Bagian 1 Aku terbangun mendadak ketika mendengar pagar besi membuka. Kukecek-kucek mataku dengan sebal. Kulihat jam di dinding, waktu menunjukkan pukul sembilan. Sial, belum genap dua jam aku tertidur sudah ada yang membangunkan. Aku berdiri, lalu keluar kamar. Setengah malas bercampur pening, aku memaksakan diri berjalan ke ruang tamu. Rupanya benar, seorang wanita sedang berdiri membawa bingkisan. Rasa marah ingin kulepaskan namun tertahan di kerongkongan. Bu Safira, nama wanita itu, juga pasti ke sini atas suruhan kakek. Mana dia tahu kalau aku habis begadang mengerjakan tugas? Kubuka kunci pintu sembari meminta maaf. Bu Safira hanya tertawa dan mengatakan tidak apa. Bersama slot besi yang terlepas, pintu kutarik ke dalam. Ada wangi parfum lembut bercambur manis kue. “Baru bangun, Mas Dodik?” Aku lekas merapikan rambutku. Rupanya benar, rambutku tegak berantakan gara-gara tertidur. Bu Safira cekikikan, disodorkan sebungkus plastik besar ke tanganku. Ketika kuterima dengan gamang, kurasakan dibalik plastik ada sebuah kotak tupperware. Bau manis yang kucium pasti berasal dari kotak ini. “Apa ini, Bu?” “Kue dari Bapak,” Bu Safira berhenti sejenak lalu meluruskan, “kakek dari Mas Dodik. Kemarin malam ada kawan beliau yang membawakan dari luar kota. Bapak, eh, kakeknya Mas Dodik ingin dibagi dua.” Kakekku memang baik. Masih senang berbagi dengan cucunya ini. “Sampaikan terima kasih ya, Bu.” Bu Safira mengangguk lalu berjalan kembali ke motor. Kupandangi gerak langkah wanita itu. Bu Safira sekarang sudah berumur pertengahan empat puluh. Badannya tinggi agak gemuk, kulitnya putih. Dadanya, yang sepertinya berukuran sedang, tersembunyi di balik jaket dan juluran jilbab. Aku menelan ludah. Teringat kembali dengan video porno yang kutonton semalam. Meskipun aku lebih suka pada cewek yang lebih muda dan langsing, Bu Safira tetap terlihat menarik. Waktu mudanya pasti lebih cantik lagi. Bu Safira adalah orang yang mengurusi kakekku. Mengurusi banyak hal, mulai dari mengurus rumah, membuat jadwal, membikin janji, hingga tetek bengek lainnya. Untuk menjalankan tugas di rumah kakek, Bu Safira memiliki ‘bawahan’ yaitu dua pembantu dan satu sopir. Singkatnya wanita ini merupakan kombinasi kepala urusan rumah tangga dan sekretaris kakek. Kakek adalah seorang pengajar senior di kampusku sekarang. Sebagai seorang akademis yang aktif dalam berbagai kegiatan, jadwal kakek sangatlah padat. Urusan kakek tidak cuma berkutat tentang kampus, melainkan juga sosial bahkan beberapa kali nyerempet politik. Oleh karena itu, sekretaris resmi dari kampus kadang kewalahan mengurusi kakek. Pernah dalam tiga bulan, kakek sama sekali tidak pulang, pergi berkeliling mengurusi proyek entah apa saja. Ayahku, sebagai satu-satunya menantu lelaki, mewanti-wanti agar jangan bermasalah selama kuliah. Ayahku tidak mau jika aku membuat rusak nama kakek. Belajar harus baik, prestasi harus ada dan beberapa nasihat lainnya. Peringatan yang tidak perlu menurutku. Bagaimana bisa aku membuat masalah, bila Bu Safira rutin datang mengawasi? “Mas Dodik!” Bu Safira memanggil sambil berlari kecil mendekat. Di tangannya ada sebuah amplop putih. Sepertinya wanita itu hampir lupa menyerahkan itu kepadaku. “Apa ini, Bu?” “Undangan buat acara nanti malam.” Apa lagi ini? Urusanku banyak. Besok aku ada presentasi tugas bersama dengan kawan-kawan. Tugas yang kami kerjakan kompleks dan rumit, sehingga kami terpaksa sering bergadang untuk menyelesaikannya. Belum lagi dosen pengajar yang galak… Aku sama sekali tidak tahu bahwa kakek akan membuat acara. Ayah pun tidak bercerita apa-apa. Cuma, aku paham, bila berkata tidak tahu akan terkesan kurang ajar. Apalagi bila aku terang-terangan menolak untuk datang. Kuucapkan terima kasih sekali lagi lalu kami pun berpisah. Aku masuk ke dalam dengan menenteng bungkusan kue, sementara amplop kujejalkan di saku celana. Di ruang tamu kukeluarkan kotak tupperware dari plastik. Ukuran wadah yang besar membuatku agak ragu bisa menghabiskan, lalu rasa basah di plastik dan wadah membuatku curiga ini bukan kue. Kubuka tutupnya, dan… seperti dugaanku, ini adalah sebuah potongan puding buah berukuran jumbo. Aku tidak yakin bisa menghabiskan ini semua. “Siapa yang datang, Dodik?” Ivan, kawan baikku yang menginap untuk mengerjakan tugas, menyapa. Dia sepertinya terbangun karena suara berisik tadi. Kawanku ini sama