Sebelum memulai cerita, penulis akan mendeskripsikan para tokoh dari cerita ini agar penulis tidak perlu lagi membangun karakter tokoh di dalam cerita. Adapun para tokoh cerita ini adalah sebagai berikut:
Satya Pamungkas
Darmastuti Beikayanti
Wira Pradana
Widya Lestari
SELAMAT MENIKMATI.
SATYA POV
Memang, aku telah mencurigai istriku sejak dua bulan yang lalu. Kebiasaannya pulang malam, sesuatu yang jarang dia lakukan sebelumnya, membuat diriku curiga. Sejak saat itu, aku menyewa seseorang untuk membuntuti aktivitas istriku, dan hari ini aku mempunyai bukti perselingkuhannya yang tidak akan bisa lagi disangkal. Sejumlah foto kemesraan antara istriku dan selingkuhannya kini berada di atas dadaku yang sedang terlentang di tempat tidur. Kini hatiku benar-benar hancur. Air mata yang sedari tadi aku tahan, akhirnya keluar juga. Ya, aku menangis dalam diam, sesuatu yang sudah lama tidak pernah kulakukan.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Menampakkan seseorang yang sudah sedari tadi aku tunggu. Segera aku bangkit dari tempat tidurku. Aku menatapnya penuh selidik, sementara dia menatapku heran. Dengan perasaan kecewa, aku melempar foto-foto di tanganku ke lantai hingga berserakan. Kulihat ekspresi wajah istriku langsung berubah seketika. Ada keterkejutan yang tampak jelas di wajahnya, namun ajaib ia dengan cepat menutupinya. Dengan santai Tuti berjalan ke meja riasnya lalu meletakkan tas tangannya.
“Kau pernah berjanji padaku untuk selalu setia di sisiku.” Aku berdiri, lalu mengambil sebuah foto di lantai dan berjalan mendekati istriku yang sedang melepas pakaian. Aku pun menunjukkan foto itu pada istriku seraya berkata, “Kau mengenali kedua orang di foto ini bukan?”
“Ternyata kamu sudah tahu.” Ucapnya santai tak berperasaan.
“Jadi, kau tidak mengelak bahwa orang yang di foto ini adalah kau..?!” Aku membanting foto di tanganku ke atas meja riasnya, “Bagus kalau begitu.” Aku menjeda kalimatku, “Sebentar lagi, kau akan menjadi janda. Dan kuharap, kau menerima setiap keputusanku dengan lapang dada.”
“Kamu tidak akan menceraikanku.” Lagi-lagi aku terkejut dengan aura kepercayaan dirinya.
“Apa?! Kau terbukti berselingkuh! Ini adalah bukti kuat untuk pengadilan mengabulkan tuntutan ceraiku!” Aku berteriak meluapkan amarah.
“Kamu tahu juga, siapa pasanganku itu bukan?” Ucapan tidak berdosa itu keluar begitu saja dari mulut Tuti. Sontak saja aku membulatkan mata.
“Ya … Dia pemilik firma hukumku. Lalu, apa masalahnya?” Tanyaku yang kini sangat penasaran.
“Jika kamu menceraikan aku. David akan memecatmu dan anakmu.” Tuti tersenyum penuh kemenangan. Darahku mendidih, jantungku bergetar, bibirku menggigil, air mata tak dapat dibendung.
“Aku tidak peduli! Aku memang akan mengundurkan diri dari kantor si keparat itu. Gugatan ceraiku akan tetap berlanjut. Tidak ada yang bisa menghalangiku. Kau paham!!!” Suaraku meledak bersamaan dengan amarahku yang menggelegak.
“Bagaimana dengan Wira, anakmu? Apakah kamu tega menghancurkan karirnya? Dia sudah diambang kesuksesan dan tiba-tiba ayahnya menghancurkannya. Pikirkan baik-baik suamiku. Masa depan Wira ada di tanganmu. Sekarang, terimalah kenyataan bahwa aku mempunyai kekasih dan suami yang aku cintai secara bersamaan. Kita akan tetap menikah dengan keadaan yang berbeda. Dan biarkan aku terus menjalin hubungan dengan bossmu sampai suatu saat nanti kamu akan menjadi laki-laki satu-satunya lagi untukku.” Kata Tuti sangat santai dan percaya diri. Ia lalu berjalan ke kamar mandi.
Sepertinya kali ini amarahku benar-benar yang paling parah. Aku sampai melempar botol parfum yang kuambil dari meja riasnya ke arah Tuti. Namun lemparan botol parfumku luput dari tubuhnya karena dia keburu masuk ke dalam kamar mandi. Botol parfum itu hanya melintas di belakangnya. Aku menahan gemuruh di dadaku, menahan tanganku agar tidak melukai tubuh ‘iblis betina’ satu itu.
“Ayah …” Suara lembut menyapa telingaku dan langsung saja aku menoleh ke sumber suara. “Ada apa?” Tanya Widya yang menyapaku di ambang pintu kamar yang terbuka.
Dengan luapan amarah yang masih mencengkram, aku berjalan keluar kamar melewati Widya yang menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang jalan padaku. Aku sambar kunci mobil di lemari yang dikhususkan menyimpan kunci-kunci mobil. Tak lama, aku keluar rumah, mengendarai mobilku seperti kesetanan tanpa tujuan. Di otakku hanya ada pikiran kalau aku harus pergi menjauh dari si ‘iblis betina’ itu. Aku harus keluar dari rumahku dan tenangkan diri. Kalau tidak, mungkin aku akan melakukan sesuatu yang bodoh, yang bisa merugikan diriku sendiri.
Setelah satu jam berkendaraan, aku sampai di sebuah danau buatan. Suasana malam di sekitar danau buatan ini terlihat sepi. Padahal biasanya jika di waktu seperti ini tempat yang dihiasi oleh lampu berwarna warni dengan taman bunga di sekelilingnya terlihat ramai. Aku duduk di salah satu bangku taman yang tersedia di sini. Aku menatap langit yang penuh dengan bintang. Dalam kegelapan yang menyesakkan ini. Aku terdiam berusaha untuk menentramkan hati. Dan akhirnya aku memejamkan mata mencoba menurunkan amarah.
Tiba-tiba smartphoneku berdering dan menandakan bahwa seseorang sedang menghubungiku. Setelah identitas penelepon, ternyata Tuti menghubungiku. Tentu saja aku abaikan, tak sedikit pun kehendak untuk menerima panggilannya. Tak lama, dering itu pun terhenti sendiri. Namun baru dua jaki tarikan napas, smartphoneku berdering lagi. Identitas yang sama muncul di layar smartphone dan untuk kedua kalinya aku abaikan panggilannya itu. Setelah dering berhenti, lekas-lekas aku matikan smartphoneku agar tidak ada yang bisa menghubungiku.
Setelah sekian lama, amarahku mulai mereda walau intensitasnya masih tinggi. Aku segera bergerak menuju mobil, lalu mengendarainya yang lagi-lagi tanpa tujuan yang pasti. Aku hanya berkeliling kota dengan perasaan kacau balau. Akhirnya aku parkirkan mobil di pinggir jalan. Aku sendiri tak tahu di mana aku sekarang. Aku rebahkan punggung di sandaran jok mobil sambil menutup mata. Sungguh, semua ini membuat tubuh dan pikiranku sangat lelah. Aku belum bisa menerima takdir ini. Terlalu berat beban yang kurasakan. Tetesan air mataku pun mengalir lagi.
Tok! Tok! Tok!
Aku mendengar pintu kaca mobilku diketuk seseorang. Seorang wanita menor dengan pakaian minim berdiri di samping jendela mobilku. Aku langsung menutup mata lagi berniat tidak menghiraukan wanita itu. Namun, si wanita mengetuk kaca pintu mobilku lagi. Dengan kesal aku membuka kaca pintu mobil.
“Maaf … Saya sedang istirahat di sini. Saya sangat ngantuk dan ingin tidur.” Kataku sembari akan menutup kaca lagi.
“Pak …!” Tangannya menahan kaca. Suaranya sangat memelas. “Tolong saya pak … Saya butuh uang untuk makan. Anak-anak saya butuh makan. Kami sudah dua hari tidak makan. Aku mohon, bapak mau main dengan saya. Saya akan menerima berapa pun yang bapak bayar.” Ucapnya semakin memelas.
Terdorong rasa iba, akhirnya aku mengeluarkan dompet lalu mengeluarkan tiga lembar uang pecahan 100 ribu. Aku berikan padanya tanpa berkata-kata. Wanita itu menerima uang pemberianku dengan mimik tak percaya namun tak lama ia pun tersenyum senang.
“Terima kasih, pak … Bapak baik sekali.” Ujar si wanita sembari memasukan uang pemberianku ke dalam branya.
“Ya, sama-sama …” Kataku sembari menutup kaca mobil.
“Pak!” Si wanita itu memanggil dan seketika itu aku hentikan kaca mobil yang sedang bergerak ke atas.
“Ada apa lagi?” Tanyaku sedikit kesal.
“Kenapa bapak menangis?” Tiba-tiba si wanita bertanya demikian. Sontak saja aku tersadar kalau aku tadi sedang menangis.
“Oh …” Sambil menahan malu, aku menyeka air mata di wajahku.
“Saya bisa menemani bapak ngobrol. Bapak bisa mengeluarkan unek-unek bapak pada saya, supaya beban di hati bapak agak ringan. Jangan menolak saya, pak. Bapak telah menolong saya, sekarang giliran saya yang menolong bapak.” Ujar si wanita sambil tersenyum.
“Gak usah. Lagi pula saya bukan tipe orang yang suka membagikan kesusahan. Terima kasih atas tawarannya.” Sahutku lalu menutup kaca pintu mobil rapat-rapat.
Rupanya si wanita tidak ingin menyerah. Dia berjalan ke samping mobil sebelah kiri. Dia kembali mengetuk-ngetuk kaca pintu. Tentu saja aku bingung, tapi melihat kesungguhannya aku jadi kasihan. Aku pun akhirnya membukakan pintu mobil sebelah kiri. Si wanita masuk lalu duduk di jok sebelahku sambil menutup pintu mobil.
“Saya tidak meminta biaya apapun untuk dijadikan teman ngobrol bapak. Oh ya, nama saya Ika.” Si wanita yang mengaku bernama ika itu menyodorkan tangannya.
“Satya …” Jawabku sembari menjabat tangannya.
“Saya melihat bapak menangis. Emanya ada apa?” Ika bertanya tanpa ragu-ragu seolah dirinya telah mengenalku lama.
“Sudah saya bilang. Saya tidak ingin membagikannya denganmu.” Jawabku tegas.
“Rasa sedih dan kecewa yang menumpuk bisa membuat orang menjadi gila. Makanya lebih baik bapak keluarkan saja, tidak perlu ditahan-tahan supaya beban bapak berkurang. Saya akan mendengarkannya.” Kata Ika lembut.
Aku menghela nafas berat dan untuk sesaat tak ada suara di antara kami. Tiba-tiba Ika menangkap tanganku sambil menatap wajahku. Terasa sentuhan tangannya begitu iklas. Tatapan matanya begitu murni. Dia benar-benar ingin membantuku. Setelah kupikir, mungkin ada benarnya juga kalau aku harus mengeluarkan kesedihan, kekecewaan, dan kemarahanku agar hatiku bisa sedikit lebih ringan.
“Istriku selingkuh.” Akhirnya aku bersuara.
“Sudah saya duga.” Lirih Ika.
“Istriku selingkuh dengan bossku, tapi dia tidak ingin diceraikan dengan alasan dia akan kembali menjadi istriku yang setia. Dia telah mempermainkan hatiku. Dia telah menghancurkan jiwaku.” Kataku.
“Umur istri bapak berapa?” Tanya Ika.
“48 tahun.” Jawabku yang merasa aneh dengan pertanyaannya.
“Pantes …” Lirih Ika.
“Loh … Kok pantes?” Aku bertanya karena penasaran.
“Dia tidak ingin bapak ceraikan karena dia tidak mau menjadi janda. Saya yakin istri bapak sudah menyangka kalau perselingkuhannya tidak akan bertahan. Ketika perselingkuhannya selesai, dia masih tetap memiliki bapak walaupun bapak tidak mencintainya lagi. Istri bapak berpikir yang penting ada yang masih membiayai hidupnya.” Jelas Ika masuk akal. Aku langsung saja menyangka kalau wanita ini ahli di bidang perselingkuhan.
“Aku dan istri sudah menikah 27 tahun. Tapi kenapa dia berselingkuh?” Tanyaku yang kini ingin tahu.
“Maaf kalau jawaban saya akan menyakitkan bapak. Tapi ini harus saya utarakan biar bapak mengerti dan mau memperbaiki diri. Wanita dengan usia 48 tahun biasanya khawatir dengan masa saat dia sudah tidak bisa bercinta lagi. Masa itulah seorang wanita ingin mereguk sebanyak-banyaknya kenikmatan bercinta. Maaf sekali lagi, aku menyangka kalau bapak tidak bisa memuaskan keinginannya.” Jawab Ika yang memang terdengar sedikit menyakitkan.
“Kehidupan ranjang kami memang berkurang jika dibandingkan masa muda kami. Tetapi, aku masih bisa memuaskannya di ranjang.” Kataku berkilah.
“Kebanyakan pria tidak menyadari kalau pasangannya terpuaskan atau tidak. Masalahnya wanita sering menyembunyikan ketidakpuasannya dengan alasan untuk menghargai pasangannya.” Kata-kataku tadi langsung mentah.
“Jadi, kamu menyangka kalau istriku selingkuh karena aku tidak bisa memuaskannya.” Kataku agak tidak terima.
“Kemungkinan besar ya … Karena seperti yang bapak bilang, dia tidak ingin diceraikan oleh bapak. Paling tidak, istri bapak masih menyayangi bapak tetapi kebutuhannya tidak terpenuhi maka dia mencari di luar.” Katanya.
Aku terdiam sambil meresapi ucapan Ika yang menurutku ada kebenarannya. Memang selama ini aku kurang memperhatikan kualitas bercintaku dengan Tuti. Tetapi pengkhianatan tetap saja pengkhianatan. Level tertinggi dosa dalam pernikahan. Bodoh sekali jika aku tiba-tiba memakluminya dan memberi kesempatan. Pengkhianatan adalah hal yang tak pantas untuk dimaafkan.
“Tapi … Aku ingin membalasnya … Ini lebih dari sakit. Hatiku sudah rusak, aku mati rasa. Aku tidak bisa dan tidak tahu bagaimana menghilangkan rasa sakit ini.” Kataku pelan.
“Saya bisa membantu.” Tiba-tiba Ika berkata yang sukses membuatku terbelalak.
“Caranya?” Tanyaku.
“Bapak harus menjadi pejantan yang hebat. Buktikan bapak adalah pria yang kuat dan bisa membahagiakan wanita di ranjang. Saya yakin, istri bapak akan mengemis-ngemis minta kembali ke bapak.” Jelasnya.
“Saya bisa memijat untuk meningkatkan vitalitas bercinta bapak.” Jawabnya. Karuan saja keningku langsung mengkerut.
“Pasti ada biayanya …” Ktaku pelan. Entah kenapa aku merasa curiga kalau wanita ini sedang berusaha menipuku.
