BAGIAN 1 NIKMAT YANG TERLARANG
“Boleh kusetubuhi istrimu sekarang Bang.?” Tanyaku kepada seorang laki – laki yang duduknya bersebrangan denganku. Jarak kami sekitar dua setengah meter dan kami terhalang meja marmer panjang yang tingginya dibawah lututku. “I, i, i, iya Mas.” Jawabnya terbata sambil melihat ke arahku sejenak, lalu memandang istrinya yang duduk disebelah kananku, setelah itu dia menundukkan kepalanya. Tatapan matanya yang melihatku sejenak tadi, memperlihatkan kalau dia dilanda kebingungan yang sangat luar biasa. Marah tapi ketakutan, cemburu tapi dia menginginkan. Ingin keluar dari ruangan ini, tapi dia juga ingin melihat langsung apa yang akan aku lakukan kepada istrinya. Sementara itu istrinya yang menunduk dari tadi langsung mengangkat wajahnya dan melihat ke arah wajah suaminya dengan tatapan yang sayu. Digelengkannya kepalanya pelan, seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh suaminya tadi. Wanita yang selalu menggunakan penutup dikepalanya dan menggunakan kacamata itupun, tidak pernah melihat ke arahku, semenjak kedatangannya di apartemen ini. Aulia Balqis Humaira atau dipanggil Lia. Wanita yang taat, santun dan tidak banyak bicara. Sedangkan suaminya bernama Edi Baskara dan dia laki – laki yang pendiam, tapi memiliki fantasi liar yang gak masuk di akal, kalau di lihat dari kehidupannya sehari hari. Mba Lia berusia 35 tahun, Bang Edi 37 tahun dan mereka sudah memilik 2 anak.
Aulia Balqis Humaira
“Yah.” Panggil Mba Lia ke Bang Edi, dengan suara yang pelan dan bergetar. “Iya Bun.” Jawab Bang Edi sambil menegakkan kepalanya dan menatap ke arah Mba Lia. Mba Lia pun hanya diam dengan mata yang berkaca – kaca. Kedua tangannya saling menggenggam erat dan bertumpu pada kedua pahanya yang merapat. Tubuh mungilnya yang tertutup gamis lebar itu, terlihat agak gemetaran. Kedua suami istri ini saling menatap dan terlihat mereka seperti berbicara lewat tatapan mata mereka masing – masing. Bang Edi perlahan menganggukan kepalanya pelan, tapi Mba Lia membalasnya dengan menggelengkan kepalanya. Aku yang melihat suasana tegang ini, langsung mengambil bungkusan rokok marlrobo black diatas meja, lalu mengambilnya sebatang. Terlihat Mba Lia melirikku ketika aku akan membakar rokokku. “Maaf Mas, istriku tidak suka dengan asap rokok.” Ucap Bang Edi kepadaku. “Oke.” Ucapku sambil meletakkan sebatang rokokku diatas bungkusan rokok dan aku juga meletakan korekku disebelahnya. Sebenarnya aku tau Mba Lia tidak suka dengan laki – laki yang merokok dan aku juga sebenarnya tidak ingin merokok didekatnya. Tapi karena suasananya membuat kepalaku cenat cenut, akupun ingin menghisap rokokku walaupun akhirnya aku membatalkannya. Jujur, suasana seperti ini sangat tidak aku inginkan. Suasana yang harusnya di isi dengan desahan dan gerakan – gerakan liar yang menguras keringat serta lendir kenikmatan, tapi kenyataanya hanya diam dan sangat tegang sekali. “Jadi bagaimana Bang.?” Tanyaku memecah suasana yang sangat tegang ini dan itu membuat pasangan ini terkejut. “Si, si, si, silahkan dimulai Mas.” Jawab Bang Edi yang lagi – lagi terbata. “Ayah.” Ucap Mba Lia memotong ucapan Bang Edi dan Bang Edi hanya membalasnya dengan anggukan kepala. “Baiklah.” Ucapku dan aku ingin segera mengakhiri suasana yang sangat tidak mengenakan ini. Aku menggeser tubuhku mendekat ke arah Mba Lia dan itu disertai dengan lirikkannya ke arah pahaku yang mulai merapat ke pahanya. Mba Lia sebenarnya ingin menggeser duduknya ke arah sebelah kiri sana, tapi karena dia sudah berada disudut sofa, Mba Lia pun terpaksa tetap berada diposisinya. Terdengar nafas Bang Edi mulai memburu dan tubuh Mba Lia semakin terlihat gemetaran. Aku angkat tangan kiriku, lalu aku memegang kedua tangan Mba Lia yang saling menggenggam erat. Tap. Kulit tangan yang putih, lembut dan mulus itupun langsung menepis telapak tangan kiriku. Mba Lia langsung melihat wajahku untuk pertama kalinya dan tatapan matanya terlihat sangat tajam sekali. “Bunda.” Ucap Bang Edi yang terkejut dengan sikap istrinya itu. “Sudah Bang, gak apa – apa.” Ucapku dengan santainya dan aku langsung berdiri dari tempat dudukku. “Bagaimana kalau acara mala mini kita batalkan.?” Ucapku sambil mengambil sebatang rokok yang tidak aku masukan kedalam bungkusan rokokku tadi. “Gak perlu dibatalkan Mas, silahkan aja kalau dimulai sekarang.” Ucap Bang Edi dan dia mengucapkannya dengan sangat mantap sekali. Mba Lia yang mendengar percakapan kami ini hanya menunduk dengan kedua tangan yang tetap saling menggenggam. “Mba Lia belum siap dan aku juga gak mau kalau melakukan sesuatu dengan terpaksa.” Ucapku lalu aku membakar rokokku dan Mba Lia Langsung mengangkat wajahnya, lalu