Kenalin, nama aku Cindy, sekarang umurku 18 tahun. Posisiku sekarang lagi ambil les tambahan buat masuk ke jurusan yang aku pengen, gap year klo istilah sekarang.
Domisili ku di pinggiran Bandung, lebih ke Cimahi sih ya. Darahku mengalir darah Chinese dari Mamahku dan darah Chinese-Sunda dari Papahku. Tidak usah bertanya agama ya, soalnya keluarga kami bukan penganut agama taat, “yang penting kamu berbuat baik sama sesama cukup” kalo kata Papahku.
Keluargaku terdiri dari Papahku Antoni, Mamahku Selina, ciciku Jevelyn dan aku sendiri Cindy. Ayahku punya umur yang cukup jauh beda dengan mamahku, sekitar 15 tahun. Mamahku sendiri berumur 38 tahun. Iya aku tahu, Mamahku terbilang masih muda, dia melahirkan ciciku diumurnya yang ke 17 dan melahirkanku diumurnya yang ke 20. Jadi aku dan ciciku berbeda 3 tahun.
Ekonomi keluarga kami cukup baik, papahku mempunyai usaha berupa jasa pemotretan dan mamahku adalah seorang model dewasa yang cukup punya nama. Iya, kalian ga salah baca kok, mamahku memang seorang model dewasa, mungkin inilah alasannya mamahku bisa bertemu dengan papahku. Bila ada waktu nanti akan ku ceritakan kisah papah mamahku ya..
Aku dan ciciku dianugerahi dengan kecantikan dan kemolekan tubuh dan wajah yang cukup cantik dan manis dari ibuku, iya untungnya papahku hanya mewarisi sifat mesumnya saja pada kami anaknya. Hihihi.. Orang bilang wajahku judes, jutek tapi cantik, sedangkan ciciku memiliki wajah ramah. Tubuhku dan ciciku cukup berbeda, aku cenderung pendek berisi sedangkan ciciku tipe tinggi langsing seperti model-model busana ya, bedanya lagi dadaku tidak sebesar milik ciciku apalagi bila dibandingkan dengan mamahku. Berhubung mamahku adalah model dewasa dan papahku seorang juru foto, maka pakaian yang terbuka adalah hal sangat biasa dalam keluarga kami, akibatnya seringkali keluarga kami jadi pusat perhatian bila kami sedang berjalan-jalan bersama. Bayangkan saja kalian jadi papahku, laki-laki mana yang tidak iri melihat seorang lelaki dikelilingi oleh 3 wanita cantik dan seksi??!! Haha..
Saat ini aku tinggal dengan papah mamahku, tapi karena pekerjaan mereka juga aku jadi lebih sering sendiri, ditambah ciciku yang saat ini sedang kuliah di Salatiga. Untungnya ada teh ohet -asisten rumah tangga- yang dipekerjakan mamah untuk memasak dan beres-beres rumah.
Cukup ya kenalannya, sekarang aku mau cerita tentang pengalamanku.
- 1 tahun yang lalu –
“brrrrrr…..hari ini Bandung rasanya dingin banget, apalagi setelah selesai mandi pagi hari ini!” Gerutuku dalam hati sembari melangkah keluar dari kamar mandi kamarku.
Ku pandangi wajah orientalku yang cukup mulus dan putih bersih, mata sipitku dengan bola mata indah kecoklatan, hidung yang cukup mancung dan bibir imut yang menggemaskan. Lanjut mataku menyisir leher kecil namun jenjang, ku perhatikan rambut-rambut halus yang mencuat dari balik tengkukku sambil memainkan rambut hitam sebahuku ini.
Puas mengagumi wajahku sendiri, sekarang Ku lepas handuk yang melilit tubuhku ini lalu kutekan-tekan gundukan daging berlemak di dadaku sendiri menggunakan jari telunjukku. “Kenapa sih cowok pengen banget remes-remes payudara cewek?” Pikirku dalam hati. Tak sengaja jariku menggesek putingku sendiri yang sudah mencuat karena kedinginan dari tadi yang berwarna pink kemerahan menimbulkan sensasi geli dan gatal yang menyeruak putingku. Ku sentuh dengan halus aerola payudara kanan, sedangkan payudara sebelah kiri kini kuremas dengan gemas. Sambil membayangkan tubuhku digerayangi oleh tangan yang hitam, kekar dan kasar, fantasiku jauh terbang. Sesosok pria tua yang sudah tua, wajahnya brengosan dan memiliki badan hitam kekar akibat bekerja keras di siang hari tiba-tiba muncul dianganku, ku bayangkan dia menjilati leherku sambil tangannya yang kasar menjamah setiap lekak lekuk tubuhku ini, ditambah lagi sebuah penis besar beruratnya menggesek-gesek belahan pantatku. Auhhh…….
“neng Cindy ayo cepetan turun, nanti neng telat berangkat ke sekolah loh!” Sebuah teriakan menyadarkan ku dari fantasy kotor yang membuatku terbang barusan.
“Ih apaan sih, masa aku mau sama cowo kaya gitu…. Tapi kenapa rasanya aku nyaman dengan fantasi tadi ya?” pikirku dalam hati.
“neng ayo neng turun sarapan dulu, nanti telat neng.” Sekali lagi suara itu memanggil.
“Eh iya Teh sebentar lagi turun, Cindy lagi pakai baju dulu!” Segera ku pakai bra dan celana dalam putihku, tidak lupa seragamku dan segera turun ke bawah sambil berlari kecil untuk sarapan.
Teh Ohet namanya, dia sosok untuk suara yang memanggilku tadi, dia yang bertanggungjawab merapihkan rumahku, dia bekerja hanya sampai siang hari. Masakannya sudah tersedia di meja. Memang ga diragukan lagi, masakannya enak.
“neng mau di anter sama Mang Udin ke sekolahnya?” Tanya Teh Ohet sambil memperhatikanku yang sedang lahap makan nasi goreng buatannya.
“Oh nyamboleh Teh nyam nyam” jawabku sambil makan.
Mang Udin
Mang Udin ini kakak dari teh Ohet, umurnya mungkin seumuran papahku, kerjanya serabutan, kadang jadi kuli, tapi seringnya jadi ojek, orangnya baik tapi cunihin. Suka curi-curi liatin paha aku kalo lagi naik Supra bututnya. Sekedar info, motor supranya itu adalah pemberian orangtuaku, kasihan katanya kalau jadi kuli terus. Belum lagi kalo bawa motor sukanya ngerem mendadak, pastinya dia sengaja biar payudaraku yang cukup besar ini menabrak punggungnya. Mang Udin udah siap menunggu di depan rumah sambil main hapenya, sekilas ku lihat dia sedang melihat tiktok gadis-gadis muda yang berjoget-joget dengan baju seksinya. Tak sengaja ku perhatikan dibalik celana kolor nya terjiplak bentuk dari penisnya yang panjang dan besar. Nafasku tertahan, ku bayangkan bagaimana bila penis besarnya itu yang menggesek-gesek belahan pantatku seperti waktu pagi ku berfantasi..
“Mang Udin hayu anterin aku.” Ujarku sambil berusaha menyingkirkan fantasi kotorku yang tiba-tiba muncul lagi.
“MANG UDIN HAYU IH ANTERIN AKU!” kali ini aku berteriak karena dia tidak menyahut ku.
“Eh neng Cindy, udh lama? Hayu atuh hayu, eh sebentar hape mamang dimasukin dlu bentar atuh.” Sambil gelagapan menutup tiktoknya, dia lalu memasukan hapenya dan menyalakan motor, lalu mempersilakan aku untuk segera naik ke motornya. Selama diperjalanan ku perhatikan melalui spion yang sudah rusak dan menunduk ke arah selangkangannya ada benda besar yang ikut bergerak saat motor terkena jalan rusak atau polisi tidur. Rasanya gemes banget pingin ku remas. Tak terasa ternyata aku sudah sampai sekolah, segera ku meloncat turun dari motornya.
“Neng Cindy nanti pulangnya mang Udin jemput ya.”
