Catatan Harian Anggun Tokoh Utama : Anggun Cipta Sasmi Tokoh Pembantu : Upin, remaja karyawan toko buku bekas Aji Mumpung. Mat Aji, pemilik toko buku bekas Aji Mumpung.
Ian Antono, gitaris GodBless dan manager profesional pertama Anggun. Mus Mujiono, penyanyi dan pencipta lagu Michel Georgea, suami pertama Anggun. Darto Singo , ayah kandung Anggun. Sien Herdina, ibu kandung Anggun. *** Bagian Pertama – Prolog Pin, dah elo keluarkan dan elo pilah belum buku-buku di dalam kardus besar itu?” teriak Mat Aji, pemilik toko buku bekas Aji Mumpung di pinggiran Jalan Saharjo, Jakarta kepada Upin, karyawannya yang sedang membongkar buku di lantai dua tokonya. Iya, lagi dikeluarkan nih pak, teriak Upin sembari mengeluarkan buku-buku bekas dari kardus. Upin mengeluarkan dan memilah-milah buku-buku bekas yang baru saja diborong oleh majikannya. Ada empat kardus besar yang harus dia bongkar dan pilah. Upin mengeluarkan buku-buku itu sambil menggerutu. Sialan nih pak Amat, suruh orang bongkar buku, mana udah siang, perut lapar huuuu gerutu Upin. Upin sibuk membongkar kardus yang berisi buku-buku pelajaran SMA, dan berbagai buku sekolah lainnya. Setelah hampir setengah jam selesai membongkar kardus pertama, dan memilah buku-buku bekas itu, Upin pun meneruskan membongkar kardus kedua. Tek tek tek .tek tek tek .suara bunyi mangkok yang dipukulkan oleh penjual nasi goreng dan mie tektek yang lewat di depan toko buku itu. Mendengar suara itu, Upin segera berdiri dan berlari menuruni tangga sambil berteriak, Mang .mang .nasi goreng euy . Pin, elo ini bikin gue terkejut mau bikin gue sakit jantung apa? gerutu Mat Aji yang terkejut dengan tingkah Upin, yang berlari turun dari lantai dua. Upin tidak mempedulikan majikannya itu dan terus berlari kecil menuju gerobak nasi goring itu. Nasi gorengnya satu porsi mang, yang pedes ya, kata Upin pada penjual nasi goreng tersebut. Pak Amat, mau ga nih? tanya Upin sambil memalingkan wajahnya ke Mat Aji. Kaga, gue udah makan tadi, elo makan aja, sahut Mat Aji. Pake telur ga, mas? Tanya penjual nasi goring itu pada Upin sambil memasukkan nasi ke kuali. Ga usah mang, pokoknya yang pedas ya, kata Upin. Iya mas, sahut sang penjual nasi goreng. Beberapa saat kemudian terdengar suara azan Ashar berkumandang, Mat Aji yang selesai menyusun buku-buku yang bertumpuk tadi pun berpaling kearah Upin yang sedang asyik melahap nasi gorengnya. Pin, elo jagain toko dulu ya, gue mau pergi sholat, kata Mat Aji pada Upin. Upin hanya mengangguk sambil makan. Setelah menghabiskan nasi gorengnya, Upin membayar uang kepada sang penjual nasi goreng, yang kemudian segera berlalu dengan gerobaknya. Upin kemudian duduk, di emperan tokonya sambil merokok dan memandang orang yang berlalu lalang di sana. Kemacetan dan suara bising sudah menjadi santapan sehari-harinya. Sambil merokok, Upin mendengarkan suara nyanyian dari radio yang diputar oleh tetangga tokonya. Lagu Madu dan Racun nyanyian Ari Wibowo terdengar. Upin pun mendengarkan lagu itu sambil berguman sendiri. Kemudian lagu itu berganti menjadi lagu Tua Tua Keladi yang dinyanyikan oleh Anggun C. Sasmi. Mengaku bujangan .kepada setiap wanita .ternyata cucunya segudang . Nyanyi Upin mengikuti irama lagu tersebut.
