Setelah sekian lama, saya memutuskan untuk kembali merilis cerita drama The Lucky Bastard, yang telah dibersihkan dari segala kemungkinan kesalahan-kesalahan yang fatal dan diperbaiki tata tulisnya. Maksud dari merilis ulang ini, adalah untuk kembali menghadirkan Saga Bastardverse, yang dimulai dari cerita ini, berlanjut ke Matahari Dari Timur, dan sekarang berlanjut ke Amyra. Bagi yang sudah pernah membaca, silakan bernostalgia. Bagi yang belum membaca, sekarang saatnya. Cerita ini akan di update sesering mungkin. Tokoh-tokoh dalam cerita ini:
Sang tokoh utama, alias si “Aku”, pria patah hati yang perenung dan penyendiri.
Josephine Anggia Tan (Anggia) – rekan kerja tokoh utama kita. Teman dekat semenjak kuliah, careless, cuek dan sangat-sangat menarik.
Dwi Attalyana Veronica (Nica) – junior di tempat kerja sang tokoh utama kita.
THE LUCKY BASTARD – PART 1
——————————————– Semua memang berasa kosong, walaupun sudah setahun semua itu berlalu. Sudah lama aku tidak banyak berinteraksi dengan perempuan setelah kejadian itu. Aku menjadi lebih penyendiri dan lebih sering merenung. Bahkan kehadiran Rendy di apartemen ini tidak terlalu membantu. Setelah aku tidak jadi menikah, apartemen ini tak pernah kubayangkan akan menjadi sepi. Hingga 6 bulan lalu aku menawarkan Rendy yang sedang mencari kos-kosan, untuk pindah ke apartemenku. Menempati kamar yang tadinya direncanakan akan menjadi kamar anak. Kehadirannya lumayan membantuku untuk meringankan membayar cicilan apartemen, dan lumayan menjadi teman ngobrol, sekedar merokok atau minum bir dan nonton TV bareng. Namun sepi yang mencekam terus mengosongkan isi hati dan pikiranku. Sudah setahun lebih sejak kegagalan pernikahan itu. Tak kusangka Dian akan setega itu. “Kita cuma berkabar aja! Kamu jangan overreacted!” bentak Dian waktu kulabrak dia. “Cuma berkabar? Kamu bisa jelasin ini?” aku memperlihatkannya foto alat kelamin laki-laki di layar handphone ku. Aku yang curiga menebak-nebak, lantas nekat membobol email pacarku sendiri, dengan setengah mati menebak passwordnya. “Itu…. Itu foto dua tahun yang lalu” “Dua tahun yang lalu kita udah pacaran!” aku berteriak seperti orang gila ke mukanya. “Aku udah gak ngapa-ngapain lagi sama dia… Udah… Kita kan mau nikah…” jawab Dian memelas. “Aku gak mau lanjutin semua ini” aku memandang matanya dengan tajam. “Biar kamu udah gak ngapa-ngapain lagi, ngapain juga kamu tetep berhubungan ama dia?” Dian tak menjawab pertanyaanku. Aku tak melanjutkan kata-kataku lagi dan pergi begitu saja. Sampai detik ini aku belum pernah melihatnya lagi. DP gedung hangus, tiket pesawat untuk honeymoon hangus, begitu pula dengan semangat hidupku. Yang lebih menyebalkan adalah tekanan keluarga. Pihak yang mengetahui ceritanya tentu mendukungku, namun hal seperti ini tidak bisa kuceritakan ke semua orang. Pertanyaan, tekanan, dan tuduhan yang datang dari mereka yang tidak tahu menahu sangat menggangguku. Terutama datang dari keluarga jauh. Akibatnya aku jadi lebih sering menyendiri dan memutuskan untuk lebih banyak diam. Membenamkan diriku dalam pekerjaan kantor, bahkan aku sengaja menyibukkan diriku dengan pekerjaan sampingan yang kadang walaupun bayarannya tidak seberapa, tetap kukerjakan untuk menghabiskan waktuku sendiri. Aku pun membatasi pergaulan hanya dengan teman terdekat saja… Ya, salah satunya adalah Rendy, teman kuliahku. Sampai sekarang, Rendy tak bosan mengajakku jalan keluar, berkenalan dengan perempuan atau hanya sekedar bersenang-senang. Pekerjaannya sebagai video editor membuatnya mengenal banyak sekali perempuan, baik itu talent dari iklan yang ia garap maupun kenalannya entah di mana. Aku memilih tenggelam sibuk. Pekerjaanku sebagai graphic designer senior di kantorku sudah lumayan menyita waktu, ditambah lagi minggu depan akan ada beberapa karyawan baru datang ke kantor. ——————————————