dia menatap ke arah wajahku. Ini kedua kalinya dia menatap wajahku dan aku bisa melihat kebimbangan dari wajahnya. Tapi walaupun dia terlihat bimbang, wajahnya masih sedap dipandang mata. “Istriku sudah siap Mas, ya kan Bunda.” Ucap Bang Edi sambil melihat ke arah Mba Lia. “Ayah.” Ucap Mba Lia yang seolah tidak setuju dengan ucapan suaminya itu. “Lebih baik aku meninggalkan kalian berdua untuk mengobrol dulu. Aku mau ngopi dibalkon.” Ucapku sambil melangkah ke arah dapur. “Iya Mas.” Jawab Bang Edi dan aku berlalu tanpa melihat ke arahnya. “Bunda, kita kan sudah membicarakannya dirumah.” Sayup – sayup terdengar suara Bang Edi ketika aku sudah sampai didapur. “Iya Yah, Bunda tau itu. Tapi Ayah juga tau kan, kalau Bunda tidak pernah disentuh laki – laki lain selain Ayah.” Ucap Mba Lia dengan suara yang memelas. “Bunda kemarin sudah setuju, tapi kenapa sekarang berubah.? Terus sekarang kita harus bagaimana.? Maunya Bunda apa.?” Tanya Bang Edi bertubi – tubi dan nada suaranya terdengar sedikit kesal. “Ayah beneran ikhlas, kalau malam ini tubuh Bunda dinikmati kali – laki lain.?” Mba Lia tidak menjawab pertanyaan Bang Edi, tapi justru dia bertanya balik. Akupun langsung melangkah ke arah balkon sambil membawa segelas kopi dengan tangan kiriku dan sebatang rokok yang menyala ditangan kananku. Aku tidak ingin ikut campur obrolan mereka, karena aku ingin menenangkan diriku sejenak diluar sana. Aku duduk dikursi dan aku letakan kopiku dimeja kecil yang berada disebelah kananku. Pandanganku mengarah ke bawah, depan dan ke atas langit. Malam mulai larut, tapi kota ini tidak terlihat sepi. Cahaya lampu mobil dibawah sana berlalu lalang dan terlihat sangat padat. Lampu – lampu yang ada digedung sekitar juga menyala terang dan sinar bulan purnama berwarna jingga yang membulat sempurna, membuat suasana malam ini terasa sangat syahdu sekali. Dilantai 87 apartemen ini aku menghisap dalam – dalam rokokku, lalu aku menghembuskannya perlahan. “Hiuuffttt, huuuuuu.” Oh, iya. Namaku Lingga, Lingga Kukuh Nugraha. Usiaku 27 tahun dan aku belum menikah. Jangankan memiliki istri, memiliki seorang kekasih saja, tidak terlintas sedikitpun dipikiranku untuk saat ini. Saat ini aku hanya menikmati apa yang sedang aku jalani dan aku tidak mau ambil pusing dengan yang namanya cinta dan juga sayang dari lawan jenisku. Bagiku hidupku saat ini sudah sangat istimewa. Aku bisa bersenang – senang tanpa ada yang melarang dan aku bisa puas menuntaskan birahiku tanpa ada yang cemburu. Aku pun sudah terbiasa menikmati berbagai tubuh wanita. Mulai dari tante – tante sosialita, ibu – ibu pejabat yang masih berstatus sebagai seorang istri maupun yang sudah janda. Istri yang liar ataupun istri yang katanya sangat setia dan alim, juga sudah aku rasakan semua. Tapi jujur, malam ini adalah malam pertama bagiku, berhubungan badan dengan seorang wanita yang di ijinkan suaminya dan mungkin saja aku melakukan dihadapan suaminya. Djiancuk. Perjalananku rupanya semakin jauh dan entah berapa lama aku akan seperti ini dan berakhir bagaimana nantinya. Tapi sekali lagi aku akan menikmati semua yang sudah aku pilih dan aku jalani saat ini. “Hiuuffttt, huuuuuu.” Aku hisap rokokku, lalu mematikan puntungnya diasbak. “Srruupppppp.” Aku seruput kopiku yang sudah mulai dingin dan sisa sedikit ini. “Mas.” Panggil Bang Edi yang sudah berdiri disebelahku. “Iya Bang.” Sahutku yang terkejut dari lamunan. “Istriku sudah siap.” Ucap Bang Edi. “Beneran Bang.?” Tanyaku sambil berdiri. “Iya, kamu bisa memulainya sekarang.” Ucap Bang Edi dan suaranya sekarang terdengar sedikit berwibawa, seperti kemarin – kemarin waktu aku bertemu dengannya. “Baiklah.” Ucapku sambil mempersilahkannya untuk berjalan dulu didepanku. Aku mengambil bungkusan permenku yang ada dikantong depan celanaku, lalu aku mengambilnya dua dan aku langsung mengemutnya. Aku ingin menghilangkan bau rokok dimulutku dan sekarang aku berjalan dibelakang Bang Edi. Bang Edi berjalan ke arah sofa, sedangkan aku berbelok ke arah dapur untuk mengambil segelas minuman. Aku berjalan ke arah sofa lagi dan terlihat Bang Edi sudah duduk ditempatnya semula. Akupun berdiri disebelah Mba Lia yang kembali menunduk, sambil meminum setengah gelas minuman yang ada ditangan kananku. “Bunda.” Panggil Bang Edi dan Mba Lia mengangkat kepalanya, lalu dia menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. “Hiuuffttt, huuuuuu.” “Yah, boleh Bunda minum.” Ucapnya terpotong dan dia seperti ragu untuk melanjutkan ucapannya. “Obat perangsang.?” Tanya Bang Edi dan aku terkejut mendengarnya. Mba Lia pun menganguk pelan dan itu membuatku langsung kebingungan. “Untuk apa Bang.?” Tanyaku dan sengaja aku