Pak Andi (60thn), yang menikahi Bu Siti (48thn), memiliki anak bernama Bagas (33thn), panggilan Gas. Sebuah keluarga kecil yang terbilang berkecukupan. Mereka tinggal di sebuah perumahan yang cukup ternama di kota Malang. Pak Andi sendiri adalah seorang wirausahawan di bidang kuliner, beliau pemilik restoran ayam bakar yg memiliki 4 cabang di kota Malang dan 2 cabang di kota Batu.
Cerita Sex Gatotkaca Perkasa – Bertubuh tinggi, tambun dan berkumis. Beliau pensiunan militer berpangkat. Jadi pesangonnya yang cukup besar beliau gunakan untuk mengembangkan usaha kuliner yang awalnya hanya 2 cabang. Sedangkan Bu Siti sendiri seorang ibu rumah tangga yg cantik, putih, berjilbab panjang dan tubuhnya selalu terawat. Tentu saja perawatannya tidak murah, beliau juga rajin berolahraga, sehingga di usianya yang sudah kepala 4 ini, tubuhnya masih segar dan singset.
Mas Gas sendiri bekerja sebagai ASN disebuah instansi pemerintah, dan baru dia jalani selama 2 bulan karena mutasi dari tempatnya bekerja dulu di luar jawa. Termasuk pegawai yang rajin dan selalu hadir tepat waktu sehingga jadi pegawai teladan di instansi tempat dia bekerja.
Wajahnya sih standar, gak jelek gak ganteng, tapi dia putih, tinggi, berotot karena rajin fitness mengikuti ibunya yang juga rajin berolahraga, pokoknya idaman tiap wanita yang menginginkan pasangan yang macho dan perkasa. Namun di usianya sekarang ini, belum menemukan jodoh, padahal di kantornya, banyak pegawai² wanita yang kesengsem, bahkan yang sudah ibu².
Tentu saja, mereka tertarik bukan karena wajahnya, namun body nya yang atletis, dan tentu saja, otongnya yg tergolong jumbo. Begitu menonjol mumpluk di selangkangannya saat memakai celana kantor. Saat jam masuk kantor, iapun jadi idola rekan² sekantornya, termasuk bu Erni (42thn), seorang ibu rumah tangga, yang menjabat kepala bagian humas yang ruangannya bersebelahan dengan meja tempat mas Gas bekerja.
“Maaah… Gas berangkat dulu ya”, suara mas Gas yang cukup lantang terdengar oleh mamanya yang sedang ada di dapur.
“Gak sarapan dulu nak, ini mama bikin nasgor?” Sahut mamanya yang berjilbab biru muda lebar, memakai rok warna biru donker, nampak serasi dan rapi. Sibuk membuatkan kopi setelah selesai memasak nasgor untuk sarapan anggota keluarganya tercinta.
“Nggak mah, Gas takut telat”. Gampang ntar ma, Gas bisa order di gofood”. Timpalnya sembari setengah berlari menuju pintu depan.
“Dasar anak jaman sekarang, susah betul disuruh sarapan. Dibelain bangun pagi², makanan siap, ditinggal gitu aja”, gerutu bu Siti sambil membawa kopi untuk sang suami ke meja makan.
Pak Andi yang keluar dari kamar rupanya mendengar omelan istrinya, mencoba menenangkan. “Maaaah..mah.. anak kita udah gede, lagian dia kan gak tiap hari gak sarapan di rumah”, sahut pak andi sembari menarik kursi meja makan.
“Papah selalu aja belain Gas, kapan belain mamah?”, balas bu Siti manja.
“Hahahaha, kamu ini maaaah..mah.. terbaik, the best wife. Selalu manja-manjaan dengan papah, bikin papah makin tresno (makin cinta).
“Heleeeeeh…. guombal terus kamu ini pah. Hihi..”, bu Siti terkekeh mendengar pujian pak Andi yang tengah duduk sambil menyalakan rokok. “Nyoh kopinya pah, tapi dimakan dulu nasgor buatan mamah ya!, biar gak kena maag”.
“Wah..wah.. aromanya sedep tenan (sedep bener) mah. Istriku memang top markotop. Jadi makin guemeeees papah ini”, sambil genit, beliau menepuk pelan bokong semok bu Siti yang tengah berdiri di sampingnya.
“Aduhh, pah, loro looo (sakit loo), kamu ini, sukanya nyeples (menepuk) bokongku pah”. Ucapnya dengan nada genit.
“Haaahahaha… lha abis, bokongmu itu gemesin mah, guede kayak semangka”. Tawa pak Andi renyah.
“Nyooooh…nyoooh… ceplesen maneh nyoooh… ben puas (nih..nih..tepok lagi nih..biar puas?” Sembari tersenyum² mengarahkan bokong besarnya ke tangan pak Andi.
“Nesuuuuu..nesuuuu. sini tak remes² ae (sini kuremas² aja), ben tambah menthek (biar makin montok)”, goda pak Andi sembari meremas² bokong gede bu Siti yg tertutupi jilbab lebarnya. Meski menggunakan jilbab lebar panjang, karena berbahan sutra, membuat bongkahan dan belahan pantat bu Siti samar² terlihat, apalagi jika ia menungging.
“Uuuh… paaah. Papah ini, masih pagi udah ngerangsang mamah aja. Wes ah (udah ah), dimakan ini nasgornya ya pah, mamah mau ke rumah bu Warni, mau bikin kue sama ibu² pkk yang lain”.
“Lah mamah iki, nafsuan. Baru juga diremas remas. Hahaha… ya wes mah, siap-siap sana. Papah tak sarapan trus nyruput kopi, trus mau ngecek cabang yang di Malang.” Ucap pak Andi.
“Iyaa iyaaaaa pah, jangan pulang sore² ya, mamah mau minta antar beli benang di citra. Klo sore wes tutup toko e (kalo sore sudah tutup tokonya)”, sahut bu Siti sambil berlalu ke arah kamar.
“He..em…” sahut pak Andi sembari menyuapkan nasgor ke mulutnya.
Begitulah keseharian keluarga kecil pak Andi, selalu harmonis dan saling bercanda. Namun sifat senang bercanda mereka tidak menurun ke Gas, ketika melihat bapak ibunya bercanda, yon hanya sesekali melempar senyum. Pembawaan sifat pemalu dari kecil, terbawa sampai dewasa.