“Iya mang Udin!” Jawabku sambil berlari-lari kecil menuju gerbang sekolah yang sudah hampir ditutup oleh satpam sekolah.
“Waduh, pelajaran pertama kan Pak Trisno guru paling galak seantero Bandung, ga boleh telat masuk kelas.” Ucapku pada diriku sendiri. Tiba-tiba sekelebat bayangan melewatiku dan sebuah tamparan keras dengan telak hinggap di pantat kanan ku. Plaakkk!!!!!!
“Aww…awww…awww!!! Gaby!! Apaan sih! Aduh sakit banget pantat gue!’ kontan ku menjerit sambil mengejar temanku Gaby yang sudah berlari didepanku. Bukan masalah sakitnya, tapi dia melakukannya di depan kumpulan adik kelas, kan tengsin jadinya!
“Gaby awas aja kalo ketangkep! Abis nanti ya!” Sambil berlari kami akhirnya sampai di depan kelas, Gaby lalu bersembunyi dibalik punggung Ailin.
“Eh eh apaan nih? Kenapa ini kenapa?” Kata Ailin sambil mencoba melerai kami berdua.
“Wek…Wek..” Gaby meleletkan lidahnya mengejekku sambil masuk kedalam kelas. Mereka adalah sahabat yang tidak kalah cantiknya dengan ku.
Ailin
Gaby
Ailin menarik tanganku masuk ke kelas dengan tiba-tiba, ku lihat ke belakang, ternyata Pak Trisno sudah berjalan tidak jauh dari kelas kami. Aku bergidik melihatnya, perawakan tinggi kurus dengan kulit hitam dan berkacamata, wajah sangar dengan suara yang melengking tajam saat mengajar membuatku tambah malas untuk belajar dihari ini.
Klek..Brakk.. pintu kelas ditutup oleh Pa Trisno. “Tadi Bapak lihat ada 3 orang siswi yang berlaku seperti anak kecil, memalukan sekali dilihat oleh adik kelasnya!” Suaranya melengking dan matanya dengan tajam menghujam ke arahku, Ailin dan Gaby yang menggerutu panjang lebar Karena dijadikan objek wejangan pagi ini.
“Aduh koq wejangan-wejangan Pak Trisno nggak berhenti-berhenti sih..” batinku.
“dan juga selain itu kalian sebagai anak bangsa seharusnya Ehemm..!! uhh ?!”
Pak Trisno berdehem keras, ia menghentikan wejangannya yang membosankan saat aku menumpangkan kaki kiriku ke atas kaki kanan. Dari arah meja guru, mata si kurus mendelik dengan wajah merah padam melihat dengan leluasa mata Pak Trisno merayapi paha putih mulusku. Tentu saja aku pura-pura tidak tahu sambil terus membolak-balik buku pelajaranku, aku membalas tatapan mata mesum Pak Trisno dengan tatapan yang innocent hingga ia salah tingkah sendiri di depan kelas. Sambil mengajar Pak Trisno menikmati kemulusan pahaku, kuputuskan untuk membuat si kurus ini blingsatan, kunaikkan kedua kakiku pada besi yang melintang di bawah mejaku, kujingjitkan ujung jari kakiku sambil mengibas-ngibaskan kedua pahaku yang putih mulus. Pak Trisno semakin keras berdehem, ia terus mengajar sambil menatap pahaku, bahkan aku yakin kini dia bisa melihat celana dalam putih ku. Aku tertawa kecil dalam hati melihat ekspresi wajah pak Trisno yang berusaha memendam nafsu birahi. Tak terasa sudah 2 jam pelajaran, Ia menghela nafas kecewa saat bel sekolah berbunyi keras dan menatap sekali lagi kekolong mejaku, matanya nanar menikmati kemulusan pahaku kemudian ia menatap wajahku, setelah merekam kecantikanku, dengan langkah yang terlihat berat ia melangkah keluar dari dalam kelas.
Setelah melalui beberapa pelajaran akhirnya tiba saatnya pulang sekolah! Yeay aku senang sekali! Setelah bercipika cipiki dengan Gaby dan Ailin yang masih penasaran kenapa tadi Pa Trisno tidak menyelesaikan wejangannya, aku segera keluar gerbang sekolah untuk pulang, aku tersenyum saat melihat Mang Udin sudah menungguku.
“Ayo neng gaskeun kita pulang!” Dengan gaya khasnya dia mempersilakan aku untuk naik motor bututnya.
“Mang Udin, aku mau ngelancarin bawa motor, jadi aku yg bawa motor, Mang Udin yang dibonceng ya!?”
“Ah gamau neng Cindy, kemarin juga mamang jatuh, gara-gara polisi tidur ga di rem! Gamau neng ah!”
“Dih, kan aku itu mah salah mamang sendiri ga pegangan!”
“Enggak neng, gamau!”
“Yaudah, mang Udin pegangan aja ke aku yang kenceng aja! Supaya ga jatuh! Ya..ya..ya!” Aku merajuk supaya diijinkan.
Mang Udin berpikir cukup lama lalu tersenyum tipis sebentar.
“Ya udah neng hayu, tapi mamang pegangan ke neng Cindy ya, bener ya boleh ya.”
“Iya mang bener, bawel banget deh Mang. Ya udah yu tukeran, buruan!”
Langsung ku gas motor bututnya mang Udin, kontan Mang Udin berpegangan erat ke pinggangku. Tangan hitamnya melingkari pinggangku dengan erat, tapi karena motor ku bawa dengan barbar, lama-lama tangannya bergeser naik ke perutku dan bertemu bagian bawah payudaraku. Diam-diam ku nikmati posisi ini, sambil mengingat fantasi kotor waktu pagi hari. Kurasa mang Udin juga tidak melewatkan kesempatan untuk melancarkan kecunihinannya, kini badannya sudah nempel ke badanku, bahkan ku rasakan ada benda keras mengganjal di bagian atas pinggang belakangku. Terbang anganku membayangkan penis hitam yang menempel. Tak terasa pengalaman unik ini harus cepat berakhir, soalnya tahu-tahu kami sudah sampai di depan rumahku.
“Mang Udin mau sampai kapan meluk aku? Udah sampai Mang!” Seruku sambil berusaha menurunkan standar motor bututnya.
“Hehehe, habis enak meluk neng Cindy, empuk anget!”
“Cunihin banget Mang Udin! Ku laporin ke Teh Ohet loh besok pagi!” Ancam ku sambil mendelikkan mata sipitku.
“Eh..oh enggak neng, jangan atuh, becanda atuh neng, jangan serius gitu.” Kata Mang Udin ketakutan.
Saat mang Udin akan meninggalkan rumah, tiba-tiba hujan deras turun dengan cepat, memang sepanjang jalan tadi sudah mendung, tapi tidak ku kira akan langsung turun hujan deras. Dengan spontan aku berteriak keras, “mang Udin masuk dulu aja sini! Hujan Mang!”
“Ga usah neng!”
“Eh gpp mang, kasian ntar kehujanan, sini masuk dulu aja gapapa nunggu reda!” Undangku.
Mang Udin pun masuk mendorong motornya dan memarkir motornya di halaman rumah. Setelah menutup gerbang rumahku dia lalu menyusul duduk di teras depan rumahku. Dia menyeka air hujan di mukanya. Ku perhatikan lelehan air hujan di dahi dan lehernya, anganku semakin tinggi dan fantasi kotor itu pun muncul kembali. Kini posisi ku duduk di kursi tepat di depan Mang Udin duduk di lantai. Ku lihat sambil memicingkan mata, melihat dengan fokus pada cetakan celana kolornya yang sedikit basah karena terkena air hujan. Pandanganku merayap ke arah perutnya yang berotot dan ku pandangi wajahnya yang tertunduk mengantuk.
“ahh…kenapa manusia jelek dan tua ini bikin aku mikir jorok sih.” Gumam ku dalam hati.
Entah setan apa yang merasuki, kini ku dekatkan wajahku ke tubuh bagian bawah mang Udin, ku lihat dengan seksama besarnya penis mang Udin, hatiku bertanya-tanya, apakah penisnya hitam seperti kulitnya? Berapakah panjangnya? Bagaimana rasanya? Posisi kakinya yang sedikit mengangkang membuatku makin terangsang.
