iza menahanku. Maka posisi ini segera saja membuatku berjongkok. Aku tdak peduli dan terus menjamah setiap kujur tubuhnya. Aku memepetnya ke belakang, kemudian menindihnya dengan tubuhku. Mbak Iza memberiku kesempatan untuk membuka roknya, aku menariknya sekaligus dengan celana dalamnya. Kini dia telanjang bulat. Memeknya yg basah karena air itu segera saja menjadi sasaranku selanjutnya. Aku tak bisa membedakan lagi apakah memek ini basah karena air atau karena lendir. Aku tdk peduli. Lidahku langsung menjilati memeknya. Mbak Iza mengerang, suaranya cukup kencang tanpa perlu ia tahan seperti ketika ia mengajariku waktu itu. “Ohhhhsshh,” suaranya memecah kebisuan kami. Klitorisnya juga tidak luput untuk kujilat dan sesekali kugigit kecil. Dia menggelinjang ketika bagian sensitif itu jadi arena bermain lidahku. Kemudian tanganku kumasukkan ke dalam memeknya untuk memastikan apakah memeknya sudah basah dan siap menerima kontolku. Mbak Iza meminta giliran untuk memberiku servis oral. Dia melepas dalamanku, dia kaget karena aku tak mengenakan celana dalam. Di tengah deru nafsu itu, aku justru malah menjelaskan kalau model dalaman berbentuk celana dan berbahan kaos macam ini tdk mengharuskan pemakainya mengenakan celana dalam. “Ini lebih praktis, Mbak,” kataku. Ia menjawabnya dengan mencubit pahaku, “praktis atau emang sengaja?”. Mata kami bertemu dan dia tersenyum nakal. Kontolku bertemu dengan kecupan bibirnya. Setelah ini, sebelum mencuci mulut aku tak mau berciuman dulu. Atau aku melupakannya karena air shower terus mengalir dan mungkin saja bekas kontolku di bibirnya pelan2 hilang. Selama Mbak Iza mengoral, ia lebih sering mendongak ke atas untuk melihatku merem-melek keenakan. Rambut basahnya yg sebahu terurai kadang2 menutupi wajahnya, dan dia menggunakan satu tangannya untuk menyibakkan rambut itu ke samping. Uhhhh rasanya aku ingin memuncratkan pejuku di mulutnya saja. Aku mendesah2. Kadang2 ia mengocoknya, mengulumnya, dan di satu kesempatan ujung kontolku terasa membentur sesuatu. Ternyata itu pangkal mulutnya. Oh ini deeothroat pertamaku. Anjing, ini nikmat sekali. Tanganku menahan kepalanya untuk mundur, dia kembali mendongak, matanya mengiba supaya aku melepaskan kepalanya. Aku sengaja pura2 tidak memperhatikan dgn desahan2ku. Aku menyeringai. Dia nyaris muntah kehabisan nafas ketika aku melepas kepalanya. “Aku akan menggigit kontolmu kalau sekali lagi kamu melakukannya.” “Seram.” Aku berdisi, untuk tdk memberinya kesempatan untuk beristirahat, tubuhnya yg lemas karena nyaris kehabisa nafas itu segera kuangkat mengikutiku. Badannya kuputar, tangannya refleks menahannya di tembok. Aku memosisikan diri agak rendah, kemudian menarik
pinggulmya ke belakang. Kontolku yg sudah sedari tadi tegang itu kuarahkan ke memeknya dari belakang. Agak susah memasukkannya karena lubang memeknya terhalang dari pandanganku. Aku memegang kontolku, mencari lubang memeknya, dan memasukkannya segera setelah aku menemukannya. “Bless”. Tak sulit bagi kontolku untuk masuk ke memeknya yg sudah becek itu, selain karena ukurannya tak seberapa, foreplay kami tadi membantu kontolku menembus memeknya. Mbak Iza melenguh ketika barang asing itu masuk ke memeknya. Katanya memeknya penuh sekali dengan posisi ini. Maka aku segera menggoyangkan pinggulku maju mundur. Satu tanganku memutar kenop shower, yg lain tetap memegang badannya untuk menjaga keseimbangan. Goyanganku kepercepat. Desahan Mbak Iza makin kencang. Dia tidak menahan diri, tidak ada yg disembunyikan. Bunyi pertemuan pahaku dengan pahanya makin kencang karena hanya bersaing dengan erangan2 kami yg penuh gairah. Dari belakang, tanganku merajalela menjelajahi tubuhnya. Tanganku meremas2 susunya, atau mengocok klitorisnya. Sebisa mungkin ritme ini kujaga tetap berada di jalur yg tepat. Kira2 tujuh menit kemudian aku mendorongnya ke depan. Kontolku lepas dari memeknya. Dgn cepat aku memutar posisinya, kemudian kontolku kembali kumasukkan ke memeknya. Kaki kirinya kuangkat dan kutahan dengan tanganku sebentar, lalu dia mencari pijakan yg tepat untuk kaki kirinya di tembok. Setelahnya tanganku menahan punggungnya. Beban tubuh Mbak Iza sepenuhnya berada padaku karena aku setengah menggendongnya. “Cepok. Cepok. Cepok.” Pahaku yg bertemu dengan pantatnya berbunyi demikian. Genjotanku berada dalam rpm tinggi dan itu membuatku segera kelelahan. Apalagi, Mbak Iza agak pasif di ronde