Sesaat kemudian, dating Mat Aji yang sudah selesai sholat. Upin pun beranjak dari tempat duduknya dan kembali naik ke lantai dua untuk menyelesaikan pekerjaannya. Upin kemudian membongkar kardus kedua sambil bernyanyi nyanyi kecil. Satu persatu buku-buku itu dikeluarkan, terdapat majalah Femina, Kartini, Bobo, Ria Film. Upin mengeluarkan dan memilah buku-buku tersebut dan meletakkannya pada masing masing tempat. Upin mengambil sebuah majlah, Ria Film, kemudian melihat tahun terbitnya, seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan. Upin pun berguman sendiri, buku jaman baheula, gue aja belom lahir tuh, ditaruhnya buku itu ke tempatnya. Kemudian setelah selesai mengeluarkan buku-buku dan majalah di kardus kedua, perhatian Upin tertuju pada sebuah buku kecil di dasar kardus. Buku itu berdebu, diambilnya buku itu dan bermaksud menaruhnya ke tumpukan majalah, namun Upin melihat kembali setelah membersihkan debu yang menempel di permukaan buku, bahwa buku itu bukan buku pelajaran atau majalah. Dikibaskannya dan ditiup debu yang menempel. Terlihat tulisan DIARY MILIK ANGGUN CIPTA SASMI. Upin merasa penasaran, kemudian membuka buku tersebut. Upin kemudian duduk di pojokan sambil membuka buku tersebut, dan membacanya. Buku harian cewek nih, siapa ya Anggun itu? Cakep ga ya? Begitu yang terlintas dari pikiran Upin saat itu. Upin pun membuka halaman pertama buku tersebut. Bagian Kedua – Catatan Seorang Anak SMP Upin membuka halaman pertama buku diary tersebut, tertulis biodata pemilik diary tersebut, Nama : Anggun Cipta Sasmi Tempat & tanggal lahir : Jakarta, 29 April 1974 Bintang : Taurus Ayah : Darto Singo Ibu : Dien Herlina Sekolah : SMP Katolik Tarakanita Kelas : 1B *** Upin membaca sambil mengernyitkan kening, dia berpikir dan menghitung kembali saat ini dengan tahun yang tertera di diary itu. Upin berpikir bahwa itu sudah lama sekali, saat dia masih belum lahir. Kembali Upin meneruskan bacaannya. *** Jakarta, 30 April 1986 Ulang tahun ku kemarin hanya dirayakan oleh aku dan ibu, mbak Yul dan mas Dan, Bapak lagi ke Jogja. Tadi siang di kelas lagi ribut soal bahasa Inggris, aku ga terlalu ambil pusing. Capek. Tar besok oom Ian mau datang, aku mesti siap siap lagi latihan vokal. Besok mau minta ibu yang ngantarin aku saja. Mau tidur aja…huuu… *** Jakarta, 01 Mei 1986 Tadi siang, aku dijemput oleh ibu di sekolahan. Ibu sudah menunggu di luar pintu gerbang sekolah. “Ibu, hari ini mau latihan vokal ya? Apa ibu sudah telepon oom Ian?” tanyaku pada ibuku saat aku berjalan bersama ibuku ke tempat parkiran mobil. “Tadi pagi ibu sudah telepon oom Ian, dia sudah menunggu kita di studionya. Sasmi sudah lapar belum?” tanya ibuku padaku. “Masih sedikit kenyang, tadi jam istirahat Sasmi sempat makan kue di kantin.” jawabku pada ibuku. “Bagaimana pelajaran sekolah mu hari ini?” tanya ibuku sambil membuka pintu mobil. “Biasa saja bu, tadi ada ulangan PMP saja,” jawabku sambil duduk di dalam mobil. Ibuku kemudian menghidupkan mobil dan memundurkan mobil kami. “Jadi, ada ulangan ya? Bisa ga tadi?” tanya ibuku. “Ga terlalu bisa menjawabnya bu, bahan kemarin yang aku pelajari ga keluar sama sekali, mudah-mudahan nilainya bisa bagus.” jawabku sambil membuka tas sekolahku. Ibupun tidak berkata apa-apa lagi, dia mengemudikan mobil ke arah Menteng, tempat studio oom Ian Antono berada. Kemudian, setelah hampir sampai ke studio oom Ian, ibu berhenti di rumah makan Pak Usu. “Sasmi mau makan apa?” tanya ibu padaku. “Aku mau tempe bacem dan opor ayam saja bu,” kataku pada ibuku. “Baiklah, Sasmi tunggu di mobil saja ya, ibu beli empat bungkus nasi dulu ya,” kata ibuku sembari membuka pintu mobil. Kemudian aku melihat ibuku masuk ke dalam rumah makan itu. Akupun melanjutkan membaca dan mengulang pelajaran matematikaku. Beberapa saat kemudian ibu kembali dan masuk ke dalam mobil. Bungkusan nasi itu diletakkan di bangku belakang kami. Wangi nasi itu tercium oleh hidungku. Ibu pun melanjutkan mengemudikan mobil ke studio oom Ian. Sesaat kemudian, kamipun sampai ke studio oom Ian.