berantakkannya denganku: rambut keriting mengembang, mata merah kurang tidur dan baju kusut bekas berbaring. “Pegawainya kakekku,” ujarku sambil mengambil peralatan makan, “datang ke sini mengantarkan makanan.” Ivan memandang puding di tupperware dengan minat. Kukira rasa laparnya telah sukses mengalahkan kantuk. Kuserahkan sebuah piring kecil dan sendok lalu kupersilahkan dia makan duluan. “Kau tidak ambil, Dik?” Aku menggeleng, “Aku mau cari makan nasi dulu. Si Banu mana? Nanti bisa dibagi sama dia juga?” “Dia sudah pulang waktu kamu tidur tadi.” Ivan mengusap wajahnya yang masih kusut. Matanya berusaha dibelalakkan sembari satu tangan mengiris puding, “Dia susah kalau tidak tidur di kasurnya sendiri.” Kubuka telepon pintar, lalu kuakses aplikasi pengantar makanan. Setelah menimbang sejenak, kupilih sebuah menu nasi campur yang dijual tidak jauh di sini. Aku pun seperti Ivan, kehilangan kantuk dan memutuskan untuk mengganjal perut. “Besok kita presentasi lho.” Ivan mengingatkan, “Kau tahu sendiri kalau Pak Joko orangnya keras. Presentasi kita harus sempurna.” “Memangnya kenapa?” Ivan menunjuk ke amplop yang menyembul di saku celana, “Aku ingin kita bisa membahas sekali lagi nanti malam tapi kau ada acara.” Si Ivan sempat-sempatnya curi dengar. Segera kubuka amplop dengan malas. Isinya hanya penegasan kata-kata Bu Safira, kakek ada acara syukuran kecil dengan mengundang tetangga. Aku diminta datang mungkin karena cucu yang tinggal paling dekat. “Nanti aku kabari ya.” ucapku sembari mengemasi puding. Kututup kembali tupperware lalu memasukkan ke lemari es. Ivan merasa tidak enak, “Kalau memang sulit, tidak apa Dodik. Nanti aku dan Banu saja yang membahas lagi.” “Kita pakai aplikasi rapat online saja.” jawabku mencari jalan tengah, “Jadi aku tetap bisa berkontribusi.” Ivan berterima kasih atas keputusanku. Setelah selesai makan puding, kawanku itu langsung mengambil motor dan pulang. Tinggallah aku sendirian di rumah. Tidak lama, sebab makanan yang kupesan datang. Lalu aku pun menghabiskan sisa pagi dengan sarapan yang terlambat. Ayah membelikan rumah ini untukku. Katanya sih, punya kenalan yang ingin dijual sebab anaknya sudah lulus kuliah. Tentu saja itu bohong. Ayah tidak mau aku menyusahkan kakek. Ayah ingin tampil mandiri di hadapan kakek. Ayah ingin agar tetap terlihat bisa menghidupiku sendiri meskipun ibu sudah tiada. Aku tidak bisa mengerti harga diri macam apa yang ingin ditunjukkan ayah kepada kakek. Bukankah sudah cukup dengan tetap menduda hingga sekarang? Toh kakek pun tidak pernah secara terbuka berkonflik dengan ayah. Setidaknya itu yang kutahu. Kakek tinggal seorang diri. Nenek sudah lama meninggal. Cukup lama, bahkan sebelum aku lahir. Kakek punya dua orang anak lelaki. Hubungan mereka tidak baik. Aku hanya sekali dua kali bertemu dengan kedua pamanku itu. Memang mereka cenderung menghindar dari kakek. Ayah tidak pernah memberitahu apa masalah di antara mereka. Aku sih menduga karena sifat kakek yang cenderung keras. Ibuku meninggal saat aku berusia tiga tahun. Mendadak karena kecelakaan. Orang bilang, anak kesayangan kakek ya ibuku. Ayah pun mengakui bahwa yang masih rajin merawat kakek hanya ibu. Aku menduga kakek sangat perhatian padaku karena faktor kenangan baik terhadap ibu. Teleponku berbunyi di tengah makan. Sebuah pemberitahuan ada pesan digital dari Bu Safira. Kulihat sekilas saja tanpa kubuka. Keputusan yang salah. Pesan kedua, ketiga, keempat, dan kelima menyusul bertubi-tubi. Aku mengerang, lekas kuselesaikan makan kemudian melihat telepon. Bu Safira meminta maaf telah membuat repot. Dia bilang ayah dan kakek sedang ada masalah jadi saling mendiamkan. Bu Safira tidak menduga bahwa masalah itu cukup besar sehingga kakek tidak bilang ke ayah bahwa beliau membuat acara. Undangan itu hanya untuk aku saja. Jangan sampai ayah tahu. Aku menghela napas berat. Di akhir pesan, wanita itu memintaku untuk tetap datang. Nanti dia yang akan mengantar jemput. Bu Safira akan mendampingi selama acara agar semua baik-baik saja. Aku mengiyakan saran itu tanpa membantah. Benakku terasa hambar. Kubuka laptop dan membuka beberapa video porno yang kupunya. Ada yang menampilkan bintang jepang, ada yang eropa. Aku beronani menghilangkan rasa kesal. Muncrat sekali lalu tidur. Aku lelah. Lelah sekali. Penat pikiran, fisik dan batin. Tidurku langsung lelap. Tanpa ada mimpi atau