Sementara itu…
Tampak mas Gas datang dengan berpakaian seragam ASN coklat necis memarkir kendaraanya, lalu merapikan baju dan berkaca di spion motornya, sejurus kemudian, ia melangkah menuju pintu kantornya. Klek…klek…klek…klek, suara sepatu pantofel kinclong yang dipakai yon beradu dengan lantai keramik.
“Pagi semuaaaa…”, sapanya.
“Pagiiii..pagi…pagiii mas Gas”, sahut Ambar, Tika dan Ajeng bebarengan seperti paduan suara. 3 wanita berjilbab gaul rekan kerja mas Gas.
Mas Gas pun melempar senyum sesaat kepada ketiga wanita cantik itu. Saat memalingkan muka dan berjalan menuju mejanya, ketiga wanita cantik itupun saling berbisik satu dengan lainnya.
“Gatotkacamu dateng tuh”, bisik Tika ke Ambar.
“So pasti, badannya ituloh, ssssh…. bikin merinding, kamu yo suka aja lo”, balasnya sambil berbisik ke Tika.
Ambar mematung, tak henti² kedua bola matanya yang dihiasi bulu mata lentik memandang tubuh mas Gas yang berjalan menuju mejanya. “Bokongnya ituloh, semok, duuuh… deloken talah (lihat aja tuh), gumamnya.
“Halah, badannya apa badannya? Hihihi”, sahut Ajeng. “Metuntung yo gaesss… (menonjol ya gaesss), marai kepingin (bikin kepengen)”.
“Hihi, kontole guede pol, lemes ae semunu, opomaneh lek ngaceng, dowo e mendah (hihi, kontolnya gede banget, lemes aja segitu, apalagi kalo tegang, gak kebayang panjangnya)”, “lha iyo, duuuh kah githokku merinding (lha iya, aduuuh bulu kuduk ku merinding)”, “mesti njeduk senep nikmat (pasti mentok mules nikmat)”, mereka saling sahut menyahut melempar pandangan mesum satu dengan yang lain. 3 wanita cantik bertubuh langsing dan berjilbab itu nampak bernafsu sekali manakala mas Gas datang ke kantor.
Meski begitu, harapan mereka akan gayung bersambut, seperti pupus, karena mas Gas terlihat pemalu dan pendiam, lebih ke cuek. Mungkin karena ia belum pernah sama sekali dekat dengan wanita manapun. Berpacaran pun sewaktu sma, hanya sebatas chat dan makan. Itupun hanya sekali ia berpacaran dan tergolong singkat, karena sifat pemalu dan dingin nya mas Gas, membuat sang mantan pergi meninggalkannya.
Dari ke 3 wanita rekan kerjanya mas Gas, memang belum ada yang berani mendekati, maklum karena mas Gas juga baru beberapa bulan bekerja disana.
Lain halnya dengan bu Erni, wanita paruhbaya itu nampak dengan santainya mengobrol dengan Gas. Meskipun sudah bersuami, terkadang ia suka ngobrol dan menggoda mas Gas dengan topik² yang sedikit menjurus ke arah seksual. Maklum, semenjak suaminya didagnosa stroke ringan 2 tahun lalu, hasrat seksualnya jadi tidak terpenuhi. Ia manfaatkan jabatannya untuk lebih leluasa dan sering memanggil mas Gas ke ruangannya.
Mengetahui kedatangan mas Gas, bu Erni segera meraih gagang telpon di ruangannya. Sesaat setelah mas Gas duduk, telpon link di meja mas Gas berdering.
Kriiiing…kriiiing…kriiing.. mas Gas pun langsung dengan cepat mengangkat telpon itu yang ternyata panggilan dari bu Erni.
“Halo, pagi mas Gas, nanti jam setengah sembilan, tolong ke ruangan saya ya!”, perintahnya kepada Gas.
“Ehh pagi juga bu, baik bu, siap”, jawab mas Gas dengan nada tegas, menandakan kepatuhannya kepada atasan. Itulah yang menjadikan mas Gas segera dimutasi ke Jawa, karena dia begitu cekatan dan patuh kepada atasan, cepat menyelesaikan tugas² kantornya.
Di meja seberang mas Gas, nampak ketiga rekan kerja wanitanya kembali bergunjing saat mas Gas menerima telpon dari bu Erni.
“Ssst…sssst… tuh liat mas Gas, makin hari makin sering di telpon sama bu Erni, kayak penting² aja”, bisik Ajeng ke Tika dan Ambar. Ketiganya saling mendekatkan badan agar tidak didengar oleh Gas. Seperti anak sd yang sedang ujian, tubuh ketiga wanita itu dibungkukkan mendekati meja, namun kepala mereka saling menoleh satu dengan lainnya sambil berbisik².
“He em, kita kalah berani sm bu Erni, asem…”, sahut Tika.
“Iya tuh, bu Erni ganjen, udah bersuami juga masih genit”, sahut Ambar. “Mas Gas juga sih, penurut banget”, imbuhnya.
“Jangan-jangan, mas Gas udah kena pelet, hihihi…”, canda Tika menimpali.
“Ehh bisa jadi tuh, body bu Erni kan montok, lagian denger kabar slentingan, suami bu Erni sakit diabetesnya makin parah, jadi loyo deh”. Ungkap Ajeng kepada kedua temannya.
“Masa sih? Tau darimana kamu jeng?”, tanya Tika penasaran.
“Tiga hari yang lalu, bu Erni kan pulang awal, katanya mau ke rumah sakit, jemput suaminya yang checkup. Aku tau dari pak satpam waktu jam istirahat”, jelasnya.
“Waduh, alamat mas Gas jadi budak seks bu Erni tuh. Tapi aku gak yakin deh bu Erni bisa dapetin mas Gas, secara mas Gas kan pemalu”, sahut Ambar. Sering memang bu Erni memperlihatkan gelagat menaksir mas Gas, namun ditanggapi Gas biasa aja.
“Ehemmmm…ehemm…”, suara batuk yang dibuat-buat oleh mas Gas, karena mendengar sayup² ketiga wanita itu sedang gosipin dia.
Karena merasa ketahuan, ketiga wanita itupun langsung memperbaiki posisi duduknya, seolah-olah, tidak terjadi apa².