“Ahhhh…… gilaaaa…!!” Aku berseru kaget sambil melengos dan menjauhkan kembali wajahku dari Mang Udin saat salah satu kakinya terjatuh lurus ke samping. Dari sela-sela kolornya dapat ku lihat batang penis besar menjuntai dengan angkuhnya. Aku memberanikan diri untuk mengambil hape dan mulai memoto pemandangan menakjubkan yang seharusnya tidak dilihat apalagi oleh gadis seusiaku ini. Ckrek…ckrek…sambil ku zoom..ckrek..
Dhuarrrrr……..!!!!!!!!!! Kilatan petir tiba-tiba menyambar.
“Anjir!! Hoaaaaammmm…….”
Suara petir membangunkan mang Udin dari tidurnya. Jantungku berdebar tak karuan. Ia menggeliat sambil menguap lebar-lebar, sedangkan aku pura-pura mengotak-atik hapeku. Ku tundukkan wajahku sedalam mungkin, tak berani melihat wajah mang Udin yang kini sambil menggeliat bangun berdiri. Ku lihat galeri hapeku dan tersenyum geli karena sekarang isinya beberapa foto penis besar dan hitam miliknya.
“Hujannya besar ya neng… “ Mang Udin mencoba untuk membuka pembicaraan dengan ku.
“i-iya mang , eumm , kelihatannya gede dan panjang banget.., eh, deres iya apanya mang, eh gimana mang??” jawabku tergagap-gagap.
“hujannya , emm…., maksud neng Cindy apanya yang Panjang sama gede ya ??” tanya mang Udin sambil menatapku dengan tatapan yang aku sendiri maksudnya apa.
“oooo, enggak kok mang, maksudnya hujannya gede dan panjang, gitu loh mang, ehem..”
Aku berdehem untuk mengusir rasa jengah saat Mang Udin menatapku, kusandarkan punggungku ke belakang dan kutumpangkan kaki kananku di atas kaki kiri, secara otomatis rok seragamku naik hingga memperlihatkan pangkal pahaku bagian bawah.
“waduh siah..?? !!“ pekik mang Udin.
Paha Cindy
Seiring dengan suara seruan kerasnya, kedua mata Mang Udin melotot merayapi tiap jengkal kemulusan pahaku, sambil sesekali ia menatap wajahku dan menikmati kecantikanku kemudian kembali menatap ke bawah memelototi pangkal pahaku. Setelah menengok ke kiri dan ke kanan Mang Udin mendekatiku, ia duduk bersimpuh di hadapanku. Aku cuma tersenyum saat ia berkali-kali menelan ludah sambil menengadahkan wajahnya menatapku. Mang Udin semakin sange dan mupeng saat aku mengerlingkan ekor mataku dengan nakal berusaha memberikan lampu hijau untuknya, dan Mang Udin menangkap isyaratku dengan sangat baik sekali, bibirnya tersenyum lebar, sinar matanya bertambah mesum saat beradu pandang dengan mataku yang sipit. Aku diam saat ia mendekatkan matanya untuk menikmati kemulusan pahaku dari jarak yang lebih dekat hingga dapat kurasakan hembusan nafasnya menerpa kulit pahaku, rupanya ia merasa tidaklah cukup kalau hanya dengan melihat kemulusan pahaku. Kurasakan permukaan telapak tangan kirinya yang terasa kasar mengusap-ngusap betisku kemudian semakin berani perlahan merayap naik ke atas mengusap-ngusap lututku dan menyusup ke dalam rok seragamku dan kemudian jatuh untuk mengusap-ngusap pangkal paha kananku. Dengan sengaja aku menurunkan paha kananku agar telapak tangan kirinya tergencet di bawah pangkal pahaku, tangan mang Udin bergerak menekankan kedua pahaku kearah yang berlainan kemudian mengusapi permukaan pahaku bagian dalam.
“Alah siah neng, mulus pisan….“
ia memuji kehalusan dan kelembutan permukaan pahaku menggunakan bahasa Sunda. Suara rintihan lirihku tertelan oleh suara hujan deras di hari itu, sekujur tubuhku merinding panas dingin saat telapak tangan Mang Udin semakin aktif merayapi pahaku. Baru pertama kali ini ada seorang lelaki yang merayapi pahaku, dan parahnya lagi bukan lelaki muda dan ganteng yang melakukannya. Tak pernah kubayangkan ternyata seperti ini rasanya sentuhan tangan mang Udin, jauh lebih nikmat daripada khayalanku selama ini, telapak tangan mang Udin terasa kasar namun ada rasa nikmat saat kekasaran itu menyentuh permukaan pahaku yang halus lembut, kedua mataku yang sipit terpejam-pejam menikmati elusan tangan mang Udin didalam rok seragamku.
“Neng, neng Cindy, …psssssttt..”
“emmhh… ?? eh i-iya mang…kenapa mang ??” ucapku dengan nada semanja mungkin.
“Kalau ada orang bilang-bilang ya…hupp nge he he”
“Haaaaaa-uh…..!!” Nafasku tecekat, tanpa meminta persetujuanku mang Udin menaikkan kakiku mengangkang ke atas bahunya. Dengan sangat rakus ia menjilati dan mencumbui bagian dalam pahaku, memangut, mencium dan menjilat, menghisap kuat-kuat dengan gemasnya. Aku sampai harus berpegangan kuat-kuat pada lengan kursi, karena tubuhku gemetar hebat saat cumbuannya hinggap di permukaan celana dalam biru mudaku. Hembusan panas penuh nafsu mang Udin merembes melalui pori-pori kain celana dalam yang ku pakai. Aku merasa risih, malu tapi nyaman sekaligus saat ia mengendus-ngendus aroma celana dalamku.
“Wangi bangett, Wuihhh….anying.. sssshhhhhhh…..ahhhhh, ckckkckckck…..ccckkkkk..”
“Ahhhh…!! Anjir ahhhh….Akhuu….!!.maaanggggh…ahhhhhh” Aku terperanjat, nafasku memburu saat batang lidah mang Udin menyelinap melalui pinggiran celana dalamku, rasa nikmat itu begitu menggelitik, mengupas rasa ingin tahuku selama ini tentang rasa nikmat. Aku meringis saat batang lidah mang Udin berusaha menggapai-gapai bibir vaginaku, tubuhku berkelojotan kesana kemari menghindari rasa geli itu.
“Ahhh.. mmmmhhhh…..mang Udin!!” Aku menepiskan tangannya yang berusaha menarik celana dalamku. Pertahanan terakhir dari vaginaku dan harga diriku.
“Liat atuh neng meni kagok dikit lagi….”
“Enggak ah.., nggak boleh…!!eh..eh MANG…!!” Aku kaget saat mang Udin menekankan bahuku agar bersandar ke belakang kursi, wajahnya makin dekat dengan wajahku, nafasnya terasa panas menerpa pipiku, dengan mesra bibir mang Udin menempel di bibirku, bibirnya lengket melekat di bibirku, ini benar-benar gila! Kuberikan ciuman pertamaku pada seorang lelaki tua yang tak jelas apa asal usul dan pekerjaannya?
“Sadar Cindy…. SADARRRR…!!” Pekikku dalam hati, berusaha untuk menyadarkan diriku, tapi kini bibir Mang Udin yang bau rokok sudah mulai mengulum-ngulum bibirku, aku menarik bibirku agar terlepas dari kulumannya
“Nggak mau mang, nggak mau, mmmfffhhh.. Mmmmmmmhhh…” Aku merasa jijik sekaligus terangsang saat bibirnya mengokop bibirku dan melumat-lumat bibirku, aku bertambah jijik saat merasakan bibirku basah oleh air liur mang Udin yang sudah bercampur dengan air liurku, rasa jijik berteriak agar aku menghentikan ciuman pertamaku sedangkan rasa terangsang menyemangati agar aku membalas kuluman mang Udin.
“Emmhhh.. mmmhhhh… mmmhhh…ckk.. ckk emum-mmhhhh” Dengan canggung aku mulai memberanikan diri untuk membalas kuluman bibir mang Nurdin.