Pada malam itu, aku pulang agak lebih awal ke apartemen. Tadinya aku akan lembur di kantor, tapi anggota timku sedang tidak bisa, jadi terpaksa aku membawa PR pekerjaan ke rumah. Mukaku datar dari mulai mobil sampai lift, sembari merogoh sakuku mencari kunci apartemen. Di depan pintu apartemen, ada pemandangan yang tidak biasa. Rendy sedang berbincang dengan seorang perempuan. Agak tinggi, bermuka teduh dan berambut panjang. Usia pertengahan 30-an kukira, dan dari pakaiannya yang santai, dia terlihat seperti penghuni apartemen dibanding tamu. “Malam…” sapaku pelan. “Nah ini Mbak, temen sekamar saya.” Rendy menunjuk ke arahku. Aku tersenyum tipis. “Halo.. Mayang” sapanya sambil mengulurkan tangan. Kuraih dan kujabat pelan tangannya. “Yakin kalian temenan? Bukan couple?” tanyanya menggoda. “Hahahahahaha… Gini-gini saya sukanya cewek mbak, apalagi yang cantik kayak mbak” jawab Rendy genit. Aku ingin tertawa tapi entah mengapa tawaku tertahan. “Masuk Mbak, gak enak ngobrol di luar gini” kataku pelan. “Ah ini aku baru dari dalem, kasian anakku nungguin, sampe ketemu lagi ya..” Setelah berpisah, lalu kami masuk ke unit apartemen kami. “Siapa Ren?” tanyaku. “Oh, tetangga baru. Tadi papasan di lift siang-siang. Lagi beres-beres pindahan, gw bantuin tadi. Janda bro. Anaknya satu” seringai Rendy. “Terus?” “Cakep ya?” “Lumayan…” jawabku sambil berlalu dan menyalakan komputer. “Lumayan? Gila lu” dan lalu Rendy menyalakan TV. Aku kembali tenggelam dalam pekerjaanku. Waktu sudah menunjukkan jam 2 malam. Aku berjalan ke lemari es, membukanya dan mengambil satu kaleng bir. Kulihat Rendy ketiduran di depan TV. Aku mematikan TV nya dan kembali duduk di depan monitor komputer. Andai aku bisa sesantai Rendy. Happy go lucky. —————————————— Hari-hari kulalui dengan bosan dan sepi. Aku baru pulang dari kantor. Aku merogoh kunci di saku celana. Sebelum kumasukkan ke lubang kunci, aku mendadak teringat Mbak Mayang. Secara otomatis aku mengetuk pintunya, yang memang bersebelahan dengan apartemenku. Setelah mengetuk aku baru sadar, kalau ini jam 11 malam, dan aku mungkin membangunkan orang dari tidurnya. Menggigit bibirku sendiri, aku lantas mundur dan memasukkan kunciku ke lubang kunci. “Eh kamu….” pintu unit Mbak Mayang terbuka. “Mbak..” dia terlihat masih segar, dengan menggunakan celana pendek dan tank top. “Ah iya… Gimana anak Mbak kemaren?” tanyaku. “Sekarang udah mendingan kok, besok bisa sekolah lagi kayaknya” jawabnya dengan senyum. “Bagus deh… Maaf ya Mbak ngetok malem-malem” “Gak papa kok, jam berapapun boleh ngetok. Kalo ga dibukain resiko berarti. Hehehe” aku pun berpamitan dan langsung masuk ke unitku. Dan…. Lagi-lagi kutemukan Rendy tertidur di depan TV. Aku hanya menggelengkan kepala dan mematikan TV. Aku lantas melempar badanku ke kasur tanpa mengganti baju dan langsung terlelap. —————————————— Seminggu telah kulalui dengan bosan. Waktu berjalan begitu lambat di kepalaku dan hari ini kedatangan anak-anak baru di kantor. Aku lemas membayangkannya. Rasanya tidak siap untuk menerima orang baru dalam kepalaku dan menuntunnya dalam pekerjaan kantor. “Anak baru datang jam 10. Gw rada telat. Si bungsu ada acara di sekolahan” begitu pesan singkat dari Mbak Vania. Aku dengan gontai masuk ke lift. Dan… Tangan Mbak Mayang menahan lift. “Tunggu. Bareng ya turunnya”