“Bapak gak perlu membayar saya. Bapak sudah baik sama saya. Saya sekarang yang harus membayar kebaikan bapak.” Lagi-lagi pikiranku dimentahkannya. Dari nada suaranya, wanita benar-benar tulus ingin membantuku.
“Kamu seiur?” Tanyaku masih tak percaya.
“Sekarang … Kita cari tempat untuk melakukan pemijitan.” Kata Ika sambil mengangguk dan tersenyum.
Aku yang sangat penasaran dan bersemangat langsung saja melajukan kendaraanku mencari hotel. Hanya lima menit, aku menemukan hotel kelas melati. Setelahnya, aku memesan satu kamar dan kami pun diantar pengelola hotel ke kamar yang kami pesan. Aku dan Ika memasuki kamar hotel lalu menutup pintunya.
“Lepas pakaian bapak.” Pinta Ika santai sembari meminyaki tangannya dengan handbody yang aku beli di minimarket sebelum menemukan hotel.
“Apakah harus semuanya?” Candaku lalu membuka kemejas dan celana panjangku. Kini yang tertinggal hanya boxer yang menutupi area terlarang milikku.
“Terserah bapak … Kalau bapak mau telanjang, gak apa-apa.” Jawabnya sangat santai.
Aku pun tersenyum sambil naik ke atas tempat tidur. Aku membaringkan badan tertelengkup dengan kedua tangan menjadi tumpuan kepalaku. Aku pun mulai dipijat yang diawali dari bagian telapak kaki terus menyusur sampai paha. Beberapa titik di telapak kaki ditekannya aku merasa sakit. Sambil menekan-nekan titik syaraf, dia mengatakan penyakit-penyakit yang mungkin ada pada diriku. Pijatannya kadang-kadang sakit, tetapi selebihnya memang nikmat dan membuat rileks. Sampai di bagian pantat, diremas-remasnya pantatku lalu di beberapa tempat ditekan-tekan. Tekanan itu serasa nyetrum ke kemaluanku, sehingga jadi mengeras.
Terus terang aku jadi terangsang. Oleh karena itu aku beralasan kalau boxerku mengganggu. Aku minta dia tarik saja ke bawah. Ika lalu menarik boxerku dan meletakkan di atas meja. Dia kembali meremas pantatku. Rasanya memang sangat nikmat. Dia lalu mengurut paha bagian dalam. Entah dia sengaja atau tidak, tetapi kantong zakarku berkali-kali tersentuh tangannya. Aku makin high sehingga kakiku kukangkangkan lebih lebar untuk memberi peluang tangannya lebih jauh menyentuh zakarku. Selangkangan diurutnya bahkan daerah sekitar dubur di tekan-tekan.
Aku diam sepanjang proses pemijitan. Terkadang sakit sekali terasa di daerah yang dipijitnya. Rupanya Ika sudah memulai pijitan untuk meningkatkan vitalitas kejantananku. Tak ada lagi kata enak atau rileks, yang ada kesakitan yang aku rasakan, sampai-sampai aku harus menggigit bantal agar meredam teriakanku. Sambil terus mengurut, Ika mengatakan kalau dia sering melakukan ‘terapi kejantanan’ dan hasilnya sangat memuaskan. Teknik itu dia dapatkan secara turun temurun dari leluhurnya. Tidak ada unsur magis, teknik ini murni perbaikan sistem saraf dan peredaran darah. Setelah hampir satu jam, ritual pun selesai. Aku kini bisa bernapas lega karena siksaanku telah berakhir. Aku pun duduk bersila di atas kasur sambil dipijat pelemasan di daerah pinggang oleh Ika.
“Bapak ngerasa enggak burungnya makin panjang dan makin besar.” Tanyanya.
Aku pun melihat ke bawah. Sontak mataku mengerjap saat mendapati kejantananku yang layu tetapi terlihat membesar dan memanjang dari ukuran aslinya. Luar biasa, Ika benar-benar telah membuktikan perkataannya. Aku yang merasa kejantananku makin garang lalu bertanya, “Apakah ini karena dipijat?”
Ika tersenyum dan menjawab, “Bapak tahan ya jangan sampai keluar air maninya. Setelah selesai dipijit burung bapak harus diistirahatkan dulu sekitar 1 jam menahan jangan sampai air maninya keluar. Jika berhasil, burung bapak akan permanen besarnya dan kemampuan bertahannya juga lebih lama.”
Setelah selesai memijat, Ika permisi ke kamar mandi. Entah apa yang dilakukannya pada tubuhku, aku merasa ngantuk sekali dan tertidur. Entah berapa lama aku tidur, aku terbangun ketika merasa Ika sudah berbaring di sebelahku dengan tubuh telanjang. Nafsu birahiku yang sudah lama tidak tersalurkan tiba-tiba muncul. Aku memiringkan badanku dan memeluk dia. Tanpa minta izin, tanganku merogoh payudara jumbonya. Tanganku meremas-remas susunya, terasa cakupan telapak tanganku tidak cukup menutup seluruh buah dadanya. Aku memelintir gantian puting kiri dan dan kanan lalu bangkit dan menghisapnya. Ika pun mendesis dan mengelus-elus punggungku.
“Paaakkk.. Enak sekaliii…” Ujar Ika kenikmatan.
Aku sangat senang mendengar erangan kenikmatannya. Tanganku pun merayap ke bawah. Tak lama kutemukan rambut kemaluannya yang tidak begitu lebat dan belahan vaginanya terasa sudah basah. Klitorisnya dengan mudah kutemui. Wanita itu menggelinjang-gelinjang menahan rasa nikmat karena intinya aku goda. Keinginan untuk menjilati vagina wanita ini begitu kuat. Aku langsung turun ke bawah. Aroma vaginanya tidak menyengat. Bau khas vagina terasa samar-samar, tetapi itu malah menambah gairah.
Aku melomot itilnya dan memainkan lidahku di ujung itilnya. Ika merintih dan bergerak lasak pinggulnya. Sambil merintih dia mengatakan, “enak banget pak,” begitu berulang-ulang sampai akhirnya dia mengejang karena tiba orgasmenya. Setelah tuntas gelombang orgasmenya, dua jariku kujebloskan ke dalam vaginanya perlahan-lahan, terasa sempit, tetapi masuk juga. Aku memainkan kocokan dengan kedua jariku yang masuk ke celah vaginanya. Semenara itu tangan yang satunya memainkan klitorisnya.
Ika seperti lupa daratan mengerang-erang keras sekali karena tidak tahan dengan kenikmatannya. Di puncaknya dia malah berteriak histeris, lalu mancur cairan yang agak kental dari celah vaginanya. Aku memang sudah mengetahui situasi itu sehingga sebelum pancuran itu, bibir vaginanya aku buka selebar-lebarnya. Pancrutan pertama cukup kencang, lalu berangsur-angsur melemah sampai akhirnya hanya meleleh saja. Setiap denyutan orgasmenya dia sertai dengan erangan keras.
Setelah situasi normal, Ika berkomentar. “Saya seumur-umur belum pernah dikerjai sampai saya muncrat begitu. Rasanya nikmat banget dan lemes, bapak rupanya pintar ngilik juga.” Aku lalu bertanya apakah masa tenggang satu jam tadi sudah terlewati. Ika hanya mengangguk. “Bapak mau test hasil pijatan saya ya.” Kata Ika.
Aku ditarik untuk menindihnya. Penisku digenggamnya lalu diarahkan masuk ke dalam vaginanya. Aku perlahan-lahan menenggelamkan senjataku ke sarungnya. Setelah full aku mencoba merasakan kehangatan lubang nikmat milik Ika. Dia mengedut-ngedutkan otot vaginanya penisku serasa dipijat, rasanya nikmat sekali.
Aku mengatur posisi dan mulai menggenjotnya dengan irama empat per empat dan mengusahakan gerakannya stabil sambil mencari posisi yang memberi kenikmatan lawan mainku. Vagina Ika cukup mencengkeram juga, meskipun sudah punya anak dan umurnya setengah baya. Aku terus menghujam-hujam vagina yang habis orgasme, rasanya lebih nikmat dan lebih menncengkeram. Itulah yang aku rasakan.
Gerakanku mulai direspon oleh Ika. Aku menemukan posisi yang tepat. Pada posisi itu aku terus bertahan. Tidak sampai sepuluh menit dia sudah mengerang panjang menandakan dapat orgasme. Penisku terasa disiram cairan hangat dan sekujur lubang vaginanya memijat-mijat penisku.
“Aduh nikmat banget dan lemes, rasanya. Punya bapak rasanya ngganjel banget di dalam.” Katanya. Aku tersenyum dan meneruskan pompaanku.
Mungkin baru lima menit kemudian, Ika sudah mengerang lagi mencapai puncaknya. “Bapak mainnya pinter banget sih, aku cepet banget dapet lagi. Rasanya juga nggak kayak biasa ini berasa kuat banget, kalau aku pas dapet, bikin lemes pak …” Katanya.
Aku terus menggenjot, Ika mungkin sudah empat kali orgasme. Dia minta waktu untuk istirahat dulu karena rasanya lemas sekali dan vaginanya ngilu. Aku yang masih dalam keadaan tanggung mengabaikan permintaannya dan terus menggenjot sampai akhirnya aku sampai di garis finish bersamaan dengan puncak Ika yang ke lima kalinya.
“Aduh mampus deh … Kali ini dikerjai sama hasil pijatan saya sendiri.” Katanya dengan badan seolah tidak bertulang.
Air maniku meleleh di celah-celah vaginanya membasahi sprei. Sebenarnya spreinya sudah basah dan melebar dari tadi akibat cairan ejakulasi Ika yang berkali-kali. Aku juga merasa lelah, sehingga aku pun akhirnya berbaring di sampingnya. Aku meminta Ika untuk tidur bersamaku dan Ika pun menerima permintaanku. Aku menarik selimut dan langsung terlelap. Kami tidur dalam keadaan bugil tanpa memperdulikan lagi kasur yang basah.
.
WIDYA POV
Kejadian ini mengajariku bahwa kita tidak dapat mengendalikan kesetiaan seseorang. Tidak peduli seberapa baik kita kepada mereka, bukan berarti mereka akan memperlakukan kita sama. Tidak peduli seberapa besar artinya bagi kita, bukan berarti mereka akan menghargai kita sama. Kadang-kadang orang yang paling kita cintai, berubah menjadi orang yang paling tidak bisa kita percayai. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh satu orang yang kita pikir tidak akan pernah menyakiti kita.
Aku yang terbangun dari tidur langsung melihat jam di dinding dan ternyata sudah pukul 23.05 malam, namun suamiku tidak ada di tempat tidur. Aku pun keluar kamar untuk mencari suamiku. Saat akan masuk ke dapur, aku mendengar percakapan antara suamiku dan ibu mertua. Percakapan mereka terdengar sangat serius dan pelan terkesan berbisik-bisik seakan percakapan mereka tidak ingin terdengar olehku.
“Ma … Lebih baik mama bercerai saja dengan papa. Kenapa juga ingin mempertahankannya. Lagi pula, saat ini papa sudah pasti membenci mama, diteruskan pun sudah pasti tidak akan seperti dulu lagi.” Terdengar suara Wira.
“Tidak … Mama akan mempertahankan pernikahan mama sama papamu. Kamu tidak berpikir, bagaimana kalau tiba-tiba Pak Edward, atasanmu, memutuskan hubungannya dengan mama. Jika mama janda, siapa yang akan mengurus mama. Setidaknya mama masih ada yang mengurus walau papamu sangat membenci mama.” Ucap ibu mertua.
“Mama sepertinya kurang mengenal papa dengan baik. Papa bisa melakukan apa saja yang membahayakan kita. Papa orangnya tidak terduga. Dia banyak akalnya untuk mencelakai kita.” Ucap Wira membuatku mengerutkan kening. Kenapa Wira mengatakan ‘kita’ dalam urusan ini.
“Mama yakin papamu tidak sejahat itu. Papamu akan kembali ke rumah. Setelah bekalnya habis, papamu pasti kembali ke rumah ini.” Kata ibu mertua sangat yakin.
“Jadi … Bagaimana rencananya sekarang?” Tanya Wira dengan nada khawatir.
“Jalani saja seperti yang telah kita rencanakan. Jangan terlalu banyak membicarakan kemelut ini dengan istrimu. Percayalah, papamu pada akhirnya akan menerima keadaan kita dan bersama ibu lagi.” Jelas ibu mertua.
Aku merasa cukup menguping dan segera kembali ke kamar. Aku bisa menerka-nerka kalau suamiku, Wira, mengetahui perselingkuhan ibunya sejak lama. Hal itu bisa dilihat dari dukungan Wira kepada ibunya bahkan meminta ibunya untuk menceraikan ayahnya. Mataku mulai berkaca-kaca, mengapa mereka begitu jahat pada bapak mertua. Hatiku sedih menyaksikan apa yang mereka perbuat pada bapak mertua seperti merendahkan, berkhianat dan bahkan menghinanya. Entah kenapa aku merasakan juga kesedihan bapak mertua. Aku merasa kasihan padanya, dunianya pasti terasa hancur saat ini.
Saat itu, pintu kamar terbuka. Wira masuk ke dalam kamar dengan sedikit terkejut. Diapun menjalan mendekatiku lalu duduk di sisi tempat tidur. Dia menggenggam tanganku sambil mengusap rambutku dengan lembut.
“Kenapa kamu belum tidur?” Tanyanya dan aku pun bangkit dari posisi terlentangku.
“Aku terbangun, tadi aku sudah tidur. Aku mencarimu dan mendengar kamu berbicara dengan mama. Kalian membicarakan papa. Sebenarnya apa yang terjadi?” Kataku dengan nada ingin tahu.
“Hhhmm … Seperti yang kamu tahu, mama selingkuh dengan atasanku. Anggap saja mama sedang mengalami puber kedua dan jatuh cinta lagi sama orang lain.” Jawab Wira yang terus berulang seperti itu.
“Tidak, sayang … Aku mencium kalian telah merencanakannya. Sebenarnya, apa yang telah kalian rencanakan?” Tanyaku mendesaknya.
“Aku tidak bisa menceritakan itu padamu. Sekarang lebih baik kita tidur.” Wira bertahan malah mengajak tidur.
Aku pun berbaring lagi dan Wira di sebelahku. Dari tadi pikiranku tidak tenang. Serius, rasanya ada yang mengganjal sejak kepergian bapak mertua, apalagi kepergiannya itu membawa luka hati yang sangat parah. Ya, siapa yang tidak iba melihat nasibnya saat ini. Dia sangat penyayang dan pengasih kepada siapa pun, dan sekarang dia terluka akibat pengkhianatan istrinya. Entahlah apa yang akan ia rasakan apabila mengetahui jika anaknya terlibat dalam pengkhianatan istrinya. Air mataku diam-diam turun, namun segera kuusap agar Wira tidak tahu. Sudah lewat tengah malam namun aku tidak bisa tidur karena memikirkan kondisi bapak mertua.
…..
…..
…..
“Papa …” Teriakku sambil berlari.
“Hai!” Bapak mertua menyapa.
“Papa … Oh …” Tanpa ragu aku memeluknya tanpa menghiraukan pandangan orang-orang yang lewat.
“Hei … Jangan pelak-peluk di pinggir jalan. Banyak orang yang lihat.” Katanya pelan sambil mendorong tubuhku pelan.