Jam dinding diatas pintu masuk kantor menunjukkan pukul setengah sembilan, mas Gas ingat bahwa bu Erni menghendakinya ke ruangan, iapun segera beranjak dari kursi, dan mengetuk pintu ruangan bu Erni.
Tok..tok..tok.. Tampak bu Erni dari dalam ruangan mengangguk, menandakan agar Gas memasuki ruangannya. Dengan sopan dan menunduk, Gas mulai meraih gagang pintu, membukanya sembari menunduk, “permisi bu”, Ucapnya.
“Iya mas Gas, silahkan masuk”, jawab bu Erni. Gas pun melangkah memasuki ruangan, ia masih menundukkan pandangan tanda kesopanan. “Mas Gas, santai aja, jangan kaku seperti itu terus, kan udah berulang kali saya panggil ke ruangan saya”, ucap bu Erni sembari tersenyum dan memandang tubuh Gas yang berotot dan menonjol di bagian selangkangannya. Hampir 20 detik lamanya, mata bu Erni tertuju pada tonjolan selangkangan Gas. Karena tubuh Gas yang masih berdiri tegap di depan bu Erni, menunggu untuk dipersilahkan duduk.
“Ehmm…ehm…bu…”, sapa Gas
“Maaf bu… bu Erni…buu…”, kembali Gas menyapa diikuti sadarnya bu Erni dari pandangan matanya yang nanar. “Eeeh… iyaaa..iya mas Gas, duduk aja loh. Kok masih berdiri dari tadi”, dalih bu Erni yang salting dan segera mengalihkan pandangan ke wajah Gas. “Berulangkali masuk ruangan saya, masih aja mas Gas nunggu sy suruh duduk”, tegas bu Erni seolah takut ketahuan jika ia terpesona dengan terong si Gas yang super.
“Ahh iya bu, saya hanya berusaha sopan aja dengan ibu”, jawabnya. Mas Gas pun segera duduk tanpa ada fikiran aneh² terhadap bu Erni.
Diluar nampak, ketiga teman kerja wanita Gas, mulai menggosip lagi. Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti, topik yang mereka bicarakan tak lain adalah teman kerja mereka, mas Gas. Karena tampak dari gelagat mereka, sesekali melihat ke arah ruangan bu Erni sembari saling berbisik satu dengan yang lain.
Sementara itu, di ruangan bu Erni, Gas yang begitu sopan, duduk di depan bu Erni, nampak memperhatikan semua yg bu Erni ucapkan sembari mengangguk.
“Mas Gas, tujuan ibu panggil mas Gas kesini, untuk meminta tolong”, sambil jari jemari bu Erni memainkan pensil diatas meja.
“Oh nggeh bu (oh iya bu), maaf kalo boleh tau minta tolong apa ya?”, tanya mas Gas penasaran.
“Gini mas Gas, tempo hari kan saya ijin pulang awal, sy ijin untuk menjemput suami saya yg checkup ke rumah sakit, hasil diagnosa diabetes suami saya makin parah”, nampak raut muka bu Erni tertunduk lesu. Meski begitu, dalam hati bu Erni, tersimpan sebuah rencana mesum, karena tergila-gilanya dia dengan tubuh Gas dan tonjolan penggugah hasrat birahi itu.
“Oh iya bu? Sy baru tahu sekarang. Waktu itu saya hanya melihat jenengan (anda, kata² sopan untuk orang yg usianya lebih tua) nampak terburu² keluar kantor. Saya pikir ada urusan apa, ternyata ke rumah sakit to bu?”. Balas Gas dengan wajah serius memperhatikan apa yang diucapkan bu Erni.
“Iya mas Gas, memang saya sengaja gak kabar² ke orang kantor, saya hanya bilang ke bagian absensi dan pak satpam waktu itu, kalo saya ijin jemput suami di rumah sakit”, jelas bu Erni.
Gas pun hanya diam sambil tetap menyimak setiap kata2 yang keluar dari mulut bu Erni.
“Maka dari itu, saya meminta bantuan mas Gas untuk sehari dua kali menjenguk suami saya di rumah, pagi dan sore, mengambil obat di apotik seminggu sekali, lalu sekalian menyiapkan obatnya untuk suami saya biar tinggal minum. Karena tugas saya cukup padat sebulan ini dari divisi humas.” Jelas bu Erni. “Saya juga meminta tolong mas Gas, untuk membantu membuat laporan excel di rumah saya”, imbuhnya.
Dalam hati, bu Erni berharap, apa yang dia rencanakan menuai keberhasilan dengan kesanggupan Gas merespon positif keinginannya. Ditambah lagi, suaminya yang kini lebih sering bedrest, menambah peluang bu Erni untuk segera merasakan kenikmatan disodok kontol perkasa si Gas. Seolah melupakan kondisi suaminya yang sedang sakit dan dosa zina yang akan dia lakukan. Memeknya mulai berkedut, otot² vaginanya menarik² mengeluarkan sedikit cairan kewanitaan.
“Ooh begitu toh, ya kalo saya sih mau-mau aja bu bantu ibu, tapi, ijinnya gimana bu?” Tanya Gas kembali.
“Jangan kuatir mas Gas, saya sudah menghadap ke kepala kemarin, sy sudah ceritakan masalah saya dan rencana saya. Beliau menginjinkan mas Gas untuk membantu saya. Kan mas Gas juga baru awal disini dan pekerjaan mas Gas juga belum terlalu banyak, jadi nanti tugas mas Gas yang belum selesai di kantor, biar dibantu sama Ambar, Tika atau Ajeng. Nanti saya yang akan ngomong sama mereka”, tegas bu Erni. “Toh ijinnya mondar mandir juga kan gak seharian, sampai saya menunggu kabar bu Resti, calon pembantu rumah saya”, tambahnya.
“Lalu bu, untuk mengerjakan excelnya gimana?”, lanjut mas Gas penasaran.
“Ooh kalo itu, saya minta mas Gas untuk datang malam aja setelah isya’, itupun kalo mas Gas berkenan, soalnya saya lihat hasil kerja mas Gas menyusun laporan excel begitu bagus dan rapi, cepat lagi ngerjainnya”, jawab bu Erni. “Jangan kuatir juga untuk masalah bonus, nanti sy akan kasih tiap hari”. Imbuhnya. Dengan perasaan senang dan tidak curiga, mas Gas mengiyakan keinginan bu Erni.