“Mau kemana Mbak?” tanyaku membuka pembicaraan. “Cuma mau belanja dikit, sambil jemput anak” jawabnya. Aku sebenarnya agak penasaran dengan ceritanya. Dia seperti tidak kerja, hanya di apartemen saja. Bagaimana dia membiayai anaknya? Apakah mantan suaminya? Gumamku dalam kepala sambil memperhatikannya. Tak sengaja mata kami bertemu. Bertatapan agak lama. “Kenapa?” tanya Mbak Mayang dengan senyumnya. “Eh? Enggak kok Mbak….” jawabku sekenanya. “Kirain ada apa gitu, bekas makanan di gigi atau upil nempel. Hahaha…” aku mendadak malu telah melihatnya cukup lekat di lift itu. “Makanya cari cewek, biar biasa ngeliat cewek kamu…” muka Mbak Mayang terlihat memerah. Aku hanya menelan ludah, sambil berusaha membuang pandangan. Tapi aku malah memperhatikan badannya, yang tampak begitu kencang. Mendadak aku membayangkan jika aku menyentuh kulitnya yang halus. Tubuhnya tampak begitu sempurna, dan tak terasa lift pun telah sampai ke lantai yang kami tuju. “Duluan ya..” Aku segera berpisah dengan Mbak Mayang. Di mobil pikiranku tidak bisa bergerak dari Mbak Mayang. Apakah ini karena aku sudah lama tidak berbincang-bincang dengan wanita yang cantik? Anggia di kantorku pun cantik, tapi aku sudah lama tidak merasakan ketidakfokusan seperti ini. Ah sudahlah, pikirku, tidak penting kupikirkan. lebih baik aku memikirkan anak-anak baru di kantor, pikirku sambil menghela nafas di dalam mobil, memerhatikan kemacetan Jakarta dan segala tetek bengek metropolitannya. ——————————————
“Nica” Katanya mengulurkan tangannya, disertai dengan senyumnya yang manis. “Lucu juga panggilannya gitu” celetuk Mbak Vania. Dwi Attallyana Veronica. Panggilannya Nica. Cara yang unik memotong nama. “Oke, jadi Nica di timnya elo, Arthur di timnya Anggia ya” perintah Mbak Vania ke kami setelah membicarakan soal peraturan kantor, uang makan, dan lain-lainnya. Aku kembali ke ruangan timku dengan membawa Nica. “Guys kenalin, ini karyawan baru kita” setelah memperkenalkannya dengan semua anggota tim yang isinya hanya empat orang termasuk aku, aku menjelaskan dengan rinci tentang beberapa project yang akan dan sedang kami tangani. Setelah selesai, aku kembali ke mejaku, dan mulai mengutak-atik pekerjaan. Sekilas aku melihat Nica, dengan tubuhnya yang mungil dan kulitnya yang bersih. Lucu banget, pikirku. Terlalu muda tapi. Umurnya 22, baru lulus kuliah dengan segala kepolosannya. Aku menghela nafas dalam, membenamkan diriku ke kursiku, memakai headphone dan menyetel playlist di komputerku. “Jangan pikirkan perempuan” begitu kata di dalam kepalaku, setelah aku memikirkan kembali waktu seminggu ini. Perjumpaan dengan Mbak Mayang dan Nica telah membuat semangatku sedikit bangun. Semangat yang kumatikan kembali walau ia baru muncul. Tak terasa jam makan siang pun telah datang. “Oi! Makan di luar yuk! Ajakin anak baru” Teriak Anggia ke dalam ruanganku. “Iya..” Jawabku pelan, sambil memasukkan handphone dan rokok ke saku celanaku. “Nica… ikut yuk” “Iya mas…” jawabnya dengan senyum. Aku membanting diriku ke kursi penumpang mobil Anggia. “Surem amat sih lo” komentarnya. “Biarin” jawabku. Dia