“Papa … A..aku …” Ucapanku ditahannya.
“Ssssttt … Jangan berkata-kata dulu. Sekarang dengarkan perkataan papa. Papa ingin kamu mengambil sesuatu dari lemari papa.” Katanya.
“Kenapa papa tidak mengambilnya sendiri? Rumah kosong kok.” Sahutku cepat.
“Kamu serius rumah kosong?” Tanya dengan mimik mencerah.
“Ya, pa … Wira kerja dan mama keluar entah kemana tapi mama bilang akan pukang agak malam.” Jawabku.
“Kalau begitu … Ayo kita ke rumah …” Ajak bapak mertua.
Aku jalan duluan diikuti papa di belakang. Jarak taman kanak-kanak tempat aku mengajar dan rumah hanya sekitar 10 menit berkendaraan. Aku dan bapak mertua masuk ke dalam rumah lalu menuju ke kamar tidurnya. Bapak mertua mengambil beberapa setel pakaian dan beberapa berkas dari dalam lemari.
“Itu berkas apa, pa?” Tanyaku.
“Ini surat tanah dan surat rumah. Papa akan menjual tanah yang ada di kampung, dan kemungkinan besar papa juga akan menjual tanah dan rumah ini.” Jelas Bapak mertua.
“Oh …” Aku terkejut mendengarnya.
“Jangan khawatir … Wira dan kamu akan papa belikan rumah baru, tapi tidak akan seluas dan sebesar ini.” Katanya.
“Kalau mama bagaimana?” Tanyaku.
“Papa tidak peduli dia mau tinggal di mana. Mungkin dia bisa tinggal dengan kekasihnya bersama istri kekasihnya.” Jawab bapak mertua yang terdengar sangat kesal.
Aku tiba-tiba terenyuh setelah mendengar suara kekasalan bapak mertua. Bagaimana pun pengkhianatan adalah hal yang tidak mudah untuk dimaafkan dan dilupakan. Aku ikut merasakan bagaimana sakit hatinya tatkala harus melepaskan sesuatu yang ia genggam. Aku ikut merasakan bagaimana sakit hatinya ketika terlepas dari tali yang sudah berhasil ia simpul. Aku ikut merasakan bagaimana rasanya dikhianati dan dilupakan. Aku juga meraskan bagaimana rasa sakit yang selalu menggerogoti tiap inci hatinya. Dia mungkin saja bisa disebut korban. Ya, korban ketidaktulusan.
Tanpa sadar air mataku pun jatuh tanpa bisa kutahan. Aku menangis tersedu-sedu melihat kenyataan yang barusan saja diberikan padaku. Kesedihannya adalah kesedihanku. Penderitaannya adalah penderitaanku. Berjuta perasaan iba kini merubungi tubuhku. Aku merasakan sakit jika dia bersedih. Bapak mertua menoleh ke arahku, lalu berjalan mendekatiku. Tiba-tiba bapak mertua memelukku. Aku tidak tahu alasannya, tetapi pelukannya terasa hangat dan pelukannya itu benar-benar menguatkanku. Aku bisa merasakan kenyamanan yang begitu luar biasa.
“Kamu gak perlu bersedih. Perjalanan hidupmu masih terlalu jauh untuk hanya sekedar dipakai bersedih. Bapak mungkin telah kehilangan seseorang yang tidak mencintai lagi bapak, tetapi kamu masih mempunyai Wira yang benar-benar mencintaimu. Jagalah dia dengan sepenuh hati. Jangan tiru ibu mertuamu.” Katanya sambil mengusap-usap rambutku.
Mendengar kata ‘Wira’, tiba-tiba saja aku marah. “Wira juga jahat.” Tiba-tiba aku mengucapkan itu tanpa sadar.
“Apa??!” Bapak mertua memekik kaget sembari mengurai pelukannya.
“Oh … Bu..bukan … Ma..maaf …” Aku panik saat tersadar aku baru saja keceplosan.
“Kenapa kamu bilang Wira jahat?” Tanya bapak mertua sambil menggoyangkan bahuku. Aku terdiam dengan menggeleng-gelengkan kepala. “Katakan pada bapak. Kenapa kamu bilang kalau Wira jahat?” Tanyanya lagi semakin mendesak.
“Tidak, pak … Aku salah ucap.” Aku berusaha berkilah.
Bapak mertua memandangku dengan tatapan menyelidik. Mata kami saling bertatapan, tetapi tidak ada kata yang keluar. Aku mendadak bisu. Bapak mertua masih menatapku tanpa suara. Tak lama, keningku diciumnya lama sekali sampai rasanya hatiku menjadi semakin sedih. Tak ingin melepasnya untuk hari ini saja. Ciuman di keningku pun terlepas, aku kecewa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Bapak mertua melanjutkan mengepak pakaian dan semua keperluannya. Setelah selesai, ia pun berjalan keluar kamar tanpa menghiraukan lagi keberadaanku.
“Pa …” Panggilku.
“Papa harus pergi …” Katanya tanpa menoleh.
“Pa … Bolehkah aku boleh minta nomor kontak bapak?” Pintaku.
“Asal kamu berjanji tidak memberikannya pada mamamu.” Bapak mertua berhenti berjalan dan membalikkan badan.
“Ya, aku berjanji.” Kataku segera saja mendekatinya yang sudah melewati ambang pintu kamar.
Bapak mertua mengeluarkan smartphone dari dalam saku celana. Dia mengutak-atik layar smartphone di tangannya, dan tak lama aku mendapatkan nomor kontak bapak mertua. Aku simpan di dalam kotak kontak dengan nama yang berbeda supaya tidak terlacak oleh suamiku. Setelah itu, aku mengantar bapak mertua ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan depan rumah. Sungguh, aku merasa kehilangan saat mobil bapak mertua meninggalkanku. Aneh, aku merasa kehilangan sesuatu yang memang tidak pernah aku miliki.
Aku tidak beranjak dari tempat sampai akhirnya mobilnya berbelok dan hilang dari pandanganku. Saat aku mulai melangkah untuk kembali ke dalam rumah, tiba-tiba pendengaranku menangkap suara tertutupnya pintu mobil yang cukup kuat. Aku refleks menengok ke arah sumber suara. Seorang pria berjas abu-abu dengan dasi hitam berjalan ke arahku. Pria itu langsung memberikan senyuman dan dengan ragu-ragu aku pun membalasnya.
“Pak Satya adalah orang yang sangat baik. Sayang, beliau harus mengakhiri karirnya dengan sangat buruk dan menyedihkan.” Tiba-tiba orang itu berkata seolah ia mengetahui semua yang menimpa bapak mertua.
“Maaf … Anda siapa?” Tanyaku kemudian.
“Oh ya … Perkenalkan … Nama saya Hamzah. Saya rekan sekantor Pak Satya sebelum beliau dipecat.” Katanya sembari mengulurkan tangan.
Aku sambut uluran tangannya dan kami pun berjabat tangan. “Apakah bapak sudah lama di sini? Kenapa bapak tidak menemui Pak Satya saja?” Tanyaku.
“Saya tidak berniat menemui Pak Satya. Sebenarnya saya ingin menemui ibu.” Jawabnya yang sukses membuatku terkejut bukan main.
“Saya? Ada keperluan apa ya?” Tanyaku dengan suara kaget.
“Ada sesuatu yang saya ingin sampaikan kepada ibu perilah suami ibu.” Katanya yang semakin membuatku terkejut.
“Oh … Kalau begitu. Kita bicara di dalam saja.” Ajakku.
“Tidak perlu bu. Saya hanya sebentar saja. Lagi pula saya ada urusan yang harus saya selesaikan.” Katanya sambil memberikan amplop ukuran 10 R berwarna coklat padaku.
“Apa ini?” Tanyaku yang lagi-lagi terkejut.
“Itu adalah bukti kelakuan bejat suami ibu. Jujur, saya orang yang sakit hati oleh suami ibu, dan inilah alasan kenapa saya melaporkan kelakuan suami ibu pada ibu. Saya adalah orang yang digeser olehnya karena permainan liciknya. Suami ibu telah mengambil jabatan saya di kantor dengan cara mengumpankan ibunya kepada pemilik kantor.” Jelasnya penuh emosi.
“Apakah bapak bisa saya percaya?” Tanyaku karena meragukan kejujurannya.
“Ibu tidak perlu mempercayai saya. Tapi, apa yang saya berikan ini bisa membuat dasar bagi ibu untuk menyelidikinya lebih lanjut. Amplop itu berisikan foto-foto asli tanpa rekayasa hasil pengintaian saya selama sebulan. Suami ibu serong dengan pegawai kantor. Modusnya adalah pegawai wanita itu akan diberikan pekerjaan oleh suami ibu asalkan mau melayani nafsu bejatnya. Ya, suami ibu sekarang pejabat yang menentukan pegawai bisa beracara dan menangani klien.” Jelasnya lagi yang hampir membuatku lumpuh.
“Oh …” Gumamku sambil mengeluarkan air mata. Rasa sedih di hati ini bertambah ketika mendengar penjelasan pria di depanku.
“Terima kasih atas waktunya. Maaf, saya harus pergi.” Katanya sambil berlalu begitu saja.
Aku langsung berbalik dan berjalan ke dalam rumah. Sesampainya di ruang depan, aku duduk di sofa sembari membuka amplop coklat lalu mengeluarkan isinya. Mataku memanas. Aku meneteskan air mata. Aku merasakan air mataku yang kali ini benar-benar jatuh. Apa salahku? Ini benar-benar di luar perkiraanku. Aku melihat suamiku bermesraan dengan dua orang wanita yang berbeda. Kebanyakan foto menampilkan kemesraan suamiku dengan wanita-wanita itu di sebuah restoran. Namun yang paling menyakitkan adalah saat suamiku memasuki kamar hotel dengan wanita teman kencannya. Aku rasa foto ini sudah cukup membuktikan bahwa suamiku memang ‘bejat’, aku tidak perlu menyelidikinya lebih lanjut.
Dengan perasaan marah yang membuncah, aku mengambil smartphoneku dari dalam kamar. Langsung saja aku mencari kontak bapak mertua. Ya, aku meneleponnya. Nada sambung yang terdengar membuat jantungku berdetak tak karuan menunggu bapak mertua mengangkat panggilan. Hanya nada sambung dan aku mematikannya. Aku mencoba menelepon lagi beberapa menit kemudian dan bapak mertua pun mengangkatnya.
“Halo …” Sapa bapak mertua di seberang sana.
“Papa di mana? Saya ingin bicara.” Kataku dengan semangat dan amarah yang berkobar-kobar.
“Ada apa sayang?” Tanyanya. Demi apa pun ketika bapak mertua menyebut kata ‘sayang’ itu terdengar sangat manis di telingaku. Amarahku menceos seperti bara tersiram air.
“Ada informasi penting yang bapak harus dengar, maksud saya tentang mama dan Wira.” Jawabku tanpa ragu lagi.
“Mama dan Wira??? Ada apa dengan mereka???” Suara bapak mertua terdengar meninggi.
“Saya harus bertemu papa, supaya …” Kata-kataku langung disambarnya.
“Baiklah … Datang ke Hotel Grand di Jalan Kemuning. Apa kamu tahu tempatnya?” Katanya.
“Oh ya … Saya tahu pa …” Jawabku.
“Ya udah … Bapak tunggu …” Katanya lagi.
“Ya, pa …”
Aku pun memutuskan sambungan telepon. Dengan cepat aku mengambil motor matic kesayanganku. Aku memilih naik motor karena jalan yang akan aku lewati selalu macet, dan untuk menghemat waktu aku menggunakan motor karena memungkinkan aku selap-selip di jalan. Setelah menyimpan foto-foto kebejatan Wira di bagasi motor, aku segera melajukan kendaraan roda duaku. Dengan kecepatan lumayan tinggi motorku melaju menghampiri hotel tempat bapak mertua menginap.
Hampir satu jam motorku melaju sampailah aku di hotel tujuanku. Setelah berada di dalam lobby, aku menelepon bapak mertua mengabarkan bahwa aku sudah sampai. Selang lima menit, terlihat bapak mertua keluar dari lift. Langsung saja aku menghampirinya. Kami akhirnya duduk di sebuah cafe di lantai satu hotel. Sambil menikmati cappucino panas favoritku, aku pun mulai pembicaraan serius.
“Apakah papa kenal dengan orang yang namanya Hamzah? Dia mengaku rekan kerja papa.” Kataku mengawali pembicaraan inti.
“Ya … Dia adalah pegawai kantor dan pengacara hebat. Dia juga suruhan bapak untuk memata-matai mamamu. Saat itu papa sudah mencium perselingkuhan mamamu dengan atasan papa yang bernama Edward. Hamzah salah satunya orang yang memberitahukan papa tentang perselingkuhan mamamu dengan si Edward. Papa akhirnya menyuruh Hamzah untuk menyelidiki perselingkuhan itu.” Jelas bapak mertua yang kini tampak tenang.
“Hamzah juga memberikan ini sama saya.” Aku meletakkan amplop coklat pemberian Hamzah di atas meja.
“Apa ini?” Tanya bapak mertua sembari mengambil amplop coklat yang baru saja aku letakkan.
“Lihat saja isinya.” Ucapku.
Bapak mertua menatapku heran, kemudian dia mengeluarkan foto-foto dari dalam amplop. Kulihat matanya melebar dengan kening berkerut, lalu sambil menggeleng-gelengkan kepala bapak mertua terus memeriksa foto-foto itu satu persatu. Tampak jelas keterkejutan di kedua bola matanya, seolah dia pun tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sekali lagi bapak mertua menatapku bingung setelah ia memasukan foto-foto itu ke dalam amplop coklat kembali.
“Apakah ini yang kamu maksud kalau Wira juga jahat?” Tanya bapak mertua dengan nada sendu.
“Bukan …” Jawabku singkat.
“Lalu?” Tanya bapak mertua semakin terlihat bingung.
“Kemarin malam, sebelum Pak Hamzah memberi saya foto-foto ini tadi siang, saya mendengar percakapan mama dan Wira. Dari percakapan itu saya bisa menyimpulkan kalau mereka bersekongkol. Wira mengetahui kalau mamanya punya affair dengan Pak Edward sudah lama. Bahkan mereka punya rencana, tetapi saya tidak tahu rencana mereka.” Jelasku pelan-pelan.
“Jadi mereka bersekongkol ya … Hhhmm, menarik …” Gumam bapak mertua.
“Pak Hamzah bahkan mengatakan kalau Wira menggunakan mamanya untuk merebut posisinya. Seakan-akan mama dijual oleh Wira kepada Pak Edward, agar Wira menempati posisi itu yang sebelumnya ditempati Pak Edward. Dengan posisinya yang sekarang Wira bisa menentukan pegawai mana yang akan diberi pekerjaan. Dan Wira menggunakan kekuasaannya untuk bisa mengencani wanita-wanita itu. Ya, mungkin karena wanita-wanita itu butuh job maka mereka rela dikencani Wira.” Jelasku lagi.
Bapak mertua menarik nafas dalam-dalam lalu menghempaskannya keras lalu berkata, “Alasan papa belum mengambil tindakan tegas pada mamamu karena papa memikirkan nasib dan masa depan Wira. Kalau sudah tahu begini, papa tidak akan segan-segan menghancurkan mereka. Kedua orang itu layak mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman 10 tahun penjara.”