“Uh, apa ini ??” ada sebuah rasa nyaman dan nikmat sekaligus yang kurasakan saat bibirku dan bibirnya saling bergesekan dan saling balas berpagutan sementara tangan mang Udin kini sudah berkeliaran dengan sebebas-bebasnya menggerayangi tubuhku dan mengusapi pahaku yang terkait dalam posisi mengangkang di kedua dada bidangnya.
“M-manggghhhhh…ahhhhhhh” Tubuhku menggigil saat ciuman-ciumannya merambat turun ke leherku, dengan kasar bibir mang Udin memagut batang leher jenjangku dan menghisap leher kananku dengan kuat tangannya mengelus-elus tengkukku yang sangat sensitif dengan rambut halusnya. Kedua tanganku melingkar memeluk batang leher mang Udin, tanpa dapat ditahan lagi aku merintih-rintih dan tampaknya mang Udin sangat menyukai suara rintihanku, karena sekarang ia semakin ganas menggeluti dan menghisapi batang leherku hingga meninggalkan bekas-bekas kemerahan.
“Auhhhfffhh.!!” tubuhku melonjak seperti tersengat listrik saat tangannya meremas celana dalamku di bagian selangkangan dan kemudian mengusapi permukaan celana dalamku yang kini pasti sudah sangat lembab. Mataku bertatapan dengan mata mang Udin yang berbinar-binar liar, aku sudah terlena dalam permainannya hingga tidak sada saat tangannya yang satu lagi sedang melucuti dua buah kancing baju seragamku sebelah atas dan merayap masuk ke dalam baju seragamku.
“Ohhhhhhhhhhhh…..” aku tersadar, langsung aku meronta sambil memegangi tangan mang Udin yang menyelinap masuk ke dalam bra untuk merogoh payudaraku. Aku semakin resah saat ia meremas-remas bulatan payudaraku, ahh, luar biasa nikmatnya, ternyata seperti ini rasanya jika payudaraku diremas-remas oleh tangan seorang laki-laki, telapak tangan Mang Udin yang kasar bergesekan dengan kulit payudaraku yang halus dan membuahkan rasa nikmat yang sulit sekali untuk diungkapkan dengan kata-kata.
“Santuy neng, lepaskaaaan….” Mang Udin berusaha menenangkanku, ku coba untuk menikmati remasan-remasan kasar tangannya sambil memperbaiki posisi bersandar agar lebih nyaman dengan posisi kedua kakiku yang sudah mengangkang pasrah, kubiarkan tangan kiri Mang Udin meremas dan mengelusi selangkanganku dan tangan kanannya meremas-remas payudaraku. Aku memalingkan wajahku ke arah lain, kugigit bibir bawahku untuk menahan suara desahan dan rintihan yang hampir melompat keluar dengan keras dari mulutku.
“jangan mang…ee-ehh…, aaaduhhhh..!!” aku mencekal tangan kirinya yang bergerak cepat menyelinap masuk melalui bagian atas celana dalamku, keempat jarinya yang sudah terlanjur masuk menggaruki dan memijat-mijat permukaan vaginaku berusaha menari-nari diatas klitorisku. Nafasku terasa semakin berat dan sesak saat rasa nikmat itu semakin menjadi-jadi, gairahku semakin sulit untuk dikendalikan. Untuk beberapa saat lamanya aku terdiam pasrah menikmati permainan mang Udin, tapi seringai mesum mang Udin membuatku ketakutan, dalam ketidakberdayaanku aku berusaha untuk menolak dan menghentikan semua kegilaan ini.
“Hufffhhh.., M-mang Udinn…, enggak ahh, nggakkk mau..uuu..udahhh!!” seruku sambil kutarik pinggulku ke belakang dengan maksud berusaha mengeluarkan tangan kirinya dari celana dalamku, aku berusaha dan terus berusaha namun tangan mang Udin semakin dalam merayap masuk ke dalam celana dalamku dan akhirnya berhasil menangkup selangkanganku. Entah kenapa tubuhku terasa mendadak lemas saat belahan bibir vaginaku mengalami kontak langsung dengan tangannya yang mulai meremas-remas wilayah intimku. Aku mendesah nikmat saat tangan mang Udin merayapi bibir vaginaku dan mulai menguruti bibir vaginaku. Aku benar-benar keenakan menikmati urutan-urutan mang Udin pada bibir vaginaku.
“mmmhhh.., hsssshh.. sssshhhhh.. ahhhh” aku tidak menyadari sejak kapan aku mulai mendesis dan mendesah, semuanya terjadi begitu saja, berjalan alami, sealami cairan vaginaku yang meleleh melalui rekahan vaginaku yang masih suci ini. Aku semakin sering menggelinjang dan menggelepar keenakan saat jari kanan Mang Udin menjepit dan memilin-milin puting susuku. Sementara jemari kirinya terus menerus mengelus dan menggesek-gesek belahan bibir vaginaku.
“Manggggg, emmmh-mang Udinnnn aakhhhh…….cretttt… cretttttttt.. cretttttttt…” aku mengejang dengan nafas terputus-putus saat merasakan vaginaku berdenyut-denyut dengan kuat. Semburan-semburan cairan hangat yang nikmat itu membuat tubuhku menggigil dengan hebat. Remasan-remas tangan mang Udin membuatku semakin terhanyut menikmati puncak klimaks pertamaku bersama seorang laki-laki. Mataku merem melek menikmati sisa-sisa puncak klimaks yang baru saja kualami.
“AWWWWW…..!!” aku menjerit keras saat ia menarik paksa hingga robek celana dalam yang kukenakan hingga melewati lututku, reflek aku menarik turun rok seragamku yang tersibak, tanganku melayang di udara….dan….Plakkkk……!! aku menampar wajah Mang Udin hingga ia terjengkang.
“ee-ehh, Maaf Neng, Maaf….” Mang Udin tersentak kaget saat aku bangkit dan meninggalkannya begitu saja diteras rumahku dalam keadaan kentang. Aku tidak menggubris permintaan maaf Mang Udin, dengan cepat kukunci pintu rumahku. Diibatasi oleh kaca jendela aku dan Mang Udin saling pandang, ia berdiri sambil memegangi celana dalam berwarna putih milikku. Paha bagian dalamku terasa lengket oleh cairan vaginaku yang meleleh turun, perlahan aku melangkah mundur kemudian membalikkan tubuh dan berlari menaiki anak tangga menuju kamarku, wajahku terasa panas karena jengah dan malu yang amat sangat. Masih terasa usapan-usapan telapak tangan mang Udin yang merayapi pahaku, begitu pula denyutan-denyutan kenikmatan puncak klimaks itu.
Setelah menutup pintu kamar, aku merayap naik keatas ranjang dan bersembunyi di balik bedcover, kupejamkan mataku, aku berusaha menenangkan diri sambil berusaha mengusir sisa-sisa kenikmatan yang masih dapat kurasakan. Semenjak kejadian itu aku berusaha menghindari Mang Udin, aku memilih untuk diantar papah atau memesan ojek online, terkadang aku merasa kasihan saat Mang Udin menatapku dari kejauhan. Aku takut dan malu!
Semuanya berjalan lancar hingga pada suatu siang sepulang sekolah. Aku mendengar seseorang menekan bel rumahku, dengan malas aku melangkah untuk melihat siapa orang yang datang bertamu ke rumahku. Hah!!???
Cerita sebelumnya : Semuanya berjalan lancar hingga pada suatu siang sepulang sekolah. Aku mendengar seseorang menekan bel rumahku, dengan malas aku melangkah untuk melihat siapa orang yang datang bertamu ke rumahku. Hah!!???
#############################################################################################################################
Second Encounter : Curiosity Level Up
“Ada apa ya Mang ??”
“Punten neng, Mang Udin mau numpang ke wc, tolong neng, Toloonggg..”