Studio itu terletak di samping rumahnya oom Ian. Ibu memarkirkan mobil dan kami pun turun dari mobil dan beranjak ke pintu. Setelah memencet bel, pintu rumah pun terbuka, oom Ian keluar menyambut kami. “Mbak Dien, Anggun, ayo, mari masuk,” ajak oom Ian kepada kami. Kami pun masuk ke dalam rumah. Ibu mengeluarkan kantong bungkusan nasi yang dibelinya tadi. “Mas Ian, sudah makan belum? Saya ada beli nasi tadi,” tanya ibuku pada oom Ian. “Belum, tadi lagi siapkan alat, jadi lupa. Istriku juga lagi ke rumah sakit jenguk saudaranya,” ujar oom Ian. “Oh…kalau begitu kita makan sama-sama saja, kebetulan saya beli empat bungkus Mas,” kata ibuku sambil mengeluarkan nasi bungkusnya dari kantong. “Sebentar mbak, saya ambil piring dan sendok dulu,” kata oom Ian sambil pergi ke arah dapur rumahnya. Sesaat kemudian, oom Ian datang membawa piring dan sendok. Kami pun kemudian menyantap nasi yang dibeli ibuku dengan lahap. Setelah selesai makan dan istirahat sebentar, oom Ian menyuruhku masuk ke dalam studio. Aku masuk ke dalam ruangan nyanyi, sedangkan oom Ian dan ibu ada di ruangan kontrol suara. Akupun mulai menyanyikan lagu Tegang, karyaku dan bapakku, Tik Tak Tik Tuk karyaku sendiri, Dunia Aku Punya karya mbak Yessy, Garudaku karya oom Ian Antono. Setelah selesai menyanyikan lagu-lagu tersebut, oom Ian memanggilku, “Anggun, intonasinya dan vokalnya sudah bagus, besok kita ulang lagi ya buat rekaman, oom rasa kita bisa mulai rekam beberapa lagu dulu, mudah-mudahan bulan depan, album mu sudah bisa diluncurkan,” kata oom Ian kepadaku. “Iya oom, aku akan siap besok oom,” ujar ku pada oom Ian. Setelah bercakap-cakap beberapa lama, ibuku dan aku pamit pulang. Oom Ian mengantarkan kami keluar. Setelah itu, aku dan ibu masuk ke mobil dan ibu menyetir mobil menuju ke arah rumah kami. Hari sudah sore menjelang malam ketika kami sampai ke rumah. Akupun segera mandi, kemudian akundan ibu makan makanan yang sudah disiapkan mbak Yul. Setelah selesai makan, aku berkata kepada ibuku yang sedang makan, “Bu, Sasmi mau mengerjakan PR dulu ya.” “Iya, ntar jangan terlalu malam ya tidurnya,” ujar ibuku padaku. Akupun masuk ke kamar dan mengerjakan tugasku. Setelah menyelesaikan tugas sekolahku, aku menulis di diary ini pengalamanku hari ini. *** Jakarta, 02 Mei 1986 Siang setelah pulang sekolah, aku dijemput oleh ibu. Kamipun kembali ke studio rekaman oom Ian untuk merekam lagu hari ini. Setelah sampai di studio oom Ian, kami disambut oleh oom Ian dan langsung diajak ke dalam studio. Di dalam studionya sudah ada oom Deddy dan oom Mus Mujiono. “Anggun, sudah istirahat belum?” tanya oom Mus Mujiono padaku sambil tersenyum. “Sudah oom, hari ini mau rekaman lagu oom,” kataku pada oom Mus. Terlihat oom Deddy dan oom Ian sedang menyiapkan peralatan. “Anggun langsung saja ke ruangan kalau sudah siap ya, kita mulai dari lagu Tegang dan Tik Tak Tik Tuk dulu ya, tar dilanjut ke lagu lainnya,” kata oom Ian padaku. “Iya oom,” jawabku. Akupun masuk ke dalam ruangan. Aku menyiapkan diri dan terdengar suara oom Ian, “Anggun, siap ya, kita mulai ya…tiga…dua…satu…” Suara musik mulai berdendang, aku pun mulai bernyanyi… Setelah selesai merekam enam lagu dan pengulangan satu lagu, kamipun beristirahat. “Anggun sudah capek? Kita istirahat dulu ya,” kata oom Ian kepadaku. “iya oom,” jawabku pendek. Kamipun beristirahat. Ibu membawakan air padaku, oom Ian dan oom Mus sedang berdiskusi dan oom Deddy beranjak keluar untuk merokok. Setelah beristirahat setengah jam, kamipun melanjutkan rekaman kembali. Tak terasa hari pun sudah sore, setelah selesai rekaman hari itu. Oom Ian berkata kepadaku dan ibu, “Rekaman Anggun sudah selesai, nanti akan aku gubah dan edit lagi, mudah-mudahan minggu depan sudah bisa selesai, sehingga paling tidak, akhir bulan ini rekaman sudah bisa diluncurkan.” “Baiklah, nanti mas Darto juga akan ke sini, besok lusa dia sudah pulang dari Jogja. Nanti mas Darto akan diskusikan dengan mas Ian,” kata ibuku pada oom Ian. “Baiklah, sementara ini aku urus editannya dulu. Kalau mas Darto sudah pulang, minta dia ke sini saja mbak,” ujar oom Ian. Beberapa saat kemudian, pembantu oom Ian masuk dan memberitahukan bahwa makanan sudah siap. Oom Ian pun mengajak kami semua untuk makan bersama. Setelah makan malam, kami pun berpamitan dan pulang. Oom Mus dan oom Deddy masih di rumah oom Ian sewaktu kami pulang. Hari ini sangat capek. *** Jakarta, 10 Mei 1986 Hari ini ulangan persiapan, bulan depan sudah masuk ulangan umum. Harus belajar yang giat lagi. Helen tadi membantuku mengerjakan tugasku. Bapak tadi siang juga mengajarku olah vokal. Mesti siap untuk tampil nanti. *** Jakarta, 24 Mei 1986 Tadi siang sepulang sekolah, bapak memberitahu aku kalau album sudah siap, awal bulan sudah bisa naik cetak dan aku mesti siap tampil di pentas bulan depan. Hari ini latihan vokal dan menyanyi lagi. Bapak minta aku agar siap. Capek juga. Hari ini ulangan pelajaran matematika, agak susah.
