Malam baru saja tiba, jalanan tampak gelap gulilita Ketika ojek sepeda motor yang mengantarku hampir sampai di tempat yang aku tuju. Jalanan Tampak basah sisa hujan seharian, ditambah cuaca yang sangat dingin khas pegunungan, dari kejauhan tampak cahaya remang remang sebuah perkampungan yang tidaklah terlalu besar, ya memang aku harus bermalam di kampung ini. Besok pagi aku harus mengecek kondisi kesiapan pemasangan peralatan milik sebuah perusahaan telekomunikasi di negeri ini. Jalan ke kampung itu tidaklah lebar, hanya bisa dilalui dengan sepeda motor. Penduduk kampung ini mungkin hanya puluhan keluarga, tetapi penempatan tower dipilih di sekitar kampung ini karena letaknya yang strategis di pegunungan yang dapat menjangkau beberapa desa di sekitarnya.
Namaku Hendra, seorang teknisi sebuah kontraktor peralatan telkomunikasi. Di usiaku yang menginjak 29 aku masih betah melajang karena aku masih suka berpetualang ria. Sore itu pak kasno tukang ojek yang mengantarku ke kampung itu , setelah diantar oleh sopir kantorku sampai di sebuah pangkalan ojek terdekat dari kampung, akhirnya aku menemukan pak kasno yang paham tentang kampung yang aku tuju ini.
Sampailah kami di sebuah rumah yang telihat cukup segerhana. Berdinding kayu, meski begitu rumah itu tampak lebar khas rumah orang jaman dulu. Cahaya temaram tampak dari luar karena memang belum ada listrik di kampung ini. Suasana kampung Nampak sepi apalagi sejak siang hujan tak berhenti meskipun tidak terlalu lebat. Cahaya petromax di ruang tengah tampak mendominasi, sementara di ruangan lain memakai lampu teplok. kami lalu turun dari sepeda motor dan kemudian pak kasno mengucapkan salam. Tak seberapa lama terdengar langkah kaki dari dalam.
“Monggo, masuk saja”. Kata pemilik rumah yang ternyata pak Sanusi.
Kami lalu duduk di kursi teras. Dan pak kasno mengungkapkan rencanaku untuk numpang menginao di rumah itu. Karena pak Sanusi sudah terbiasa menerima tamu menginap dari luar daerah, maka beliau tampak tidak keberatan. Tak lama kemudian pak kasno pamit untuk pulang dan akupun dipersilahkan masuk ke rumah dan diantar oleh pak Sanusi ke sebuah kamar. Lelah seharian setelah perjalanan membuat aku cepat terlelap malam itu…
Pagi hari, perutku terasa lapar, aku tak tahu harus pergi kemana untuk mencari makan, Rumah pak Sanusi tampak kosong, setelah mandi di sumur belakang, aku segera keluar dari rumah untuk mencari penjual makanan, ternyata di samping rumah pak Sanusi terdapat warung makan sederhana yang ternyata istri pak Sanusi yang berjualan disana. Seorang Wanita berumur 50 tahunan , betubuh gemuk dan berdandan sederhana.
Warung itu tidaklah besar, hanya ada 1 Meja dan 2 kursi Panjang di masing2 sisinya. Kebanyakan pembelinya adalah penduduk desa sebelah yang lewat untuk mencari kayu bakar atau menuju ladang yang . Jadi memang satu satunya warung di kampung ini.
“Pagi Bu, Pak Sanusi kemana ya” Sapaku padanya.
“Pak Sanusi ke ladang mas. hari ini saatnya mupuk jagung di ladang.” Jawabnya dengan ramah.
“Oalah, pantes gak kelihatan dari tadi. Oya bu, ada apa aja nich bu buat sarapan?” tanyaku sambil mencari tempat duduk.
Bu Sanusi pun menjawab pertanyaanku sambal beranjak dari tempat duduknya.
“Ada pecel sama lodeh mas.” Jawab bu Sanusi.
“Kalau gitu saya pesen pecel saja sama telur ceplok ya bu” pintaku.
“Nduuuuk. Gorengkan telur ceplok buat mas e ini lho” kata bu Sanusi setengah beteriak.