ini. Entah karena sempit atau apalah. Aku tetap bersemangat untuk menuntaskan permainan ini. Mbak Iza tiba2 ingin ganti posisi. Dia keluar dari bilik kecil tempat kami bersetubuh. Wastafel yg kokoh dari keramik dan kayu jadi pilihannya untuk melanjutkan persetubuhan kami. Di samping wastafel dia naik dan segera mengangkat kakinya. Di belakangnya, cermin besar yg menutup seluruh tembok memantulkan punggungnya yg mulus dan berair, entah keringat atau air dari shower tadi. Mbak Iza tersenyum nakal, dia menantangku menghajarnya di situ. Aku segera menghampirinya. “Ah sialan,” pikirku. Wastafel ini agak terlalu rendah buatku. Sehingga aku tetap harus merundukkan badanku sedikit. Kontolku mulai kuarahkan ke memeknya. Mbak Iza memegang kontolku, menariknya ke arah memeknya. “Ahhhg,” erangnya. Tangannya menahan tubuhnya dari belakang. Aku memegang pahanya, membukanya lebar2 supaya penetrasiku lebih mudah. Mulanya aku memaju-mundurkan kontolku pelan2, sampai kecepatannya konstan. Ternyata, posisi ini tidak menguntungkan. Dengkulku justru sering membentur pintu lemari yg ada di bawah wastafel. Tubuhnya kutarik kedepan. Otomatis pegangan tangannya agak mengendur, dia nyaris jatuh kalau aku tidak segera menangkap pinggangnya kuat2. Aku memintanya agak telentang supaya penetrasiku tidak terganggu. Aku mulai lagi genjotanku ke memeknya. Kadang2 aku melihat tepat ke tubuhnya, dan kadang2 aku melihat pantulan persetubuhan kami di kaca. Oh ampun, ini sensual sekali. Kau sebaiknya pernah mencoba bersetubuh dengan cara ini. Kau bisa melihat betapa lelahnya dirimu di kaca, atau dengan posisi yg agak miring kau bisa melihat susu lawan tandingmu bergoyang di kaca ketika kau menggenjotnya. Aku menggenjotnya dengan lebih sabar sekarang supaya momen ini tidak begitu cepat berlalu. Tangan Mbak Iza kini mencengkeram tanganku kuat2. Badannya menegang. Aku tahu dia akan segera mendapat orgasme pertamanya. Maka kupercepat genjotanku untuk membantunya. “Ah. Ah. Ah. Aku mau keluar, sayang. Come on fuck me harder.” Semakin cepat genjotan yg kulakukan, dan kuakhiri dengan sentakan keras sampai seperi kontolku membentur sesuatu di dalam sana. “Ahhhh. Ohhhh,” Mbak Iza melolong panjang. Kubenamkan kontolku dalam2. Memeknya memcengkeram kontolku kuat2. Rasanya ada cairan hangat yg mengalir lewat kulit kontolku di dalam sana. Kulihat wajahnya begitu merah karena darahnya memuncak dan mengalir begitu cepat. Nafasnya terengah2. Badanku kubungkukkan, bibirku segera mencari bibirnya. Belum lama ia istirahat, genjotanku kumulai lagi. Dia bilang supaya pelan2 saja sebab nafasnya masih putus2. Aku tidak peduli. Kini giliranku untuk mencapai kenikmatanku sendiri. Geli segera menyerang ujung kontolku. Ini pertanda aku akan mencapai klimas. “Sayang, aku mau keluar,” kataku. “Ngghh iya. Di dalam ya,” katanya, “tapi tunggu, tahan satu atau dua menit lagi, dan percepat genjotanmu, agak kasar tak masalah. Aku segera dapat orgasmeku yg ke dua.” Mendengar itu aku makin bersemangat. Genjotanku lebih cepat dari biasanya. Tapi tampaknya tdk sekencang yg aku dan Mbak Iza harapkan. Tapi dengan kakuatan segini saja, tubuh Mbak Iza sedikit terpental ketika aku menyodokkan kontolku kuat2. Geli di ujung kontolku makin tak bisa kutahan. Kontolku makin tegang, urat2nya mulai membesar. Dengan satu hentakan keras, aku mengakhiri permainan ini. “Ahhh. Ohh. Hah. Hah. Hah.” Pejuku menyembur di dalam memeknya beberapa kali. Nafasku terengah2. Nikamat sekali rasanya. “Enak banget memekmu mbak”. Mbak Iza masih memegangi badanku, kemudian memeluknya. Aku membiarkannya memelukku sambil mengelus kepalanya. Kontolku kubiarkan berada di dalam memeknya sampai lemas. Kurasakan kalau pejuku mulai meleler keluar dari memeknya. Aku puas sekali. Tapi sayang, aku tidak berhasil membuat Mbak Iza mencapai orgasme ke duanya. Masih dalam posisi seperti ini, tubuhnya kurengkuh. Mbak Iza kugendong menuju bilik kecil tadi dengan terbungkuk supaya kontolku yg belum masih setengah tegang tidak lepas, dan shower kunyalakan untuk bersih2. Handuk yg disediakan hotel hanya kami pakai untuk mengeringkan tubuh saja tanpa memakainya keluar kamar mandi. Kami menuju ranjang masih dalam keadaan telanjang bulat. Mbak Iza melemparkan diri ke kasur. Aku menyusulnya. “Terima kasih, sayang,” ujarnya sambil mengecup bibirku. Aku membalasnya tapi dia segera melepaskan bibirnya. “Bisa tolong ambilkan minum?” “ini dia,”