“Deg.. deg..deg…deg” jantungku berdetak dengan kencang, aku menyangsikan jawaban Mang Udin Saat mataku bertatapan dengan tatapan matanya, tatapannya begitu liar sementara bibirnya terus menerus memohon agar aku mengizinkan dirinya untuk masuk. Ragu-ragu aku membuka slot yang menahan pintu rumahku, aku mundur kebelakang saat sesosok tubuh hitam besar Mang Udin langsung menyelinap masuk ke dalam, aku tersentak mendengar suara pintu rumahku yang ditutup dengan kasar.
Aku memejamkan mataku saat ia merengkuh tubuh ranumku ke dalam pelukannya, “ah…rasa hangat ini, rasa hangat dan nyaman inilah yang begitu sulit untuk kuusir, Ohh begitu nyaman dan nikmat rasanya pelukan Mang Udin”.
“Neng, Mang Udin kangennnn banget sama neng Cindy…” tangannya tidak absen menggerayangi tubuhku.
“mang Udin?? Mamang mau ke wc kan ??” tanyaku cuek. Ia tidak menjawab, aku membiarkan Mang Udin memelukku.
“ehh, jangan mang , ja-jangann emmmhh emmmhhhh…!! Hmmphh..” aku menarik wajahku kebelakang saat bibir mang Udin mengejar bibirku.
Hap…bibir Mang Udin mulai mengecupi bibirku, tangan kirinya merengkuh pinggangku, sementara tangan kanannya menggerayangi pinggul dan bokongku, pinggangku terjengking ke belakang saat bibirnya mencumbui bibirku. Ia melumat-lumat bibirku hingga aku sesak kehabisan nafas. Gairahku yang kupendam selama berhari-hari langsung meledak hebat menjebol dinding kokoh yang menghalangiku dengannya. Aku membalas memanguti bibir Mang Udin, kami berciuman dengan liar untuk melampiaskan rasa kangen di dada.
“Jangan kesitu mang..” aku menahan langkahku, wajahku menunduk malu saat mang Udin menarikku ke dalam sebuah kamar.
“kamarnya neng Cindy disebelah mana emangnya??” tanya mang Udin
“di atas mangg…” jari telunjukku menunjuk ke atas tangga. Dengan perkasa Mang Udin membopong tubuhku yang sebenarnya cukup berat menaiki anak tangga menuju kamarku, ditendangnya pintu kamarku yang sedikit terbuka dan dilemparkannya tubuhku keatas ranjang kemudian ia merangkak menaiki tubuhku. Aku terdiam saat Mang Udin merebahkan tubuhnya yang kekar menindih tubuhku.
“aahhhhhhh, Manggggg!!” aku mendesah menahan beban tubuh Mang Udin yang menggeliut liar, aku mendongakkan wajahku keatas memberi ruang agar mang Udin lebih leluasa menggeluti leherku, nafasnya memburu panas di sela-sela leherku, tubuhnya yang besar mendesak tubuhku yang ranum.
“Hufffhhh… “ aku melenguh panjang saat tangan mang Udin menjamah payudaraku yang masih rapih terbungkus dibalik pakaian seragam yang kukenakan
Cindy tiduran
Aku menahan tangan kekar mang Udin yang hendak mempreteli kancing baju seragamku, tak kehabisan akal kedua tangan mang Udin memegangi kedua tanganku di atas kepala agar tidak banyak bergerak, wajahnya mendekati wajahku. Untuk beberapa saat lamanya Mang Udin menatapku, aku memejamkan kedua mataku saat bibirnya kembali menciumi bibirku.
“emmm,,, mmmmmhh ckk emmmhhhhh” Mang Udin begitu rakus melumat-lumat bibirku, ia menyedot air liurku hingga kering, ia juga menyuapiku dengan ludahnya dengan cara mendorongnya ke dalam mulutku dengan lidahnya. Kemudian kurasakan lidahnya menekan masuk ke dalam mulutku menyapu gigiku seperti sedang menghitung satu persatu gigiku dengan lidahnya dan akhirnya lidahnya menyeruak masuk menggelitiki langit-langit mulutku.
Aku mencoba untuk membalas cumbuan Mang Udin, suara desah dan rintihanku tertahan oleh oleh suara gemuruh nafas seorang pria tua bertubuh tinggi kekar yang tengah menindih tubuhku. Tiba-tiba mang Udin menghentikan kegiatannya dan menatap wajahku yang bersemu merah menahan nafsu menggelora.
Seakan tak percaya, mang Udin kini ada didalam kamar seorang gadis chindo cantik yang bersih dan wangi, dia menyapukan pandangannya ke seluruh ruang kamarnya, matanya tertuju pada sebuah pigura yang berisi fotoku bersama ciciku.
“Neng Cindy cantik banget sih, cicinya neng Cindy juga cantik, mana susunya lebih gede lagi, bilang sama Neng Jevelyn Mang Udin pengen nyomot susunya huehheheh” kekehnya mesum.
“jangan kurang ajar deh mang..!!” Aku membentak mang Udin untuk membela ciciku Jevelyn. Ciciku kuliah di luar kota dan jarang pulang memang.
Mang Udin membelai wajahku untuk menenangkan ku, kemudian bibirnya kembali mengecup-ngecup bibirku, dengan malu-malu mau aku membalas kecupan-kecupannya. Kujulurkan lidahku keluar, ada sengatan nafsu saat lidahku dan lidah Mang Udin saling membelai, bergelut bergulung, membelit-belit dan saling memutari dengan mesra.
“Huummmhhh , mmmhhh.. Hssshh Sssshhhh” aku mendesah tertahan saat merasakan hisapan-hisapan bibirnya merambat di leher jenjangku, sambil sesekali lidahnya menjilati peluh yang mulai membanjiri leherku.
Aku pasrah saat tangan Mang Udin kembali menjamahi dadaku, wajahnya merosot turun, kemudian bersembunyi ke dalam rok seragamku, lidahnya menyelinap melalui pinggiran celana dalamku, terpaan hawa panas menyelinap menghembus permukaan vaginaku, jilatan-jilatan basah lidah mang Udin pada belahan vaginaku membuat diriku menggigil nikmat, tubuhku memanas terbakar oleh nafsu liarku sendiri.
“ee, ennnhhhhh….mmhhhhh…aaahhhhh…crr crrrrr crrttttt…..” Vaginaku berdenyut dengan nikmat, nikmat sekali hingga aku menggelepar dengan nafas tertahan-tahan, cairan vaginaku yang merembes membasahi celana dalamku dihisap habis oleh Mang Udin. Kudorong kepala mang Udin keluar dari dalam rok seragamku, dengan mesra mang Udin memeluk tubuhku yang berpeluh, ia berbisik mesum di telingaku.
“Cairan memek neng enak, manis, boleh mamang lihat ga memeknya ??” Mang Udin mendesah kecewa saat aku menggelengkan kepalaku, untuk melampiaskan kekecewaannya Mang Udin menggerayangi tubuhku. Seorang pria tua tak jelas kini begitu leluasa dan bebas menggerayangi tiap jengkal lekuk tubuhku sambil berkali-kali bibir Mang Udin kembali mengecupi bibirku dengan gemas, lalu tangannya merayap masuk ke dalam rok seragamku kemudian mengelus dan meremas-remas permukaan celana dalam di bagian selangkanganku. Sudah kedua kalinya mang Udin membimbingku menuju puncak klimaks, tubuhku terasa lelah, aku menolak keinginan Mang Udin saat ia hendak menggeluti tubuhku kembali untuk yang kesekian kalinya
“Sudah mang, Cindy nggak mau…, capek manggg ….”
“Ya sudahh kalau Neng nggak mau sih, nggak apa-apa, Mang Udin mau narik ojek dulu yak Neng…makasih ya” Telapak tangan mang Udin mengusap peluh wajahku dan mengecup keningku. Aku hanya terdiam, entah harus berkata apa, setelah merapikan seragamku kembali. Aku mengantar mang Udin, sebelum aku menutupkan pintu rumahku, mang Udin membalikkan tubuh dan menatapku, wajahku memanas saat ia berbisik pelan.