“Oh begitu bu, baik klo memang ibu rasa saya mampu, saya akan bantu ibu, dengan senang hati bu. Tapi gimana dengan Tika, Ambar dan Ajeng, mereka kan juga bisa excel. Apa mereka gak cemburu?”, tanya mas Gas kembali.
“Ya klo kerja mereka lebih bagus dari mas Gas, gak mungkin dong saya minta tolong mas Gas untuk bantu saya, iya gak?” Dengan nada optimis meyakinkan mas Gas, bercampur dengan perasaan lega karena rencana mesumnya berhasil, bahkan sempat membuat memek bu Erni berkedut dan basah sedikit oleh lendir.
“Tapi nak Gas diam aja untuk urusan excel itu, karena mereka juga gak tau klo saya minta tolong mas Gas, bersikaplah seolah-olah tidak ada apa²”, sahut bu Erni meyakinkan.
“Oh begitu, baik bu, saya sih siap siap aja. Klo boleh tau, mulai kapan ya saya bantu jenengan?”, tanya mas Gas kembali.
“Klo untuk bantu antar dan siapkan obat, mas Gas mulai besok, kalo untuk yang bantu kerjakan excel, mas Gas bisa datang malam ini, gimana mas Gas apa mau bantu saya?” Kembali bu Erni meyakinkan.
“Oooh, baik bu. Mungkin ada yang lain barangkali bu?” Tegas mas Gas kembali.
“Hmm…bolehlah mas Gas bantu anu…”, pikiran mesum bu Erni kembali mondar mandir di dalam kepalanya hingga keluar kata² ‘anu’ tanpa sengaja. Sebenarnya ingin sekali dia berfantasi melakukan seks di kantor, ataupun di kamar mandi kantor. Begitu bernafsunya bu Erni akan mas Gas.
Ia juga membayangkan tubuh montoknya disentuh, payudaranya yang besar berukuran 38B diremas² sambil dikenyot bibir mas Gas yang seksi, diisap² puting nya yang berwarna coklat, dipijat lembut dengan tangan² kekar mas Gas. Namun karena sadar ada banyak cctv di ruangan itu, ia urungkan niatnya, dan ia mencoba dengan cara lain.
“Ya bu, bantu anu, anu apa itu?” Tanyanya lagi.
“Ahh nggak kok, bukan apa²” jawabnya dengan mata sedikit menggoda dan senyum mesumnya.
“Cukup itu aja mas Gas, mas Gas bisa kembali ke meja kerja lagi”, kembali bu Erni tersenyum dalam hati, merasa rencananya sudah 100% berhasil, memeknya pun kembali berkedut, payudaranya membusung dan ia mulai menurunkan tangannya ke bawah meja. Mulai menggaruk² selangkannya yang sudah basah sambil sedikit menggeliat keedanan.
“Baik bu, klo gitu saya ijin kembali bekerja”, balas mas Gas sembari berdiri dan menempatkan kembali kursi yang ia duduki, lalu berjalan keluar dari ruangan bu Erni. Iapun menutup pintu, lalu menoleh ke arah teman² kerja wanitanya, yang terlihat klincutan, lalu membetulkan posisi duduk mereka di depan laptopnya masing². Seolah seperti baru membicarakan sesuatu.
Tanpa perasaan curiga, mas Gas kembali duduk di mejanya dan mulai sibuk dengan laptopnya sendiri. Betul² seorang laki² yang cuek dan polos.
Waktupun berlalu, semua orang di ruangan itu larut dengan pekerjaanya masing², sampai pada akhirnya, jam menunjukkan pukul 15.45. Ngocoks.com Nampak ketiga teman kerja wanita mas Gas sibuk beberes sembari mematikan laptop, bersiap untuk pulang, sedangkan mas Gas sendiri masih asik di depan laptopnya. Tak berselang, Ambar yang berdiri duluan menyapa mas Gas, ia berpamitan untuk pulang duluan.
“Mas, Aku duluan yah, Jeng, Tik, aku duluan yah, udah dijemput ojol di depan”, ucap Ambar pada mereka sambil berdiri dan berlalu meninggalkan ruangan kantor.
“Iya mbak, hati²”, timpal mas Gas.
“Iyaaaa Mbar”, sahut Ajeng dan Tika hampir bersamaan.
Disusul Tika, “aku juga duluan ya mas, Jeng…”. “Iya mbak, hati² juga”, balas Gas. “Kamu pulang sama siapa Tik?”, sahut Ajeng. “Aku dijemput kakak ku Tik, katanya minta ditemenin ke Mall, kamu bawa motor lagi? katanya motor kamu rewel”, balas Tika sambil memasukkan kotak pensil dan flashdisk ke tasnya, “Iya Tik, ya udah duluan sana”, timpal Ajeng, Tika lalu melihat Ajeng, sambil mengedipkan mata lalu melirik ke arah mas Gas yang masih sibuk.
Menangkap isyarat itu, Ajeng lalu nampak senyum² menandakan rencana dadakannya untuk bisa minta tumpangan mas Gas pulang. “Pssst….”, balasnya ke Tika sembari menempelkan jari telunjuknya yang berkutek merah di bibirnya yang merah merona. Lalu nampak tersenyum dengan ditutupi telapak tangan kanannya.
Mas Gas mendengar jelas perkataan Tika yang sambil berjalan keluar ke arah pintu dan berlalu. Tapi ia diam dan cuek akan kondisi motor rewel si Ajeng, ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dalam hati Ajeng, “laki² ini cuek amat yah, denger motorku rewel tapi kok gak menawarkan sesuatu”, Ajeng pun nampak melamun dan memikirkan ide agar bisa numpang motor mas Gas.
Ia lantas berdiri dan berpamitan pulang. Entah apa yang ada dalam benaknya, karena ia langsung berjalan menuju pintu. Namun, ia tidak langsung menuju tempat motornya diparkir, ia menuju ke pos satpam, seperti hendak menanyakan sesuatu.
Setibanya di pos satpam, ia langsung menyapa pak Samsul, security favorit di kantor itu. Pak Samsul sendiri adalah pria tua yang ramah dan suka menolong, ia sering diminta tolong untuk membeli makanan, memfotokopi dokumen, dan lain² oleh karyawan disana, termasuk Ajeng, Tika dan Ambar. “Pak Sam, Ajeng mau nitip kunci motor yah, simpan dulu tapi jangan sampai ketahuan mas Gas, hihi”, katanya sambil terkekeh ke arah pak Samsul. “Loh..loh.. kok dititipin bapak mbak, lalu hubungannya apa dengan mas Gas? Memangnya jenengan gak pulang”, balas pak Samsul terheran².
