Alkisah, Yongki yang terlanjur mendamba, mendapatkan tanggapan positif dari Ratih. Meli tidak tahu. Yongki lalu menjalin hubungan gelap dengan kakak iparnya. Namun, lambat laun Yongki tidak sadar gelagat jeleknya terendus juga oleh kakak kandungnya. Apakah yang akan dilakukan oleh Yongki? Mengapa dia lebih menyenangi Ratih ketimbang istrinya?
Dengan kondisi demikian bagaimanakah kondisi rumah tangga Yongki? Lalu apakah ujung dari cerita ini?
Simak baik-baik… Kisah ini akan diceritakan dengan alur Mundur-Maju. Selamat Membaca…
BONCOS!!!
Tentang ini ceritanya…
BAGIAN I
“Kamu jangan salahin Abang. Salahin dirimu sendirilah…”
“Lagian sejak kapan kamu bisa-bisanya main hati dengan Mbak Ratih, sekarang kamu kena apesnya sendiri, tahu rasa kamu, kena karma!”
“Abang juga main hati dengan dengan biniku, gak bisa begitu dong Bang! Aku gak bisa terima!”
PLAAAAK!!!
“Fitnahmu itu! HATI-HATI MULUTMU! ENGGAK ADA ADAB! MALU ALMARHUM AYAH BILA TAHU KAMU SEPERTI INI!”, ujar Rustanto menunjuk muka, menampar keras pipi adiknya, Yongki.
“Kalau bukan Abang, biniku selingkuh dengan siapa lagi?! ya cuman abang orangnya!!! Ngakulah Bang!!”
“Ini, iniih… karena ketololanmu ini, bikin kamu gelap hati, gelap mata, gelap pikiran…”.
“Bukan, Ki. Abangmu enggak berselingkuh dengan istrimu. Abangmu ini orang baik, kamu jangan salah menuduh. Kamu yang sepenuhnya salah. Enggak akan begini semuanya kalau kamu enggak melakukan hal ini. Justru kamu sebaiknya berterima kasih. Abangmu ini masih mau memaafkanmu”, terang Mak Katim, Tante, sekaligus adik dari almarhum ibu mereka yang sudah dianggap sesepuh di keluarga.
“Terus biniku selingkuh dengan siapa??? Selingkuh dengan siapaaa??!! AAAAAHHH BONCOSS INI NAMANYA!!! AAAARGGHH”
“Kamu sampai enggak tahu binimu yang baik itu selingkuh. Nasibmu menyedihkan sekali, Ki”
“AAAARRGHHHHH… PASTI INI SEMUA KARENA ABANG, ABANG DENDAMKAN DENGANKU, IYA KAN???!! AYOLAH MENGAKU! APA SUSAHNYA?!! BEKICOTT!!”, Yongki hampir memukul kakaknya, dihadang Mak Katim.
“ENGGAK, KI. ABANGMU INI ENGGAK SELINGKUH DENGAN MELI. ASTAGHFIRULLAH… SABAR NAAAK… SABARRR… KAMU SEKARANG LEBIH BAIK AMBIL AIR WUDHU, SEMBAHYANG TOBAT!!”, Mak Katim mengeluh punggung Yongki, menenangkan hati yang bergemuruh.
“Terus Meli ke mana?! Pergi ke mana?! Dengan siapa?!! Jawabbb!!!!!”
Di antara kerabat yang berkumpul, tak ada sama sekali yang bisa menjawab pertanyaan Yongki. Dia pusing hebat mencari istrinya sekarang. Sementara sebelumnya dia tergila-gila dengan Ratih, konon Ratih adalah kakak iparnya sendiri. Menyedihkan, kena karma dia. Anehnya, mengapa dia tidak meneruskan saja hubungan perselingkuhannya dengan Ratih. Justru kini masih mengingat-ngingat istrinya. Dunia ini lucu sekali.
“ANJING KALIAN SEMUAAA!!! KALIAN SEMUA PASTI BERSEKONGKOL MENJATUHKAN SAYA!!! KEMBALIKAN MELIII, KEMBALIKAANN MELIII!!”|Yongki berteriak hebat. Satu komplek berkumpul, kian ramai keributan keluarga ini.
“Istighfar Nak… Istighfar!”
Rustanto menengok sekeliling.
“Kamu mau bikin tambah malu keluarga ini lagi?! Kecewa Almarhum Ayah dan Almarhumah Ibu, Ki! Memalukan kamu!!”
“Sudah bawa ke dalam saja, enggak enak dilihat orang”, Aku mencoba mengingatkan.
“Maafkan kelakuan adik saya ini yaa, Mas”.
“Oh enggak apa apaa….”
Kerabat lainnya hendak menarik Yongki ke dalam rumahku. Yongki melawan, matanya melotot, memukul serta menendang-nendang meminta dilepaskan. Dia masih berteriak-teriak tidak keruan, memanggil nama istrinya. Kemudian dia tertawa sendiri, memaki-maki seluruh orang. Anak-anak kecil ketakutan. Segelintir orang dewasa tertawa. Selanjutnya Yongki usai memaki-memaki lekas pergi tunggang langgang, menyebut nama istrinya. Kerabatnya mencoba mengejar, menangkap. Namun Yongki terus melawan. Akhirnya ia dibiarkan.
MELI… MELI… MELIKU SAYANG… MELI CINTAKU… HANYA UNTUKMU… PADAMU…
Sayup-sayup kerumuban warga berkata,”gila itu orang, jadi gila… gila kenapa ya…”
“Ditinggal istrinya”
“Bukannya dia yang justru meninggalkan istrinya”
“Yaa namanya juga orang STRES!”
Percakapan Whatsapp
Sore Hari
Meli: kamu di mana?