Tak lama muncul seorang gadis remaja dari pintu belakang warung, yang mungkin seumuran 18 tahun. Dengan pakaian sederhana khas gadis desa, dengan rok Panjang yang agak kusam serta atasan kaos lengan panjang, Wajahnya lumayan manis, tingginya mungkin sekitar 160 an, terlihat langsing , kulitnya pun tidaklah putih tapi cukup terlihat bersih. rambut panjang dikuncir ke belakang tanpa banyak model seperti anak jaman sekarang, . Segera dia memasak telur seperti yang diperintahkan ibunya dan tidak banyak bicara, sepertinya dia terkesan pemalu.
“Loh bu, itu anak ibu ya?” tanyaku memulai obrolan kembali.
“Iya mas, anak bontot saya. Kakaknya udah ikut suaminya di Kota.” Jawab bu Sanusi.
“udah SMA ya bu kalau gitu?”tanyaku Kembali.
“hanya Lulus SMP mas dua tahun lalu, langsung dilamar anak pak lurah. Tapi baru nikah 5 bulan udah tak bawa lagi kemari.”.
“emang kenapa tho bu?”.tanyaku
“Ya gitu mas… suaminya ternyata suka main pukul dan suka main perempuan. Akhirnya tak bawa pulang dan sudah cerai 3 bulan lalu.
“Namanya siapa to bu anaknya.. mbok saya dikenalin hehe” kataku sambal melirik anaknya yang baru selesai meggoreng telur dan berjalan mendekat sambil malu malu.
“namaya titin. Mas masih bujang apa sudah nikah to?” tanya bu sanusi menginterograsiku.
“Saya masih bujang kok bu. Belum laku bu hehe…”jawabku sambal nyengir.
“ah masa sih, paling ngaku2 bujang nya aja”. ledek si ibu sambil bercanda.
“beneran bu… saya masih bujang ting ting..” jawabku sambil mengeluarkan iphone 11 ku yang sejak semalam belum aku buka
“HPnya kok kelihatan bagus mas, apa kayak gitu mahal toh?” kata bu sanusi pingin tahu.
“Lumayan sih bu. tapi sekarang banyak HP juga yang murah kok” kataku menjelaskan.
“Emang harganya sampai berapa sih mas? yang biasa aja” tanya bu sanusi.
“1 jt an juga banyak kok bu. tapi kalau hanya buat telpon dan SMS sih lebih murah lagi”. jawabku menjelaskan.
“Oalah… yowis nunggu bapake panen saja. itu lho si titin pingin punya HP biar bisa telpon mbak nya di kota. lagian disini kan belum ada listrik jadi kalau mau ngecharge HP harus ke Desa Sebelah dan Kata tetangga sinyal juga susah disini”. kata bu sanusi.
Aku berfikir sejenak, rasanya aku punya 2 HP android yang jarang aku pakai di tas. walapun tidak baru tapi masih terlihat bagus dan berfungsi baik, hmm apa aku kasihkan si titin saja ya…..tak berapa lama keputusanku segera kuambil..
“Bu….. kalau aku ngasih hadiah HP ke titin sekarang boleh gak?” kataku…
“Ya boleh dong,,,serius nich ?” tanya bu sanusi.
“Nduuk sini.. ini lho mas e mau kasih hadiah kamu…” katanya memanggil si titin.
Titin pun berjalan mendekat dan duduk tidak jauh dariku sambil menunduk malu malu… bener2 gadis desa yang lugu pikirku.
“Tin, ini HP buat kamu… tinggal belikan SIM Cardnya aja kok” kataku sambil menyodorkan HP padanya.
“Beneran nich mas. makasih” jawabnya sambil menuduk malu malu…
“iya bener… oya SIM Cardnya beli dimana ya kalau disini” kataku
“Di desa sebelah mas..biasanya temenku sekalian ngecharge dan beli pulsa kalau pas ke desa sebelah”. kata titin sambil melihatku, walapun masih malu malu tapi dia sudah mulai bisa diajak ngobrol.
“Ya udah nanti Sore tak anter ya beli SIM Cardnya. Aku harus selesaikan pekerjaan dulu ke atas gunung. jam 3 aku sudah balik kesini” kataku padanya.
“Iya mas, makasih banget.. nanti aku pinjamkan motor mas kirman untuk ke desa sebelah.” katanya.
“Iya. aku mau siap2 berangkat kerja dulu ya…. . ketemu nanti titin” jawabku sambil meninggalkan warung menuju rumah untuk mengambil peralatanku.
Pagi itu aku akan diatar pak Jono untuk menuju lokasi. Tak berapa lama kemudian pak jono telah datang dan aku segera meninggalkan rumah itu diringi pandangan penuh makna si Titin dari pintu warung.
Bersambung….