Untung Agnesia membantuku. Mesti bisa bagi waktu. *** Jakarta, 15 Juni 1986 Pagi-pagi aku sudah bangun, hari ini ada pementasan di Ancol. Selain aku, ada mbak Dina Mariana, ada mbak Iis, ada mbak Diana Nasution, dan beberapa orang lagi. “Sasmi, sudah siap belum, kita sudah mau berangkat,” kata ibuku sambil melihat ke dalam kamarku. “Iya bu, ini Sasmi lagi beberes bu, bentar lagi,” sahut ku sambil membereskan barang barang yang akan aku bawa ke Ancol. “Ibu tunggu kamu di luar ya,” kata ibuku sambil berlalu. “Iya,” jawabku sambil memasukkan barang keperluanku ke dalam tas. Aku segera beranjak keluar kamar membawa tas perlengkapanku. Pagi ini, aku, bapak, ibu dan mas Yan berangkat ke Ancol. Di sana aku sudah ditunggu oleh oom Ian dan oom Mus Mujiono. Ketika sampai ke Ancol, kami langsung masuk ke arah panggung setelah bapak memarkirkan mobil dan kemudian kamipun pergi ke ruang ganti di belakang. Di sana kami berjumpa dengan mbak Diana Nasution yang sedang merias wajahnya, ada mbak Dina Mariana yang sedang bernyanyi bersenandung. “Pak Darto, mari bawa Anggun ke sini pak,” kata mas Novian, asisten pengarah pertunjukan, sambil menunjukkan kursi kepada kami. “Pak Ian sudah sampai belum?” tanya bapakku pada mas Novian. “Pak Ian ada di luar bersama Pak Pance,” jawab mas Novian. “Wah…pak Pance sudah datang ya?” tanya bapakku lagi. “Iya pak, sudah dari tadi,” kata mas Novian. Sementara itu, ibuku mengeluarkan tas make up nya, dan mulai merias wajahku. Aku duduk diam sementara tangan ibuku dengan mahir memainkan kuas riasan. Tidak berapa lama kemudian, acara pertunjukan dimulai, terdengar musik dimainkan oleh band di panggung. Terdengar nama mbak Diana Nasution dipanggil dan kemudian terdengar suaranya yang sedang bernyanyi. Setelah beberapa penyanyi, tiba saatnya aku menyanyi, saat namaku dipanggil untuk naik pentas. Akupun menyanyikan lagu Tegang dan Tik Tak Tik Tuk. Setelah selesai nyanyi dan turun dari panggung, aku sekilas melihat mas Yon Koeswoyo naik ke atas panggung. Terdengar kemudian lagu Bujangan, penonton pun terdengar berteriak Koes Plus. Aku bergegas menuju ruang ganti, di sana aku sudah ditunggu oleh ibu. Aku lihat bapak sedang berbincang dengan oom Ian. Setelah beberapa saat, kamipun diajak bapak untuk pulang. Ya, aku juga harus pulang, jadwal ku sangat padat. Minggu ini aku sudah harus mempersiapkan diri karena minggu depan sekolah sudah mengadakan ulangan umum kenaikan kelas. Di dalam mobil aku tidak banyak bicara, hanya membuka-buka buku pelajaranku. Bapak dan ibu banyak berbincang tentang peluncuran albumku. Setelah sampai ke rumah, akupun langsung masuk ke kamarku untuk belajar, sampai jam makan siang dan ini memanggilku. Setelah makan siang, aku sempat ditanya bapak mengenai pelajaranku dan setelah itu aku kembali masuk ke kamarku untuk melanjutkan belajar. *** Jakarta, 23 Juni 1986 Hari ini ujian Pendidikan Moral Pancasila dan Bahasa Indonesia. Bukan suatu pelajaran yang terlalu sulit. Aku sudah belajar dan banyak yang aku bisa. Teman-teman juga kelihatannya banyak yang bisa. Besok jadwal ulangan matematika dan biologi. Harus belajar lagi hari ini. Besok pagi-pagi mesti bangun dan belajar lagi. *** Jakarta, 08 Juli 1986 Tadi siang aku mendengar bapak ngobrol dengan oom Ian di rumah, tentang peluncuran albumku Dunia Aku Punya yang diproduksi oleh Billboard Records. Aku tidak begitu mengerti, bapak yang mengurus semuanya, mulai dari honor sampai kepada pembuatan album. Aku hanya menyanyi dan kadang aku juga membuat lagu untuk aku nyanyikan. Minggu depan pengambilan rapor, ibu akan menemaniku mengambil raporku. Tadi pagi, kertas ulangan jawaban ulangan umum kemarin dibagikan dikembalikan oleh wali kelasku. Nilaiku bagus semua, rata-rata di atas tujuh, hanya pelajaran matematika yang mendapat enam lebih. Aku memperlihatkan pada ibu nilai-nilaiku. “Sasmi, ini semua nilai ulangan kemarin ya? Hasilnya sudah lumayan bagus, nanti ibu akan berikan pada bapakmu ya,” kata ibuku. “Iya bu, Sasmi yakin akan naik kelas,”