“Apa yang akan papa lakukan?” Tanyaku dan entah kenapa aku sangat mendukungnya.
“Papa tidak bisa mengatakannya padamu sekarang karena belum tentu berhasil …” Bapak mertua menjeda ucapannya sejenak sebelum melanjutkannya, “Papa kok heran sama kamu … Kok kamu kelihatan santai saat mengetahui suamimu culas padamu?” Tanyannya kemudian.
“Hi hi hi … Saya orangnya sangat mudah membuang cinta dan kasih sayang. Ya, saya mencintai dan menyayangi Wira setulus hati sebelum ketahuan serong seperti ini. Sekarang, cinta dan kasih sayang itu lenyap tak berbekas. Bagi saya, kebahagiaan adalah seni bagaimana melepaskan kenangan pahit yang telah menjadi masa lalu di pikiranku. Yang indah hanya sementara, yang abadi adalah kenangan yang ikhlas hanya dari hati dan yang tulus hanya dari sanubari.” Kataku sambil tersenyum.
“Wow!” Bapak mertua terbelalak.
“Kok wow?” Tanyaku sambil tersipu.
“Papa kagum sama kamu. Walaupun kamu perempuan tapi logikamu sangat tajam. Kamu bisa memenej hati dengan sangat baik.” Ujarnya penuh pujian. Tentu saja hatiku menjadi berbunga-bunga.
“Tetap saja saya manusia yang merasakan sakit hati dan ingin membalas sakit hati ini.” Lirihku.
“Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya bapak mertua penasaran.
“Saya tidak ingin bercerai dengan Wira. Tapi, saya ingin memberinya pelajaran.” Jawabku.
“Papa yakin kalau Wira tidak akan menceraikanmu. Anak itu sangat mencintaimu. Masalah dia mengencani wanita lain itu masalah lain. Dia seperti mamanya yang suka berpetualang.” Jelas bapak mertua dan itu membuatku terhenyak.
“Berpetualang? Maksud papa?” Tanyaku.
“Mama Wira sudah beberapa kali selingkuh dan papa selalu memaafkannya. Kalau tidak salah hitungan, ini yang kelima kalinya yang ketahuan papa. Tapi untuk yang kelima ini, mamamu tidak memperlihatkan penyesalannya seperti yang sudah-sudah. Dia malah menantang papa dengan alasan masa depan Wira berada di tangan papa. Mamamu mengancam jika papa menceraikannya, Wira otomatis akan kehilangan pekerjaannya karena si Edward akan memecat Wira. Tapi, jika sudah terbuka seperti ini, papa sudah tidak peduli. Ibu dan anak sama-sama penjahat. Papa akan menghukum mereka seberat-beratnya.” Jelasnya sangat bersemangat.
Aku benar-benar kagum pada sosok pria di depanku ini. Dia benar-benar penuh kasih. Beberapa kali diselingkuhi tetapi tetap mencintai istri selingkuhnya sepenuh hati. Namun karena sekarang sudah kelewatan, maka bapak mertua akhirnya akan mengambil tindakan. Aku terus menatap wajahnya, tanpa ada rasa bosan. Entah apa yang aku rasakan ini adalah kekaguman atau cinta atau kasih sayang? Entahlah aku bingung dengan semua ini. Tak terasa, waktu harus memisahkan kami. Aku diantar sampai tempat parkiran oleh bapak mertua. Selanjutnya aku pulang dengan motor matic kesayangan dengan perasaan bahagia. Aneh bukan? Sementara aku telah dikhianati suami tetapi rasanya hatiku malah riang tak kepalang.
…..
…..
…..
SATYA POV
“Oh … Tumben datang ke sini? Silahkan masuk!” Keramahan tuan rumah menyambutku. Pemilik rumah yang menyambutku adalah pria tua yang sudah berumur 68 tahun. Dia adalah Pak Billy, pemilik kantor hukum tempatku bekerja yang pertama sebelum kantor hukumnya diberikan pada anaknya yang bernama Edward.
“Terima kasih.” Jawabku sambil berjalan melewatinya lalu tanpa sungkan aku duduk di sofa.
“Maafkan si Edward, Satya … Dia tidak mengetahui sejarah kita. Bagaimana kita membangun bersama kantor hukum itu sampai sebesar dan ternama seperti sekarang ini. Aku telah menjelaskan pada anakku dan menyuruhnya untuk mempekerjakanmu lagi.” Billy berkata dengan nada sendu. Rupanya Billy sudah mengetahui pemecatanku.
“Tidak semudah itu, Bil …” Kataku. Walau Billy terpaut 17 tahun denganku, aku selalu menyebutnya dengan panggilan nama, karena aku dan Billy pernah menjadi ‘gelandangan’ bersama sebelum kami berdua mendirikan kantor hukum kecil-kecilan pada saat itu.
“Tidak semudah bagaimana?” Tanyanya dengan nada serius.
“Anakmu … Edward …” Aku menjeda ucapanku, sementara Billy memandangku khawatir. “Selain memecatku, Edward juga berkencan dengan istriku.”
“APAAA!!!” Billy berteriak sambil berdiri. Matanya mencorong tajam ke arahku.
“Ini bukti-buktinya …” Aku keluarkan foto-foto perselingkuhan Edward dengan istriku dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja.
Billy mengambil foto itu hanya dua lembar. Mata tuanya semakin membulat. Aku harap matanya masih awas untuk melihat gambar yang ada dalam foto di tangannya. Tiba-tiba bibir laki-laki tua itu bergetar, wajahnya pucat, bersamaan dengan matanya yang sembab dan merah. Billy melempar foto ke atas meja lalu terduduk lemas sembari menggeleng-gelengkan kepala.
“Sekarang … Apa yang kau inginkan?” Tanyanya lemas dengan tangan menggigil yang ia letakkan di pinggiran sofa.
“Aku akan menghancurkan kantor hukum kita.” Jawabku santai. Kembali mata tuanya melotot, di sana ada sinyal ketidakpercayaan akan ucapanku.
“Kau tidak sayang dengan sejarah kita. Bagaimana kita membangun kantor itu bersama-sama. Aku akui, aku telah salah menunjuk anakku sebagai pimpinan di sana. Seharusnya kaulah yang menjadi pimpinan kantor itu karena kau adalah pendiri kantor kita. Tapi, bagaimana pun akulah pemegang sah kantor itu sesuai akta pendirian. Kamu harus memaklumi kalau aku memilih anakku.” Katanya seperti ingin mencoba memperingatiku.
“Ini semua bukan masalah kantor hukummu, Billy … Ini masalah pribadiku dengan anakmu. Salah satu cara untuk memberinya hukuman adalah menghancurkan kantor hukumnya, biar dia tahu siapa orang yang telah dia hina. Aku hanya ingin membuktikan kalau dia telah berurusan dengan orang yang salah!” Nada bicaraku langsung meninggi.
“Satya … Aku tahu kalau kau mampu menghancurkan kantor hukum kita seperti kau membalikan telapak tangan. Tapi kau perlu ingat, kantor hukum itu mempunyai nilai sejarah yang tak ternilai harganya bagi kita, terutama bagiku. Kau tidak harus menghancurkannya. Kau bisa membalas sakit hatimu kepada anakku dengan cara lain.” Katanya agak tersedu-sedu.
“Apakah kamu punya ide?” Tanyaku sedikit sinis.
Billy menghela nafas keras sebelum dia beranjak dari duduknya. Entah kemana Billy pergi, aku hanya menunggunya. Sekitar sepuluh menit berselang, Billy kembali ke ruang depan kemudian duduk kembali di tempatnya. Billy meletakkan berkas bersampul map plastik di atas meja.
“Aku akan serahkan kantor hukum itu kepadamu. Hari ini juga kita akan merubah nama kepemilikan atas dasar hukum hibah. Ya, aku akan menghibahkan kantor hukum itu kepadamu, asalkan kau tidak menyakiti anakku secara fisik.” Katanya masih dengan nada sendunya.
“Apa kamu yakin?” Tanyaku bersemangat.
“Ya … Aku sangat yakin … Lagi pula aku tidak ingin semua kejadian ini melebar kemana-mana. Anggap saja ini sogokan untuk kamu tidak memberitahukan istri Edward tentang perselingkuhannya. Aku tidak ingin keluarganya pecah belah. Aku sangat mencintai mereka dan cucu-cucuku. Selain itu, sebenarnya kamulah yang berhak meneruskan kantor hukum kita. Ya, karena faktor sejarah tadi.” Jelasnya.
Aku tersenyum penuh kemenangan dan berkata, “Oke … Deal …”
Detik itu pula, Billy menelepon notaris kepercayaannya. Kami hanya menunggu setengah jam, sang notaris pun tiba di rumah Billy. Si notaris pun segera membuat surat hibah antara Billy dan aku tentang penyerahan kantor hukum milik Billy. Tak tanggung-tanggung, hari itu juga notaris membuat surat kepemilikan baru dan kini perusahaan jasa hukum itu sah secara hukum dan meyakinkan telah beralih kepemilikan kepadaku.
“Billy … Aku sebenarnya tidak akan berlaku kejam seperti ini padamu. Saat kamu menyerahkan tampuk pimpinan kepada anakmu, jujur aku sangat kecewa. Tetapi, aku masih bisa menerimanya karena kantor itu adalah milikmu sepenuhnya. Kamu telah mengeluarkan modal yang sangat banyak sementara aku hanya menyokong kerjamu dari belakang. Namun, keadaan sekarang telah memicu kekecewaanku muncul kembali. Edward telah mengangkangiku dan meremehkanku. Aku rasa kesalahannya itu telah terbayar lunas dengan penyerahan kantor hukummu kepadaku. Billy, aku minta maaf dengan kejadian ini.” Kataku sebagai ucapan terakhirku sebelum meninggalkannya.
“Pergilah! Aku tak ingin lagi melihat wajahmu! Dan ingat! Jangan mengganggu anakku!” kekesalan pun kentara dari suara Billy.
Aku pun tersenyum sambil berjalan meninggalkan kediaman Billy. Dengan hati senang dan dada lapang, aku segera meninggalkan rumah megah dan mewah itu. Aku bersiul-siul sepanjang perjalanan menuju rumah istri selingkuhku. Waktu yang tepat untuk ‘menggebuk’ kedua jahanam itu. Tak akan pernah ada lagi pengampunan. Aku selalu menjaga mereka bagaikan kaca, mereka menginjaknya bagai sampah, maka pantas kalau mereka harus merasakan apa yang aku rasakan.
Tepat pukul 20.00 malam, aku sampai di rumahku. Tentu saja aku disambut dingin oleh istriku tercinta. Wira dan Widya yang menyambutku hangat. Tanpa basa-basi aku mengumpulkan semua orang di ruang tengah. Wajah-wajah mereka begitu tegang karena melihat ketenanganku. Setelah semuanya berkumpul, aku mulai bersuara.
“Tuti … Detik ini juga … Jatuh talak tigaku padamu … Sekarang kau bukan lagi istriku, dan kemasi barang-barangmu. Keluar dari rumahku!” Kataku sembari memandang wajahnya yang seketika itu juga pucat pasi.
“A..apa??? Papa menceraikanku???” Tuti berkata dengan mimik tak percaya.
“Ya … Besok aku akan mengajukan pengesahan perceraian ke pengadilan. Biar pengadilan nanti yang menentukan pembagian harta gono gini kita … Sekarang, aku beri waktu satu jam untuk mengemasi barang-barangmu dan keluar dari rumahku!” Jawabku sambil menatapnya dengan ekspresi senang.
“Tidak! Ini rumahku juga!” Teriak Tuti sengit sambil berdiri dan bertolak pinggang.
“Kamu lupa kalau rumah ini adalah tempat tinggalku sebelum kita menikah. Rumah ini adalah warisan orangtuaku dan kamu hanya tinggal menempatinya. Sudahlah jangan berdebat masalah itu. Kamu bisa menggugat ke pengadilan bersama anak brengsek ini.” Aku memalingkan wajah kini menatap Wira penuh amarah.
“Papa … Apa maksudnya?” Wira terlonjak sampai membenarkan posisi duduknya.
“Widya … Apakah kamu masih menyimpan foto-fotonya?” Tanyaku pada Widya tanpa mengalihkan pandangan ke anak durhaka itu.
“Masih, pa …” Sahut Widya sembari bangkit dan berjalan ke kamarnya.
“Semuanya telah terbongkar. Kau dan ibumu bersekongkol. Kau telah menjual ibumu ke si Edward hanya karena ambisimu yang gila-gilaan.” Kataku langsung dipotong oleh Wira.
“Apa yang papa bicarakan? Aku tidak terlibat dengan perselingkuhan ibu!” Wira coba bertahan.
“Dasar anak durhaka! Sudah tahu salah masih berusaha membohongiku. Hamzah adalah saksinya. Hamzah tahu semuanya tentang persekongkolanmu dengan wanita pelacur itu!” Kataku sambil menunjuk muka Tuti.
“Oh … Tidak … Hiks … Hiks … Hiks …” Terdengar tangis Tuti.
“Tadinya aku ingin mempertahankan rumah tangga ini karena dirimu. Aku masih berpikir kalau kamu memang perlu maju dan meniti karir. Sekarang, setelah tahu kelakuanmu, aku sudah tidak peduli. Dan sekarang, pergilah dengan ibumu …! Keluar dari rumahku …!” Kataku sarkas.
“Tapi papa … A..aku benar-benar tidak terlibat … Aku akui kalau aku mengetahui mama selingkuh dengan Pak Edward. Aku hanya membiarkannya karena aku takut dipecat Pak Edward …” Sebagai pengacara junior, Edwar memang pandai berkilah.
“Tak perlu menunggu si Edward … Kau aku pecat dari kantorku … Keparat …!” Kataku penuh penekanan.
“Ba..bagaimana bisa …?” Ujar Wira pelan tak percaya.
Sebelum aku menjelaskan, Widya datang sambil membawa foto-foto kemesraan Wira dengan dua pegawai wanita. Widya meletakkannya di meja persis di depan Wira. Widya pun bergerak dan berdiri di sisiku. Aku melihat Wira bergetar sambil melihat-lihat foto dirinya. Aku menoleh sebentar ke arah Tuti yang sedang menangis dan menatapku lalu kualihkan lagi pandanganku pada Wira. Keduanya sangat terkejut dan wajah mereka menggambarkan kepucatan dan ketakutan besar.
“Kalian berdua memang biadab … Sekarang keluar dari rumahku … KELUAR …!!!” Bentakku sambil menunjuk jalan keluar rumah.
“Pa … Maafkan aku …” Tiba-tiba Wira bergerak dan memeluk kakiku.
“Tidak ada maaf bagimu … Aku selalu menjagamu … Kepentinganku aku serahkan untuk dirimu selama ini. Berkali-kali ibumu menyakitiku, aku masih memaafkannya semata-mata untuk menjaga agar kamu menjadi orang yang bisa aku banggakan. Kenyataannya, kamu sama iblisnya dengan ibumu … SEKARANG! KEMASI BARANG-BARANG KALIAN! KELUAR DARI RUMAHKU!” Aku berteriak kencang sekali tak peduli tetangga akan mendengarnya.