“Neng, besok Mamang antar ke sekolah ya…, terus kita main-main lagi, jangan terlalu pelit neng, supaya lebih sama-sama enak.. hehehehe” Sebuah senyuman melebar di wajah Mang Udin saat aku mengangguk sambil tersenyum manis,, kututup dan kukunci pintu rumahku. Dengan langkah gontai aku menuju kulkas yang terletak di dapur, kuteguk habis segelas air dingin untuk meredakan panasnya gejolak di hatiku. Aku menghempaskan pinggulku di atas sofa empuk di ruang keluarga, dengan sebuah remote kunyalakan TV LED berukuran 42 inch, ku resapi kembali kejadian tadi, oh betapa nikmat kurasakan saat tubuhku digerayangi oleh seorang tukang ojek langgananku, sebersit bisikan hawa nafsu menggelitiki akal sehatku. Aku mulai bertanya-tanya penasaran dalam hati, “bagaimana rasanya jika batang penis Mang Udin menusuk masuk ke dalam belahan vaginaku, emangnya cukup?? Kontolnya kan besar, mana cukup masuk ke dalam vaginaku yang masih perawan ini??”
“aaahhhh, kamu gila Cindy, kamu gila.. bisa-bisanya!!”
Aku menjauhkan rasa ingin tahu yang rasanya terlalu kotor untukku sendiri. Aku mengutuki diriku sendiri, walaupun keperawananku masih melekat ditubuhku namun seorang tukang ojek sudah menggerayangi hampir seluruh lekuk tubuhku yang menggairahkan, menggeluti tubuhku sepuas yang ia mau, dan aku tidak kuasa untuk menolak keinginannya atau lebih tepatnya aku tidak kuasa untuk menahan keinginanku yang begitu liar.
——————————
Siang di hari di sekolah..
Entah kenapa hari itu terasa begitu lama, berkali-kali aku menatap kesal pada jam dinding kelasku yang berjalan lambat tertatih-tatih. Saat aku sedang asik melamun, Ailin menyenggol lenganku.
“Psssttt.., Cindy…, cepetan baca bukunya” aku menoleh ke arah Ailin yang berbisik.
“Hahh, ?? ngapain ??” aku gelagapan tersadar dari lamunanku.
“dibacaaaaa!!, duhh, giliran kamu yang ngelanjutin tau” Ailin kembali berbisik pelan
“ehem.., ehemmm” Setelah pura-pura berdehem beberapa kali aku mulai membaca. Entah kenapa aku merasa geli saat mengucapkan kata kontrol, he he he, untung saja lidahku tidak sampat terpeleset, kalau saja lidahku sampai terpeleset mengucapkan sebuah benda di selangkangan mang Udin kan bisa gempar nih ^_^, Aku membaca sambil menahan tawa, akhirnya setelah berjuang mati-matian giliranku pun usai.
“hssshhh…” aku mendesis saat sebuah cubitan pedas mampir di pinggangku.
“kalau lagi belajar yang serius,…” Ailin berbisik.
“Hiissshhh…” Ailin mendesis sambil menarik lengannya yang balas kucubit
“C-takk…”
“uffhh..”
Aku mencondongkan dadaku kedepan karena rasa perih seperti tercambuk saat ada yg menarik tali bh ku dari belakang, aku berbalik dan langsung melotot ke arah si penarik yang cengengesan..
“he he he…” Gaby terkekeh,
“Krettt… Krrittttt….!!Kriitttt…” terdengar suara berderitan saat ia menggeserkan kursi mundur ke belakang hingga dia hampir terjengkang untuk menghindari tanganku yang akan membegal payudaranya.
“COBA YANG TIDAK MAU BELAJAR!!, SILAHKAN KELUAR!!” Ibu Made membentak keras, pertarungan sengit antara aku, Ailin dan Gaby pun segera terhenti. Kami bertiga tertunduk tanpa berani membalas tatapan mata Bu Made yang dingin, bunyi bel sekolah menyelamatkan kami bertiga dari hukuman Bu Made hari ini.
“dasar perawan tua , rawwr….raawwrrr…” Gaby bergaya seperti harimau meledek Bu Made.
“gitu tuh jadinya kalau udah kepala 4 tapi belum merasakan sentuhan laki-laki, jadi galaknya nggak ketulungan, belum tau nikmatnya dunia dia!” seruku sok sambil berkacak pinggang, tanpa sadar aku keceplosan mengucapkan hal yang seharusnya tidak aku ucapkan..
“Iya betul tuhh..!! Eittt….bentar dulu.., emangnya kamu pernah ya??” Ailin mengintrogasiku, ia memajukan badannya dan menatapku dengan tatapan mata menyelidik keheranan.
“Haahh!!!?? apaan sih…?? Enak aja..!! ” aku memalingkan wajahku kearah lain, menyembunyikan wajahku yang bersemu merah.
“Sama siapa ?? gimana rasanya?? enak nggak?? “ Gaby ikut bertanya, ia semakin bersemangat ikut menginterogasi.
“Cindy cerita dongg, sama siapa ?? ayooo dooonggg, kita kan bestie” Ailin merengek agar aku membagikan pengalamanku.
Akhirnya dengan terpaksa aku bercerita dengan suara berbisik-bisik takut teman kelas lain ada yang bisa ikut mendengarkan, Ailin dan Gaby lalu mendengarkan ceritaku. Wajah mereka merona merah dan menutupi mulutnya masing-masing karena merasa jengah dan risih mendengar apa yang terjadi antara aku dan Mang Udin. Untuk beberapa saat lamanya aku, Ailin dan Gaby hanya terdiam. Ceritaku memang sudah usai namun efeknya menjalar hebat menghangati tubuh kami bertiga, tanpa banyak basa-basi kami lalu meninggalkan ruangan kelas yang sudah sepi, Ailin dan Gaby pulang bergantian dengan dijemput oleh sopir mereka masing-masing. Kuperhatikan dari kejauhan mang Udin mengendarai Supra bututnya, dia sopirku T_T.
“ayo neng, kita… ahehehe” Mang Udin tidak melanjutkan kata-katanya, tapi mengisyaratkan jempol yang dijepit jari tengah dan telunjuknya sambil tersenyum mesum.
Aku menekuk wajahku dalam-dalam, tanpa bicara aku naik dan duduk di jok motornya. Setelah sampai, mang Udin mengunci mototnya disebrang rumahku, ia pura-pura kencing dibawah pohon. Setelah keadaan aman ia menyelinap masuk ke dalam rumahku yang sudah sengaja tidak kukunci. Detak jantungku berdebar kencang saat mendengar suara langkah-langkah kaki menghampiri kamarku, pintu kamarku terbuka lebar dan tertutup dengan suara keras, “Brakkk…”
Sendi-sendiku terasa lepas saat Mang Udin menyergapku, tangannya lalu memeluk pinggangku yang ramping dengan mudahnya ia mengangkat dan mendesakkan tubuhku menempel pada dinding kamar. Wajahku sejajar dengan wajahnya, bibirnya langsung memagut dan melumat bibirku, gejolak birahi begitu hebat merayapi tubuhku hingga sepasang kakiku tak bisa lagi menopang berat tubuhku sendiri.
“aa-aduhh ummmhh…, emufffhhh. Emffff, eummmmhhhhh…” suara lenguhanku ditelan oleh mulut Mang Udin, ia begitu rakus menghisap-hisap gemas bibirku.
Nikmat sekali rasanya saat bibir mang Udin mengulumi bibirku, tanpa melepaskan kulumannya lidah Mang Udin memaksa menyeruak mendobrak pertahanan gigiku masuk kedalam mulutku dan mencoba untuk membelit-belit lidahku. Aku semakin tersiksa oleh rasa sesak dan juga terhanyut oleh rasa nikmat, aku menggigit lidahnya untuk membebaskan sekapannya pada bibirku.
“Ataaatahhh…??!!, Hepphhhh…” Mang Udin menarik mulutnya, bibirnya agak manyun, aku buru-buru menarik nafas dalam-dalam untuk mengisi rongga dadaku yang kekurangan udara. Tanpa mempedulikanku yang megap-megap kehabisan nafas, kini lidah mang Udin menari-nari dari rahang ke telingaku, sesekali ia melumat bibirku yang mendesaha hebat, sebagian besar wajahku terasa basah oleh air liur mang Udin, saat aku sedang asik menikmati cumbuannya pada daun telingaku tiba-tiba.