jawabku pada ibu. “Iya, caturwulan pertama dan kedua kan nilaimu bagus juga, jadi pasti naik, cuma Sasmi kelihatan ga akan dapat ranking ya,” kata ibu sambil melihat nilai ulanganku. “Ga apa bu, tahun Depan Sasmi akan belajar lebih giat lagi,” jawabku. Ibu kemudian beranjak dan akupun masuk ke kamar. Siang itu aku istirahat dan tertidur hingga sore. Aku dibangunkan oleh ibu yang memanggilku makan malam. Setelah makan malam, kami berkumpul di ruang keluarga berbincang tentang banyak hal, mulai dari hasil ulanganku dan Mas Yan, rapor yang akan aku dan mas Yan ambil, hingga peluncuran album nyanyiku. *** “Pin….Elo dah selesai belum bongkar semua bukunya?” teriak Mat Aji di lantai bawah. Upin tersentak dan terkejut. Dengan cepat Ia meletakkan buku harian itu, Upin kembali membongkar kardus ketiga. “Lagi bongkar nih, masih banyak nih pak,” teriak Upin. Upin mengumpat dongkol karena belum selesai membaca buku harian itu. Dengan cepat Upin mengeluarkan semua buku-buku yang ada dan membagi ke tempatnya masing-masing. Tidak berapa lama kemudian, terdengar lagi teriakan Mat Aji, “Pin, gue mau keluar bentar, elo jagain ya tokonya.” “Iya pak,” sahut Upin sembari meletakkan buku yang dipegangnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Mat Aji pun menghidupkan motornya dan melaju menghilang di tengah keramaian lalu lintas di jalan Saharjo sore itu. Upin menghidupkan rokoknya dan duduk sambil menghisap rokoknya. Dia kemudian membolak balik sebuah majalah Popular edisi tahun lalu. Sambil merokok, Upin melihat gambar-gambar seronok dari seorang model di majalah itu. Tiba-tiba Upin berhenti, dia teringat akan diary tadi yang dibacanya. Kemudian dia beranjak naik ke lantai dua dan mengambil buku diary itu. Upin kemudian turun ke bawah dan duduk di emperan toko sambil membolak balik diary itu. Halaman demi halaman dibacanya. Catatan harian Anggun Cipta Sasmi dari sekolah menengah pertama hingga menengah atas. Sampai akhirnya Upin menemukan dan membaca satu halaman yang menarik perhatiannya. *** Singapura, 10 Oktober 1992 Aku bertemu kembali dengan Michel, lelaki bule berkebangsaan Perancis yang memikat hatiku. Setelah pertemuan kami di Banjarmasin lalu, makan malam yang tak terlupakan itu, sekarang aku bertemu lagi dengannya. Setelah konser tadi, dia mengajakku keluar makan malam di Orchard Road. Aku sudah ditunggunya di luar gedung konserku. “Anggun, kau tampak luar biasa malam ini,” ujar Michel sambil menggandeng tanganku dan menuntunku masuk ke dalam mobil taxi. “Terima kasih Michel,” jawabku, “Orchard Road please,” kata Michel pada supir taxi itu. Beberapa saat kemudian, kamipun sampai ke jalan Orchard dan kamipun turun di depan sebuah restoran sea food. Setelah membayar biaya taxi, kamipun masuk ke dalam restoran. “Anggun, kamu tampak luar biasa malam ini dan konser mu sangat spektakuler,” puji Michel. “Ah…kamu bisa aja,” jawabku tersipu malu. “C’est magnificent Mon cherie, aku suka gaya menyanyimu,” ungkap Michel. “Terima kasih Michel,” jawabku. Malam itu, kami menghabiskan waktu berbincang-bincang tentang lagu, tentang karier menyanyiku, apa yang ingin aku capai dan rencana-rencana ke depan. Sungguh baru kali ini aku bertemu dengan orang yang mengerti tentang aku. Aku merasa nyaman berada di dekatnya. Suatu perasaan bahwa dia sungguh untukku. Kami berbincang dan tertawa bersama. Setelah selesai makan malam, kamipun keluar berjalan menyusuri jalan Orchard dan menikmati malam itu. Sungguh aku tidak ingin malam ini berakhir, aku merasa sangat bahagia. Saat ada sebuah mobil taxi lewat, Michel menyetop taxi tersebut dan kamipun masuk. “Kita kemana malam ini