AKU tinggal di rumah Budhe Suwarti, kakak dari Ibu. Budhe Suwarti membuka warung kelontong di depan rumahnya yang menjual kebutuhan warga sehari-hari seperti beras, minyak goreng, gula pasir, kecap, mie instans, rokok, dan lain-lain, sedangkan Pakdhe Waryo kadang-kadang menjaga warung membantu istrinya, kadang-kadang ngojek sepeda motor.
Tetapi sekarang lagi musim batu akik. Pekerjaan Pakdhe Waryo lebih banyak memoles batu akik untuk dibuat perhiasan cincin daripada membantu istrinya di warung.
Sebelum aku berangkat ke rumah Budhe Suwarti, ibu berpesan padaku agar aku tidak merepotkan Budhe Suwarti maupun Pakdhe Waryo.
Budhe Suwarti tidak punya pembantu. Makanya, aku tinggal di rumah Budhe Suwarti, aku selalu mencuci pakaianku sendiri 2 kali seminggu.
Aku kuliah tidak banyak pakaian kotor. Celana jins bisa dipakai berulang-ulang. Aku paling-paling hanya mencuci kemeja, kaos dan celana dalam.
Pagi itu aku bangun agak pagi. Saat aku mulai mencuci pakaianku, Budhe Suwarti sedang mandi.
Selesai mandi, Budhe Suwarti keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk.
Selama sekitar 2 bulan aku tinggal di rumah Budhe Suwarti, beberapa kali aku melihat Budhe Suwarti seperti itu dan tidak ada masalah bagiku.
Tapi pagi itu Budhe Suwarti keluar dari kamar mandi membawa pakaian kotornya. Lalu aku bertanya pada Budhe Suwarti, “Budhe, pakaian kotornya mau sekalian aku cucikan…?”
“Boleh, Budhe nitip ya, Rik.” jawab Budhe Suwarti meletakkan pakaian kotornya di lantai, kemudian melangkah pergi.
Tapi sebelum aku mencemplungkan pakaian kotor Budhe Suwarti ke ember yang berisi air sabun, aku terlebih dahulu membuka pakaian kotor Budhe Suwarti yang digulung itu supaya mudah dibasahi dengan air sabun.
Ternyata dalam gulungan daster Budhe Suwarti, terdapat BH dan celana dalam Budhe.
Kedua pakaian dalam Budhe Suwarti ini langsung mendapat perhatianku. Aku perkirakan BH Budhe Suwarti yang berwarna abu-abu itu berukuran 38, karena tetek Budhe Suwarti memang lumayan besar sehingga punggung Budhe Suwarti kelihatan agak bongkok seakan-akan tidak mampu menahan berat kedua teteknya.
Aku mencium sejenak cup BH Budhe Suwarti yang baunya agak asem, tapi ada bau wanginya juga. Setelah itu aku mencium celana dalamnya yang rada dekil itu. Ternyata bau kencing.
Mulai pagi itu aku selalu mencari-cari kesempatan supaya aku bisa menikmati bau tetek dan bau selangkangan Budhe Suwarti melalui BH dan celana dalam kotornya.
Tetapi pagi itu aku dibikin kaget oleh Budhe Suwarti saat aku sedang menikmati bau celana dalamnya. “Riki, apa yang kamu lakukan?” terdengar suara Budhe Suwarti bertanya padaku, karena seperti biasa ia meletakkan pakaian kotornya di lantai, namun pagi ini Budhe Suwarti balik lagi, mungkin ada yang ketinggalan di kamar mandi.
Aku mau pingsan rasanya, apalagi celana dalamnya sedang menempel di hidungku saat itu. Kupingku berdenging-denging, rasa maluku seperti naik sampai ke ubun-ubunku. Jika ada sumur di depanku saat itu, bisa jadi aku terjun ke sumur bunuh diri.
“Ngg… ngg… aa… anu Budhe, aaa..
anu…!” jawabku terbata-bata. “Rikk… Riki cuma pengen tau baunya,”
“Tapi bentuknya sudah pernah kamu lihat?” tanya Budhe Suwarti yang masih mengenakan handuk melangkah mendekati aku.
Jantungku semakin berdebar-debar, entah muka aku mau taruh di mana, tapi aku menjawab pertanyaan Budhe Suwarti juga. “Hanya digambar saja, Budhe. Yang asli Riki be… belum pernah lihat,” jawabku polos.
“Apa kamu pengen melihat yang asli?” tanya Budhe Suwarti berdiri di samping aku.
“Lihatnya di mana, Budhe?”
“Ini!” Budhe mengangkat handuknya ke atas. “Kamu boleh melihat dan mencium sepuas kamu. Ayo lakukan!” kata Budhe Suwarti memandang aku dengan serius. “Cepat, nanti Pakdhemu keburu pulang narik ojek!”
“Bagg… bagaimana caranya, Budhe?”
“Lepaskan semua pakaianmu, jongkok!” perintah Budhe Suwarti.
Karena masih ketakutan, aku melepaskan saja semua pakaianku. Budhe Suwarti menjulurkan tangannya memegang kontolku. “Besar juga ya punyamu ini,” kata Budhe Suwarti tersenyum, lalu ia menyuruh aku berjongkok.
Saat itu aku seperti seekor kerbau yang sedang dicokok hidungnya, ditarik kemanapun aku harus ikut.