salah satu orang yang sepertinya ingin selalu menyemangatiku sejak kejadian pernikahan yang gagal itu, tapi sampai sekarang belum berhasil, dan malah jadi berubah sok galak dengan maksud bercanda kepadaku, dan bagaimanapun aku selalu cuek. Anggia memakai kacamata hitamnya, kontras dengan kulitnya yang putih. “Itu anak barunya?” tanyanya kepadaku. “Ho oh” jawabku sambil mengecek notifikasi di sosial media. “Dingin amat lu, lucu ya anaknya, sikat aja buat gantiin mantan lo” komentarnya dingin. “Berisik” jawabku sambil terus melihat ke layar handphoneku. “Yang cowok gak ikut?” tanyaku. “Bawa bekel dari rumah. kocak yak” jawab Anggia sambil melihat ke luar, memerhatikan Nica yang berjalan dengan imutnya. “Numpang ya Mbak…” sapa Nica setelah masuk ke kursi belakang. Dan mobil pun berjalan. Aku melihat ke arah Anggia yang berusaha membuat gesture di mukanya, menyuruhku untuk membuka percakapan dengan Nica. Aku memasang muka kesal. Anggia, dua tahun lebih muda daripada aku, di usia 20-an akhirnya, seorang perempuan keturunan tionghoa dengan muka judes dan tajam, membuat lelaki terpesona kepadanya dan takut untuk make a move. Tak heran dia jarang sekali pacaran, walau kegiatannya yang rajin fitness dan yoga membuatnya suka didekati oleh cowok di tempat tersebut. Dan rata-rata juga mundur karena kejudesannya. Tapi dia sering tidak peduli dengan itu, walau kadang dia suka merajuk di hadapanku, meminta dicarikan pacar atau dengan bercanda minta dipacari. “Lo punya kakak cowok gak Nica?” tanya Anggia. “Gak punya..” dia membalas dengan muka heran. “Kali kalo punya kakak cowok ganteng boleh dikenalin ke gw satu” balas Anggia lagi dengan muka senyum sinis. Muka khas Anggia. “Hehe..” Nica tertawa kecil. “Gimana hari ini di kantor?” tanyaku membuka percakapan dengan kaku. “Belum tau mau jawab apa Mas.. hehe” jawabnya dengan muka manis. “Baru setengah hari juga” lanjutnya. “Tapi udah ngerti ya konsep design yang gw jelasin tadi, coba lo kembangin dari situ, bikin beberapa alternatif buat gw review dalam seminggu ke depan” pekerjaan, hal yang sangat kukuasai. “Bosen gila ngomongin kerjaan” sela Anggia. “Ngomongin apa kek, pacar, film, hantu, kerjaan mulu” lanjutnya sinis. Nica tersenyum kecil, dengan muka agak tidak enak. “Kita kan sekantor, masa ga ngomongin kerjaan” jawabku tidak kalah sinisnya. “Gak kebayang gue, bulan depan ke Singapur ama elu, bisa bosen abis gue dengerin lo ngomongin kerjaan mulu” lanjut Anggia. “haha” tawaku singkat. “Ke Singapura ngapain Mas?” tanya Nica dengan suara manisnya. “Kerjaan. Buat branding hotel baru di sana”. jawabku. “Dua tim yang ngerjain Mas?” “Kerjaan gede sih, semua kita kerjain, mulai dari signage ampe kop suratnya” aku menjawab sambil melirik ke belakang. Dan tanpa sadar kami sudah sampai ke tempat yang dituju. Percakapan makan siang berlalu begitu saja, tidak ada yang menarik dari obrolan tersebut. Yang kutangkap adalah judes-judes usilnya Anggia dan polos serta innocent nya Nica. Sekilas aku melirik ke arah Anggia, perempuan yang sangat cantik memang, dan banyak orang yang menyarankanku untuk memulai hubungan yang lebih daripada sekedar teman dengannya. Tapi buatku, dia tak lebih dari teman. Membawanya ke jenjang selanjutnya akan sulit, kalau putus, hubungan bisa hancur. Kalau terus, memangnya kami bisa nikah? Perbedaan status agama denganku akan membuat hidup ini makin rumit saja. Dan entah mengapa, aku dengan