“Aduuuh pak Samsul iniloh, lugu banget, aku pengen dianterin mas Gas paaaaaak… makanya aku nitip kunci ke pak Samsul, nanti aku ngakunya ke mas Gas klo kunciku ilang, besok pagi biar aku diantar bapak ke kantor, aku nitip sekalian motornya, hihi…”, jawab Ajeng.
“Owalaaaah gitu toh, iyaaa iyaa mbak, beres” sambil memasukkan kunci motor Ajeng ke saku celananya. Padahal motor Ajeng sendiri gak kenapa², rupanya kata² Tika tadi sebelum pulang sudah direncanakan oleh mereka bertiga, untuk bergantian minta boncengin mas Gas pulang. Namun sore itu, giliran Ajeng duluan karena menang suit saat mas Gas ada di ruangan bu Erni.
Akhirnya Ajeng pun kembali ke ruangan kantor, sambil berlagak buru² dan kebingungan, ia masuk ke kantor, lalu dengan wajah seolah kebingungan, bertanya ke mas Gas yang mulai membereskan laptop dan alat tulisnya. “Mas, liat kunci motorku gak? Mungkin jatuh disekitar sini, ada gantungan helo kitty nya mas.” Tanyanya.
Di ruangan bu Erni tampak kosong, rupanya bu Erni sudah pergi meninggalkan kantor sejak jam makan siang tadi. Entah ada urusan apa, mereka berempat juga tidak tau dan tidak bertanya² satu sama lain.
“Kunci motor? Nggak tuh mbak, ilang yah?” Balas mas Gas sambil berjalan mendekati Ajeng dan mengalungkan tas slempang miliknya. “Gak lupa naruhnya mbak?”, tanya mas Gas lagi ke Ajeng sambil menatap ke arah Ajeng yang bertingkah seolah sedang mencari kunci.
“Itu dia mas, aku terkadang suka lupa, hihi…, tapi perasaan tadi abis keluar beli makanan pas jam istirahat, udah kumasukkan lagi ke tas, tapi kucari di dalam tas kok gak ada yah…” sahutnya sambil berpura² mengobok² isi tasnya, disitu mas Gas melihat si Ajeng yang sedikit membungkukkan badannya, nampak payudaranya yang berukuran besar sedikit terombang-ambing di balik seragamnya.
Melihat itu mas Gas hanya diam tak bereaksi apapun. “Udah setengah 5 lagi, di rumah ada arisan abis maghrib, aku mesti buru² bantuin mamah siap², haduuuuuh….”. Dalam hatinya nampak senang, karena rencananya berhasil, karena mas Gas akhirnya menawarkan untuk mengantarkan Ajeng pulang.
“Mbak Ajeng jangan panik gitu, gini aja, pulang kuanterin aja, mau gak?”, sahut Gas. “Nanti motornya titipin aja pak satpam, klo udah ada waktu, atau besok, mbak kesini bawa kunci cadangan dari rumah”. Kata mas Gas berusaha menenangkan Ajeng, padahal ia tak tahu kalo itu adalah akal²an Ajeng agar bisa berduaan pulang dengan mas Gas.
“Ehhh…hmmmm…kalo gak merepotkan sih, sebenernya aku bisa aja pesen ojol, tapi klo jam sibuk gini, pasti lama nyampenya”, balas Ajeng. Sandiwara malu² di depan mas Gas, menutupi luapan kegembiraan dalam hatinya.
“Iya gak lah mbak, toh juga udah jam pulang dan masih 1 kota, y udah yuk buruan, udah setengah 5 lebih nih, katanya tadi mau bantu mamah siap2 arisan di rmh”, jawabnya. “ahh iya iya, yuk…”, sahut Ajeng. Keduanya pun beranjak dari ruangan kantor menuju parkiran. Mereka pun akhirnya pulang berduaan, Ajeng pun tak lupa memberi arahan sebelum pulang melewati jalan mana aja agar sampai ke rumahnya.
Setelah keduanya naik diatas motor, mas Gas kaget, karena di perutnya sudah ada tangan Ajeng yang melingkar. “Mas, aku pegangan yah, kan mau ngebut pulang, aku takut”, dalih si Ajeng sembari memeluk erat tubuh Gas. Harum parfum mas Gas makin membuat desiran² nafsu dalam diri Ajeng menyapa, memompa darah menuju otaknya hingga ia merasakan getaran² di dalam vaginanya.
Sambil agak melamun, dalam hati Ajeng berkata “Duuuh mas Gas, sekel banget body mu mas, kamu idolaku banget mas, padahal dikit lagi aku turunin tanganku, aku bisa pegang tonjolan gede di celanamu itu, gemes pengen megang mas Gas sayang…”. Namun ia masih belum menemukan alasan agar bisa memegang kontol mas Gas yang memang sungguh menggoda nafsu wanita.
Ajeng hanya makin erat memeluk tubuh mas Gas, menempelkan payudaranya yang berukuran besar di punggung mas Gas.
“Mas Gas pun kaget, seolah tak percaya, ada bongkahan empuk 36D, kenyal dan besar yang menempel dan bergeser2 di punggungnya, dan sepasang tangan yang melingkar di perutnya, saling berkaitan jari jemarinya di bawah pusar mendekati selangkangannya.
“Ehhh mbak Ajeng, anu….” sontak ia kaget, lidahnya serasa kelu. Ia merasakan getaran² aneh, laju darahnya semakin kencang menuju otak, membuat isi dalam sempaknya mulai berkedut dan mulai mengembang. Padahal belum disentuh oleh tangan Ajeng.
“Iya mas, kenapa?”, tanya Ajeng.
“Anu mbak…anu… ahh gakpapa kok mbak”, jawabnya sambil keringat dingin tiba² muncul di keningnya. Mas Gas pun mulai menstarter motornya dan pergi meninggalkan kantor dengan agak ngebut. Pikirannya semakin dirasa aneh, kontolnya juga makin mengeras, berulangkali mas Gas selama perjalanan membetulkan posisi kontolnya hingga merasa nyaman.