bertanya ke Bang Edi, karena kalau aku bertanya ke Mba Lia, dia pasti tidak akan menjawabnya. “Untuk mengurangi rasa grogi dan supaya dia lebih bergairah.” Jawab Bang Edi sambil membuka tas kecil yang dibawanya. “Duh Nda, tadi obatnya diatas meja belum Bunda masukan ya.?” Ucap Bang Edi sambil membongkar isi tasnya. “Ha.?” Ucap Mba Lia yang terlihat bingung dan itu membuatnya semakin terlihat cantik. “Minum ini aja Mba.” Ucapku dan ini pertama kalinya aku berbicara kepadanya. Mba Lia langsung melihatku, tapi dia tidak mengambil gelas yang sudah aku arahkan kepadanya. “Itu minuman ada obat perangsangnya ya.?” Tanya Bang Edi dan aku hanya mengangguk pelan. “Kok seperti air putih.?” Tanya Bang Edi lagi. “Ini dari negeri gingseng Bang. Walaupun warna dan rasanya seperti air putih, tapi hasilnya jangan ditanya lagi.” Jawabku sambil mengarahkan jempol kiriku ke arah Bang Edi. “Waw. Ya udah, minum itu aja Nda.” Ucap Bang Edi dengan semangatnya. Mba Lia terlihat ragu, tapi dia mengambil gelas yang ada ditangan kananku dengan tangan kanannya yang bergetar. Terlihat air yang berada didalam gelas berguncang, akibat getaran tangannya. Mba Liapun langsung memegang gelas itu dengan kedua tangannya erat – erat, lalu mengarahkannya ke bibirnya yang mungil dan kecil. “Sruuppp.” Dia meminumnya sedikit, lalu dia menggenggam gelas itu lagi dan memandang isinya yang menurutku tidak berkurang sama sekali. Gelas itu masih terisi setengah sama seperti ketika aku menyerahkannya tadi. “Dihabiskan ya Mba.” Ucapku dan Mba Lia hanya melirikku, lalu melihat ke arah gelas itu lagi. Dua permen didalam mulutku sudah habis dan aku berusaha tenang di suasana yang mendjancokan ini. Aku mengambil satu lagi permen yang ada didalam kantongku dan aku langsung mengemutnya. “Iya Nda, cepat dihabiskan ya.” Perintah Bang Edi. Mba Lia mendekatkan gelas itu kebibirnya lagi dengan pelan, lalu meminumnya sedikit demi sedikit. “Gluk, gluk, gluk.” Mba Lia meminumnya sampai habis, lalu meletakkan gelas yang sudah kosong di atas meja kecil yang ada disamping kirinya. Dia lalu membersihkan sisa air minuman yang berada di ujung bibirnya, menggunakan ujung kain bajunya sebelah kanan. “Berapa lama kita menunggu reaksinya Mas.?” Tanya Bang Edi kepadaku. “Gak lama, sebentar lagi juga naik kok.” Jawabku dan Mba Lia langsung melihat ke arahku dengan tatapan yang datar. “Waw. Hebat juga ya. Apa nama obatnya Mas.?” Tanya Bang Edi dan aku hanya meliriknya sejenak, lalu aku mengulurkan tangan kananku ke Mba Lia yang masih menatapku. Nafas Mba Lia perlahan memburu dan dia langsung melihat ke arah suaminya. Bang Edipun hanya mengangguk dan kembali Mba Lia menunduk sejenak, lalu dia mengangkat wajahnya lagi. Dia menarik nafasnya dalam – dalam, untuk mengatur nafasnya yang memburu. “Hiuuffttt, huuuuuu.” Tangan kanannya memegang tangkai kacamatanya dan terlihat dia ingin melepaskannya. “Kalau boleh jangan dilepas Mba.” Ucapku dan Mba Lia kembali melihat ke arahku sambil tetap memegang tangkai kaca matanya. “Mba makin cantik kalau pakai kaca mata.” Ucapku lagi dan kedua kelopak matanya terlihat melebar dengan di iringi kepalanya yang sedikit memiring ke arah kanan. Huuu, semakin cantik dan semakin terlihat menggemaskan wanita satu ini. Aku sudah tidak sabar ingin menikmati tubuhnya, tapi aku mencoba menahannya dan aku berusaha untuk tidak terlalu menampakkannya. Mba Lia tidak jadi melepas kacamatanya dan aku masih belum melihat senyum manis keluar dari bibir mungilnya. Tanganku yang mengulur ke arahnya belum aku turunkan dan perlahan dia mengangkat tangan kirinya. Dipegangangnya telapak tangan kananku menggunakan bagian ujung jemarinya yang putih dan mulus itu. Ujung jemari itu terasa sangat dingin dan bergetar. Perlahan aku menarik ujung jemari tangannya, sampai seluruh telapak tangannya aku genggam. Telapak tangannya yang lembut tidak kalah dingin dan aku langsung meremasnya pelan. Sengaja aku tidak menariknya berdiri dan membiarkannya tetap duduk, untuk menenangkannya dari rasa malu serta grogi yang pasti menyiksa dipikirannya. Aku menangkannya lewat remasan – remasan yang sangat lembut, sampai nafasnya sudah mulai teratur dan telapaknya sedikit menghangat. Aku melirik ke arah Bang Edi yang duduk dengan wajah tegang dan tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya. Perlahan aku menarik tangan Mba Lia sampai dia berdiri tegak dihadapanku dan aku tetap menggengam telapak tangan kirinya. Tinggi Mba Lia sebatas daguku dan kalau melihat dari posisinya berdiri ini, tubuhnya terlihat mungil dan sedikit kurus. Buah dadanya tidak terlalu besar, karena hanya sedikit tonjolan yang terlihat digamis berwarna merah muda yang dia kenakan. Tapi