“Maafkan aku pa … Maafkan aku … Aku lupa diri …” Wira mulai menangis sambil terus memeluk kakiku.
Aku menendang-nendang kakiku sangat kuat hingga Wira terpental ke belakang. Aku berjalan ke ruang kerjaku. Sebentar aku menahan langkah sebelum masuk ruang kerja dan berkata, “Aku beri waktu kalian satu jam untuk berkemas. Bila dalam waktu satu jam kalian belum keluar, aku akan melaporkan kalian ke polisi. Kau, anak jahanam, kau pasti tahu pasal berapa yang aku akan ajukan pada kalian karena kalian telah memasuki properti seseorang tanpa ijin.”
Aku secepatnya memasuki ruang kerjaku lalu membantig pintu kasar. Tak ada yang tahu kalau hatiku hancur, merasa terdampar dan tak berdaya. Dudukpun lemas seolah kehabisan tenaga. Meskipun aku tak ingin menangis, tetapi air mata sialan ini mengalir begitu saja tanpa mau berhenti. Tentu saja aku menangisi kegagalanku membangun rumah tangga. Aku tidak bisa mempertahankan keutuhannya. Bagiku, semua ini adalah kegagalan yang lebih menyakitkan dari apa pun.
Sepatah kata pun tak mampu keluar dari lidahku yang kelu. Diamku di ruang kerja ini, sendiri merintih sukmaku sunyi. Tangis tak bisa lagi kutahan, sesak di dada tak bisa lagi kuredam, sakit yang kuterima tak bisa lagi kuabaikan, sebab sedih yang kurasa sungguh tak terbilang. Alunan detak jantung mendentum. Bergejolak lirih tertusuk luka sekuntum. Lemah ragaku tak berdaya purna. Laraku menjelma merajam jiwa.
Entah berapa lama aku merunung, tiba-tiba pintu ruang kerjaku terbuka. Widya masuk dengan wajah sendu. Dia mendatangiku lalu bersimpuh lutut di depanku. Widya menenggelamkan wajahnya di pangkuanku. Terasa air matanya membasahi celana katunku. Aku mencoba membuat Widya berdiri, tetapi dia malah makin menyurukkan wajahnya di pangkuanku. Sampai akhirnya dia tenang dan kini mendongak untuk menatapku.
“Mama sudah pergi, tapi Wira masih ingin bicara dengan papa.” Ucap Widya pelan dan terisak.
“Mau bicara apa lagi?” Tanyaku sambil mengusap kepalanya yang ditutupi jilbab.
“Wira sudah tahu kalau kantor hukumnya sekarang papa yang punya. Wira tadi nelepon Pak Edward, entah apa yang Wira bicarakan. Dari Pak Edward Wira dan mama tahu kalau kantornya sudah menjadi milik papa. Mama langsung pergi tapi Wira masih ingin bicara. Wira ingin meminta pengampunan papa.” Jawab Widya seperti sedang memohon.
“Menurut kamu, apakah dia layak untuk dimaafkan?” Tanyaku ingin tahu.
“Wira masih layak diberi pengampunan.” Jawabnya pelan.
“Apakah kamu masih mencintainya?” Tanyaku lagi.
“Papa pasti masih ingat, saat papa marah-marah waktu Wira memberikan uang kuliahnya untuk menyelamatkan kuliah saya. Saat itu saya baru mengenalnya satu hari. Saat itu pula saya mencintainya. Kejadian itu tidak pernah saya lupakan meskipun dia telah berbuat jahat sama saya.” Papar Widya tentang masa lalunya.
“Kamu hanya mengingat kejadian sepele, sayang … Kejadian besarnya dia telah mengkhianati cintamu. Dia tidak layak mendapat pengampunanku.” Kataku tetap dengan keputusanku.
“Wira berjanji akan melakukan apa saja untuk papa, asalkan dia bisa tetap hidup bersama papa.” Kata Widya sangat memelas.
“Tidak!” Aku kukuh dengan pendirianku.
“Pa … Saya mohon …” Widya meminta belas kasihku.
Tiba-tiba Widya bangkit dan sontak aku sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Widya. Tanpa disangka-sangka Widya duduk di pangkuanku dengan posisi miring. Tangannya melingkari leherku dan bibirnya menyentuh bibirku. Aku membeku seketika seakan tidak percaya akan apa yang dia lakukan. Bibirnya terus menempel di bibirku, tak ada lumatan hanya menempel namun ia dapat membungkamku. Aku melihat wajahnya dan dapat kulihat ia memejamkan matanya dalam, entah kenapa aku ikut memejamkan mataku, terbawa suasana.
Tak lama Widya melepaskan bibirnya dari bibirku. Memberikan jarak beberapa senti. Aku mengambil nafas sebanyak-banyaknya, dan menormalkan detak jantungku. Aku membuka mataku dan hal pertama yang kulihat adalah ia juga sedang menatapku.
“Situasi macam apa ini?” Pikirku bingung dan menyebalkannya jantungku terus berdetak dengan cepat.
“Saya sangat mencintai papa.” Lirihnya. Kontan jantungku seperti tersengat listrik saat mendengar kata-kata itu.
“Apa yang kamu katakan?” Tanyaku tidak percaya dengan pendengaranku.
“Aku mencintaimu, papa.” Ucapnya sembari mengganti uacapan ‘saya’ menjadi ‘aku’.
“Ya … Ya … Papa mengerti … Kamu mencintai papa karena papa adalah mertuamu. Cinta anak kepada bapaknya.” Kataku.
“Bukan … Aku mencintaimu sebagai laki-laki dewasa yang baik dan penyayang.” Ucapnya lagi yang entah keberapa kalinya tubuhku terasa kesetrum oleh listrik bertegangan tinggi.
Suasana hatiku langsung berbalik 180 derajat. Semua kesedihanku seakan sirna tergantikan rasa bahagia. Kami diam, namun mata kami saling bersitatap seperti memberi isyarat bahwa hening itu damai, dan kami hanya memerlukan sedikit ketenangan untuk menikmati waktu kami berdua. Entah siapa yang mendahului, kedua bibir kami sudah saling bertaut. Ciuman yang awalnya lembut, berubah semakin menuntut. Sampai kebutuhan akan oksigen memaksa kami saling melepaskan tetapi tidak saling menjauh.
“Papa juga mencintaimu.” Akhirnya keluar juga pernyataanku.
“Hi hi hi …” Widya tertawa kecil. Lalu dia membisikan sesuatu yang lagi-lagi aku terperanjat hebat.
“Kamu yakin?” Tanyaku benar-benar tak percaya dengan rencana yang dibisikan tadi padaku. Perlu kuakui rencananya sungguh menantang serta menyenangkan.
“Sangat yakin …” Katanya dengan senyum dikulum.
“Baiklah … Kalau begitu kita temui Wira sekarang.” Ajakku.
Widya berdiri lalu membereskan gamis dan jilbabnya. Setelah itu, aku bergandengan tangan keluar dari ruang kerja. Saat itu, aku seperti terlahir kembali. Widya benar-benar telah merubahku seperti ini, mampu menumbuhkan kembali semangat hidupku. Kugenggam erat tangannya dan kami berjalan menuju Wira yang sedang menunggu di ruang depan. Tak lama, kami pun sampai. Wira memandangku dengan tatapan memohon belas kasihan. Aku pun duduk di sofa tunggal, sementara Widya berdiri di belakang sofaku.
“Istrimu sudah bicara banyak denganku. Kamu akan mendapat pengampunanku dengan satu syarat.” Kataku membuka percakapan.
“Katakan papa … Aku berjanji akan menuruti dan melaksanakan keinginan papa.” Ucap Wira bersemangat.
“Kau tahu kesalahanmu sangat besar dan tidak termaafkan. Jadi, untuk membalasnya kamu harus melakukan sesuatu yang sangat besar juga untuk menebusnya. Aku menginginkan tindakan yang sama dengan apa yangtelah kau lakukan padaku. Kau telah menggadaikan istri tercintaku, dan aku meminta istrimu sebagai bayarannya.” Kataku lugas dan tegas.
“Apa???” Wira berteriak sambil bangkit berdiri. Matanya mencorong mengerikan, sedangkan mukanya pucat seakan tak berdarah.
“Kalau kamu tidak setuju dengan usulan kami … Kamu tahu pintu keluarnya …” Kataku santai.
“Kami???” Wira berteriak lagi sambil mengalihkan pandangannya kepada Widya.
“Ya, sayang …” Ucap Widya lemah lembut. “Kamu telah melakukan dua kesalahan fatal pada kami berdua. Bayaranmu adalah membiarkan kami untuk berkencan dan bercinta. Kami tidak meminta bunga dari kesalahanmu. Aku rasa apa yang kita usulkan adalah setimpal dengan kesalahanmu. Pilihan kedua, kamu bisa menceraikanku tetapi pekerjaanmu akan hilang.” Tutur Widya terdengar sangat tenang dan lemah lembut.
Wira langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Wira menangis lirih, terisak, bahunya naik turun sementara seluruh tubuhnya bergetar. Suasana hening selama beberapa menit, akhirnya Wira mengangkat kepalanya dan bersuara.
“Walau aku menolak, aku sangat yakin kalian akan melakukannya. Oleh karena itu, aku akan menerima usulan kalian. Aku menerima hukumanku. Tapi, berapa lama kalian akan menghukumku seperti ini.” Ujarnya sangat menyedihkan.
“Aku tak mengerti dengan pola pikirmu, Wira … Aku tidak pernah mengajarkan kamu sangat ambisius oleh pekerjaan dan jabatanmu. Aku beri tahu jika kau sudah melupakan segala-galanya demi pekerjaan dan karirmu yang menjadikanmu tega menggadaikan ibumu, dan sekarang istrimu.” Kataku keras.
“Aku tak peduli … Aku lebih mencintai pekerjaanku daripada ibuku sendiri dan istriku !!!” Wira memekik marah.
“Ha ha ha … Baiklah kalau begitu. Mulai dari detik ini hukumanmu sudah berjalan selama dua tahun, sesuai dengan perselingkuhan ibumu dengan si Edward.” Kataku setelah tertawa senang.
“Terserah !!!” Jerit marah Wira sambil bangkit dan berjalan keluar rumah.
Widya berjalan ke pintu lalu menutup dan menguncinya. Aku berdiri menunggu Widya mendekatiku. Tangan wanita muda nan cantik itu melingkari leherku. Bibir kami saling tersenyum penuh kebahagiaan. Seperti perintah tanpa kata, bibir kami saling mendekat, mata kami saling terpejam, dan kami berciuman lagi. Aku memegang tengkuk Widya untuk memperdalam ciuman kami, lama kelamaan ciuman yang penuh perasaan bahagia ini menjadi ciuman penuh hasrat, lidah kami saling membelit tidak ingin melepaskan.
Tanpa peringatan terlebih dahulu, aku menggendongnya ala bridal style. Widya sedikit terkejut dengan tanganku yang mengangkat tubuhnya. Aku berjalan santai menuju kamar dengan lingkaran lengan Widya di leherku. Mata kami saling memandang hangat ditambah senyuman bahagia kami membuat suasana seperti pengantin baru. Tak lama, kami sudah berada di dalam kamar. Kuletakkan tubuh Widya sangat hati-hati di atas kasur. Selanjutnya, aku berbaring telengkup di atas tubuh Widya.
“Dari mana asal ide itu?” Tanyaku dengan keningku beradu dengan keningnya.
“Ide yang mana?” Tanyanya pura-pura tidak tahu. Senyuman yang dikulumnya sangat menggemaskan.
“Kamu pura-pura gak tahu!” Aku mengecup bibirnya yang ranum.
“Hi hi hi … Wira pantas mendapatkannya. Dia telah menyakiti kita berdua.” Ujarnya sambil membelai kedua pipiku.
“Papa ingin tahu … Kenapa kamu ingin sama papa?” Tanyaku serius ingin tahu.
“Susah menjelaskannya dengan kata-kata, pa … Tapi sederhananya, karena papa orangnya sangat baik, itulah alasannya.” Jawab Widya.
Sesaat kamu berbincang-bincang dan bercanda ringan. Obrolan yang awalnya hanya sebatas santai dan ringan berubah menjadi ciuman penuh hasrat. Ciuman kami benar-benar terasa sangat intim, seakan menautkan kemesraan yang terasa diantara kami. Bibir kami saling berpagut, mencium, hingga melumat satu sama lain. Tanganku mulai bergerilya di saat bibir kami masih bertaut satu sama lain. Payudaranya yang masih terbungkus gamisnya, sesekali kuremas dengan lembut hingga membuat Widya mendesah di sela cumbuan kami.
“Papa buka, ya?” Tanyaku sembari memegangi kain gamis milik Widya di bagian pahanya.
Widya hanya mengangguk. Kutarik kain yang berada di bagian pahanya. Gamis yang sedari tadi menutup tubuh Widya dengan mudah terangkat dan dengan sedikit bantuannya gamis itu akhirnya lolos melalui kepalanya yang masih berjilbab, hingga terpampanglah tubuh indahnya yang masih tertutup bra hitam dan celana dalam berwarna senada. Widya pun mundur ke arah headboard, mencari posisi yang cukup nyaman. Dia topang tubuhnya dengan sikut untuk menjaga tubuhnya tetap setengah merebah. Tatapan matanya terus mengunci ke arahku, seakan memintaku untuk membuka pakaianku. Aku pun melepas seluruh pakaian yang kugunakan lalu merangkak mendekatinya. Widya nampak tersenyum kecil saat tubuhnya sekarang berada tepat di bawah tubuhku. Tangannya kini membelai pipiku.
“Miliki aku malam ini, paaahh ….”
Kurebahkan tubuhku hingga bibirku dan bibirnya kembali melumat. Widya mengangkat punggung saat aku mencoba meraih kaitan bra di belakang tubuhnya. Dengan mudah bra tersebut terlepas, membuat buah dada Widya yang ranum kini tak lagi terbungkus. Erangan-erangan kecil mulai keluar dari mulut Widya ketika remasan dan cengkraman tanganku mulai menyasar payudara kenyalnya. Sepertinya birahi Widya semakin lama semakin membuncah, terlihat dari puting payudaranya yang mulai mencuat dan mengeras di tengah remasanku.
“Hmm … cuupphh …”
Lenguhan Widya yang awalnya lembut kini berubah menjadi semakin kencang dan penuh pelampiasan, seiring dengan payudaranya yang semakin intens aku mainkan. Jari-jariku terus menggosok atau mengelus berputar tepat di gundukkan payudaranya. Wajah cantik Widya yang masih terbingkai jilbab terlihat memerah, dan tampak sekali hasrat yang merambati syaraf-syarafnya. Cumbuan kami pun sampai terlepas karena dia menengadah dan langsung mendesah kencang.
“Aaahhh … Uuusshh!! Aawhhh!!!”
Bibirku kini mulai menyasar turun dari wajahnya. Kecupanku turun menuju leher Widya, bermain-main di atas kulit leher dan tulang atas dadanya yang mulus, dan terus turun menuju payudaranya. Widya mendesah cukup kencang saat bibirku mulai menangkup puting payudaranya. Dia nampak menahan desahan tersebut dengan menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa nikmat saat lidahku mulai bermain-main di salah satu area sensitif miliknya itu. Puting coklat mudanya yang mencuat kumainkan dengan lidah. Kukulum dan kuhisap-hisap serta kujilati berputar saat puting tersebut berada di dalam mulutku. Tubuhnya Widya menggeliat kegelian. Terasa tangannya mulai meremas rambutku, menekan kepalaku ke arah dadanya seakan membantuku menikmati payudaranya itu.