Kini ia luruskan letak kontolnya sejajar dengan paha, hingga menimbulkan tonjolan yang membujur panjang, setengah panjang paha nya lebih dikit, kira² sekitar 21 senti an. Menampakkan lipatan kain yang berbentuk menyerupai kontol dibalik celananya.
Sadar kegelisahan mas Gas, Ajeng makin menempelkan bongkahan payudaranya yg besar, menekan² punggung mas Gas. Ia tahu kontol mas Gas pasti tegang, karena ia merasakan berulang kali mas Gas menurunkan tangan kirinya dari setang setir, untuk membetulkan posisi kontolnya yang menekan dari dalam kain celana dan sudah tegang.
Sesampainya di rumah, Ajeng pun turun dari motor, sambil sengaja menggesekkan payudara besarnya kembali ke punggung mas Gas. Iapun berdiri di samping mas Gas dan melirik ke arah bawah, ke arah selangkangan mas Gas sejenak. Ajengpun kaget dan melotot, tak mampu berkata apa², sambil menggigit bibir bawahnya, seolah kagum dan bernafsu. Nampak di depan matanya, ada tonjolan panjang dan tebal di kain celana mas Gas, berbentuk seperti penis lengkap dengan kepala kontolnya dari arah selangkangan mas Gas, yang tak lain adalah kontol mas Gas yang tengah tegang mengeras.
“Alhamdulillah sdh sampai mbak”, kata mas Gas. Sembari melirik ke arah Ajeng, sadar Ajeng sedang memperhatikan paha kirinya, buru² mas Gas menutupi dengan tangan kirinya yang berotot. Keringat dingin pun dirasa mengalir dari kepala turun ke lehernya. Sadar gerakan tiba2 mas Gas menurunkan tangannya berusaha menutupi, Ajeng pun kaget dan buru² juga mengalihkan pandangan.
“Ehh iya mas, makasih banyak yah, Ajeng masuk dulu”, iapun segera pamit dan berlalu masuk ke dalam rumahnya. “kampreeeet, gede banget kontolnya, duuuh pengen banget ngerasain. Bener² beda dari kontol pacarku. Aiiiihhh… lom digenjot aja udah kerasa ngilu perutku. Liat aja bikin merinding…. uuuuh…”, ungkap Ajeng dalam hatinya.
Sambil menoleh ke arah Ajeng yang berjalan masuk, mas Gas pun pulang dengan hati berkecamuk bercampur malu. Belum pernah seumur hidupnya merasakan sensasi yang begitu aneh tapi menggairahkan. Yah memang jika lelaki normal, penis laki² akan menegang otomatis saat pagi hari bangun tidur.
Tapi yang ia rasakan ini begitu berbeda. Dan desiran angin pun selama perjalanan pulang, menurunkan libidonya, menurunkan laju darahnya dan membuat kontolnya berangsur kembali ke ukuran normal, yah meski dikatakan normal, tetap aja, terbilang gede.
Sesampainya di rumah, ia disambut oleh ibunya yang sedang menyirami tanaman dan bunga favoritnya.
“Assalamualaikum mamah, Gas pulang”, sambil memarkir motornya di carport, disamping mobil pajero bapaknya.
“Walaikumsalam, sudah pulang le (le itu sebutan untuk anak laki² dalam bahasa jawa). Gmn di kantor hari ini”, balas ibunya sembari tetap mengarahkan selang ke kanan dan kekiri, agar semua tanamannya tersiram rata.
“Alhamdulillah baik mah, lancar. Tapi Gas malam nanti mau keluar abis isya’, Gas diminta bu Erni, atasan Gas membantu membuat laporan excel di rumahnya”, sahut mas Gas sembari berjalan menuju kursi di teras rumah. Iapun duduk dan mulai melepas sepatunya.
“Mulai besok juga, Gas diminta bu Erni untuk mondar mandir apotik ke rumahnya, mengambil dan menyiapkan obat untuk suaminya yang terkena diabetes akut”, jelas mas Gas kepada ibunya yang masih asyik menyiram tanaman dan membelakanginya.
Tak lama berselang, acara siram tanaman pun selesai, seraya membalikkan badan dan menutup putaran air di kran, ibunya berjalan menuju kursi di samping mas Gas, lalu ibunya duduk sambil mengelap peluh di keningnya. “Y udah klo memang tugasnya seperti itu, toh membantu orang lain juga berpahala le. “Yang penting positif”, tegas ibunya.
“Iya ma, klo gitu Gas masuk dulu ya, mau mandi. Gerah banget rasanya, kulit udah peliket kena keringat”. Gas lalu berdiri berlalu dari hadapan ibunya, menuju kamarnya yang ada di bagian depan. Kamarnya dilengkapi dengan kamar mandi dalam, ber AC dan terlihat rapi untuk ukuran kamar seorang pria.
“Ya wes sana mandi, trus jangan lupa ke masjid”, jawab ibunya, yang ikutan masuk setelah menggulung selang air. Bu Siti sendiri adalah seorang perempuan muslimah yang selalu taat beribadah, beda dengan mas Gas dan suaminya yang sering bolong² sholatnya.
Setelah mandi, mas Gas yang hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pingganganya, menutup hingga atas lututnya, rebahan di kamarnya. Ia mengingat kejadian sore tadi. Cukup lama ia termenung, dalam hatinya, bertanya² , apakah itu yang dinamakan birahi, sangat nikmat dan begitu menggoda. Kontolnya yang semula lemas menjuntai di depan pelernya yang besar, perlahan mengembang lagi hingga handuknya tertarik naik. Iapun memejamkan matanya sejenak, dan mengabaikan azan maghrib yang sudah berkumandang.
Pikirannya kembali mengingat rasa empuk dan kenyal, ya.., benar, ia mengingat kembali ukuran payudara Ajeng yang besar dan menggoda. Kontolnya pun semakin menegang. Handuknya semakin tertarik naik, menjulang tegak dan tersingkaplah kontol mas Gas yang terlihat begitu gede dan berurat. Kain handuknya pun perlahan turun dan lunglai menutupi sebagian batang dan pelernya.