Budhe Suwarti mendekatkan jembutnya yang hitam dan lebat ke hidungku. Spontan aku mencium jembut Budhe Suwarti yang baunya wangi sabun mandi.
“Baunya enak celana dalam, apa itu?” tanya Budhe Suwarti.
“Yang ini, Budhe!” jawabku.
Budhe Suwarti tersenyum. Dinaikkan satu kakinya ke bibir ember yang berisi air, sehingga selangkangannya terbuka lebar di depan mukaku. “Sudah tau kan sekarang bentuknya memek?” tanya Budhe Suwarti.
“Ii… iya, Budhe!” jawabku menurut.
“Jilat!” suruh Budhe Suwarti kemudian.
Aku yang tidak berdaya mengikuti saja perintah Budhe Suwarti. Aku menjulurkan lidah menjilat memek kakak ibuku itu. Tapi bau memek Budhe Suwarti beda dengan bau jembutnya. Bau memek Budhe Suwarti rada amis.
“Masukkan lidah kamu ke lobangnya,” perintah Budhe Suwarti menempelkan seluruh memeknya ke mulutku.
Aku masukkan saja lidahku ke dalam lubang memek Budhe Suwarti yang terbuka menganga itu. Kedua anaknya yang sekarang sudah menikah pasti keluarnya dari situ, batinku.
Budhe Suwarti meminta aku menyudahi memainkan memeknya. Kemudian Budhe Suwarti melepaskan handuknya. Tubuh Budhe Suwarti yang gemuk itu semuanya telanjang tanpa sisa di depanku. Tampak kedua teteknya yang besar bergelantungan di dadanya.
Kontolku berdiri tegang mengacung-acung. Budhe Suwarti berjongkok memasukkan batang kontolku ke dalam mulutnya.
Kontolku dikulum dan diisap keluar-masuk ke dalam mulutnya yang basah dan hangat. Air maniku rasanya mau keluar, apalagi saat mulut Budhe Suwarti mengisap-isap buah pelirku.
Aku mencoba bertahan agar air maniku jangan sampai keluar. Beruntung Budhe Suwarti menyudahi isapannya, kemudian ia menyuruh aku berbaring di atas handuknya yang dibentangkannya di lantai. Aku menuruti saja apa kemauan Budhe Suwarti.
Setelah aku berbaring, kedua kaki Budhe Suwarti mengangkang di atas tubuhku yang telanjang itu, lalu perlahan tubuhnya turun berjongkok. Tampak lubang memeknya tepat berada di atas kepala kontolku.
Budhe Suwarti memegang batang kontolku. Sebentar kemudian, batang kontolku, slurrppp… sudah menyusup masuk ke lubang yang padat dan keset itu.
Ketika Budhe Suwarti semakin menurunkan pantatnya, batang kontolku semakin tenggelam di dalam lubang memeknya.
Setelah terasa masuk semua, dada Budhe Suwarti rebah di atas dadaku dan kedua tangannya memeluk aku.
Mulailah pantatnya bergerak mengesot batang kontolku yang tenggelam dan terjepit di dalam lubang memeknya itu.
Batang kontolku yang keras seperti diputar-putar dan ditekuk-tekuk di dalam lubang memeknya. Rasanya ngilu tapi nikmat sekali.
Budhe Suwarti lalu menyodorkan puting teteknya yang bulat hitam itu ke mulutku. Aku tidak kuasa menolaknya.
Puting tetek Budhe Suwarti kuisap. Tak lama kemudian separuh tubuhkupun mengejang, mulutku semakin kuat mengisap puting tetek Budhe Suwarti, sementara itu gerakan pantat Budhe Suwarti juga semakin gencar.
“Shhhh…. oooo… oooo…. keluarkan, ayo…. sshhhh…. oooo…. enak sekali kontolmu, sayangg….” rintih Budhe Suwarti.
Memancarlah air maniku di dalam memek Budhe Suwarti. Srroott… srroott…. srroott… srroott…. srroott… srroott…. srroott… srroott…. srroott… pantat Budhe Suwarti terus bergerak menghajar batang kontolku sampai air maniku berhenti memancar, Budhe Suwarti baru menghentikan ayunan pantatnya.
Tubuhku lemas luar biasa karena air mani yang kukeluarkan di dalam lubang memek Budhe Suwarti juga luar biasa banyaknya.
“Enak sekali. Kapan kamu mau lagi, sayang?” tanya Budhe Suwarti tersenyum.
Kontolku yang sudah mengecil terasa sudah tidak berada di dalam memek Budhe Suwarti lagi. Budhe Suwarti bangun dari tubuhku. “Mandi sana, biar nanti Budhe yang bereskan pakaianmu,” kata Budhe Suwarti.
Hari-hari berikutnya, kalau aku tidak pergi kuliah, aku selalu melayani Budhe Suwarti bermain seks sebelum ia membuka pintu tokonya.
Seminggu bisa 2 kali atau lebih, tergantung mood-nya Budhe Suwarti.
Semakin ia kesel dan jengkel melihat Pakdhe Waryo memoles batu akik tanpa peduli dengan dirinya, Budhe Suwarti semakin sering mengajak aku bermain seks.
Sampai hari ini aku masih terus lakukan hubungan sumbang itu dengan wanita berusia 55 tahun ini.