itu hanya tebakanku, karena pandanganku masih terhalang gamisnya yang lebar dan penutup kepalanya yang menjuntai sampai keperutnya. Mba Lia tidak menatap mataku, melainkan kearah dadaku. Akupun langsung merapatkan tubuhku ke arahnya, sambil melepaskan genggaman tanganku. Perlahan Mba Lia mendangakan kepalanya dan ini adalah jarak terdekat kami beradu pandangan. Cantik, mulus dan putih. Bibirnya mungil agak kemerahan dan terlihat sedikit bergetar. Ketakutan dan keraguan terlihat jelas dari sorot mata dibalik kacamatanya. Akupun mencoba menenangkannya dan mencoba mengenalnya lewat tatapan mata kami berdua. Tidak perlu kata, tapi hanya dengan tatapan mata, sudah cukup untuk mengetahui apa yang sedang dirasa. Wanita dihadapanku ini sebenarnya penuh dengan kasih sayang, walaupun dia selalu menampakan wajah yang dingin sedari tadi. Dia membutuhkan belaian, tapi egonya terlalu tinggi untuk menyampaikan lewat ucapan. Dia sangat lembut, walaupun sesekali dia menampakan wajah dan sikap yang ketus dihadapanku. Cukup Nona, cukup kamu menampakan egomu. Aku tau sebenarnya kamu menginginkan belaian dan ingin menikmati semua ini. Kamu hanya perlu menurunkan sedikit egomu dan mari kita nikmati malam ini dengan rintihan yang pasti tidak akan kamu lupakan seumur hidupmu. Kami terus saling beradu mata dan perlahan dia sudah terlihat sedikit nyaman, karena tatapan matanya mulai berbinar. Tapi walaupun seperti itu, aku tidak gegabah untuk memeluknya. Aku tetap bersabar menunggu sampai dia benar – benar nyaman dan aku ingin kami berdua sama – sama saling menikmati malam ini dengan tulus. Kalau menurutku, berhubungan badan itu harus saling menikmati. Tidak perlu dipaksa ataupun terpaksa, agar kita bisa sama – sama meraih puncak kenikmatan. Terdengar sadis ya.? Meraih kenikmatan tubuh seorang istri dihadapan suaminya. Tapi aku sih cuek saja, karena tugasku memang seperti itu. Aku akan membuat suaminya terbakar api cemburu dan aku akan membuatnya tidak berkutik ditempat duduknya. “Hu, hu, hu, hu.” Nafas Mba Lia yang lembut terasa memburu dan kulit wajahnya yang putih sekarang mulai terlihat kemerahan. Aku memiringkan sedikit kepalaku ke arah kanan, sambil majukan wajahku perlahan. Mba Lia pun juga memiringkan kepalanya ke arah berlawanan dan kedua matanya terpejam ketika wajah kami sudah mulai mendekat. Aku menghentikan gerakanku ketika jarak bibir kami hanya tinggal beberapa mili saja. Bibirnya masih tertutup dan nafasnya semakin memburu. Deru nafas yang keluar dari hidungnyapun, terasa di sekitar mulut dan juga pipi kiriku. CUUPPP. Aku menempelkan bibirku kebibirnya yang tertutup, tanpa melumatnya. Bibirnya terasa sedikit bergetar dan kering sekali. Mba Lia langsung membuka kedua matanya, tanpa menghindari sentuhan bibirku ini. Bibirnya yang mungil terasa membeku dan sangat dingin sekali. Gejolak didalam batinnya sangat terasa di sentuhan bibir kami ini dan aku tau dia mencoba untuk berdamai dengan keadaan. “Huuuuuu.” Sayup – sayup terdengar nafas panjang Bang Edi yang keluar dari mulutnya. Aku mengemut pelan permen yang ada didalam mulutku dan bibirku juga masih tetap tertutup. Emutan permen didalam mulutku membuat bibirku sedikit bergerak dan perlahan aku merasa bibir Mba Lia mulai terbuka. “Hem.” Aku mendesah pelan dan aku juga mulai membuka sedikit bibirku, lalu aku mengemut bibir bagian bawah Mba Lia. Tidak ada balasan sedikitpun dari Mba Lia dan perlahan aku menjilati bibirnya yang ada didalam mulutku. Permen ada didalam mulutku juga terputar – putar dan perlahan aku merasakan bibir Mba Lia mulai menghisap bibir atasku. Cuuppp, cuuppp, cuuppp. “Hem.” Desah Mba disela lumatannya yang pelan. Kedua matanya kembali terpejam dan aku langsung memeluknya, tapi tidak kuat. Kedua telapak tanganku berada dipungung bagian bawahnya dan aku merabanya dengan sangat lembut sekali. Mata Mba Lia kembali terbuka dan dia seperti terkejut karena aku mulai memeluknya. Cuuppp, cuuppp, cuuppp. Aku terus melumat bibir bawahnya dan dia juga melumat bibir atasku dengan tempo yang mulai cepat. Perlahan aku memasukan bibirku kedalam mulutnya yang terbuka dan kedua matanya langsung melotot, tapi dia tidak menolaknya. Mba Lia terkejut ketika bibirku masuk kedalam mulutnya dan mulai menyapu kedalam giginya yang juga sedikit terbuka. Kenapa rekasi wajahnya seperti ini.? Apa dia belum pernah berciuman sampai bertukar lidah atau dia hanya terkejut, karena dia baru merasakan ciuman dengan laki – laki selain suaminya.? Cuuppp, cuuppp, cuuppp. Lumatan kami perlahan mulai memanas dan bibirnya yang tadinya dingin sudah mulai menghangat serta membasah. Cuuppp, cuuppp, cuuppp. Aku mulai menggesek lidahnya dengan lidahku