Dengan kepala yang ia rebahkan di atas bantal yang ditumpuk, sembari memejamkan mata dan membayangkan payudara Ajeng tadi, kontolnya pun berkedut, bergerak² naik turun. Sekitar 15 menitan Gas merasakan sensasi berfantasi membayangkan teman kerjanya Ajeng yang tengah telanjang, berjalan ke arahnya, dengan payudara yang besar berayun. Puting yang berwarna merah muda kecoklatan, dan bodynya yang montok dengan perut sedikit berlemak, pinggul yang agak lebar dan pantatnya yang naik turun bergetar seiring gerakan langkah kakinya menuju mas Gas.
Begitulah fantasi yang mas Gas rasakan. Betul² terhanyut ia dalam imajinasinya, sembari ia memejamkan mata dan rebahan. Tubuhnya yang atletis, dengan dada bidang dan perut sixpack, dihiasi bulir² air yang masih menempel dan bercampur keringat, terlihat naik turun tak teratur karena nafasnya yang menderu², tak menyadari, ada sepasang mata yang melihatnya dari luar kamar.
Ya, sepasang mata itu adalah ibunya mas Gas, bu Siti yang kebetulan lewat depan kamar Gas untuk menyalakan lampu teras dan lampu jalan, yang saklarnya ada di dinding belakang pintu depan. Perasaan campur aduk menyelimuti pikiran bu Siti. Antara Nafsu dan amarah, melihat anaknya yang tidur telentang, dengan kondisi penis yang tegak mengacung, sungguh menggoda hati bu Siti. Namun segera ia tepis perasaan itu, godaan syetan segera pergi menjauh darinya, dikarenakan seringnya ia beristighfar.
Bu Siti sadar, bahwa nafsu seorang anak akan semakin besar, seiring bertambahnya umur. Dari semenjak SMA, memang anaknya tersayang itu hanya sekali membawa dan mengenalkan pacarnya ke bu Siti. Ia juga tau bahwa anaknya itu sangat cuek, jadi ia yakin anaknya gak akan berbuat macam². Dugaanya benar, 2 minggu setelah mas Gas membawa pacarnya ke rumah, ia tampak murung sejenak.
Mas Gas bercerita kepada ibunya bahwa ia baru saja putus. Semenjak saat itu, mas Gas tak pernah pacaran lagi. Bu Siti yang sering melihat² isi chat WA anaknya juga tau, temannya semua laki², ada beberapa teman wanita namun bisa dihitung dengan jari. Itupun tak ada chat yang mengarah ke pacaran.
Bu Siti lalu mendekatkan tubuhnya di kusen pintu kamar anaknya, berjalan jinjit agar tidak membangunkan anaknya. Dengan sedikit mencondongkan badannya, mengintip dan menunggu aksi apa yang akan dilakukan anaknya kemudian.
Anaknya memang tidak terlihat beronani, ia hanya tidur terlentang namun penisnya terlihat berkedut dan bergoyang², itulah yang membuat amarah bu Siti tertahan. Bu Siti menganggap Gas sedang tidur dan bermimpi. Tangannya mas Gas hanya diam di samping kanan dan kiri tubuhnya, sambil sesekali terlihat meremas² sprei.
Bu Siti tersenyum kagum dengan bentuk penis anaknya yang besar dan panjang, ia bahkan berfikiran bahwa penis anaknya ini sangatlah besar, tidak seperti kebanyakan penis orang indo yang rata² berukuran 14 – 16 senti saat tegang. Dibandingkan dengan penis suaminya, memang penis anaknya lebih besar dan panjang, sekitar dua genggaman tangan kira². Dari semenjak mas Gas kecil, bu Siti memang tidak begitu memperhatikan ukuran penis anaknya, ia anggap ukuran penis anak kecil 9 senti itu normal. Padahal sejatinya, ukuran 9 senti saat lemas untuk anak kecil itu berarti diatas wajar.
Ia beranikan diri mendekat, perlahan mengendap² mendekati anaknya yang tengah terbuai fantasi. Jarak mereka kini hanya 1 meteran. Ia amati betul penis anaknya yang sungguh tebal itu. Otot yang menyeruak menonjol di permukaan kulit batangnya membuat bu Siti merinding, ditambah lagi ketebalannya, yang jika bu Siti coba memegangnya, tidak akan muat dalam satu genggaman.
Bu Siti hanya terus mengamati senjata torpedo anaknya itu yang bergerak² berkedut, handuk yang membungkus sebagian batang penis anaknya semakin lama semakin melorot, akhirnya tersibak pula karena gerakan pinggul anaknya yang naik turun, bergeser ke kanan dan kiri, seolah menikmati fantasi seks.
Terlihat utuh sudah penis jumbo anaknya yang ditumbuhi bulu² halus di pangkal dan perut bawahnya, menjalar naik sampai ke pusarnya. Biji zakar anaknya juga nampak seperti buah duku, bulat agak lonjong dan besarnya kira² 1 genggaman tangan.
Gleeegk… Bu Siti sempat menelan ludah, menikmati pemandangan yang mungkin tidak akan ia temui di lain waktu, pemandangan yang langka.
Ia sempat terkaget dengan erangan anaknya yang tiba² terdengar, aaaarghh….hhhmmm…ssshh….sssshh..aah….uuuuuuuuh, meskipun mata anaknya masih terpejam. Ia pun semakin kaget, karena dari lubang kepala penis anaknya tiba² menyemburkan pejuh yang cukup banyak meski tanpa adanya gesekan dengan tangan atau jepitan dinding vagina, diikuti erangan dan desisan mas Gas yang menandakan ia telah klimaks.
Cairan pejuh yang putih kental itu meluber dan meleleh membasahi kepala dan batang penis anaknya, mengalir turun perlahan karena saking kentalnya, hingga berhenti di pangkal selangkangan. Menggenang dan meninggalkan kesan mengkilat dan lengket.
“Astaga nak, pejuhmu banyak sekali”, kata bu siti dalam hati. “Jujur punya papahmu gak sebanyak ini, itupun sambil ibu kocok”. Ck..ck..ck..
Sadar anaknya telah orgasme, bu Siti pun buru² mengendap keluar dari kamar anaknya. Ia terlihat cukup terkesan dan takjub, meskipun sempat membangkitkan syahwatnya, menggodanya kembali untuk menyentuh dan berinteraksi dengan penis anaknya. Namun ia masih bisa menepis gejolak syahwat yang tergolong tabu itu.