tidak sabar melihat jam di tanganku. Masih jam 1, dan aku benci hari Senin. Masih ada 4 hari lagi sebelum…. aku bisa menghabiskan kesepianku sendiri di apartemen, mengingat pekerjaan Rendy banyak membutuhkannya beraktivitas di akhir minggu. —————————————— Seminggu kulalui dengan sepi kembali. Di kantor, Nica sudah mulai bisa lumayan nyetel dengan timku. Dan ternyata memiliki pegawai perempuan menarik juga, kepolosan dan keluguannya telah menjadi lem di dalam timku. Beberapa karyawan lelaki kulihat jadi lebih agak rajin dan lebih memperhatikan penampilan mereka, serta bersikap lebih manis di depan Nica, di mana sebelumnya mungkin mereka bersikap lebih asal-asalan karena tidak ada pegawai perempuan dalam tim. Anggia jadi agak rajin main ke ruangan timku karena ada “mainan” baru untuk dia, yaitu Nica. Sifat Nica yang mudah bersahabat serta sikap polosnya membuat orang-orang tertarik untuk lebih mengenal dia. Sayang sekali bagi Arthur, setidaknya itu yang aku pikirkan. Seluruh lampu perhatian di kantor ini tertuju pada Nica, padahal karyawan barunya ada dua. Untuk suasana di apartemen, Mbak Mayang jadi lebih sering bertemu denganku, dan makin hari pembicaraan di lift kurasa makin ngalor ngidul, dan perasaan tidak konsen pada saat di lift itu belum hilang. Sedangkan Rendy? Masih tetap sibuk di depan laptopnya bekerja, atau ada di depan TV tertidur, atau pulang setengah mabuk dari party, atau apapun. “Bro, hari ini ampe Selasa gw ga pulang. Syuting. Pelabuhan Ratu” begitu pesan di sosial media dari Rendy yang kubaca mendadak. Oke, jadi aku bisa istirahat Jumat ini sampai Minggu tanpa ada siapapun di unit apartemen. Aku bisa mengerjakan kerjaan sampingan, dan tidur seharian semauku. “Langsung pulang Mas?” sapa manis Nica menghamburkan bayanganku soal weekendku yang perfect. “ah.. iya” jawabku pelan. “Gak ikut? Aku sama Mbak Anggia dan anak-anak mau nonton bareng” nonbar? membayangkannya saja sudah malas. “Ada yang mesti gw kerjain di rumah.” jawabku diplomatis. “Eh! Ikut yuk! Udah lama lo ga keluar main ama gua!” mendadak muka Anggia nongol di ruanganku, menatap tajam ke arahku, seakan ingin memakan jantungku yang sepertinya lemah ini. “Gak mau. ada urusan” sinisku ke arah Anggia. “Have fun sekali-kali dong… ah..” timpal Anggia malas. Nica hanya nyengir saja melihat pertengkaran bercanda kami berdua. “Have fun gue ama elo beda kali” jawabku sambil memasukkan laptopku ke dalam tas. “Udah ya, mau pulang gue, dan Nica, ati-ati ama nenek sihir sialan satu ini” aku berjalan sembari menunjuk ke arah dahi Anggia. Dia hanya melihat langkahku dengan ketus, tak berusaha menahanku. Kulalui macet dengan pelan. Dengan sabar, dengan penuh penghayatan bahwa weekend ini aku akan mendapatkan kedamaian. Kedamaian ala aku tentunya. Dengan tidak sabar aku menuju tempat parkir, untuk kemudian bergegas masuk ke dalam lift. Tak sabar aku merogoh kantong celanaku dan terburu-buru membuka pintu unit apartemenku. Kosong. Sesuai dengan seperti yang kuharapkan. Aku mengunci pintu dengan tidak sabar, lalu mulai bergegas untuk mandi. Malam itu kurasa nikmat sekali air panas mengalir di badanku, aku selalu suka suara air jatuh dari shower beradu dengan suara ramainya lalu lintas di luar sana, memberikanku sedikit ketenangan sehabis hari-hari sibuk dan membosankan. Tak sadar berapa lama aku di dalam shower, setelah selsai mandi aku menyalakan komputer untuk mulai menenggelamkan diri di pekerjaan luar kantorku ataupun hanya sekedar melihat-lihat keramaian dunia maya. ——————————————