Tanganku kini mulai turun menyusuri perut Widya. Langsung kutarik turun celana dalam yang masih menempel di area selangkangannya. Widya kembali ikut membantu, dia angkat pantatnya sehingga celana dalam itu kini terlepas. Tubuh kami berdua kini sama-sama telanjang tak tertutup sehelai benang pun. Kuelusi paha Widya yang halus itu, terus bergerak hingga sekarang berada di area selangkangannya. Jemariku kini sudah berada di depan bibir vagina Widya. Terasa cukup lembab. Sudah basah, ternyata. Sembari terus menggerayangi area intim milik Widya, kutarik turun tangan Widya ke arah selangkanganku. Widya yang mengerti lantas mulai memegangi batang penisku dengan tangan lembutnya.
Kembali, aku merangkak naik hingga wajahku dan wajah Widya kembali sejajar. Bibir kami kembali saling memagut di saat jemari kami saling merangsang bagian paling intim diantara kedua tubuh kami. Elusan tangan Widya lambat laun berubah menjadi kocokan yang lembut. Terasa dia meremas batang tersebut hingga cairan pre-cumku keluar. Widya pun kemudian melumasi batang kejantananku dengan cairan tersebut, sehingga membuat kocokannya terasa semakin licin dan nikmat. Tak jauh berbeda, jemariku ikut mengelusi bibir vaginanya yang terasa semakin licin dan basah. Sepertinya, lubang tersebut sudah siap untuk kupenetrasi. Bibir dan lidah kami semakin lama semakin liar mencumbu satu sama lain. Widya terasa mulai membalas seluruh pagutanku dengan tak kalah liar. Nafsu sepertinya sudah mulai menguasai pikiran Widya.
“Ssllrrpp … Aaahhmmpph … Ccupphh ….”
“Aawhh … Sssshhh …. Aaaahhh ….”
Bunyi erangan serta desahan terus terdengar di antara kecipak ludah percumbuan kami. Deru nafas berat ikut bersahutan, saling berhembus menerpa wajah yang basah akibat peluh di antara kami. Sensasi yang menggetarkan bumi, memanaskan api cinta kami, nafas kami menderu, bergelombang menghempas, birahi kami bagai air lautan menghantam pesisir pantai.
“Papa mulai, ya?”
Widya hanya mengangguk. Dia gigit bibir bawahnya. Wajahnya seperti berharap akan sesuatu saat kubuka kedua pahanya dengan lebar. Kuarahkan penisku menuju bibir vaginanya. Widya sendiri nampak tak sabar, tangannya terasa ikut membantuku mengarahkan penis agar segera masuk ke dalam vaginanya yang mungkin sudah terasa gatal.
“Aaaahh… Mmmpphh …”
Widya nampak menahan nafas sembari menengadah saat penisku mulai membelah bibir vaginanya. Perlahan-lahan, kudorong pinggul sehingga membuat penisku tertancap semakin dalam. Mata Widya terpejam. Raut wajahnya berubah seakan dia menikmati setiap gesekan penetrasi penisku itu.
“Pelaan … Paaa … Yang lembuut ….”
Sepertinya, liang vagina Widya belum sepenuhnya mampu kupenetrasi. Penisku seakan tertahan saat sudah masuk setengahnya. Rasanya sunggah sangat menjepit. Widya nampak meringis saat kucoba untuk menembus liang vaginanya lebih jauh. Entah kenapa, vagina Widya sangat menjepit. Kutarik pinggulku sebelum kembali mencoba mendorong penisku dengan lembut ke dalam vaginanya. Mata Widya masih terpejam. Wajahnya seperti meringis kesakitan. Beberapa kali kucoba memaju-mundurkan pinggulku dengan lembut, mencoba membuka jalan agar penetrasiku bisa semakin mulus.
Sepertinya Widya terlalu excited sehingga membuat tubuhnya tegang. Kembali kucumbu bibirnya, mencoba membuatnya kembali rileks. Cumbuan yang awalnya menyasar bibir kini mulai berpindah ke seluruh tubuhnya. Pipi, pundak hingga lehernya menjadi sasaran pagutanku. Kedua payudara beserta putingnya pun tak luput dari remasan hingga cubitan. Hingga akhirnya jalur penetrasiku terasa semakin mudah.
“Mmhhh … Aaaahhh … Aaahhh … Mmmhhh ….”
Widya yang sudah dimabuk kenikmatan hanya mendesah seiring dengan genjotanku yang semakin cepat. Aku sendiri mulai kepayahan menahan kenikmatan dari vagina Widya yang entah kenapa benar-benar terasa amat nikmat. Dinding vaginanya yang hangat seakan terus menjepit, berkedut memijati batang kemaluanku yang semakin lama semakin cepat mengaduk lubang tersebut.
“Enak, sayang?” Tanyaku.
“Iya… Aaaahhh … Uuuhhh ….” Widya menjawab di sela-sela desahannya.
Paha Widya semakin lama terasa semakin meregang, membuat penisku bisa sepenuhnya masuk hingga selangkangan kami bisa saling bertumbuk. Sepertinya Widya sengaja agar penisku bisa leluasa melesak keluar-masuk ke dalam rongga vaginanya. Mulut Widya terbuka lebar, mendesah, mengerang terus menerus tanpa henti seiring dengan genjotan pinggulku yang semakin intens. Nafasnya terdengar semakin tersengal dikala tubuhnya terhentak-hentak akibat sodokanku yang memang menghujam cukup dalam.
“Pah … Terush …. Lagiih … Eeenaa…..aakhhh …”
Widya terus meracau di tengah nikmat desahannya. Racauan yang seakan memberiku tenaga untuk menggenjotnya lebih kencang lagi. Vaginanya mulai terasa berkedut. Sepertinya, dia akan segera orgasme. Widya terus melenguh dan mendesah lirih. Beberapa kali pinggulnya menegang di tengah geliat akibat menahan kegelian sodokanku. Widya pun memeluk serta mulai menciumi sekujur tubuh. Leher, pundak, dada, hingga bibirku tak luput dari ciumannya.
“Paahhh … A..aaku hhh … Aaaakuu …. AAHHH!!!”
Widya menjerit cukup kencang. Seluruh tubuhnya nampak menegang. Dia orgasme. Dinding vaginanya terasa meremas penisku yang masih keluar masuk, dan terasa basah akibat semprotan cairan cinta miliknya. Beberapa kali kusodok kembali vaginanya sebelum kutekan penisku dalam-dalam. Widya hanya bisa menengadah sembari terpejam, menahan setiap kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Kucumbu dengan liar leher Widya yang terekspos akibat kepalanya yang masih mendongak ke atas. Kuhisap-hisap sembari tanganku meremas payudaranya yang basah oleh keringat. Bibir kami akhirnya kembali bertemu dan langsung saling memagut mesra. Kucoba untuk terus memberinya rangsangan ekstra agar orgasmenya benar-benar terasa nikmat.
Widya pun memandangku sayu saat orgasmenya mereda. Senyuman puas tersungging dari balik bibirnya walau masih terlihat lemas. Setelah membalas senyuman itu, aku pun merebahkan tubuh untuk memeluk tubuhnya. Begitu pun dengan Widya, yang mengelus punggung saat membalas pelukanku.
Kami pun berbaring di atas ranjang setelah permainan tadi. Widya sendiri sekarang merebahkan kepalanya di atas lengan sembari bergelayut manja di dalam dekapan tubuhku. Beberapa kali Widya menggerakan tubuhnya, mencari posisi nyaman di dalam dekapan tersebut, hingga terasa payudaranya menggesek-gesek kulit tubuhku. Aku pun mulai dapat mengendalikan nafsu. Padahal, aku sendiri belum klimaks. Aku tak ingin memaksakan Widya untuk segera menuntaskan nafsuku karena dia ingin beristirahat sejenak.
“Pah …” Lirih Widya pelan saat aku terus mengelus rambutnya dengan lembut.
“Hmm?” Aku hanya menggumam untuk menandakan bahwa dia mendapatkan perhatianku. Namun, Widya tetap diam sembari memainkan jemarinya.
“Kok cuma hmm?” Tanya Widya tanpa menoleh.
“Ya, ada apa?” Tanyaku.
“Apakah Wira akan meninggalkan aku?” Tanyanya.
“Tidak … Dia tidak akan meninggalkanmu.” Jawabku.
“Tapi dia pasti sangat membenciku.” Suara Widya terdengar sendu.
“Untuk saat ini ya … Dia sangat membencimu. Sekarang, tugas kita adalah mendekatinya lagi. Kamu harus melayaninya lebih dari biasanya. Curahkan perhatian dan kasih sayangmu sebanyak-banyaknya untuk dia. Papa juga akan mendekatinya sebagai ayah kepada anaknya seperti yang papa lakukan sebelum kejadian ini. Intinya, kita harus membuat dia nyaman dengan keadaan baru ini.” Jelasku.
“Aku mencintaimu pa …” Lirih Widya.
“Aku sangat menyayangimu.” Balasku.
Kami pun kembali berpandangan. Widya tersenyum. Senyuman yang memancarkan kelegaan di dalamnya. Rasanya sungguh menenangkan. Sepertinya, percakapan barusan cukup membuat kami mengerti perasaan satu sama lain.
“Mari kita jalani terlebih dahulu saja keadaan seperti ini …” Langsung kupeluk tubuh seksi Widya sehingga dia seperti tenggelam di dalam pangkuanku.
Widya yang awalnya terkejut lantas tersenyum. Dia pun semakin membenamkan tubuhnya lebih dalam lagi dalam pelukan tersebut, membiarkanku terus mengusap kepalanya lembut. Sesekali aku pun mengecup kening dan pipi Widya, dengan mencuri kesempatan untuk meremas payudaranya.
“Papa genit, ihk!” Protesnya sembari memukul manja dadaku.
“Habisnya, kamu terlalu cantik, sayang.”
“Hih! Gombal!” Ucap Widya sembari tersipu. Wajahnya benar-benar manis sehingga membuatku sudah tak sabar. Kembali aku pun mencium bibirnya yang semakin terasa nikmat.
Widya terkikih sembari mencoba meronta. Namun, kelamaan dia pun membalas pagutanku dengan tak kalah ganas. Kami pun saling mencumbu, membelai tubuh masing-masing sembari terus melenguh. Hingga akhirnya Widya kembali tersenyum, sepertinya menyadari penisku yang mulai kembali tegang dan sangat keras. Widya pun melepas pelukan kami seraya mendorong tubuhku agar terlentang di atas ranjang. Dia kemudian berlutut di hadapanku. Tubuhnya yang sintal membuat penisku semakin berkedut, ingin segera dipuaskan. Widya yang melihat pergerakan kecil dari penisku lantas menyeringai kecil.
Aku hanya bisa menelan ludah saat Widya mulai merangkak di atas tubuhku. Dia pun mulai mencumbu area leherku, sesekali mencucup beberapa bagian yang membuatku bergidik geli. Tangannya ikut menggerayang ke seluruh tubuhku, seraya cumbuan bibirnya yang empuk terus menyusur turun menuju selangkangan.
“Aaahh … Ngghh ….” Aku melenguh saat Widya tiba-tiba saja meremas penisku dengan cukup kuat.
“Hi hi hi ….” Dia hanya terkekeh melihat hal tersebut dan mulai mengocok penisku sembari mengerling nakal. Beberapa kali Widya pun meneteskan liurnya ke ujung kepala penisku agar kocokannya tetap licin. Tak lama, Widya memposisikan diri untuk merangkak tepat di depan selangkangan, seraya mulai menjilati batang berurat yang menjulang itu.
Sambil terus menggenggam batang penisku, Widya mulai memasukkan kepala penis itu ke dalam mulutnya. Kepalanya naik-turun mengocok penis yang sudah setengah masuk ke dalam mulutnya. Saat mengulum, terasa mulutnya ikut menghisapi penisku, memberikan kenikmatan tambahan yang sebelumnya kudapat dari rongga mulutnya yang sempit dan hangat.
Tangan kanan Widya pun ikut aktif mengocok batang penis yang tak mampu dia tampung di dalam mulutnya. Saat mulutnya mengocok bagian kepala hingga setengah batang penis, tangannya yang halus juga dengan cepat menggosok sisa batang penis hingga pangkalnya. Bunyi kecipak terdengar sangat jelas, menandakan betapa basah dan nikmatnya blowjob yang diberikan oleh Widya. Liur pun nampak meleleh keluar di sela-sela bibir seksinya, turun membasahi tangannya dan batang penisku. Cukup lama Widya memberikanku blowjob hingga akhirnya dia melepas kulumannya. Sambil terus mengocok penisku yang sudah sangat tegang, Widya menoleh ke arahku. Tatapannya seakan meminta melanjutkan permainan ke menu utama. Aku hanya mengangguk.
Sembari tersenyum nakal, wanita berjilbab itu mulai naik dan menduduki selangkanganku. Digeseknya sebentar bibir vaginanya kepada batang penisku. Terasa lembab. Widya sudah kembali terangsang. Sambil menoleh ke bawah, dia pun mulai menuntun kejantananku memasuki kewanitaannya.
“Aaahh ….” Widya mendesah sembari menengadah. Matanya mengerjap saat penisku mulai menjejali rongga vaginanya. Wajahnya memasang senyum saat kembali menatap ke arahku. Senyuman yang paling cantik selama aku mengenal dirinya. Sungguh aku sedikit tak percaya. Wanita yang kesehariannya alim ini ternyata ‘ganas’ di atas ranjang.
Widya duduk tegak di atas selangkanganku. Pinggulnya mulai bergerak. Perutnya nampak berkontraksi saat tubuhnya terus bergoyang di atasku. Widya pun tersenyum, kedua tangannya lantas bertumpu di atas dadaku. Perlahan, dia mulai mempercepat gerakannya, membuat buah dadanya yang ranum berguncang hebat. Mulutnya terus mengeluarkan erangan maupun desahan yang terdengar sangat seksi. Matanya pun terpejam di kala wajahnya merona akibat birahi yang terus mendera. Tubuh Widya terus meliuk dan menggelinjang indah di atas tubuhku. Payudaranya nampak berkilauan cahaya lampu yang terpantul dari peluh yang membasahi.
Widya terus bergerak naik turun mengocok penisku dengan vaginanya. Vagina Widya terasa cukup sempit, tentu sangat nikmat. Dikedut-kedutkannya vagina wanita cantik itu sehingga memberikanku sensasi tersendiri. Widya mempercepat gerakannya. Desahan kami berdua bersahutan dalam kamar. Kuraih sebelah payudara menantuku dengan tanganku dan kuremas dengan kuat. Widya semakin menegang. Gerakannya kini telah berubah menjadi hentakan keras. Seakan memaksa penisku untuk masuk lebih jauh menjelajahi vaginanya.
“Aaahh… Emmpphh… Paaahh… Aku… Mau keluaaarr… Aaahhh…” Desah Widya. Penisku makin menegang, keras sekali. Vagina Widya pun mulai berdenyut. Widya tetap konsisten menghujamkan penisku ke dalam vaginanya.