dan lidahnya seperti tidak terbiasa dengan ciuman yang seperti ini. Cuuppp, cuuppp, cuuppp. Kedua mata Mba Lia kembali terpejam, karena mungkin dia ingin merasakan sensasi berciuman yang baru dia rasakan ini. “Hem, hem, hem.” Mba Lia mendesah pelan. Posisi Bang Edi yang ada disebelah kiriku dan terhalang oleh kepala Mba Lia, membuat aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya ketika istrinya sudah mulai menikmati ciuman ini. Cuuppp, cuuppp, cuuppp. Rabaan telapak tanganku sudah mulai turun kebawah dan sekarang sudah berada tepat dibongkahan bokongnya yang tidak terlalu besar, tapi terasa padat. “HEM..” Desah Mba Lia sambil kembali membuka kedua matanya selebar – selabarnya, karena aku baru saja meremas kedua bongkahan bokongnya. “Muaacchhh.” Dia melepaskan ciuman panjang ini dan aku langsung menghentikan remasanku dibokongnya. Aku melepaskan pelukanku ditubuhnya dan tubuh kami pun langsung merenggang. “Hu, hu, hu, hu.” Mba Lia mencoba mengatur nafasnya, sambil melirik ke arah Bang Edi. Wajah Bang Edi terlihat sangat tegang dan butiran keringat mulai berjatuhan dari keningnya. Permen yang ada didalam mulutku sisa sedikit dan sebenarnya aku tadi ingin memainkan permen ini bergantian kedalam mulut Mba Lia. Tapi karena suasananya tidak memungkinkan, aku pun langusung mengunyah permenku, setelah itu aku menelannya. Mba Lia lalu melihat ke arahku lagi dan kedua matanya terlihat berkaca – kaca. Entah apa yang sedang ada didalam pikirannya saat ini, tapi dari tatapan matanya itu memperlihatkan kalau dia tidak ingin mengakhiri semua ini. Aku memeluk tubuh Mba Lia lagi dan tiba – tiba saja dia merangkulkan kedua tangannya dibelakang leherku. Cuuppp, cuuppp, cuuppp. Tanpa basa basi, bibir kami saling melumat dan kali ini sangat panas. Mba Lia menyosor bibirku dengan ganas dan lidahnya menerobos masuk kedalam mulutku. Akupun langsung menyambutnya dan aku minghisap lidah Mba Lia dengan lembut. Kedua tanganku meremas bokong Mba Lia lagi dan itu membuat ciumannya semakin bernafsu. Cuuppp, cuuppp, cuuppp. “Hem, hem, hem.” Kembali desahan keluar dari mulat Mba Lia, ditengah ciuman panas kami ini. Lalu tiba – tiba. “Muaacchhh.” Mba Lia melepaskan lumatannya dan dia menatapku dengan tatapan mata yang sayu. Kedua tangannya masih melingkar dileher belakangku dan kami masih berdiri dengan tubuh yang merapat. Wajah Mba Lia mendekat ke arah samping kanan wajahku dan gerakannya seperti sedang mencium pipi kananku. “Hu, hu, hu. Aku mau kita selesaikan ini dengan cepat.” Bisik Mba Lia di telinga kananku dan pundaknya terlihat naik turun, karena nafasnya yang memburu. Ini adalah obrolan pertama dari Mbak Lia yang lumayan panjang kepadaku. “Aku gak terbiasa main buru – buru mba.” Jawabku dengan suara yang pelan sambil melirik Bang Edi yang terus menatap kami berdua. “Jadi kamu senang kalau lihat aku tersiksa.?” Bisik Mba Lia dengan suara yang bergetar. “Atau jangan – jangan, tujuanmu memang untuk menyiksa diriku.?” Bisik Mba Lia lagi dan terdengar kalau dia seperti menahan sesuatu. Entah itu tangis atau nafsu yang terpendam. “Baiklah. Tapi Mba harus mengikuti permainanku.” Jawabku, lalu mengecup telinganya yang masih tertutup kain. Cuuppp. “Hiuuffttt, huuuuuu.” Mba Lia mengatur nafasnya sambil menegakkan kepalanya lagi. Dia pun menatap mataku, lalu dia memejamkan kedua matanya sesaat, pertanda dia setuju dengan permintaanku. Cuuppp. Aku mengecup bibirnya sebentar, lalu aku membalikan tubuhnya sampai membelakangi diriku. Aku lalu memutarkan tubuhnya sampai posisinya menatap lurus ke arah Bang Edi didepan sana. Sepasang suami istri ini terkejut dan saling menatap dengan suasana yang canggung. Kedua tanganku langsung masuk kedalam penutup kepalanya dan tentu saja sasaranku dada Mba Lia yang membuatku penasaran dari tadi. “Lingga. Uhhhhh.” Ucap Mba Lia yang terkejut, ketika aku mulai meremas dadanya yang masih terhalang kain gamis yang dikenakannya Dia menyebut namaku untuk pertama kalinya, sambil menoleh ke arahku dan aku hanya tersenyum. Aku terus meremah buah dadanya yang tidak besar dan sangat pas digenggaman tanganku ini. Bang Edi yang melihat buah dada istrinya diremas, hanya bisa melotot dengan nafas yang memburu. “Kita masuk kedalam kamar. Aku tidak mau melakukannya dihadapan suamiku.” Ucap Mba Lia dengan suara yang terus bergetar dan dia tidak menepis tanganku yang meremas dadanya. “Enggak. Aku mau melakukannya disini. Ingat, Mba tadi sudah setuju dengan permintaanku.” Bisikku pelan dan aku yakin Bang Edi tidak mendengarnya, karena duduknya dengan kami jaraknya beberapa meter. “Tapi.” Ucapnya terpotong. “Aku yakin Bang Edi setuju kalau kita main disini dan justru itu yang