blingsatan terjaga. Tiba-tiba saja aku terbangun ketika hari sudah gelap. Kulihat ponselku. Ivan dan Banu mengabari kalau kami tidak perlu rapat lagi. Kami akan mengikuti pembagian tugas yang sudah dibagi kemarin dan memperdalam saja hari ini. Aku mengerang. Lampu-lampu rumah kunyalakan. Kemudian lekas mandi. Mandi sebersih mungkin. Kuhilangkan kotoran yang lengket, keramas dan menyingkirkan sisa mani di burungku. Selesai itu, kubersiap dengan pakaian terbaik yang kupunya. Bu Safira datang menjemput tak lama kemudian. Wanita itu datang dengan membawa mobil pribadi. Berbeda dengan tadi, Bu Safira mengenakan setelan jilbab lebar dengan warna coklat kalem, lalu jubah longgar terusan berwarna gelap. Aku tidak bilang apa-apa dan langsung naik ke mobil. Bu Safira mengerutkan kening sejenak, kurasa ia ingin membuka percakapan. Wanita itu ragu sebelum akhirnya memilih diam dan mengemudikan kendaraan. Kami menghabiskan perjalanan dalam hening malam. Ketika kami sampai, rumah kakek masih terlihat ramai. Di depan ada beberapa tetangga yang menggerombol bercakap-cakap. Beberapa kursi sudah kosong. Bu Safira sengaja menjemputku agak belakangan. Tujuannya agar aku langsung makan, menemui kakek kemudian pulang. Tidak perlu lama-lama di sini, toh sebagian besar waktu kakek akan tersita dengan menemui tetangga. “Mas Dodik tunggu dulu di sini ya. Makan dulu saja.” kata Bu Safira. Dia lalu berjalan masuk ke dalam. Aku menduga hendak mengabari kakek mengenai kedatanganku. Aku kembali menuruti perintah. Kuambil sedikit nasi dan lauk. Tidak lupa sedikit sayur. Kumakan sedikit sebelum mual datang. Lekas kuletakkan piring di tepi, aku bergegas keluar sebelum memuntahkan isi perutku ke selokan. Sekali, dua kali. Perutku terasa kosong. “Mas Dodik sakit?” Aku melirik ke sisi. Tampak seorang pembantu kakek datang mendekat. Dia hendak menolong namun lekas kulambaikan tangan menolak. “Sebentar lagi mau langsung pulang.” ujarku. Pembantu itu segera mengambilkanku kursi. Dia berusaha membantuku untuk duduk namun kutolak. Aku bisa untuk duduk sendiri. Perut saja yang tidak nyaman. Badanku baik-baik saja. Setelah menyerahkan segelas air, pembantu itu lari ke dalam. Kuduga untuk mencari Bu Safira. Mungkin akan ada kegaduhan, mungkin tidak. Aku rasa aku bisa cepat pulang dengan begini. Kusandarkan punggung di kursi. Kupejamkan mata. Rasa tidak nyaman di perutku mulai mereda. Kuteguk air putih, tetes-tetes bergulir ke dalam, memasuki lidah, membasahi kerongkongan turun ke bawah. Lambungku terasa lebih nyaman. “Mas Dodik,” kudengar Bu Safira memanggil. Kubuka mataku dan kulihat wanita itu berlari kecil menujuku. Baju jubahnya yang longgar seperti berkibar-kibar. Sepertinya dia panik. “Kata anak-anak, Mas Dodik sakit.” Bu Safira berujar sambil terengah-engah, “Ayo ke dalam dulu sebentar. Bapak sudah menunggu. Nanti kita langsung pulang setelah itu.” Sudah kuduga, pikirku. Aku menurut dan mengikuti Bu Safira di belakang. Kami masuk lewat pintu garasi, lalu daerah dapur. Ada beberapa pegawai katering, pembantu dan seorang sopir yang kukenal. Satu dua orang yang mengenaliku sempat menyapa ramah sebelum kembali ke aktivitas masing-masing. Kami terus berjalan menuju ruang tengah, dimana sebagian orang masih berkumpul. Kakek duduk bersila di atas karpet, di tengah-tengah kerumunan. Wajahnya tampak berbinar setelah melihatku. Senyum mengembang di bibir. Tanpa ragu, kakek beringsut pergi dari kerumunan. Badannya yang renta tertatih berdiri dan menyambut. “Terima kasih sudah datang, Dodik.” ucapnya sambil memelukku erat. Kurasakan tubuh kakek yang kurus seolah dipenuhi energi lagi. Kakek bahagia. “Maaf saya terlambat datang, Kek.” ujarku sambil melepaskan pelukan. Kucium tangannya yang keriput. Tangan kakek yang satu lagi mengelus kepalaku dengan sayang. “Waktu Safira cerita bahwa Dodik mau ke sini, kakek senang sekali.” Ujarnya dengan mata berkaca-kaca. “Ternyata masih ada keluarga yang bisa datang.” Aku memaksakan diriku tersenyum. Ada entakan tidak nyaman di dadaku. Juga rasa bersalah. Aku merasa tidak benar datang ke sini karena terpaksa. Kulirik Bu Safira dari ekor mataku, wanita itu tampak menahan nafas haru. “Bagaimana sekolah?” tanya kakek. “Lancar, Kek. Besok saya ada presentasi proyek kelompok.” “Dengan siapa?” “Pak Joko.” Kakek mengerutkan kening sebentar seperti mengingat-ngingat. Beliau lalu mengulang nama