“aduh.., manggg, “ aku menarik kepalaku kesamping menghindari gigitan mang Udin pada daun telingaku.
“Mang ..! jangan main gigit begitu dongg…!!” ujarku cemberut sambil memanyunkan bibirku.
“Lho ?? kok marah?? Cindy aja tadi gigit lidah Mang Udin..masa mang Udin nggak boleh bales….hemm ?? cuphhh,, cupphh cuppphhh” Mang Udin mengecupi bibirku yang meruncing.
“Salah sendiri lidah mang Udin nyelonong seenaknya, nggak minta izin dulu..” aku menjawab ketus, mau menang sendiri. Ku tarik kepalaku ke samping untuk menghindari mulut mang Udin yang mengejar daun telingaku lagi, rasanya geli!
Tubuhku menggeliat kuat , meronta untuk melepaskan diri namun tampaknya cekalan kedua tangannya pada pinggulku terlampau kuat, percuma saja aku mencoba untuk meronta melepaskan diri darinya.
“aaaaaaa-ahh-ahhhhhhh Mangggggg…” aku mendesah-desah manja saat ia kembali menggeluti daun telingaku.
Aku mencoba menggeleng-gelengkan kepalaku saat rasa geli itu menggelitik daun telingaku, tubuhku terasa menghangat saat bibir mang Udin mencumbui daun telinga, rahang dan sisi leherku sebelah kiri. Aku menolehkan wajahku ke arahnya, kupagut bibirnya agar mulut dan lidahnya yang nakal berhenti menggelitiki daun telingaku, lidahku terjulur melawan desakan batang lidah Mang Nurdin. Lidahku dan lidah Mang Udin saling menjilat, mendesak dan bergelut.
“Happp., nyemmmm, emmmhhhhh.. “ Saat mang Udin mencapluk lidahku, aku mendesakkan wajahku hingga bibirku mendesak bibir mang Nurdin, suara decak-decak keras terdengar menggairahkan menaikkan birahiku bersamanya, suara desahan tertahanku membuat mang Udin bertambah bernafsu mengulum bibirku.
“Manggg udinnnnnn, Mannngggg….,ohhhh” suaraku gemetar seperti orang yang sedang kedinginan, wajahku terdongak keatas menikmati cumbuan dan hisapan-hisapan mulut Mang Nurdin, terkadang aku merasa mulutnya seperti sedang mengunyahi batang leherku yang putih jenjang, wajahku terkulai ke kiri dan ke kanan saat tukang becak itu menyantap batang leherku, menjilat, menghisap-hisap, mengecupi hingga aku merintih dan mendesah menahan rasa geli yang membuatku semakin gelisah., sesekali aku meringis saat merasakan gigitan-gigitan lembut Mang Nurdin.
Aku tertunduk malu saat mang Udin menurunkan tubuhku, jari telunjuknya mengangkat daguku, ia mengecup keningku dan menarikku ke arah ranjang.
“duduk disini neng…” Mang Udin duduk di pinggiran ranjang sambil menepuk-nepuk ranjang, ia memintaku untuk duduk di pangkuannya dalam posisi melintang agar lebih nyaman aku mengaitkan lenganku pada lehernya.
Tangan kiri mang Udin menopang punggungku sementara tangan kanannya menyelinap masuk ke dalam rok dan menggerayangi pahaku.
“manggg..!!” aku mencegah tangannya yang hendak mempreteli kancing baju seragamku.
“neng Cindy, Mang Udin pengen lihat susu, boleh ya?” mang Udin terus membujukku agar mau menuruti keinginannya.
“buka ya, liat dikitt.. ajaaaaa…” mang Udin masih membujukku seperti anak kecil.
Akhirnya aku mengangguk. “Tapi Cuma sedikit kan mang..??janji ?” yakinku.
“Iya mamang janji, cuma liat…dikit” ucapnya sambil tersenyum mesum.
Mang Udin menyibakkan rok seragamku ke atas kemudian telapak tangannya mengelus-ngelus pahaku yang halus mulus, aku membuka sebuah kancing baju seragamku bagian atas.
“Ah, belum kelihatan, satu lagi…” bujuk mang Udin.
“satu ya mang…” aku mencoba nego.
“Iya satuu, ayoo dibuka…” ucap mang Udin dengan tidak sabar.
Aku melepaskan kancing baju seragamku yang kedua.
“belumm, masih belum kelihatan…satu lagi” mang Udin berkata dengan gemas.
Aku menekuk wajahku berusaha melihat kearah payudaraku. “Sudah mang, kelihatan kok tuuh…..”
“belumm neng…satuuu aja, cuma satu lagi kok…” mang Udin masih membujukku untuk membuka kancing lagi.
“satu ya mang…., terakhir ini…” Rajuk ku.
“iyaaa.., satu aja , nahhh begituuu.., aduh masih belumm…” mang Udin sudah melotot melihat wajahku yang merah padam menahan malu.
Akhirnya satu per satu kancing baju seragamku terlepas dari lubangnya, entah aku yang bodoh atau Mang Udin yang cerdik hingga aku tidak menyadari seluruh kancing baju seragamku kini terlepas, dengan gerakan kilat mang Udin menyibakkan baju seragamku, kini aku hanya berbalut bra putih.
Mata mang Udin melotot menatapku leher, bahu, lengan, lipatan ketiak dan sekitar wilayah dadaku yang putih mulus dengan rona kemerahan akibat menahan nafsu yang begitu besar. Mata mang Udin menatapku kemudian menatap bongkahan payudaraku yang masih tertutup bra putih, sepertinya ia hampir tidak percaya menyaksikan keindahan gundukan payudaraku yang padat dan putih yang hanya tertahan cup bra ku.
“Ahh Mangggg…” aku terperanjat saat tangan mang Udin menarik dan menurunkan cup bra kiri yang kukenakan kebawah, payudaraku melompat keluar dan tersangga oleh cup bra. Tanganku melintang berusaha menyembunyikan payudaraku dari tatapan matanya yang liar.
“Ummmhhh.. ?? jangan mangg..!!ahhh.., aduhhh..!! ee-ehhh…!!aww..!!“ Tangan kiriku mencekal pergelangan tangan Mang Udin yang hendak menarik celana dalamku, sementara tangan kananku menahan turunnya celana dalam berwarna putih yang kukenakan. Tangan mang Udin yang tadinya hendak menarik turun celana dalamku kini bergerak cepat ke atas menangkap buntalan payudaraku yang kini bergelayut bebas. Aku mendengus kuat sambil memegangi celana dalamku kuat-kuat saat merasakan mang Udin meremas-remas payudaraku, keringatku mengucur, entah kenapa beberapa hari ini terasa begitu panas….
“Manggg, Mang Uudhinnnn ii-ihhh…,adu-duh aaaa..”
“Gimana non, enakk ?? Hehehehehe”
Jari tengah mang Udin memutari puting susuku yang mengeras, aku merintih lirih akibat gerakan nakal yang dilakukan mang Udin, ia meremas, menjepit dan menggelitiki putting susuku. Dadaku terangkat saat tangan Mang Udin mendorong punggungku, wajahnya menunduk menghampiri payudaraku yang membusung ke atas.
Sekujur tubuhku serasa membeku sulit untuk kugerakkan saat mulutnya memayungi puncak payudaraku. Ada rasa hangat bercampur rasa takut saat mulut Mang Udin mendekati puncak payudaraku.
“Haaaap….mmmhhhh…slrrttpppp….cup……” dengan cekatan mulut mang Udin memainkan putingku.
“aaaa, AHHHHHHHHH….!!enngghh ennmm…MANGG, Ahhhh hsssh ahssshho-uhh” aku mendesis keras saat mulutnya yang terbuka lebar menghisap puncak payudaraku seperti bayi menyusu ibunya.
“Aduhhh….!!” aku mendorong kepalanya saat merasakan hisapan kuatnya yang tiba-tiba pada puncak payudaraku.
“he he he, kenapa Neng ?? “ tanyanya usil.