Ia segera tinggalkan anaknya, kemudian menuju dapur, memulai kembali aktivitasnya menyiapkan makan malam, bertingkah seolah tidak terjadi apa², walaupun dalam hatinya merasakan rangsangan melihat penis yang besar dan panjang milik anaknya.
Sementara itu, mas Gas terbangun dari imajinasi dan fantasinya, menyadari ada bagian tubuhnya yang terasa hangat. Ia tau itu adalah spermanya, yg menggenang di bawah perutnya dan melumuri batang dan kepala kontolnya. Badannya saat ini terasa begitu fresh, segar dan bugar karena klimaks. Padahal, klimaks yang sesungguhnya akan ia peroleh sebentar lagi dengan seseorang, entah itu bu Erni, Ajeng, Tika, atau Ambar. Sosok wanita² yang kini sedang mengidolakannya.
Segera ia bangkit dari tidurnya dan mandi lagi, kemudian bersiap² untuk pergi ke rumah bu Erni, karena waktu sudah menunjukkan pukul 18.45 wib. Ia raih arloji dan hape di mejanya, lalu berjalan keluar kamar menuju ruang makan. Nampak ibunya yang sedang menyiapkan makanan. “Malam mah, lagi sibuk ya?”, sapa mas Gas ke ibunya. Ibunya pun menjawab sambil menuju dapur lagi, “nggak juga le, nih udah selesai juga nyiapin makan malam buat kita”, sahut ibunya.
“Oh iya, kamu mau minum apa nak? Nutrisari atau teh hangat?”, tanya ibunya. “Air putih aja mah”, jawabnya. Ia dan ibunya memang tergolong orang yang benar² menjaga kesehatan tubuh, mereka berdua mengkonsumsi air putih dalam sehari bisa lebih dari 8 gelas. Efeknya terlihat dari kulit mereka yang putih, bersih dan segar.
“Oke deh, y udah ambil nasi sana. Oh iya le, kamu jadi berangkat ke rumah bu siapa tadi…?”, “bu Erni maksut mamah?”, Gas langsung menyahutnya. “Ehh iya bu Erni”. “Iya jadi dong mah, kan udah janjian, tuh Gas baru terima WA dari orangnya. Udah ditunggu”, jawab mas yon.
“Tadi udah sholat maghrib nak?”, tiba² bu Siti bertanya kepada mas Gas.
Mas Gas nampak sedikit kaget, “eee…eee… Gas ketiduran mah, maaf”. Padahal ia sadar, telah terbuai dalam gulatan nafsu fantasi seks. Ia berharap mamahnya tidak marah karena lalai menunaikan ibadah wajib. Wajahnya tampak menunduk dan sedikit panik.
“Jangan diulangi lagi ya lain kali”, ucap mamahnya. Kalo capek, mending ditahan dulu, tunaikan kewajiban pada Yang Punya Hidup Gas. Padahal mamahnya tahu apa yang mas Gas lakukan, hanya saja bu Siti berpura² tidak tahu. Lalu bu Siti mengalihkan pembicaraan. Gas pun tampak tertegun, karena mamahnya tidak marah ia meninggalkan sholat. Sedikit perasaan lega bercampur penasaran akan sikap mamahnya malam itu.
“Tolong panggil papahmu nak, ajak makan sekalian”, perintah mamahnya. “Iya mah…” Tanpa menunggu lama, mas Gas bangkit dari kursinya, menuju kamar papahnya untuk mengajak makan malam.
Makan malam pun berlangsung seperti biasa, hening, hanya suara kecil antara sendok, garpu dan piring yang beradu. Karena sudah kebiasaan bagi keluarga mereka, makan malam dilakukan tanpa ada obrolan apapun sampai tuntas.
Setelah makan malam usai, mamahnya mengambil piring yang kotor, dibantu oleh mas Gas yang membawa gelas yang sudah digunakan ke tempat cuci piring. “Mah, biar Gas yang cuci ya, mamah kesana aja temenin papah” ucap mas Gas saat mereka berdua di depan bak cuci piring. “Alhamdulillah, anak mamah rajin, makasih ya le”, balas mamanya. Sepertinya mamahnya sudah melupakan perkara meninggalkan sholat tadi, pikir mas Gas. Ia pun segera menuntaskan cuci piring tadi, lalu menyusul mamah papahnya yang kini sudah ada di depan ruang keluarga. Ia hendak pamit berangkat ke rumah bu Erni.
“Mah, pah, Gas pamit berangkat dulu ke rumah bu Erni yah, gak tau sampai jam berapa, nanti kunci rumah Gas bawa aja duplikatnya, kunvinya jangan lupa dicabut ya”, kata mas Gas sembari mencium tangan mamah dan papahnya yang sedang menonton televisi.
“Kok tumben malam gini keluar lagi le?” Tanya papahnya, yang memang belum tau akan kegiatan dadakan Gas malam itu.
“Loh, mamah belum kasih tau papah to?” Tanya mas Gas sambil merapikan kemeja yang dibalut jaket kulit berwarna coklat.
“Ah iya, mamah lupa tadi kasih tau papahmu”, celetuk mamahnya sembari meneruskan berbicara kepada papahnya perihal kegiatan anaknya malam itu.
“Oooh gitu toh, yawes hati², jangan lewat jalanan yang sepi. Jangan ngebut juga, kan barusan gerimis.” Sambung papahnya setelah mendapat penjelasan dari mamahnya.
“Siap pah, mah. Ya udah Gas berangkat ya. Assalamu’alaikum.
“Walaikumsalam”, jawab mamah dan papahnya.
Mas Gas pun berjalan keluar, menutup pintu depan, dan berhenti sejenak di samping motornya, iapun mengeluarkan HP, hendak memberi kabar bu Erni, bahwa ia akan berangkat.
“Selamat malam bu, saya berangkat sekarang ya, kira² 15 menitan perjalanan kesana”, kata mas Gas dalam pesan WA ke bu Erni. Tak lama, pesannya pun dibalas oleh bu Erni.
“Ah mas Gas, iya mas, saya tunggu di rumah ya. Sudah tau alamatnya kan?”. Balas bu Erni.
“Iya bu, tadi saya sudah buka serlok dari jenengan”, balas mas Gas singkat.
“Ya sudah mas Gas, hati² di jalan, saya tunggu nggeh!”. Mas Gas pun hanya membaca, lalu ia segera berangkat dengan motornya.
Bersambung…