itu, lengkap dengan nama belakang, gelar dan mata kuliah yang diampu. Aku mengangguk membenarkan. Kakek cukup kenal dengan dosenku. “Sudah selesai persiapannya?” Aku hanya mengangguk. Siap tidak siap, besok harus maju. Kakek menoleh ke arah Bu Safira. Bu Safira segera mendekat, “Mas Dodik juga kurang sehat, Pak. Saya izin mengantarkan Mas Dodik pulang duluan ya.” Kakek menepuk punggungku, “Kalau ada apa-apa, segera menghubungi ya. Kakek pasti akan membantu.” Kami pun berpisah. Secepat itu datang, selekas itu pun aku pergi. Tidak banyak yang bisa kami bicarakan karena tamu masih menunggu kakek. Ingin rapat, hendak berdiskusi. Nyaris tidak ada waktu untuk keluarga. Aku dan Bu Safira menaiki mobil, langsung meluncur kembali ke rumahku. Perasaanku tidak enak, campuran marah, sedih dan yang lainnya. Aku ingin melepas himpitan itu, entah ke siapa. “Bu Safira tidak bilang bahwa hanya saya yang bisa datang.” Kulihat ke arah wanita itu. Dia bergeming. Pandangannya tetap di jalanan. “Bu Safira sudah tahu bukan kalau ayah sedang ada masalah dengan kakek? Bu Safira tahu itu tapi tetap sengaja memberi saya surat undangan. Ibu memberikannya mendadak pagi ini agar saya tidak sempat mencari tahu ke ayah.” Wanita itu mengangguk lemah. Kesetiaannya kepada kakek terlalu besar hingga berani melakukan hal macam ini. Aku akhirnya yang dibuat repot. Kalau ayah tahu aku datang ke tempat kakek di saat mereka ada masalah, bisa-bisa aku kena marah. Besok aku ada presentasi dengan Pak Joko, si dosen killer. Terlalu ruwet bila juga harus berhadapan dengan kemarahan ayah. Ayah akan sangat sulit diajak bicara bila marah. Aku paham betul kepribadian ayah. Beliau akan menembak semua sisi, tidak ragu mengungkit kesalahan apa pun, sekecil apa pun dari sudut memori yang paling berdebu untuk menyarangkan serangan. Ayah juga sulit buat memaafkan. Aku paham mengapa ayah tidak mau datang ke acara kakek bila permasalahan antara mereka timbul karena ulah kakek. “Bapak sudah saya pesan untuk tidak bicara apa-apa dengan ayah Mas Dodik.” “Mengapa Bu Safira ingin sekali menjadi pahlawan? Kerjakan saja tugas baik-baik. Cukup. Beres. Tidak perlu membawa-bawa saya.” Hening. Kalimatku menggantung di udara dengan berat. Wanita itu hanya menghela napas dan tetap mengemudi. Aku berhasil melesakkan serangan tepat yang membuatnya diam. Tidak lama, kami sampai di rumah. Pintu pagar kubuka, lalu ruang depan. Bu Safira mengikuti di belakang dengan beberapa plastik berisi makanan. Tidak kuacuhkan dia, kubiarkan dia melakukan apa yang dia mau. “Mas Dodik mau makan? Nanti saya siapkan.” Aku tidak menjawab. Aku benar-benar hendak membiarkan wanita itu berbuat yang ia mau. “Mas?” Aku ngeloyor pergi, langsung masuk ke dalam kamar, pintu segera kututup. Kepalaku panas. Kubuka laptopku dan kuputar satu dua video porno untuk mendinginkan kepala. Ya… Begini terasa nyaman. Rasa sesak di otak bergeser ke celana. Kusentuh celanaku. Burungku mengeras dan nyaris menyembul. Kusentuh pelan, kuusap. Rasanya enak. Pelan-pelan kuselipkan tanganku ke balik celana dalam. Batangku tegak berdiri… Celana panjangku turun ke bawah tanpa terasa. “Mas Dodik…” Aku terperanjat. Bu Safira, entah kapan, mengikuti ke kamar. Aku hanya bengong menyaksikan wanita itu, yang juga terpana, melihatku tanpa berkedip. Aku cepat-cepat berdiri merapikan diri. Layar laptop segera kudorong menutup. Wajah putih Bu Safira memerah. Dia berusaha memalingkan muka, namun kusadari matanya melirik-lirik ke arahku yang belingsatan tidak karuan. “Mas Dodik…” Bu Safira berusaha menenangkan diri, “tadi saya mau bilang bahwa…” “Kenapa tidak langsung pulang saja?” bentakku. Bu Safira menarik napas dalam, “Saya mau membantu…” “Ini adalah kamar saya. Tidak sepatutnya Bu Safira masuk tiba-tiba.” “Mas…” “Pergi sana, Bu!” Bu Safira mundur selangkah kemudian terhenti. Kurasakan pandangan kasihan dari matanya, “Mas Dodik kenapa? Mengapa menonton yang seperti itu?” “Saya stress!” Jariku menuding wanita itu lurus, “Saya besok presentasi di depan Pak Joko! Dosen killer di kampus. Kami mengerjakan setengah mati tugas ini dari seminggu. Sudah jarang tidur. Lalu tiba-tiba, Bu Safira datang membawa masalah baru. Saya ingin hiburan.” “Hiburan tidak seperti itu…” “Apa peduli Ibu? Saya menyewa pelacur pun…” PLAK! Aku tidak menduga wanita itu begitu cepat. Sebelum ucapanku selesai, Bu Safira sudah maju ke arahku. Satu