Anggun?” tanya Michel kepadaku. “Terserah kamu saja,” jawabku sambil menatap wajah Michel. Ya Tuhan, dia sangat tampan, dan dia sangat lucu dan aku sungguh-sungguh jatuh hati kepadanya. Ya, Michel adalah cinta pertama ku, aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya dan dia adalah lelaki pertama yang singgah di hatiku. Selama ini hidupku hanya dipenuhi oleh jadwal sekolah dan menyanyi. Dan sekarang, ada lelaki yang manis, lucu dan perhatian padaku, aku sungguh jatuh cinta. Aku tidak memperhatikan apa yang diucapkan oleh Michel, dan kemana kami akan pergi, yang aku tahu, aku sedang jatuh hati. Michel sungguh laki-laki yang tampan dan luar biasa. Kamipun sampai ke apartemen Michel. Setelah turun dari taxi, kamipun masuk ke dalam gedung apartemen itu. Michel menggandeng tanganku dengan mesra. “Kamu sangat cantik malam ini,” puji Michel kepadaku sambil menatap wajahku ketika kami menunggu pintu lift terbuka. “Terima kasih Michel,” jawabku sambil tersenyum tersipu. Aku agak malu jika dipuji. Apalagi yang memuji itu adalah Michel, lelaki termanis yang pernah aku temui. Setelah pintu lift terbuka, kamipun masuk ke dalam.
Tidak ada siapapun saat itu, jam sudah menunjukkan pukul sembilan saat kami meninggalkan restoran tadi, yang berarti sekarang pasti sudah jam sepuluh lewat. Michel melihatku, kemudian dia mengangkat lembut daguku, diciumnya dengan lembut bibirku. Bibirku dikecup, kemudian Michel melihat padaku, seakan bertanya apakah kecupan kecil itu boleh dilanjutkan atau tidak. Aku mengangguk kecil dan menyodorkan bibirku. Michel memeluk pinggangku. Dikecup dan dilumatnya bibirku. Aku membalas lumatan bibirnya. Kami saling berpagut di dalam lift. Tiba-tiba terdengar suara lonceng berdentang dan pintu terbuka. Rupanya. Kami sudah sampai lantai yang dituju dan kamipun menghentikan pagutan bibir kami. Michel menggandeng tanganku menuju kamar apartemennya. Setelah masuk dan menutup pintu, Michel menarikku ke dalam pelukannya. Michel menciumiku, bibirnya melumat bibirku. Mulut kami beradu, lidah Michel masuk ke dalam mulutku, lidahnya menjelajahi setiap jengkal rongga dalam mulutku. Lidah kami saling bertautan, saling membelit dan saling bersilat. Liur kami saling bertukar. Bibir saling melumat dan saling menyerang. Michel melumat bibir bawahku sementara aku melumat bibir atasnya dan mulut kami kembali saling beradu dan bertaut lidah. Tangan kiri Michel meremas bokongku sementara tangan kanannya membelai punggungku. Aku melingkarkan kedua tanganku di belakang kepala Michel dan menarik kepalanya mendekat kepadaku. Aku tidak ingin menghentikan ciuman ini. Lidah kami saling beradu dan aku sungguh bernafsu sekali malam ini. Michel kemudian menghentikan ciumannya, dan kemudian Michel melepaskan gaunku dan membuka baju dan celana panjangnya. Kini aku berdiri hanya ditutupi oleh bra dan celana dalamku dan Michel hanya ditutupi oleh celana dalamnya. Aku belum pernah melihat lelaki telanjang sebelumnya. Hubunganku dengan Michel selama ini hanya pegangan tangan dan ciuman saja. Tidak lebih. Dan sekarang, aku sudah berdiri dengan hanya ditutupi oleh bra dan celana dalam saja dan melihat laki-laki yang hanya ditutupi oleh celana dalam saja. Aku memandang selangkangan Michel dan tampak olehku kemaluan Michel menyembul keluar dari celana dalamnya. Michel segera mendekat, diciumnya leherku, dijilatinya bagian belakang telingaku, tengkukku juga tidak lepas dari ciuman dari jilatannya. Aku merasa geli sekaligus merasakan sensasi yang berbeda yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Michel menciumi dan menjilati leherku sementara tangannya meremas payudara ku yang kecil. “Aughhhh….Michel….” desahku kenikmatan. Michel kemudian melepaskan braku dan tangan kirinya meremas payudara ku sementara tangan kanannya membelai dan menekan