“Aaahh… Aaahh… AAAAHHH…!!!” Pekik Widya.
Widya telah mencapai orgasmenya. Gerakannya melambat. Widya merebah di atas tubuhku. Dengan tenaga yang aku kumpulkan kugerakkan penisku menghujam vaginanya. Penisku menghujam-hujam tajam ke dalam liang senggamanya dengan tempo cepat. Widya pun kembali mendesah, seirama dengan gerakanku. Tak lama penisku mulai berdenyut. Kurasakan, inilah saatnya aku klimaks.
“Ooohh… Aaahh… Papah… Aaaacchhh…!” Pekikku. Kutancapkan penisku dalam-dalam di vagina menantuku yang cantik ini.
Crooottt…! Croooottttt…! Crooottt…!
Spermaku kutumpahkan di rahimnya. Nikmat sekali vagina wanita ini. Kami lumayan kelelahan. Widya bergeser, merebah di sampingku. Kami pun berpelukan, menghela nafas untuk memulihkan kesadaran kami yang hilang sesaat. Tak lama, kami sama-sama tersenyum puas dilanjutkan dengan bercanda ala pengantin baru. Setelahnya, nafsu birahilah yang mengontrol permainan kami, yang terus bersahutan menggapai puncak kenikmatan selama semalam penuh.
…..
…..
…..
“Sayang …” Lamunanku buyar seketika saat tiba-tiba bapak mertua menyapa dan memelukku dari belakang.
“Oh … Pah …” Desahku terkejut.
“Kamu masih menunggunya?” Tanya bapak mertua sembari mencium leherku.
“Aku khawatir, Pa … Aku takut dia kenapa-napa.” Kataku seraya merasakan tubuhku mulai bereaksi ketika bibir dan tangan bapak mertua menyentuh-nyentuh area sensitifku.
“Dia pasti kembali … Percayalah!” Ucap bapak mertua di dekat telingaku. Hangat nafasnya menerpa telinga dan kini tangannya meremas-remas lembut buah dadaku. Perlahan libidoku terangkat.
“Ooohh …” Aku mulai mendesah sangat pelan. Rangsangan itu membuatku betul-betul terlena. Bapak mertua memang pandai membangkitkan gairah kewanitaanku.
“Wira sangat mencintaimu. Dia pasti kembali.” Bapak mertua berbisik lalu menjilat telingaku dengan tangannya masih mempermainkan kedua buah dadaku.
“Pahh … Ooohhh …” Aku tak kuasa menahan desahanku.
Bapak mertua akhirnya membawaku ke sofa. Aku duduk di sana sementara bapak mertua sibuk menarik celana dalamku setelah bagian bawah gamisku diangkatnya sebatas pinggang. Aku melenguh sambil menjabaki rambut bapak mertua ketika lidahnya mulai menyentuhi bibir-bibir vaginaku. Lidahnya yang lembut menjilati klitoris terus ke lubang vaginaku. Aku mengerang. Aku merasakan kegatalan yang dahsyat dari lubang vaginaku. Pantatku menjadi menggelinjang naik turun tidak karuan. Kuterkam kepalanya. Kutekan wajahnya ke selangkanganku, ke lubang kemaluanku, rambutnya kujambak-jambak dan remasi sebagai pelampiasan kegatalan vagina. Kegatalan itu sangat memuncak. Kegatalan itu membuatku hilang kesadaran akan sekeliling. Aku berteriak, mengaduh-aduh menghadapi kenikmatan tidak terhingga.
“Aaaaakkhhh…!!!” Datang juga orgasmeku. Rasa sangat nikmat menjalari seluruh tubuhku.
Tubuhku semakin gelisah. Aku menggerakkan kedua pahaku liar dan bapak mertua tersenyum kecil sambil terus menyerang vaginaku dengan lidahnya. Seluruh cairan dari vaginaku dijilatinya dan diminumnya. Dan melihat hal itu membuat birahiku tidak luruh karena orgasme tadi. Dasar kemaluan yang selalu gatal. Milikku, vaginaku, kemaluanku belum terpuaskan juga. Seluruh peristiwa ini sangat sensasional hingga hausku menerjang lagi.
Kutarik tubuh bapak mertua ke atas, mulutku mencari sasaran. Mulut bapak mertua serasa ingin kukunyah. Bibirnya yang tebal kugigit keras hingga dia mengaduh. Aku sudah hanyut dalam nafsu hewaniah. Indraku tidak lagi berfungsi, pandangan kabur, telinga tersumpal. Yang kurasakan hanya gelinjang pada pori-pori di seluruh permukaan kulitku, di paha, di perut, di payudara dan puting-putingnya. Ternyata tanpa setahuku, bapak mertua sendiri sudah tidak bercelana. Terasa ada sodokan-sodokan menimpa perutku dan kemudian turun ke selangkanganku dan mengarah ke lubang kemaluanku. Sodokkan itu seirama dengan naik turunnya pantat bapak mertua yang menindih seluruh tubuhku. Gerakkan memompa. Batang kejantanannya yang kurasakan panas dan bebal mengubek-ubek bibir kemaluanku yang sudah meminta penis besar bapak mertua lekas menyuntiknya. Aku mulai menggoyang pantat untuk membantu kehausan dan kegatalan kemaluanku agar dapat selekasnya melahap batang kemaluan bapak mertua. Terasa ‘helm’ penis bapak mertua seperti palu godam yang menonjok-nonjok untuk menghancurkan lubang sempit bibir vaginaku. Sesungguhnya bukan lubang itu sempit, tetapi nafsu birahilah yang membuat otot-otot bibir vagina mencengkeram dahsyat dan sulit untuk ditembus.
Namun tiba-tiba terdengar suara deru mobil dengan lampu yang menyala. Aku sangat mengenal suara mesin mobil itu. Ya, Wira pulang. Segera saja aku mendorong tubuh bapak mertua dan ia pun mundur lalu memakai celana panjangnya lagi. Pada waktu yang bersamaan, aku meraih celana dalamku dan memakainya. Setelah itu, aku berlari ke arah pintu dan membuka pintu dengan cepat. Tampak Wira keluar dari mobilnya dan menghampiriku. Aku pun menatap Wira yang sudah berdiri di depanku dengan tatapan mendalam. Dia sangat aneh, tetapi entah mengapa aku merasa senang dia datang.
“Sayang …” Lirihku dan langsung saja aku memeluknya.
Dia tertegun tidak berkata apa-apa. Aku merundung, mempererat pelukanku dan menenggelamkan kepalaku di dadanya. Tak lama, Wira membalas pelukanku dan mengusap-usap punggungku. Aku merindukannya. Ya, aku merindukannya. Dan akan tetap begitu. Tak terasa bulir bening jatuh membasahi pipiku, aku menangis. Sampai aku mengurai pelukanku dan mengajaknya masuk.
Wira menahan tarikanku saat melihat bapak mertua berdiri di sisi meja sambil menatapnya. Keduanya saling tatap beberapa menit. Setelah itu, bapak mertua duduk di sofa tunggal sisi sebelah barat. Aku menarik tangan Wira dan menyuruhnya duduk di sofa panjang dan aku pun duduk di sebelah Wira. Wajah bapak mertua terlihat tenang namun matanya memandang tajam kepada Wira yang kini tertunduk.
“Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab, jangan jadi pecundang. Aku masih memberimu kesempatan. Sekarang kau tinggal memilih. Menerima hukumanmu atau pergi dari rumah ini dan meninggalkan semuanya yang kau miliki.” Suara bapak mertua begitu tegas dan penuh penekanan.
“Aku akan menerima hukumanku.” Suara Wiras pelan.
“Kenapa?” Tanya bapak mertua seperti ingin mengetahui alasan Wira.
“Aku masih memerlukan papa.” Jawabnya masih dengan suara pelan.
“Apa kamu tidak merindukan istrimu?” Tanya papa lagi yang kini membuat wajah Wira terangkat dan memandang ayahnya.
“Bukankah dia sekarang milik papa?” Wira malah balik bertanya.
“Wira … Di dunia ini banyak hal yang harus kau prioritaskan. Jangan hanya memprioritaskan pekerjaan dan karirmu saja. Tapi kamu juga harus memperhatikan keadaan sekelilingmu. Apakah mereka yang ada di sekelilingmu merasa bahagia atau tidak, itulah yang kau harus perhatikan. Berambisi boleh, tapi ambisius yang dilarang. Karena orang yang berambisius cenderung melakukan segala macam cara untuk mencapai ambisinya. Mereka tidak memperdulikan etika dan kepentingan orang lain. Itulah dirimu, Wira. Hilangkan sifat ambisiusmu itu!” Papar bapak mertua sangat lugas.
“Ya, aku mengerti pa … Selama ini aku melakukan segala macam cara untuk meraih ambisiku. Sekarang aku sadar kalau selama ini aku salah. Aku terlalu ambisius menjadi orang sukses.” Jawab Wira dan aku pun tersenyum lalu mengambil tangan suamiku.
“Bagus! Dan perlu kamu ketahui, kalau aku selalu menyayangimu. Walau kamu sudah menyakiti hatiku sebegitu parah, tapi dalam hati kecilku, aku masih menyayangimu. Aku mati-matian membesarkanmu dan menjadikanmu orang yang sukses.” Ujar bapak mertua.
“Aku tidak meragukan, pa … Dalam kesempatan ini, aku memohon maaf atas segala perbuatanku. Aku berjanji akan menjadi anak papa yang bisa membanggakan papa.” Kata Wira.
“Baiklah … Kalau begitu … Hukumanmu aku cabut. Sekarang aku tidak akan lagi menyentuh istrimu. Dia milikmu seutuhnya. Tinggalah di rumah ini bersama istrimu. Dia sangat mencintaimu dan jangan sekali-kali menyakiti hatinya lagi. Bila kau menyakiti hatinya. Hukumanku akan semakin berat. Kau mengerti?!” Ucap bapak mertua yang membuatku menganga saking terkejutnya.
Aku memandang bapak mertua yang berdiri lalu berlalu dari ruang ini. Entah apa yang aku rasakan saat ini, bingung. Ada rasa kehilangan namun pada saat bersamaan perasaan senang bergelayut di hatiku. Benar aku akan kehilangan bapak mertua, tetapi aku mendapatkan kembali suamiku. Tidak ada yang lebih berat, keduanya sama-sama berat. Aku hanya tersenyum getir kala suamiku memandangiku. Bohong kalau kubilang hatiku tidak merasakan apa-apa. Nyatanya, sedikit-banyak hatiku merasa ada sekelumit perasaan kecewa.
“Kamu menerima keputusan papa?” Tanya Wira sembari meremas tanganku.
“Itu keputusannya. Aku tidak berhak menentangnya. Lagi pula, papa bermaksud baik. Keputusannya itu demi kebaikan kita.” Kataku yang lain di mulut dan lain di hati.
“Tapi kamu tidak bahagia …” Tiba-tiba Wira mengucapkan itu seakan dia bisa membaca hatiku.
“Tidak sayang … Aku sangat bahagia kamu kembali.” Kataku mengelak.
“Jangan membohongi dirimu sendiri, istriku. Aku tahu kalau kamu menikmati kebersamaanmu dengan papa. Aku tahu kalau kamu menyukainya.” Ucap Wira yang membuat wajahku tertunduk malu. “Katakan saja padaku, kalau kamu masih ingin bersamanya.” Lanjutnya yang kini membuat wajahku terangkat lagi.
“Kamu tidak marah kan?” Tanyaku ragu-ragu.
“Aku sudah menyengsarakan papa dan kamu. Giliranku untuk membalas semua itu. Jika kamu memang masih ingin bersamanya, aku sama sekali tidak keberatan. Dan yang aku baca dari ucapan papa tadi, aku baru sadar kalau papa memang tulus menyayangiku. Dia selalu berkorban untuk kebaikanku. Saatnya aku berkorban untuk kebahagiaannya. Papa layak mendapatkan kebahagiaan darimu.” Penjelasannya sungguh diluar dugaan, aku sampai melongo tak percaya.
“Kamu lagi tidak sakit?” Tanyaku sembari menyentuh keningnya dengan punggung tanganku.
“He he he … Pergilah! Hibur papa. Aku akan mandi dan tidur.” Ucap Wira lalu mencium keningku dan pergi ke kamar.
Bagai sebuah kejutan yang tak diduga-duga. Sebahagia ini aku mendengar kabar baik dari suamiku. Aku pun segera mendatangi bapak mertua di kamarnya. Saat aku buka pintu kamarnya, bapak mertua sedang duduk berbaring di atas kasur sedang membaca sebuah buku. Dia menatapku heran dengan mata agak ia bulatkan. Setelah menutup pintu, aku berjalan menghampirinya dan berdiri di sisi ranjang. Aku buka pakaianku hingga tubuhku tak terlapisi benang sehelai pun.
“Apa-apaan ini?” Tanya bapak mertuaku kebingungan.
“Kita lanjutkan pekerjaan kita yang belum tuntas tadi.” Kataku sembari menarik celana piyamanya sekaligus dengan celana dalamnya.
“Ba..bagaimana ini? Aaaahhh …” Bapak mertua tak sempat menuntaskan ucapannya saat mulutku langsung menelan kejantanannya.
Aku harus kuregangkan dengan masimal karena ukurannya yang begitu besar. Bapak mertua mengeram puas saat aku memaju mundurkan mulutku sampai setengah kejantanannya keluar masuk rongga mulutku. Kugerakkan mulut dan lidahku merangsang kejantanannya. Tak butuh waktu lama kejantananya langsung mengacung seperti roket yang siap diterbangkan. Mulutku makin aktif menyedot penisnya. Kepalaku naik turun seirama sedotan mulutku. Tiba-tiba tangan bapak mertua memegang kepalaku. Mataku melirik ke arah wajahnya, bapak mertua sudah bangun. Dia tersenyum kepadaku lalu tangannya dengan kasar menekan kepalaku. Penisnya langsung ludes tertelan ke dalam mulutku. Cukup lama, baru bapak mertua mengendorkan tekanan pada kepalaku. Beberapa saat kemudian bapak mertua menarikku lalu membaringkan tubuhku hingga terlentang di atas kasur. Dia menindihku dan melumat bibirku dengan gemas sambil mengusapkan ujung kejantanannya ke pintu kewanitaanku.
“Papa masuk ya…?” Katanya.
Aku mengangguk sambil menatapnya. Kurasakan dia mulai membenamkan ujung kejantanannya dan aku membuka mulut merasakan nikmat saat kewanitaanku dijejali kejantanannya. Aku menahan nafasku saat dia mulai menemukan jalannya. Aku mencoba melemaskan otot kewanitaanku bersamaan dengan dorongan pinggulnya. Aku mendesah nikmat saat dia makin merangsek kewanitaanku. Bapak mertua menahan pinggangku dan mengeram puas sambil terus menenggelamkan kejantanannya sampai selangkangan kami menempel sempurna.
“Oooohhh …”
Aku merintih keenakan saat bapak mertua mulai mengeluar-masukan kejantanannya dengan pelan. Dia memejamkan mata menikmati penyatuan kami. Dia mulai mengocok lembut kewanitaanku membuat rasa geli yang nikmat di perut bawahku. Aku mendesah menikmati hunjamannya yang mulai lancar dan makin kuat. Dia meraih kedua pahaku dan menuntunnya untuk membelit pinggangnya yang makin kuat menghunjam tubuhku.