“TOK TOK TOK” Hah? Siapa yang mengetuk jam 12 malam? Aku menghela napas dan dengan enggan membuka pintu. “Lho… Mbak?” “Eh kamu” “Ngapain mbak?” “Itu… anakku weekend ini sama papanya… jadi..” “Jadi ?” “Rendy bilang, kalo aku kesepian dan gak bisa tidur, boleh numpang di tempat kalian katanya…” Aku menghela nafas. Rendy. Dia tidak menceritakan apapun kepadaku soal ini. Mendadak weekend yang kubayangkan menguap di dalam kepalaku. Ingin aku marah, tapi aku tidak setega itu. “Oke Mbak…” Mbak Mayang pun tersenyum manis. “Maaf ya… Rendy bilang ke aku, dateng aja Mbak, ntar pasti saya bukain pintunya, toh paling cuma numpang ngobrol dan nonton TV kan…” aku hanya tersenyum tipis. “Tau remotenya dimana kan Mbak?” tanyaku retoris. “Tau kok, aku kadang suka ke sini kalo Rendy lagi kerja, dianya sih cuek aja, hehe” Mbak Mayang langsung menyerbu TV. “Saya kerja ya Mbak.” izinku. “Iya” jawabnya dengan senyum. Lantas aku duduk di depan komputer, dan memberi pesan via handphoneku pada Rendy “REN! ARE YOU SERIOUS?!?!?!?” tak berapa lama datang balasannya. “what the fucking what?” “Mbak Mayang” “oiyaaaaaaaaaaaaaaaaaa… Lupa bor bilangin tadi, yaudin, biarin aja lah paling nonton TV ama ngobrol dikit ini”. Aku menekuk mukaku sendiri melihat pesan tersebut. Ya sudah, mau apa lagi. Aku melanjutkan pekerjaanku, tapi moodnya sudah tidak sama lagi. Lagipula kupikir agak tidak sopan kalau aku meninggalkan dia sendiri di depan. Lantas akupun beranjak kembali menuju depan TV dan duduk di sofa. “Nonton apa Mbak?” aku memulai basa-basi untuk mencairkan suasana. “Tau nih.. bisaan ya bocah umur segitu masak kayak gitu” Masterchef Junior. “Haha iya..” dan lalu suasana hening. Aku melihat Mbak Mayang. What a fine lady. Aku penasaran apa yang menyebabkannya cerai. Dan aku agak bingung melihat dia setiap hari berdiam diri di apartemen saja. “Gak ngantuk Mbak?” tanyaku lagi dengan kakunya. “Udah ngantuk sih, cuma aku susah banget tidur kalo sendirian… dulu juga pernah kayak gini, siang-siang tapi…”, jawabnya. “Jadinya aku nebeng ke sini, lumayan di depan TV bisa tidur, ditemenin Rendy, walau dia cuma di meja makan sambil buka laptop” lanjutnya. Aku tersenyum kecil. Aku melirik ke arah Mbak Mayang, melihat tubuh indahnya yang dibalut T shirt dan celana pendek. Aku sedikit menelan ludah, entah kenapa kondisi seperti ini agak membuatku memikirkan macam-macam hal. Tapi segera kumatikan pikiran itu, dan dalam hati aku juga ingin bekerja lagi, namun aku merasa tidak enak meninggalkannya sendirian, setidaknya sampai dia tertidur atau menyerah dan memutuskan untuk pulang. “Tiduran aja mbak, saya temenin sampe tidur…” aku menatapnya sambil senyum. Dia hanya tersenyum kecil, dan merubah posisi duduknya lantas meringkuk tidur di depan sofa. Tapi…. kenapa kepalanya dekat sekali dengan pahaku? Aku pikir dia akan menjauhkan kepalanya dari aku dan kakinya menghadap sini. Aku menelan ludah kembali, merasa canggung, tapi terlanjur tidak enak kalau meninggalkannya sekarang. Kami hening sambil melihat ke arah TV. Tak tahu berapa lama diam ini akan jadi aneh. Aku melirik ke arah jam. Hampir jam 1 malam. Hah? sudah mau sejam? “Kok susah banget ya tidur…. Biasa ada anakku sih, ada yang dipeluk-peluk” tiba-tiba dia membuka percakapan dengan canggung. Masa harus kupeluk? atau bagaimana? Dalam hati aku