“geli, mang, sudah ah, sudah, ahhh-emmmhh mmmhhhh….“ desahku.
Mulut Mang Udin membekap bibirku yang protes ingin menyudahi permainan yang tidak sepantasnya kumainkan, suaraku menghilang dibekap oleh mulutnya, kurasakan tangannya mengelusi pinggang dan meremas pinggulku kemudian turun menggerayangi kemulusan pahaku. Aku menggelepar saat mang Udin meremasi permukaan celana dalam di bagian selangkanganku.
“aaaaww.., crrr crrr crrr…” Aku memekik kecil, cairan kenikmatanku muncrat berdenyutan, selangkanganku terasa hangat, ada rasa lengket saat mang Udin mengurut-ngurut permukaan celana dalamku, dengan menggunakan punggung tangan aku mengusap peluh yang mengucur di dahi dan rahangku. Aku tak menyangka, hanya memainkan dadaku saja aku sudah bisa mencapai klimaks.
“ahh…” aku mendesah pendek saat ia membalikkan tubuhku ke arahnya
Tangan mang Udin menarik turun cup bra yang satunya lagi, kini kedua buntalan payudaraku yang padat membusung tertahan oleh bra putihku sendiri. Kedua tangannya yang kekar merengkuh pinggangku dan membelit bagaikan gelang yang melingkar mengunci tubuhku. Wajahnya mendekati dadaku, aku mendesah saat merasakan nafas mang Udin memburu menerpa payudaraku, ada udara panas yang menghembusi payudaraku dan aku gelisah merasakan hembusan-hebusan nafas panas mang Udin, rasa takut kembali mencekamku saat mulutnya menghampiri payudaraku sebelah kanan.
“Manggg, MAnggg Udin, eh-eh, Ow Ow Owwww…!!” Aku berusaha mendorong, menjauhkan kepala Mang Udin dari dadaku, jika ia berusaha menjilat putingku sebelah kiri maka aku menarik payudaraku sebelah kiri hingga terhindar dari jilatan lidahnya demikian juga halnya jika ia berusaha menjilat puting dadaku sebelah kanan. Aku terus mencoba meronta untuk melepaskan diri dari belitan kedua tangannya. Semakin kuat aku meronta semakin kuat pula mang Udin membelitkan kedua lengannya pada tubuhku, belitannya semakin kuat seperti akan meremukkan-ku, belitan lengan kekarnya mengendor saat aku kecapaian dan berhenti meronta. Ia medekap tubuhku erat-erat seolah sedang mematenkan kepemilikannya atas diriku yang kini terdiam pasrah saat wajahnya menghampiri payudaraku, mulutnya menghisap-hisap puncak payudaraku.
“auhh, enh-nnnhhh ohh mangg Udinnnn…, aa-ampun mang Ampun akhh.. gelii” rengekku manja. Aku mencoba menahan rasa geli saat mulut Mang Udin mengecupi keliling bulatan payudaraku, cucuran keringat semakin banyak meleleh di belahan payudaraku. Mang Udin menjilat dan menghisap lelehan keringatku sambil mengecupi belahan payudaraku, habis sudah bulatan payudaraku dihisap dan dicumbui olehnya. Berkali-kali wajahku terangkat keatas dengan kedua mata terpejam menikmati jilatan-jilatan lidahnya pada puting susuku yang semakin keras meruncing, semakin sering pula tubuhku terbungkuk-bungkuk menahan rasa nikmat saat mulutnya mengenyot-ngenyot puncak payudaraku bergantian yang kiri dan yang kanan. Kedua telapak tanganku menjepit wajah mang Udin kemudian mengangkat wajahnya, kujulurkan lidahku mendesak mulut seorang tukang ojek yang wajahnya sangat jauh dari kata tampan, kupagut bibir Mang Udin, ia membalas pagutan-pagutanku. Dengan mesra bibirku dan bibirnya saling mengulum, dengan membawa tubuhku mang Udin menggeser tubuhnya, ia berbaring di bawah tindihan tubuhku yang mungil, perlahan kuturunkan sepasang payudaraku mendesak dada mang Nurdin, tangan kanan mang Udin menekan punggungku hingga dadaku semakin tergencet menekan dadanya, kugerakkan payudaraku menggeseki dada mang Udin yang berbulu lebat.
Aku menurut saat diposisikan menungging bertumpu pada lutut dan telapak tanganku sementara wajah mang Udin bergeser dan berhenti tepat ke bawah payudaraku yang menggantung, kurasakan kedua tangannya mengelusi dan meremas-remas payudaraku, punggungku ditekan hingga payudaraku turun kebawah, puting susuku jatuh kedalam mulut mang Udin, nyot.., nyotttt…! Ia mengenyot susuku kuat-kuat.
“aduhh mangg, aduhhhh, adu-du-duh!!” aku mengaduh berkali-kali sambil merusaha mengangkat payudaraku dari mulut mang Udin. Gerakan punggungku tertahan oleh tangannya, belum lagi dengan segera ia menggigit kecil putingku agar payudaraku tidak terlepas dari mulutnya, aku menjerit kecil, sekujur tubuhku mengejang hebat saat mulutnya mengemut kuat puting payudaraku dan lidahnya menggelitiki puting susuku yang runcing karena terangsang. Nafasku terengah-engah menahan rasa nikmat saat ia menyusu dengan rakus pada buah dadaku yang ranum, aku seakan dipaksa untuk merintih dan terus merintih menahan kenyotan-kenyotan mulut mang Udin yang terasa geli dan nikmat.
“Ouhhh…, Owwwww…!!!! “ Aku buru-buru menggulingkan tubuhku ke samping, tanganku menahan celana dalamku, dengan kasar ia membetot celana dalamku. Aku menjerit saat celana dalamku tertarik lepas, terlolos melewati pergelangan kakiku, dengan nafas yang memburu Mang Udin menindih tubuhku yang sudah setengah telanjang. Aku terus meronta di bawah tindihan tubuh Mang Udin yang semakin bernafsu menggerayangi dan menciumiku.
“Enggak , Nggak mauuu…!!” dengan sekuat tenaga aku meronta dan mendorong tubuh mang Udin. Aku berguling dan melompat dari atas ranjang, aku berusaha berlari keluar dari dalam kamar saat mang Udin mengejarku.
“enggaaakkk…!! Aaaahhh Hummphhh, MHEEMMMMPHHH…!!” aku menjerit ketakutan dan tangan kekar itu membekap mulutku dan yang satunya membelit tubuhku dari arah belakang.
“Neng, tenang Neng, tenanggg….” Mang Udin berusaha menenangkanku, setelah aku mengangguk, ia melepaskan bekapan tangannya pada mulutku.
“J-jangan mang, sudah…, sudahhh….” Aku menepiskan tangannya yang menggerayangi tubuhku.
“Neng Cindy, Mang Udin janji nggak akan ngapa-ngapain Neng Cindy…, tapi tolong biarkan mang Udin nyicipin memeknya Neng Cindy, sebentar aja…, mang Udin pengen ngisepin memeknya Neng Cindy, cuma ngisepin nggak akan lebih dari itu..”
“T-tapi Mang, Saya takut..hiks..hikss…” aku mulai menangis.
“Aduhh, jangan nangis Neng…., sini Neng…, dijamin enak”
“Nggakk MAAUUU…!!keluar mang..!!, KELUAR atau aku teriak…!!“ Aku menepiskan tangannya dengan kasar dan mengusir Mang Nurdin dengan suara keras. Wajah mesum mang Udin berubah panik dan ketakutan, dengan terburu-buru ia keluar dari dalam kamarku.
“Cklekkk…” secepat kilat aku menutupkan dan mengunci pintu kamarku , aku bersandar pada daun pintu kamarku yang terkunci rapat, jantungku berdetak dengan kencang “dig dugg.diggg duggg diggg dugggg…” Perlahan-lahan tubuhku merosot turun, aku meringkuk sambil memeluk kedua lututku. Aku benar-benar ketakutan dengan apa yang baru saja kulakukan bersama seorang tukang ojek yang tentu saja statusnya jauh sekali dibawahku. Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang membuka dan menutupkan pintu pagar rumahku.