tamparan mendarat telak di pipi kiri, membuat kepalaku bergoyang. Emosiku meledak, “Saya beli pelacur pun tidak masalah, Bu!” PLAK! Satu tamparan mendarat lagi di pipiku. Pipi yang sama. Tangan yang sama. Mata kiriku langsung berair dan kabur. “Jaga mulutmu, Mas!” “Kenapa memangnya?” Bu Safira memandangku dengan marah. Tatapannya yang nanar membara, “Mas Dodik pernah memanggil PSK?” “Pernah.” Tentu saja aku tidak pernah memesan. Aku hanya terlalu emosi karena dimanfaatkan. Bu Safira mengusap wajahnya dengan penat. Kemudian tangannya itu meraup ke atas, ke ubun-ubunnya, lalu lehernya yang tertutup jilbab coklat. “Jangan begitu lagi, Mas.” ucapnya pelan. Kubantingkan diri ke kursi putar tidak peduli, lansung berbalik memunggungi wanita itu. Tanganku meraih ponsel. Reflek saja, tidak ada keinginan apa-apa. Tapi reaksiku ditanggapi lain. Bu Safira lekas meraih tanganku. Menahan jariku dari mengakses telepon. “Jangan buat bapak sedih. Kalau ketahuan atau Mas tertular penyakit kelamin bisa rusak nama baik bapak.” “Itu satu-satunya hiburan saya.” Entah ide darimana aku bisa berucap seperti itu. Bisa-bisanya aku berbohong dengan bodoh. Tangan Bu Safira bergetar sebentar lalu melepas pegangan. Kurasakan dia menjauh kemudian duduk di ranjang. Helaan napas berat terdengar. “Mas Dodik sering berhubungan badan diam-diam? Menyewa perempuan untuk diajak main begituan?” Aku tidak menjawab. Kreativitasku untuk meracik bualan sudah buntu. “Mas Dodik…” Kudengar panggilan pelan dan lemah. Kali ini seperti memohon, membuatku tidak tega. Aku pun berputar, menghadap Bu Safira. Wajah wanita itu masih merah, air matanya menggenang di pelupuk mata. Kulihat tangannya menyentuh jarum di jilbab lalu melepas satu per satu. Kain itu bergesekan ketika dilonggarkan hingga lepas. Ini pertama kali kulihat Bu Safira tanpa jilbab. Rambutnya hitam tersanggul rapi ke belakang. Wajahnya putih, lehernya jenjang. Tulang di dadanya menonjol malu di pangkal leher. Dadanya membayang. “Tolong Mas,” Bu Safira memohon dengan suara yang sangat memelas, “jangan berbuat seperti itu. Bapak sudah tua. Sudah sakit-sakitan. Mas Dodik satu-satunya yang diharapkan bapak. Jangan merusak kepercayaan bapak.” “Mas Dodik…” Sebelum Bu Safira menyelesaikan ucapannya aku lekas berdiri. Kugelengkan kepala kuat-kuat. “Anggap saja percakapan ini tidak terjadi, Bu.” Ujarku. Aku sekarang kebingungan membayangkan kalau-kalau Bu Safira melaporkan lontaran kebohonganku barusan kepada kakek. “Berapa kali Mas Dodik memanggil PSK?” Kepalaku pening. Besok aku mau ada ujian dan sekarang digencet pertanyaan aneh dari Bu Safira. Aku tidak punya waktu untuk hal ini. “Bu, saya bohong masalah tadi. Saya tidak pernah sewa pelacur.” Aku melakukan hal bodoh dengan kalimat-kalimat itu. Keinginanku untuk mengakhiri kebohongan malah ditanggapi lain. Bu Safira meraup wajahnya dengan putus asa. Getar kekecewaan terlihat di air mukanya. “Bu Safira pulang saja sekarang… Saya minta maaf sudah berbohong tadi. Saya mau belajar…” Wanita itu berdiri. Memandangku lurus. Pandangannya menumbuk kepadaku, lalu ke telepon genggam di meja. “Mas Dodik tetap mau memanggil pelacur ke sini?” Ya ampun. Bagaimana sih cara meyakinkan Bu Safira? Bu Safira menjangkau resleting di belakang jubahnya. Kudengar geriginya bergeser longgar, disusul bagian depan jubah yang menjuntai ke samping. Satu tangan lantas meraih sisi, mendorong jubah itu jatuh ke bawah. DEG! Jantungku terasa berhenti. Bu Safira yang tadi tertutup rapat kini mulai menanggalkan pakaiannya. Tubuhnya yang putih bersih hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan sebuah celana selutut. “Bu Safira?” Wanita itu melepas kausnya. Kemudian dia menjangkau ke belakang, ke kait BH yang ia kenakan. Payudara putih menyembul bebas begitu penutup dada itu lepas. Bu Safira ternyata tidak gemuk. Badannya proporsional. Perutnya meskipun tidak langsing, cenderung kekar. Pawakannya yang tinggi dan ukuran payudaranya yang besar memberi kesan tubuhnya itu gemuk. Bentuk wanita itu nyaris sempurna, mirip dengan jam pasir: melebar di dada dan panggul. Payudara itu kini telanjang di depanku. Ukurannya besar, menggelantung ke bawah keberatan. Areola bundar hitam gelap berukuran lebar. Putingnya, yang gelap menonjol, menghadap ke bawah, saking besarnya ukuran buah dada wanita itu. Aku tersadar sekarang, dada Bu Safira terkesan sedang