diharapkannya.” Ucapku yang kembali berbisik. Mba Lia menggelengkan kepalanya pelan, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan. “Bang, kami melakukannya disini aja ya.” Ucapku kepada Bang Edi yang masih melongo menatap ke arah kami. Sengaja aku mengatakan itu, untuk membuktikannya kepada Mba Lia. “I, i, i, iya.” Jawabnya terbata sambil menganggukan kepalanya pelan. “Hiuuffttt, huuuuuu.” Mba Lia menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Lagi dan lagi dia seperti tidak percaya, dengan apa yang baru saja diucapkan suaminya. “Baiklah. Sesuai dengan kesepakatan kita tadi, mari kita melakukannya dengan cepat.” Ucap Mba Lia dengan pasrahnya dan wajahnya terlihat semakin memerah. Waw. Semakin cantik aja, kalau Mba Lia sedang dikuasai oleh nafsu. Akupun langsung melepaskan remasan tanganku dibuah dadanya, lalu membungkukan tubuh Mba Lia sampai kedua telapak tangannya bertumpu pada meja marmer dihadapan kami. Mba Lia langsung menoleh ke arahku dengan posisi membungkuk dan masih tetap berdiri. Akupun kembali tersenyum, lalu aku duduk diujung sofa dan aku langsung memegang ujung bagian bawah gamis yang dipakai Mba Lia. “Lingga.” Panggil Bang Edi dan sepertinya dia melarangku membuka gamis Mba Lia. Hahaha, taik. Padahal dia yang menginginkan ini semua, tapi kenapa sekarang dia merubah keputusannya.? Cuukkk lah. “Ssstttt.” Ucapku sambil menggelengkan kepalaku pelan. Aku mengkodenya untuk diam dan tetap duduk disofa itu. “Ba, ba, baiklah.” Ucapnya yang seperti paham maksudku. Bang Edipun kembali terdiam dan wajahnya terlihat sangat pucat sekali. Hahaha. Ternyata dia dikalahkan oleh ketakutan dan nafsunya sendiri. Laki – laki gila. Perlahan aku angkat gamis Mba Lia keatas, sampai memperlihatkan satu persatu bagian betis, paha lalu bongkahan bokongnya yang masih tertutup celana dalam yang longgar dan agak besar. Aku mengangkat gamis Mba Lia, sambil sesekali melirik ke arahnya dan juga Bang Edi. Mba Lia terlihat sangat pasrah, sementara Bang Edi hanya bisa menelan air liurnya dengan sangat berat sekali. Dia seperti sedang menelan bongkahan batu gunung dan batu gunung itu menyangkut ditengah lehernya. Waw. Saat ini aku disuguhkan pemandangan yang sangat indah sekali. Sepasang kaki yang mulus dan memang agak sedikit kurus. Kulitnya memang benar – benar sangat putih, bersih, mulus tanpa cacat sedikitpun. Celana dalam yang dikenakannya seperti celana dalam orang jaman dulu, tidak seperti sekarang yang ketat dan menutup sedikit bagian bokong wanita. Celana dalam ini menutup hampir semua bongkahan bokonngnya, tapi justru itu yang membuatku penasaran dengan isinya. “Huuuu.” Aku menghembuskan nafas panjang, sambil meletakan ujung gamis Mba Lia dipunggungnya. Kedua telapak tanganku langsung menapak kebokong Mba Lia dan aku mulai meremasnya dari luar celana dalamnya. “Hemmmm.” Mba Lia menahan desahannya sambil memejamkan kedua matanya. Wajahnya tetap menoleh ke arahku dan tidak sedikitpun dia menoleh ke arah Bang Edi. Aku juga tidak menghiraukan Bang Edi lagi dan aku menikmati remasanku dibokong yang padat ini. “Ayolah Lingga, kita harus melakukannya dengan cepat. Hemmm.” Ucap Mba Lia yang kembali membuka kedua matanya, lalu diakhiri dengan desahan panjangnya, yang lagi lagi ditahannya. Dia tidak mau melepaskan semua desahannya dan dia mencoba untuk menahannya sekuat tenaga. Akupun langsung menghentikan remasanku dibokongnya, setelah itu aku memegang ujung bagian atas celana dalamnya, lalu menurunkannya dengan sangat pelan sekali. Waw. Lagi dan lagi aku disuguhkan pemandangan yang sangat menggairahkan. Bokong Mba Lia sama seperti kulit pipinya yang putih, mulus dan bersih tanpa noda. Kemaluannya juga sangat bersih, tanpa ada sehelai rambutpun disekitarnya. Lobang bokongnya agak kecoklatan, sedikit keriput dan juga bersih. Gila. Barang mulus seperti ini, malah dibagikan oleh suaminya. Kenapa Bang Edi tidak bersyukur dengan semua ini.? Apa karena Mba Lia kurang semok atau punya Bang Edi yang kecil, jadi hubungannya diranjang kurang memuaskan, sampai harus rela mengadakan acara seperti ini.? Ahhh. Cuukkklah. Kenapa juga aku memikirkan itu.? Harusnya aku cukup menikmati wanita ini, lalu setelah sama – sama puas, aku pulang kerumahku dan segera beristirahat. Tapi kalau hanya sekedar itu, malam ini pasti terasa tidak akan sempurna. Apa aku beri sedikit pelajaran untuk Bang Edi, karena dia sudah merelakan wanita yang bagiku sudah cukup sempurna untuk dijadikan pendamping hidup ini.? Kelihatannya itu ide yang sangat bagus. “Hemmm.” Desah Mbak Lia dengan wajah yang semakin memerah, ketika celana dalamnya sudah sampai dimata kakinya. Mba Lia terus menatapku dan aku menganggukan