berharap ia segera tidur agar aku tega meninggalkannya di sofa sendiri. Habis akal, lalu aku memberi saran “Dulu kalo saya gak bisa tidur, ayah saya biasanya ngelus-ngelus punggung atau kepala saya sampe saya tidur”. Fuck. Saran macam apa itu? Kalimat aneh itu mendadak keluar dari mulutku, entah sadar atau tidak sadar. “Boleh dong…” jawabannya malah lebih gila lagi. Aku menghela napas dan pelan-pelan memegang punggungnya. Ternyata rasa tubuhnya seperti ini, aku bisa merasakan lembut kulitnya walaupun kulit kami dihalangi oleh selembar t shirt. Makin lama aku mengelus-elus punggungnya, aku makin merasakan napasnya semakin memberat. Entah kenapa itu, apakah karena makin mengantuk, atau hal lain yang aku berusaha tidak mau tahu. Aku melirik sejenak ke wajahnya, tampaknya dia sebentar lagi akan tertidur. Rambutnya tergerai di atas mukanya, napasnya makin lama makin teratur. Aku merasa agak lega, berpikir dia telah terlelap. Aku menarik tanganku, bersiap untuk kembali ke meja komputer. “Kok berhenti?” suaranya mengagetkanku. “Eh…” jawabku bodoh. Aku bisa merasakan ada yang beda di tatapannya. Mendadak dia beringsut, dan kepalanya ia letakkan di atas pahaku. Aku bisa merasakan tangannya meraih dan meremas tanganku. Matanya penuh nafsu tajam menatapku. Badannya makin menempel ke arahku. Entah mengapa tanganku yang lain otomatis mengelus rambutnya. Kami berpandangan cukup lama. Degup jantungku mengencang, dan bisa kurasakan juga degup jantungnya di tubuhku. Mendadak Mbak Mayang menegakkan kepalanya. Mata kami saling beradu, dalam jarak pandang yang sangat dekat. “Mata kamu bagus…” mendadak ia mengatakan hal yang nonsense. “Kita gak….” belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, ia langsung maju menerkamku. Bibir kami beradu. Aku yang kaget, tak kuasa juga menahan hasratku yang lama kupendam. Kami saling beradu ciuman panas di atas sofa itu. Tanpa sadar, Mbak Mayang masuk ke pangkuanku. Pahanya melingkari pinggangku. Tangannya memelukku erat. Tanganku pun begitu, erat melingkari pinggangnya. Kami terus berciuman dengan penuh nafsu. Penisku mulai berdiri. Bohong kalau Mbak Mayang bilang dia tidak merasakan tegangnya penis menusuk celananya. Shit. Apa ini. Aku belum siap dengan hubungan! Atau ini bukan apa-apa? Hanya nafsu sesaat? Apa ini? Pikiranku berkecamuk dengan liar, meronta mengikuti bibirku yang mulai menjamah lehernya. “Ahh…. mmmhh…” Mbak Mayang mulai mendesah pelan. Aku tarik bibirku dan kulanjutkan melumat bibir tipisnya lagi. Tiba-tiba ia memegang leherku. Kepalanya mundur, dan mendadak tersenyum nakal kepadaku. Dan tanpa aba-aba, dia membuka t-shirtnya. Payudara yang kencang, dibalut dalam BH putih membuyarkan isi kepalaku. Di tengah kekalutanku, dia kembali melumat bibirku dengan nafsunya. Aku belum pernah berciuman seliar ini. Bahkan dengan mantanku sekalipun. Setiap kami berhubungan seks, rasanya biasa-biasa saja. Berbeda dengan kali ini. Bahkan ciumannya saja terasa sangat gila. Aku tak menghitung berapa lama kami berciuman. Hingga akhirnya, dia menghentikan ciumannya. “Kamu butuh sedikit rileks, tegang banget sih…” godanya. Dia mendadak berdiri, lalu menanggalkan celananya dengan cepat. Aku menelan ludah melihat tubuhnya yang hanya dibalut pakaian dalam serasi berwarna putih. Mendadak ia duduk di karpet, dan dengan liar berusaha membuka celanaku. Aku yang terkesima, mendadak bergerak membantunya. Dan dia berhasil melucuti