karena selalu ditahan BH dan kaus rangkap. “Mas Dodik boleh melihat,” Bu Safira berkata, “kalau mau memegang juga boleh tapi tolong jangan panggil pelacur lagi.” Kujulurkan tanganku ke depan. Kusentuh buah dada besar itu. Lembut dan hangat. Dan padat. Payudaranya tidak loyo seperti dugaanku. Mungkin karena Bu Safira rajin olahraga. Tanganku serasa memegang bantalan surga. Jemariku bergetar tanpa terasa… Ini pertama kali aku menyentuh bagian tersembunyi wanita. Tanganku yang satu lagi maju. Kupijat kedua bulatan surgawi itu. Jari-jariku meniti ke bawah, ke puting hitam yang menggantung. Puncaknya kusentuh penasaran. Bu Safira memalingkan muka. Wanita itu menepati kata-katanya. Dia tidak melarang atau pun menolak mundur. Bu Safira berdiri mematung pasrah ketika buah dadanya kupegang-pegang. Puting itu ternyata kenyal, berbeda dengan payudara yang putih namun cenderung kencang. Aku terpana menyadari beda jauh antara warna kulit kami. Tanganku yang gelap sungguh kontras dengan dadanya yang putih bersih. Kudekatakan wajahku. Ada wangi lotion wanita di situ. Aroma bunga entah apa, semburat parfum, juga keringat. Mungkin hormon? Kupijit puting yang mengacung, lalu kuputar berlawanan jarum jam. Bu Safira mendesis. Tangannya reflek menyentuh bahuku. Kukira dia akan menolak, atau mendorongku menjauh. Ternyata tidak. Bu Safira menahan napas. Desisannya tertahan di bibir, tidak lepas menjadi teriakan. Tangannya hanya memegang baju. Tidak lebih. Aku kian berani. Kubenamkan kepala di dada itu. Wajahku menyusup di celah antara payudara. Padat, tapi masih terasa empuk. Samar-samar kudengar denyut jantung memburu. Kugosok ke samping, menyusuri gundukan lalu ke puting. Mulutku membuka. Kuhisap ujung payudara. Lidahku menjilat puting. Dengan gemas kugigit. Punggung wanita itu menekuk. Tangannya yang tadi di bahu bergerak ke kepalaku. Kurasakan jarinya meraih rambut, menjambak halus menyuruhku berhenti. “Jangan Mas…” Bu Safira menolak sambil menjauh. Dengan cepat dia melepaskan diri. Lengannya menyilang waspada di dada. Aku mengusap wajahku. Napasku terengah. Kusadari jantungku juga berdegup sangat kencang. Betapa tidak? Ini pertama kalinya aku melihat langsung wanita dewasa bertelanjang dada. “Melihat boleh. Memegang boleh.” Bu Safira mengusap ujung putingnya yang kini basah oleh air liurku, “Tapi jangan digigit. Jangan lebih dari itu.” Burungku berdiri. Tegak. Keras. Lebih kuat dari sebelumnya. Birahiku sudah tembus kepala. “Terus buat apa Bu Safira melepas baju kalau begitu?” bentakku. “Saya wanita baik-baik, Mas.” Bu Safira melihatku tajam, “Saya hanya berusaha agar Mas Dodik tidak terjerumus.” “Tanggung, Bu.” kataku sebal, “Mending saya panggil langganan saya kalau seperti ini.” Ancaman kosong yang memalukan. Aku tidak tahu apakah ini masih mempan ke Bu Safira atau tidak. Kalau pun mempan, sejauh apa? Bu Safira menggelengkan kepala, “Saya punya suami, Mas. Saya juga punya anak.” “Terus? Toh Bu Safira tetap mau telanjang di depan saya yang bukan siapa-siapa?” Wanita itu terdiam. Lengannya yang menyilang menutupi dada turun, kembali ke samping. Bu Safira lantas duduk di atas ranjang, punggungnya bersandar ke dinding. Aku berdiri, lalu berjalan mendekat. Kulepas kaos yang kukenakan, lalu kulempar begitu saja ke lantai. Ketika celana hendak kulepas, Bu Safira menggeleng. “Hanya bagian atas, Mas.” katanya tegas, “Saya bukan pelacur.” Aku menurut. Ini saja sudah di luar mimpi paling gilaku. Aku naik ke atas ranjang. Kaki Bu Safira yang selonjoran kutindih. Tanganku kembali memainkan payudaranya. Kuremas, kupilin. Gundukan yang putih, turun ke areola, terus puting. Kemudian naik. Jemariku menjelajah ke ketiak, lalu bahunya yang mulus, leher jenjang menawan. Kusentuh dagu wanita itu, kurenggut paksa kemudian kucium. Bu Safira awalnya menerima pasrah, sebelum mendorongku menjauh ketika lidahku mau masuk ke mulutnya. “Jangan, Mas.” ucapnya lagi dengan ketegasan sama. Ketegasan yang mengagumkan. Pantas Bu Safira bisa dipercaya kakek sampai sekarang. Kalau pada situasi normal, aku hanya akan berhenti pada kagum tapi tidak sekarang. Nafsuku sudah kadung di ubun-ubun. Pegang-pegang seperti ini tidak akan memuaskan. Bu Safira yang sedang duduk lekas kuterkam. Tubuhnya kupiting hingga terbaring. Bu Safira yang tidak menduga aku bakal berbuat kasar tidak berkutik. Wanita itu sekejap saja langsung terkunci di