kepalaku, untuk mengkodenya agar celana dalamnya ini bisa terlepas. Mba Lia pun langsung mengangkat kedua kakinya bergantian, lalu setelah celana dalamnya terlepas, aku mendekatkannya ke arah wajahku. Bagian tengah celana dalam itu sudah sangat basah dan terlihat ada lendir – lendir kenikmatan Mba Lia disana. Akupun langsung menghirup bagian yang basah itu, sambil menatap mata Mba Lia. “Hey, itu kotor.” Ucap Mba Lia dan suaranya terdengar sangat menggairahkan ditelingaku dan aku langsung menyodorkan celana dalamnya ke arahnya. “Tolong kasih ke Bang Edi dong Mba.” Ucapku dan Mba Lia langsung melotot menatapku. “Ayolah, katanya mau cepat berakhir.” Ucapku lalu aku tersenyum kepadanya “Kamu itu ada – ada aja loh.” Ucap Mba Lia dengan kesalnya dan memang semenjak dia membungkuk tadi, aku tidak melihatnya menatap ke arah Bang Edi. Lalu dengan terpaksa, Mba Lia mengambil celana dalamnya, setelah itu dia menyerahkan kepada Bang Edi. “Yah.” Panggil Mba Lia dengan suara yang dibuatnya setegar mungkin. Wajahnya menunduk dan dia tidak berani menatap ke arah mata Bang Edi. “Oh, i, i, iya Nda.” Sahut Bang Edi dan dengan tangan yang bergetar, Bang Edi mengambil celana dalam yang ada digenggaman tangan Mba Lia. Bang Edi hanya bisa menatap celana dalam istrinya dan aku yakin dia pasti melihat bagian yang sudah sangat basah itu. Cuuppp. Aku mengecup bagian tengah kemaluan Mba Lia yang sedikit terbuka tapi terlihat sangat rapat didalamnya. “Ehhh.” Mba Lia yang tekejut langsung memajukan pinggulnya dan aku langsung menahan pinggulnya dengan kedua tanganku. Wajahnya yang tadi menunduk kembali melihat ke arahku dan kedua tanganku yang ada dipinggangnya, sekarang beralih kebongkahan bokongnya. Aku meremasnya pelan, lalu aku turunkan telapak tanganku ke arah bawah, sampai kedua jempolku berada dibagian tengah, diantara lubang kemaluan dan lubang bokong Mba Lia. Aku buka belahan kemaluan Mba Lia dengan bantuan kedua jempolku. Bagian dalam kemaluan Mba Lia yang berwarna merah muda dan sangat becek, langsung terlihat jelas. Waw. Bersih dan tidak bau. Kemaluannya pun sangat terawat dan terlihat sangat sempit sekali. Berarti apa yang aku pikirkan tentang ukuran kemaluan Bang Edi yang kecil, pasti benar adanya. Cuhhhh. Kenapa juga aku memikirkan kemaluan laki – laki yang kecil itu ya.? Aku masih normal dan dihadapanku saat ini ada kemaluan istrinya yang sangat segar dipandang mata. Djiancuk. “Hemmm.” Aku mengendus kemaluan Mba Lia dan memang benar – benar tidak bau. “Sluuppp.” Aku pun langsung menjilatnya dan Mba Lia langsung mencoba merapatkan kemaluannya. “Ahhhh. Lingga, itu tempat kotor tau.” Ucap Mba Lia dan aku tidak menghiraukannya. “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” Aku terus menjilatnya dan kemaluan Mba Lia terasa berkedut dilidahku yang kasar ini. “Linggaaa. Hemmmm.” Panggilan Lingga yang diucapkan Mba Lia membuatku tercandu – candu. Desahannya pun masih tetap tertahan dan aku yakin, ini pasti pengalaman terbaru baginya. Bang Edi pasti tidak pernah melakukan melakukan ini dan mungkin juga sebaliknya, Mba Lia tidak pernah mengoral kemaluan Bang Edi. Ucapan Mba Lia tentang kemaluan itu tempat yang kotor, membuat keyakinanku semakin mantap. “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” “Hemm, hemmm, hemmm.” Mba Lia terus menahan desahannya dan perlahan dia sudah mulai menikmati permainanku. “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” “Hemm, hemmm, hemmm.” Bibir mungilnya tetap merapat, menahan agar desahannya tidak keluar. Desahannya yang tertahan itu berbanding terbalik dengan pinggulnya yang mulai bergoyang kekanan dan kekiri. Kalau saja kemaluan ini bisa mengeluarkan suara menggantikan bibir atasnya, pasti dia akan berteriak dan mengeluarkan sesuatu yang terpendam dari dalam hatinya. “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” “Hemmmmm.” Desahan Mba Lia yang panjang dan masih terus tertahan. “Cukup Lingga, cukup.” Tiba – tiba Bang Edi menegurku dan dia juga sudah berdiri dari duduknya. Cuuhhhh. Kenapa kalau Bang Edi yang memanggil namaku, aku jadi enek ya.? Djiancuk. Aku langsung menghentikan gerakanku, tapi kedua jempolku masih terus membuka kemaluan Mba Lia. “Hu, hu, hu, hu.” Nafas Mba Lia memburu dan dia menatap ke arahku, seperti masih menginginkannya lagi. “Cukup.?” Tanyaku sambil menatap ke arah Mba Lia, lalu ke arah Bang Edi. Tanpa disadari olehnya, Mba Lia menggelengkan kepalanya pelan dan rupanya dia sudah sangat bernafsu sekali. Bang Edi yang melihat perubahan istrinya itu, langsung terdiam seketika. “Bang, bagaimana.? Cukup atau lanjut.?” Tanyaku ke Bang Edi. “E, e, e, lan, lanjut aja.” Ucapnya terbata. “Oke. Tapi setelah ini aku