celanaku. Aku bisa melihat napasnya yang memburu dan pandangan tajamnya ke arah penisku. “Mbak…” mendadak ia menggenggam batang penisku, membuka mulutnya dan memasukkan penisku diantara kedua bibirnya yang tipis. “Mmmh…” aku melenguh kaget. Dia mengulum dengan pelan kepala penisku, sambil mengocok pelan batangnya. Gerakan yang sangat terlatih. Penisku yang sudah tegang makin terasa tegang. Dia menghentikan kulumannya, lalu mulai menjilati batang penisku dengan nakal. pelan-pelan ia jilati dari ujungnya sampai ke bijinya. Matanya fokus ke arah mangsanya, penisku. Rasanya sangat geli dan nikmat. Tapi mendadak dia menghentikannya lagi. Dia memasukkan penisku penuh ke dalam mulutnya. “Mmmhh… Mmmh… Mmmhhh..” seluruh batang penisku masuk ke dalam mulutnya, suara erangan tertahan dari mulutnya terdengar nakal di telingaku. Lalu dia melakukan gerakan naik turun yang teratur. Gila. Baru kali ini aku merasakan deep throat senikmat ini. Tangannya bertumpu di pahaku. Pasti dia bisa merasakan otot kakiku mengeras, berusaha menahan ejakulasi sekuat tenaga. Dia kembali melepaskan mulutnya. “Rileks aja….” godanya pelan. Dia kembali mengocok penisku pelan dengan tangannya, sementara lidah dan bibirnya liar melahap penisku. Habis penisku dijilati, diciumi, dikulum, dan aku tak bisa menggambarkan perasaan nafsu segila ini lagi. “Mbak… Saya..” Aku sudah tidak tahan lagi. Mbak Mayang masih tekun mengulum dan mengocok penisku dengan teratur. “Mbak…” Aku merasakan spermaku akan keluar. “Mmm…” Jawab Mbak Mayang. Mendadak ia mempercepat frekuensi kocokan tangannya. Kepalanya bergerak naik turun semakin cepat. Aku berusaha menarik kepalanya, menghindarkan mulutnya dari spermaku, tapi dia terus bertahan. “Ahhh…” aku tak kuasa lagi. Spermaku tumpah di dalam mulutnya. Dia lalu mengulum penisku dengan frekuensi pelan kembali. “Mmmhh.. Ahhh….” dia membuka mulutnya. Sperma hangat menetes dari bibirnya. Tapi dia refleks menelan yang tersisa di mulutnya. Tanpa tedeng aling-aling dia menjilati kepala penisku. seperti berusaha membersihkan sperma yang tersisa. Penisku terasa sangat geli. Sensasi gila ini baru kurasakan sekarang. Mbak Mayang tersenyum nakal padaku dengan mulut yang berlumuran sperma. “I’m your bitch now” mendadak kata-katanya menggetarkan telingaku. Dia tersenyum terus, melihat mataku tajam dan perlahan naik ke badanku. “Malem ini belum beres” bisiknya. “Kamu hangat sama aku… ” lanjutnya. Aku kaget. Tak bisa berkata-kata lagi. “Kamu mau istirahat?” “Hah?” kata-kata Mbak Mayang membangunkanku. “Aku temenin tidur sebentar sebelum kita lanjut lagi mau?” tanyanya genit. “Iya Mbak..” Jawabku. Mendadak ia menggandeng tanganku, membawaku ke kamar tidurku sendiri dan mendorongku dengan badannya di atas kasur. Dia memelukku mesra. “Eh bentar… gak boleh jorok…” Dia bangkit dan berjalan ke kamar mandi, dan sesaat kemudian aku mendengar suara keran. Sepertinya dia membersihkan mulutnya. Aku tak percaya apa yang sudah terjadi. Gila. Itu blowjob paling gila yang pernah kurasakan. Jujur saja, aku sampai sangsi aku bisa bangkit bernafsu lagi setelah episode blowjob yang gila itu. Mbak Mayang kemudian keluar dari kamar mandi, menuju kasur dan beringsut manja ke pelukanku. “Aku butuh temen malam ini… temenin aku…” bisiknya. Aku otomatis menarik selimut, dan memeluknya erat. Aku kemudian mencium keningnya. Tak berapa lama aku mulai masuk ke alam tidurku. —————————————— BERSAMBUNG