bawah tindihanku. “Mas,” Bu Safira meronta-ronta, “jangan kebablasan.” Kutarik ikat rambut wanita itu. Sanggulannya langsung lepas. Rambutnya yang lurus sepanjang dada tergerai liar menggairahkan. Kukecup ganas bibirnya yang mungil, lalu hidung, dahi, kemudian ke lehernya yang jenjang. Bu Safira berusaha memberontak ketika aku mengigit nafsu leher putih. “Jangan…” Peduli setan! Tanganku menyelip di balik celananya. Terasa olehku celana dalam berenda di bawah sana. Kutarik paksa celana itu sambil mepertahankan kuncian. Bu Safira kembali meronta-ronta, kedua tangannya lekas lepas dari himpitan dan menahan celana. Kami saling tarik mengadu tenaga. “Hentikan, Mas!” bentak Bu Safira, “Atau saya akan teriak keras-keras supaya tetangga datang!” Ngeri juga… Tapi entah bagaimana aku mendapatkan ide sanggahan. “Teriak saja, Bu! Yang paling keras sekalian. Biar Bu Safira juga malu. Biar kakek juga hancur sehancur-hancurnya.” Wajah cantik di bawahku itu terperanjat. Mulutnya membuka kebingungan, sebelum akhirnya mengatup kuat. Sebentar, sebelum Bu Safira berucap pelan, “Saya mengerti, Mas. Malam ini Mas Dodik boleh melakukan apa saja yang Mas mau kepada saya.” “Benar, Bu?” Bu Safira mengangguk lalu menyuruhku untuk melepaskannya. Aku ragu. Bisa saja tiba-tiba dia lari… “Saya tidak akan lari, Mas.” Bu Safira menjawab mantap, seakan tahu isi pikiranku, “Saya hanya mau melepas celana saya. Mas Dodik juga mau melepas celana juga, bukan?” Aku minggir ke samping, memberi jalan Bu Safira untuk bangkit berdiri. Tidak benar-benar lepas karena tetap menjaga kewaspadaan. Kalau wanita itu berhasil lari, habislah aku. Bu Safira beringsut ke samping. Dalam kondisi duduk, dia menurunkan bagian bawah pakaiannya. Celana selutut dan pakian dalam berenda ditanggalkan dengan satu tarikan, disepak ke bawah hingga lepas sempurna. “Mas Dodik juga.” ucapnya sambil menggapai celanaku. Dia melonggarkan ikat pinggang, lalu membuka resleting dan kait di depan. Satu persatu Bu Safira melepas sisa pakaian yang melekat di tubuhku. Kini kami sama-sama telanjang tanpa sehelai benang pun. Kulitku yang gelap sangat kontras dengan Bu Safira yang putih bersih. Tinggi kami hampir sama, tapi jelas aku lebih gemuk, sedangkan dia terkesan atletis. “Bisa berdiri?” tanyaku. “Mengapa?” Bu Safira bertanya balik sambil berdiri. Ya, kini aku bisa melihat bagaimana bentuk badan Bu Safira dengan lebih jelas. Rupanya wanita ini memiliki tulang yang besar, sehingga perawakannya terkesan gemuk. Meskipun tidak langsing, tubuhnya sungguh luar biasa mulus dan montok. Tidak ada cela. Kupandang bagian bawah Bu Safira. Kemaluannya dicukur bersih, dengan kulit agak gelap di bawah. Kulihat celah kecil tempat liang peranakannya. “Anak Bu Safira ada berapa?” “Tiga.” “Yang paling besar usia berapa?” “Dua puluh.” Aku terbatuk terkejut. Umurku sendiri masih delapan belas. Jadi anak tertua Bu Safira itu lebih tua dariku. “Yang paling kecil?” “Tiga belas tahun.” “Berarti masih SMP?” Bu Safira mengangguk. Aku menghela napas berat. Ini menjadi hal yang tidak nyaman. Aku memang terangsang. Nafsu birahiku memang sedang meledak-ledak. Namun juga ganjil. Yang akan berhubungan badan denganku adalah seorang ibu beranak tiga, yang tertua umurnya di atasku. Kujulurkan tanganku ke depan. Jari-jariku mengusap tepi kemaluan Bu Safira. Wanita itu menggeliat sedikit, kemudian pasrah. Kumasukkan ujung jari ke dalam. Kugoyang pelan. Bu Safira mendesah, pahanya merapat. Kesempatan ini belum tentu akan datang lagi. Mungkin hanya malam ini aku bisa meniduri Bu Safira. Aku mendongak, memandang wajah wanita itu. Bu Safira memang tidak lagi muda tetapi kecantikannya terjaga. Tubuhnya pun bagus. Kutarik Bu Safira mendekat. Kucengkram erat pinggangnya. Bu Safira agak panik, tangannya lekas memegangi bahuku. Dia sepertinya tahu apa yang mau aku lakukan. Kumasukkan jariku kian dalam. Dua ruas belum sempurna tenggelam, jari kedua menyusul. Kuputar cepat di dalam sambil naik-turun. “Aaahhh…” Desahan samar. Tumpuan di bahuku melemah. Bu Safira membungkuk. Buah dadanya yang besar menjuntai di depan wajahku. Putingnya tegang menggoda. Kuputar cepat sambil bergerak keluar. Jari ketiga menyusul tangkas. Kurenggangkan kuat dan cepat sambil diselingi putaran. Wanita itu mengeluarkan suara mencecap tersengal. Dadanya naik turun liar. Liang itu basah. Lendir pekat berbau khas menetes di