harap Abang diam, sesuai kesepakatan awal kita.” Ucapku kepadanya. Tubuh Bang Edi langsung lemas dan dia langsung terduduk disofa. Bukkk. “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” Kembali aku menjilati kemaluan Mba Lia yang benar – benar sudah sangat basah. “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” “Sluuppp, sluupp, sluuppp, sluupp.” “AHHHHHH.” Desah Mba Lia yang akhirnya keluar dari mulutnya yang terbuka. Desahannya agak keras dan aku merasa ada rembesan cairan bening keluar dari dalam kemaluannya Akupun langsung mengarahkan jari tengah kananku ketengah kemaluanku Mba Lia, dengan posisi telapak tangan menghadap keatas. “Auuuu. Kenapa pakai jari Lingga.?” Tanya Mba Lia, ketika ujung jari tengahku sudah mulai sedikit masuk kedalam kemaluannya. “Gak apa – apa Mba, aku cuman mau cari jalan, supaya kemaluanku tidak kesasar didalam sini.” Ucapku bercanda. “Ayolah Lingga, jangan bercanda. Cepat masukan kemaluanmu dan cepat kita akhiri semua ini.” Ucap Mba Lia dengan tatapan yang memelas. “Sudahlah Mba, lebih baik Mba menikmati semua ini, supaya cepat berakhir.” Ucapku dan aku langsung mendorong agak dalam jari tengahku. “Lingga.” Ucap Mba Lia yang membuatku semakin tercandu – candu mendengarnya dan dia mengatakan itu sambil melotot. “Ahhhhhhhh.” Desah Mba Lia dan kemaluannya terasa menjepit jari tengahku yang sudah masuk setengah. “Lingga, lingga. Ahhhh.” Desah Mba Lia dan wajahnya yang awalnya dingin ketika datang tadi, sekarang sudah berubah sangat bernafsu sekali. Aku tekan lebih dalam jari tengahku, sampai jari ini masuk seutuhnya. “Ah, ah, ah.” Suara desahan Mba Lia mulai terdengar kacau, apa lagi aku memainkan jari tengahku didalam sana. Aku menggerakkan jariku keatas dan kebawah, didalam lubang sempit ini dan itu membuat Mba Lia memajukan pinggulnya. “Ahhhhhh, ahhhhh, ahhhhh.” Desahan Mba Lia yang membuatku semakin bersemangat dan aku langsung melingkarkan tangan kiriku dibawah perutnya, agar dia tidak bisa memajukan pinggulnya lebih jauh. “Ahhhh, ahhhh, ahhhhh.” Racau Mba Lia. Aku lalu menarik setengah jariku keluar, setelah itu aku menekannya kedalam, lalu menariknya keluar dan aku menekannya kedalam lagi. Clok, clokk, clok, clok. Bunyi jari tengahku yang keluar masuk dikemaluan Mba Lia. “AHHHHH, AHHHH, AHHHH.” Desah Mba Lia yang semakin keras. Clok, clokk, clok, clok. Clok, clokk, clok, clok. Aku terus mengocok kemaluan Mba Lia dan terlihat keringat sudah membasahi gamis yang dikenakannya. Clok, clokk, clok, clok. Clok, clokk, clok, clok. “UHHHHHHHH.” Suara Mba Lia yang terdengar sangat merdu sekali. Akupun mengentikan kocokanku sebentar, dengan posisi jari tengahku didalam kemaluan Mba Lia. “Cuuhhh.” Aku meludahi lubang duburnya dan Mba Lia langsung terkejut dengan apa yang aku lakukan ini. Aku langsung mengarahkan ujung jempolku di lubang bokong Mba Lia yang kecil dan itu, lalu aku menekannya sedikit kedalam, sampai bagian bawah kuku jempolku tertanam. “Awwww. Jangan dimasukan Ngga, jangan.” Ucap Mba Lia dan aku merasakan kedutan dilubang bokongnya. Lubang itu seperti menahan agar jempolku tidak masuk lebih dalam lagi. “Enggak kok Mba, segini aja masuknya.” Ucapku menenangkan Mba Lia. Aku lalu mengocok kemaluan Mba Lia lagi dan ujung jempolku aku biarkan tetap tertanam sedikit didalam lubang bokong Mba Lia. Clok, clokk, clok, clok. Clok, clokk, clok, clok. “Uhhh, uhhh, uhhh.” Desah Mba Lia dan kembali dia merasakan sensasi yang berbeda dengan permainan kedua jariku ini. Clok, clokk, clok, clok. Clok, clokk, clok, clok. “AHHHHH, ini nikmat sekali Lingga, ini nikmat sekali. AHHHH.” Racau Mba Lia dan dia sudah terlihat mulai liar, karena dikuasai oleh nafsunya. Clok, clokk, clok, clok. Clok, clokk, clok, clok. “Oh Lingga, aku mau pipis. AHHHHH.” Desah Mba Lia dan kedutan didalam kemaluannya semakin terasa. Mba Lia kelihatannya segera mencapai puncak kenikmatan dan aku langsung menarik keluar kedua jariku bersamaan. Ploppp. “Ahhhhhhh. Kenapa berhenti.” Ucap Mba Lia dan tatapan matanya kembali tajam ke arahku. Puncak kenikmatan sudah didepan mata dan sedikit lagi sudah akan diraihnya, tapi aku langsung menghentikannya tanpa aba – aba. Apa yang aku lakukan ini membuat wajahnya merah semerah – merahnya dan dari tatapannya dia sangat marah kepadaku. “Belum waktunya Mba, sabar.” Ucapku lalu aku tersenyum kepadanya. “JAHAT.” Ucap Mba Lia pelan dan emosi yang tertahan. #Cuukkk. Wajahnya yang seperti itu semakin menggairahkan dan itu membuat aku tidak sabar untuk melanjutkan kenikmatan terlarang ini. Tapi apa bisa lanjut ya.? Mba Lia kan lagi marah. Apa aku bisa mendengarkan lagi, dia menyebut namaku yang membuatku tercandu – candu.? LINGGAAA.!!!