“Aaaahhh … Aaaahhh … Aaaahhh …”
Kuresapi nikmatnya terobosan-terobosan batang kemaluan bapak mertua pada liang vaginaku sambil memejamkan mata. Bapak mertua semakin bernafsu, gerakannya jadi semakin brutal dan agak kasar. Justru itu yang aku suka. Batang kemaluannya yang luar biasa keras, besar dan panjang terasa memenuhi liang vaginaku, menyentak-nyentak hingga ke ujung lorong kenikmatan milikku. Bapak mertua terus menyentak-nyentak batang kemaluannya, semakin keras, semakin cepat dan bertenaga. Aku semakin lepas kontrol. Jeritanku makin menjadi-jadi akibat dilanda nikmat yang luar biasa.
“Aaarggghhhh…. Keras sayang, yang kerassss…. Ooohhhh… Sayaaang…!”
Aku memang termasuk type perempuan yang ‘berisik’ bila sedang bersetubuh. Semakin nikmat persetubuhan yang kurasakan, rintihan dan eranganku pasti akan semakin keras dan jorok. Dulu aku malu dengan perilaku seksku yang satu itu, karena takut dinilai perempuan murahan yang maniak, tapi lama-kelamaan aku justru menikmatinya. Kenyataannya bapak mertuaku ini justru menyukai erotisme seperti itu, karena dia jadi merasa sangat perkasa dan semakin bergairah karena merasa berhasil membuat aku keenakan.
Bapak mertua semakin kuat menggecak-gecak batang kemaluannya di dalam vaginaku, seiring dengan semakin kuatnya rintihan dan eranganku. Kurasakan orgasmeku sudah sangat dekat. Kuangkat-angkat pinggulku setiap kali bapak mertua menggecak, sehingga batang kemaluannya yang besar dan keras itu menghunjam-hunjam semakin dalam. Nikmat luar biasa.
Kami terus mengayuh kenikmatan bersama tanpa lelah. Penis bapak mertua dengan gagah perkasa mengaduk-aduk, mengorek, dan menggaruk vaginaku, membuatku semakin mengerang-erang kenikmatan. Terakhir, ketika orgasmeku telah semakin dekat, bapak mertua membalikkan tubuhku hingga membelakanginya. Aku segera mengerti. Lekas-lekas aku menungging di atas ranjang dengan kedua tangan berpegangan pada kepala ranjang. Lalu kembali bapak mertua menggenjotku dari belakang. Aku berusaha mengimbangi dengan menggerak-gerakkan pinggul. Setiap dia menekan, kudorong pantatku ke belakang, demikian pula sebaliknya. Kudengar nafas bapak mertua kian memburu, diselingi suara lenguhannya setiap kali dia menggecak batang penisnya kuat-kuat.
Akhirnya aku melolong lebih dahulu. Aku orgasme! “Ooooorrggghhhhh……!!! Paaaaahh, aku keluaaaarrr….!!!!”
Bapak mertua semakin bersemangat, digecak-gecaknya kemaluannya semakin kuat dan cepat. Tubuhku terguncang-guncang semakin hebat. Sementara kemaluanku berkedut-kedut saat aku mencapai klimaks, kugoyang-goyangkan pinggulku maju-mundur dengan cepat dan kuat untuk mengimbangi gerakan bapak mertua. Aku tahu pasti, sebentar lagi dia pun akan mencapai puncak kenikmatannya.
“Oh, ah, uuughhh..!!! Sayang…. Papa hampir keluar, papa hampir keluar, adduuhhhh…. Oooorrrgghhh… Aaarrgghhh…. Uuuuggghhh…. Aaaaaaaarrrgghhhhh……..!!!”
Bapak mertua menyemprotkan spermanya banyak sekali. Terus kugoyang-goyang pinggulku agar dia lebih merasa nikmat. Dia melenguh-lenguh sambil meremasi buah dadaku yang bergelantung, sementara air maninya menyemprot-nyemprot di dalam vaginaku. Setelah itu bapak mertua menghempaskan nafasnya yang berat. Dipeluknya tubuhku. Kami lalu bercium-ciuman sambil berangkulan di ranjang.
“Kenapa kamu ke sini, Sayang?” Tanya bapak mertua sambil membelai-belai keningku yang berkeringat. Bayangkan, setelah bersetubuh demikian panas, dia baru sempat menanyakan keberadaanku bersamanya. Aku tersenyum.
“Di suruh Wira,” jawabku. “Wira menyuruh aku untuk membahagiakan papa.” Aku tersenyum, kugenggam batang kemaluan bapak mertua. Bapak mertua mengikik, dan penisnya otomatis bergerak membesar kembali.
“Anak yang tahu membalas budi.” Katanya selepas terkekeh senang.
“Aku sekarang mempunyai dua laki-laki yang sama-sama istimewa.” Ucapku sambil mempermainkan kejantanan bapak mertua yang mulai mengeras lagi.
“Papa atau Wira yang lebih hebat?” Tanyanya dengan nada bercanda.
“Tentu papa …” Jawabku dibuat segenit mungkin.
“Benarkah?” Tanyanya masih dengan nada bercanda.
“Tuh kan, baru dibilang paling hebat, dia langsung bangun lagi!” Aku menggoda sambil mengelus-elus batang penis bapak mertua yang kian mengeras.
Kuangkat pahaku, menyilangi paha bapak mertua, lalu kugesek-gesekkan ujung penisnya ke belahan vaginaku. Bapak mertua menyeringai. Tubuhku dipeluknya lebih erat, lalu kami berciuman bibir. Hangat, tandas, dan lama. Selanjutnya kami memulai permainan ronde kedua. Seperti biasa, bapak mertua memang kuat dan tahan lama. Entah berapa lama kami bersetubuh untuk yang kedua kalinya malam itu, yang jelas aku dibuat orgasme beberapa kali olehnya. Dan pada akhirnya kami mencapai orgasme dalam waktu bersamaan. Setelah itu kami kembali beristirahat. Buang air, mencuci tubuh di kamar mandi, ngobrol-ngobrol, lalu bercumbu lagi, hingga kami tertidur pulas karena kelelahan.
…..
…..
…..
SATYA POV
“Pa … Ada yang aneh dengan Wira.” Widya mulai berkata serius.
“Aneh bagaimana?” Tanyaku.
“Dia selalu menolakku.” Jawab Widya pelan.
“Menolak bercinta maksudmu?” Tanyaku lagi.
“Ya …” Jawabnya singkat.
“Jadi sudah satu bulan dia bertingkah aneh seperti itu?” Tanyaku sambil memeluk tubuh hangatnya.
“Ya … Sebulan sejak dia pulang ke rumah ini.” Jawab Widya lalu mencium pipiku.
“Apa ada sikap anehnya yang lain?” Tanyaku berikutnya.
“Wira semakin pendiam dan aku kira dia seperti tertekan. Wira sering menghindar. Aku dan Wira bisa berdekatan hanya di ranjang saja, itu pun dia selalu memunggungiku.” Jawab Widya.
“Hhhmm … Apakah kamu masih mencintainya?” Lagi aku bertanya.
“Dia cinta pertamaku, pa … Ya, aku masih mencintainya walau sekarang cintaku padanya sudah sangat berbeda. Mungkin lebih kepada rasa sayang saja.” Widya tersenyum sembari merebahkan kepalanya di bahuku.
“Apakah kamu masih ingin mempertahankan rumah tanggamu bersama dia?” Aku sudah seperti wartawan saja terus bertanya pada menantu cantikku ini.
“Ya … Dengan kondisi seperti ini. Aku ingin memiliki kalian berdua.” Jawabnya yang membuatku tersenyum.
Aku langsung memutar otak, bagaimana caranya agar keinginan Widya tercapai. Mendadak otakku seperti mendapatkan pencerahan. Aku mengurai pelukanku lalu tersenyum pada Widya yang sedang memandangku keheranan. Aku tangkup pipinya hingga wajah kami berhadapan satu sama lain hanya beberapa senti saja.
“Papa punya ide.” Kataku pelan.
“Ide apa?” Kening Widya langsung mengkerut tanda kalau ia heran dan penasaran.
“Kamu harus merubah penampilan. Kamu harus menggoda Wira dengan penampilan baru. Mulai sekarang kamu harus berpakaian seksi kalau di rumah dan memoles wajahmu sedemikian rupa agar kamu terlihat seperti model. Bagaimana?” Aku menjelaskan ideku.
Langsung wajah Widya sumringah lalu berkata, “Bagus juga ide papa. Baiklah, aku akan menggoda Wira seperti yang papa sarankan.”
“Bagus …” Kataku kemudian.
Kami pun meneruskan menyaksikan acara televisi hingga kami memutuskan untuk tidur. Aku peluk tubuh Widya sambil ngobrol ringan pengantar tidur. Malam ini tidak ada permainan cinta, karena Widya bersih dari tamu bulanannya. Tak butuh waktu lama, kami pun tertidur pulas.
…..
…..
…..
“Ehem …” Aku berdehem memberikan mereka tanda bahwa aku melihat aktivitas mereka. Sontak saja, keduanya terperanjat. Ciuman dan pelukan mereka terlepas.
“Aih … Papa …!!! Bikin kaget saja …!!!” Protes wanita sambil bangkit berdiri dan menghadapkan wajahnya ke arahku. Tanpa diperintah syaraf otak, sontak mataku membulat sempurna.
Bila ada bidadari yang turun dari khayangan, wanita di depanku lah bidadarinya. Dalam kesederhanaannya yang seksi, aku merasa sudah ditaklukkan oleh wanita itu. Keseluruhan diriku merespons dalam hitungan detik. Aku terbakar pergolakan hasrat. Merasa terpesona sekaligus bergairah. Napasku langsung memburu tak karuan. Duniaku tersedot pada wanita di depan sana sepenuhnya. Itu adalah Widya. Widya berubah wujud menjadi wanita yang benar-benar spesial, aku sangat terkagum-kagum akan kecantikan dan keanggunannya. Wajahnya sungguh luar biasa cantik rupawan dan juga imut dalam waktu bersamaan. Rambutnya terurai indah berwarna hitam legam memanggil-manggil dengan keras namun terkesan santai. Gaun ketatnya berwarna putih, membungkus pinggul berlekuk sampai ke bagian atas paha. Itulah yang membuat tatapanku amat sangat membara. Malangnya, bukan aku saja yang sedang bersusah payah untuk tidak meneteskan air liur. Tatapan panas dan tajam dari Wira melemparku ke realitas.
“Wow!” Gumamku sembari mengatur emosi.
“Apanya yang wow?” Tanya Widya yang kutahu dia mulai memainkan sandiwaranya yang telah kami rancang sebelumnya.
“Malam ini kamu tidur di kamar papa kan?” Aku pun mulai berakting.
“Tidak … Widya malam ini akan bersamaku.” Tiba-tiba Wira menyela garang.
“Hei! Bukannya kamu sudah tidak peduli lagi? Bukannya kamu sudah tidak ingin tidur bersamanya lagi?” Aku melancarkan serangan drama peperangan kepada Wira sambil menatap wajahnya yang mendadak pucat.
“Ti..tidak … Bu..bukan begitu.” Wira menunduk kalah bertatapan denganku.
“Bukan begitu bagaimana? Kamu bahkan tidak ingin istrimu bersamamu. Kamu selalu menghindar. Waktu berdekatan kamu dengan istrimu saat di ranjang saja, itu pun kamu selalu memunggunginya. Bukankah itu bukti kalau kamu sudah tidak menginginkannya?” Nada suara tiba-tiba meninggi.
“TIDAK!!! AKU MASIH MENCINTAINYA!!! DIA MASIH ISTRIKU!!!” Wira berteriak sangat keras seperti sedang meluapkan amarahnya sambil berdiri dan menantang wajahku.
“Bagus kalau begitu. Aku senang mendengar pengakuanmu. Tapi ingat! Jika kau menyia-nyiakan dia lagi, aku tak akan ragu merebutnya darimu.” Kataku lalu berlalu pergi ke kamarku.
Setelah berada di kamar, aku berdiri di depan cermin besar yang melekat di pintu lemari. Aku tersenyum sambil melepaskan dasi dari leherku. Ternyata rencanaku berhasil dengan gemilang. Tak perlu menunggu berhari-hari, baru satu episode saja Wira sudah bisa ditaklukan. Ya, memang seharusnya seperti itu skenario kehidupan di rumah ini. Wira harus menyayangi dan mencintai istrinya bila masih ingin meneruskan bangunan rumah tangganya.
Tak lama, aku mendengar suara erangan yang sangat familiar di telingaku. Aku buru-buru berjalan ke arah pintu kamar lalu membukanya sedikit. Ternyata, Widya sedang ‘menunggangi’ suaminya dengan tubuh tak berlapiskan sehelai benang pun. Widya yang menghadap ke arahku langsung tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Aku pun tersenyum sembari mengacungkan jempol padanya. Setelah itu, aku menutup kembali pintu kamar secara perlahan. Aku tidak ingin mengganggu aktivitas mereka yang sudah lama tidak mereka lakukan.
EPILOG
Tak terasa, sudah satu tahun aku berpisah dengan istriku. Dalam rentang waktu satu tahun itu kehidupanku semakin membaik. Bagiku, tiada hari tanpa mendapatkan dan mengumpulkan pundi-pundi uang. Beberapa kasus besar berhasil aku menangkan sehingga fee dan bonus mengalir begitu deras. Bahkan namaku semakin harum di khazanah peradilan. Banyak klien yang membutuhkan jasaku sampai-sampai aku kewalahan menanganinya. Untung saja aku mempunyai anak buah yang boleh dibilang sangat mumpuni sehingga beban tugasku sangat terbantu.
Sementara itu, Aku dan Widya juga Wira sangat menikmati hidup. Aku menjadi bagian dari kehidupan rumah tangga Wira dan Widya. Walaupun aku ibarat ‘ban serep’, namun aku menikmatinya. Aku memang menahan diri untuk tidak terlalu sering memisahkan Wira dan Widya. Aku memberikan waktu sebanyak-banyaknya bagi mereka untuk berdua dan bercinta. Aku melakukan seks dengan Widya hanya sekali dalam seminggu, namun aku selalu memberi wanita itu seks yang terbaik. Widya mengaku kalau permainan seks yang kumiliki jauh lebih unggul dibanding suaminya.
Aku pernah bertemu dengan mantan istriku dua bulan yang lalu. Dia memang wanita cantik dan menarik, tidak heran apabila dia selalu mempunyai pasangan yang lebih muda darinya dan tampan. Tuti telah menikah lagi dengan seorang pengusaha bahan-bahan bangunan yang lebih muda 7 tahun darinya. Kehidupannya lumayan dan tidak kesusahan. Sebulan kemudian aku bertemunya lagi secara tak sengaja di sebuah hotel. Wanita itu bersama pria lain yang bukan suaminya. Tuti tanpa malu memperkenalkan selingkuhannya kepadaku. Pria itu berusia 35 tahun dan berprofesi sebagai seorang akuntan publik. Aku pun tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ternyata kebiasaan berselingkuhnya akan dia bawa mati. Tapi aku tak peduli.
T A M A T