tangan, mengalir di antara paha yang berusaha merapat. Cairan itu kian deras mengalir, ketika jari keempatku turut menyusup ke dalam. Gerakan jariku kini sudah tidak beraturan. Kadang menggaruk, kadang berputar, bisa menekan-nekan atau merenggang. Apa saja yang terpikir, lekas kujalankan. Bu Safira sudah tidak bisa lagi berdiri sempurna. Lututnya telah menekuk. Badannya mulai oleng. Lengannya melingkari leherku, sementar kepalanya bersandar di bahuku. Mulutnya mendesah-desah oleh gairah. “Mas…” bisiknya di tengah erangan, “hentikan… Aaaahhhh…” Tubuhnya yang putih mendadak mengejang. Lengannya menekuk kuat seperti akan mencekik leherku. Sambil menggeliat-geliut tak karuan, Bu Safira rebah ke lantai. Kuikuti terus gerak tubuh sintal itu. Tanganku tetap menancap di vaginanya. Begitu dia duduk nyaman, segera aku berjongkok di sisi. Empat jariku terus bergerilya di liang peranakannya. Putar… Maju mundur… Merenggang… Sepasang paha padat menegang lurus, kaki mulus menapak kuat kasur. Lengannya, yang masih menggelayut di leherku, memeluk erat. Bu Safira menjerit keenakan sembari menaik-turunkan panggul dengan binal. Liang vaginanya mengencang, menjepit keempat jariku yang terbenam dalam. “Enak!” Bersama teriakan itu tubuh sintal itu melemah. Pegangannya lunglai. Bu Safira melemas, terbaring di lantai. Nafasnya naik turun tersengal-sengal. Peluh membasahi tubuhnya. Inikah yang dinamakan orgasme? Rasa nikmat mendera tujuan dari persetubuhan? Aku tarik paksa tubuh lemah itu ke atas. Kubaringkan di ranjang. Bu Safira masih berusaha mengatur napas ketika pahanya kukangkangkan. Wanita itu hanya bisa menunduk ke bawah, memandang sayu ke burungku yang mengacung hendak memasuki kewanitaannya. “Mas Dodik…” desisnya,” tunggu…” Kudorong pelan kepala penisku. Ujungnya yang merah merayapi bibir vagina lembab, masuk tanpa halangan. Di dalam sini hangat, kurasakan cengkraman nikmat yang memabukkan. Otot-otot kewanitaan Bu Safira meremas pelan. Memijat, membelai… Aku merasa keenakan yang sukar dilukiskan. “Tunggu…” Kepala Bu Safira lunglai di bantal, matanya membalik ke atas. Kurasakan pahanya berusaha merapat tanpa daya. Tidak ada tahanan dalam vagina Bu Safira. Penisku dengan mudah masuk setengah, terus bergerak ke dalam hingga mencapai pangkal. Kian dalam pijatan kian nyaman. Ada titik di mana pijatannya terasa kencang, ada pula yang longgar. Kugerakkan burungku ke kiri kanan sambil maju mundur untuk menjajal segala sensasi yang ada. Nikmat. Nikmat sekali. Lubang ini tidak terasa kesempitan. Tapi juga tidak longgar. Terasa pas buat burungku. Tanpa ragu aku memompa cepat vagina Bu Safira. Ketika mundur, kutahan agar kepala burungku tetap terjepit di bibir kewanitaan. Lalu disusul hujaman cepat yang sukses amblas hingga pangkal. Setiap pompaanku dijawab dengan desahan. Bu Safira menarik tanganku ke dadanya. Gunung kembar itu mengeras terangsang. Putingnya kini tegak menghadap atas. Kulitnya yang putih kini merona merah oleh gairah. Kupompa kian cepat, kian cepat. Paha Bu Safira membelit pinggangku. Kurasakan panggul wanita itu ikut naik turun mengatur tempo, sementara tangannya membimbing jariku di titik-titik sensitif payudaranya. Aku tidak tahan lagi… Kutegakkan tubuh lunglai Bu Safira. Kucengkram wajahnya mendekat. Bu Safira tidak lagi melawan… Bibir kami bertemu. Ciuman yang disusul lidah yang memasuki paksa mulutnya. Satu tanganku kembali memainkan payudara jumbo menggairahkan. Pinggangku menekan kuat. Lebih kuat dari sebelumnya… Amblas hingga ujung liang kewanitaan. Bu Safira mendesis, memeluk erat badanku. Pahanya membelit. Aku menghujam lagi… Dan lagi… Lagi… Tiap hujaman lebih dalam dari sebelumnya. Kian cepat. Liar. Dari pangkal burungku terasa sensasi yang kukenal. Cairan mani yang siap menyembur keluar. Ejakulasi. Bu Safira memelukku erat-erat. Bibirnya mengunci bibirku. Lidah kami saling memilin. Tubuh kami rapat menyatu. Kurasakan gelombang orgasme dari wanita itu, yang menyebar cepat disusul tubuh mengejan… Aku pun sama. Gelombang nikmat merayap cepat. Pinggangku menekan dalam-dalam. Burungku mentok terbenam, menyemburkan sperma ke bagian dalam rahim Bu Safira. Satu… Dua… Tiga… Tubuhku melemas, miring ke depan. Bu Safira pun sama, tidak mampu lagi menegakkan diri. Kami pun roboh ke atas ranjang. Aku terbaring di atas wanita itu. Menindihnya dengan penis masih tenggelam dalam vagina. Bersambung