kemaluanku. Aku bisa merasakan celana dalamku basah dan merasakan kemaluanku berdenyut-denyut. Aku tidak tahu kenapa bisa sampai begitu. “Aughhhh….” aku kembali mendesah merasakan suatu kenikmatan. Michel menciumi leher, tengkukku kemudian turun ke payudaraku. Dilumatnya puting susuku, dijilati dan dimainkan putingku dengan lidahnya. Michel menjilat melingkar dari kiri ke kanan kemudian sebaliknya sambil menyedot kecil kedua puting susuku bergantian. Aku merasakan suatu sensasi yang luar biasa yang belum pernah aku rasakan. “Oughhh….nikmat Michel…terus…” desahku kenikmatan. Michel terus menyedot dan melumat puting susuku. Kemudian jilatan Michel turun ke perutku, aku tidak tahu kapan tapi celana dalamku sudah di kaki dan aku sudah berdiri dalam keadaan telanjang bulat. Michel kemudian membimbing aku ke sofa. Aku didudukkan, kedua pahaku dikangkangkan, Michel kemudian berlutut dan menciumi bagian dalam pahaku, dijilatinya kedua belah pahaku bergantian. Kemudian kurasakan bibir Michel menciumi vaginaku, disibaknya bibir vaginaku yang sudah basah oleh cairan itu dengan jarinya, diciumnya klitorisku. “Arghhhh……” desahku merasakan suatu kenikmatan yang tiada tara. Michel menciumi dan menjilati klitorisku sementara jari tengahnya perlahan dimasukkan ke dalam vaginaku yang sudah basah itu. “Ahhh…sakit Michel…pelan-pelan,” ringisku antara merasa sakit dan merasa kenikmatan. Michel terus menjilati dan menghisap klitorisku. Gerakan lidahnya sungguh luar biasa. Lidahnya berputar, menusuk klitorisku, maju dan mundur, sesekali dihisapnya klitorisku, dan lidahnya juga ditusukkan kedalam liang vaginaku. Digosoknya jarinya di luar lubang anusku. Aku merasakan nikmat, geli dan enak bercampur menjadi satu. “Arghhhhh….nikmat Michel….terus….jangan berhenti…” desahku kenikmatan. Michel kembali menjilati dan menghisap klitorisku dan tangan kanannya masih meremas payudaraku sambil memainkan putingku. Jari telunjuk dan jempolnya memilin puting susuku. Sungguh aku merasa berada di awang-awang. Kemudian Michel berdiri dan melepaskan celana dalamnya. Tampak olehku, penis seorang lelaki bule yang panjang, besar dan tegang. Di kepala penis itu tampak basah oleh cairan. Sepertinya Michel sendiri juga sudah terangsang sekali. “Oh Anggun, kau sungguh cantik sekali dan aku ingin bersamamu,” ungkap Michel. “Michel, kita belum menikah, kita tidak seharusnya melakukan ini,” kataku padanya. Aku tersadar bahwa kami belum menikah dan aku juga belum pernah berhubungan badan sebelumnya. “Anggun, aku ingin dan mau menikah denganmu. Aku sungguh jatuh cinta padamu. J’est Aime Mon Cherie…aku cinta padamu kekasihku.” ungkap Michel. “Aku mau menghabiskan masa tuaku bersamamu Anggun kekasihku,” kata Michel sambil memandangku lekat-lekat. “Aku juga cinta padamu Michel,
aku juga ingin berbagi semua dengamu,” kataku sambil tersenyum kepadanya. Michel tersenyum dan kemudian mendekatiku dan menciumiku. Michel kemudian menarikku berdiri dan menuntunku ke dalam kamarnya. Dibaringkannya diriku, kemudian bibir kami beradu. Michel menciumi aku dengan ganas. Aku mencumbuinya, bibir kami saling bertemu, lidah kami saling bertaut dan bersilat. Lidah kami saling bertukar dan liur kami bersatu dan kami terus berpagutan selama beberapa saat. Michel menindihku, tangan kanannya menahan badannya, sementara tangan kiri Michel meremas payudaraku dan memainkan puting susuku. Diremas kecil dan dipilinnya putingku. Kemudian Michel memegang penisnya yang sudah tengang itu, dimasukkannya pelan-pelan. “Ini akan sedikit sakit ya sayang, aku akan pelan-pelan,” kata Michel. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Kepala penis Michel masuk kedalam vaginaku, baru masuk sedikit dan aku sudah merasakan kesakitan. Aku mehanan pinggang Michel dengan kedua tanganku. Aku berteriak kecil. Michel kemudian mengeluarkan penisnya lagi. Dicobanya beberapa kali, entah ke berapa kali, aku sudah tidak tahu karena aku merasakan nikmat saat putingku dihisap dan disedot oleh mulut Michel. Dan ternyata penis Michel sudah masuk setengah. Perlahan, mich memasukkan penisnya hingga habis, digerakkannya pinggulnya ke atas dan ke bawah seperti pompa. Michel memompakan penisnya kedalam vaginaku. Aku merasakan sakit sekaligus bercampur dengan kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kedua kakiku aku lingkarkan ke pinggang Michel. “Arghhhh….Michel….” desahku kenikmatan. “Oughhh…Anggun….Mon cherie…” desah Michel sambil memompakan penisnya. Michel memompakan penisnya naik dan turun, irama cepat dan lambat. Aku merasakan sensasi kenikmatan yang luar biasa. “Arghhhhh….Michel….akuuuuu…..” desahku setengah berteriak. Aku merasakan suatu kenikmatan luar biasa yang belum pernah aku rasakan dan tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Aku merasakan sesuatu dari diriku mau keluar dan meledak. Kujepitkan kuat kedua kakiku di pinggang michel, kucengkram belakang kepala Michel dan sebelah tanganku lagi mencengkeram punggungnya. Aku merasa meledak keluar. Inikah kenikmatan suatu hubungan badan? Kemudian aku mendengar Michel mendesah hebat, badan Michel mengejang, aku merasakan suatu cairan hangat membanjiri vaginaku. Sungguh suatu kenikmatan yang luar biasa. Aku merasa lemas dan Michel juga demikian. Kami kemudian berbaring berpelukan setelah berhubungan badan tadi. Aku merasakan vaginaku basah, tapi biarkan sajalah, aku masih ingin menikmati kenikmatan tadi. “Mon cherie Anggun, aku cinta padamu, menikahlah dengan aku,” kata Michel sambil memandang wajahku. Aku sungguh berbunga-bunga. Lelaki manis dan tampan ini sungguh ingin menikah denganku. Aku sudah menyerahkan milikku yang paling berharga kepadanya dan aku juga sungguh mencintainya. “Ya Michel, aku juga cinta padamu. Tapi kita harus bertemu dulu dengan orang tuaku. Engkau harus melamar aku didepan orang tuaku,” kataku pada Michel. “Baiklah, nanti setelah pulang ke Indonesia, aku akan melamarmu di depan orang tuamu,” kata Michel. Aku tersenyum bahagia. Malam itu, kami menghabis waktu bersama dan bercinta lagi dua kali. *** Upin membaca dengan begitu seriusnya. Dia membalikkan halaman demi halaman terus, sampai akhirnya melihat foto Anggun yang menikah dengan Michel itu. Pernikahan Anggun dan Michel di Bali, dan beberapa foto Anggun dan Michel sedang menyanyi rekaman di studio. Selang tidak berapa lama kemudian, Mat Aji pun datang. Setelah memarkirkan motornya, Mat Aji pun bertanya kepada Upin, “Pin, ada yang datang belanja ga?” tanya Mat Aji pada Upin. “Ga ada pak,” jawab Upin. “Ya udah, ini, gue beli karedok nih, ini punya elo, ambil sendok ama piring gih,” kata Mat Aji sambil memberikan bungkusan karedok kepada Upin. Upin bergegas ke belakang, mengambil piring dan sendok untuk mereka berdua. Mat Aji dan Upin duduk makan berdua sambil berbincang tentang buku-buku yang sedang dibongkar Upin dan rencana Mat Aji untuk mengambil loakan buku lagi di seorang langganannya. “Pak Aji, gue pinjam buku ini ya,” kata Upin menunjukkan buku diary yang belum habis dibacanya itu. “Buku apa tuh Pin?” tanya Mat Aji. “Buku harian seorang cewek,” kata Upin sambil cengengesan. “Ya e lah…Pin Upin..catatan harian cewek aja yang elo baca,” kata Mat Aji mencibir. “Ude, gue mau baca tar malam, besok juga gue balikin,” kata Upin lagi mencoba meyakinkan majikannya. “Ya ude, elo baca sana, kalau gue, mendingan baca ini nih,” kata Mat Aji sambil menunjuk ke majalah Matra. “Ogah ah…gue penasaran ama buku ini,” kata Upin. “Iye, terserah elo,” kata Mat Aji. Sore menjelang maghrib, Mat Ajipun menutup pintu tokonya dibantu oleh Upin. Upin pun bergegas pulang ke rumahnya di gang yang letaknya tidak terlalu jauh dari toko Mat Aji.