Aku: menyaksikan hiburan…
Meli: hiburan, hiburan apa? Kok Aku enggak diajak.
Aku: nonton badut kehidupan.
Meli: ada ada aja ih kamu.
Aku: Lukamu yang kemarin sudah sembuh?
Meli: belum… semoga enggak luka dalam.
Aku: aaaamiiin…
Meli: Terima kasih sayang…
Aku: sama-sama sayangku. Mmuaaach…
POV YONGKI
Memiliki istri seseorang muslimah tulen itu memang anugerah Tuhan yang sepatutnya layak disyukuri. Dia bisa mengemong bayi mengurusi kita sebagai lakinya. Calon bidadari surga. Pokoknya idaman segalanya. Sayangnya bila dia kaku ini. Dia merasa paling benar, tidak mau diberitahu, tidak mau menuruti kemauan kita. Kemudian menyampaikan sesuatu dalil “kata ustadz” untuk membela diri, dari yang bertentangan dengan kemauan kita. Jadi pandailah berceramah mereka. Sejatinya imam adalah kita. Tapi, ia merasa benar. Itulah perempuan.
“Bii…”
“Apaa?”
“Abi mau ke rumah Abang Rusmanto gak mau ajak Umi?”
“Kamu di rumah aja, Aku gak lama kok di sana”
“Jawabnya kok kayak kesel gitu, senyum dong”
“Aku kan sudah bilang semalam, nanya tuh enggak perlu diulang-ulang. Sudah aku mau berangkat dulu”
“Ke sana mau ngapain, Bi?”
“Heeeh… ya itu abangku, silaturahim… memang mau ngapain lagi?”
“Aku mau ikut dong”
“Enggak, kamu di rumah aja. Lagipula kemarin kamu sudah dari luar, masa keluar rumah melulu”
“Iyaa deh Bi… hhmmm…”
“Raka tuh diurus… jangan sibuk dengan dirimu sendiri”, pesanku ke Meli.
“Enggak usah ngegas kali Bi…”
“Ngomong dengan kamu mesti rada keras Aku, supaya bener didengerin”
Meli adalah istriku, dia cantik jelita, primadona akhwat di kampus dulu. Aku berhasil menggaetnya lewat seorang kawan yang kuliah satu jurusan dengannya. Semenjak memutuskan menikah dengan Meli, Aku memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga full, sedangkan Aku bekerja berprofesi sebagai seorang karyawan swasta salah satu BUMN ternama. Alasanku memilih Meli sebagai pendamping hidup karena dia adalah perempuan sholihah yang kukira bisa mendampingiku seumur hidup, meniti ridha ilahi, membimbing anak-anakku. Kekurangannya cuman satu. Dia agak kaku dengan agama. Kultur didikan orang tuanya sangat modern-fundamentalis dengan caranya berhijab panjang dan juga rok panjang, tak terkecuali pemikirannya. Sementara Aku dibesarkan oleh kultur tradisional.
Mulanya Aku mengganggap itu soal biasa sehingga Aku tetap bersikukuh menikahi Meli. Namun, kami berdua ternyata sama-sama keras. Aku keras dengan pendirianku. Meli juga demikian prinsipnya. Misalkan Aku yang masih toleran dengan pinjaman Bank. Meli tidak. Itu contoh kecil sederhananya. Atau, Aku membelikan pakaian seksi ala ala lingerie, Meli juga tidak pernah mau mengenakannya.
Sebagai suami yang agak abangan juga. Pikiranku masih rada mesum seperti lelaki awam. Dalam berhubungan ranjang, Aku ingin melampiaskan apa yang ada dibayanganku pada Meli. Namun, Meli mengatakan tidak mau. Kubujuk berkali-kali. Tetap tidak mau. Pembelaannya pasti “kata ustadz” ya kata ustadz yang menjadi pegangannya. Semenjak itu hubunganku dengan Meli bisa dibilang kurang baik.
“Mau minum apa, Yongki?”
“Biasa-biasa aja Mbak Ratih, enggak perlu yang mewah-mewah, haha… teh tawar hangat saja yang biasa disediakan, boleh…
Tawaku semringah disambut kehadiran Mbak Ratih, semustinya itu Meli begini! Bukan berarti Meli tidak pernah senyum atau tidak mau menyambut tamu. Melainkan Mbak Ratih yang gemulai, bohai, aduhai… semok islami… seksi syariah… alaaah… ngomong apa akuh. Keblinger. Sontoloyo.
“Teh tawar hangat? Ih kayak di warteg aj pesennya teh tawar hangat…”
“Hehe… enggak mau ngerepotin, Mbak”
“Kayak baru ke sini aja. Sirup jeruk ja klo gitu, Tunggu sebentar ya…”
Ini sudah kedua kali dalam seminggu Aku mengunjungi rumah Abangku, Rustanto, di daerah Tangerang. Kedatanganku hampir selalu dengan alasan silaturahmi berbalut membicarakan masalah bisnis kecil-kecilan. Meli kuajak sekali-kali. Bila ditanyakan mengapa dia tak diajak, kubilang jaraknya terlampau jauh. Meli cukup kelelahan. Mbak Ratih dan Abang Rustanto percaya saja dengan mulut manis ini. Padahal Aku tak mengajak Meli supaya bisa lebih leluasa mencuri-curi pandang ke gerak-gerik Mbak Ratih.
WIW! Diminta menunggu di ruang tamu. Aku justru menyusul Mbak Ratih ke dapur. Mentang-mentang abangku masih belum pulang mengajar.
“Duduk aja dulu di depan…”
“Ah enggak apa Mbak, pengen lihat resep Mbak bikin sirup manis gimana cara”
“Dibanyakkin aja sirupnya, pertanyaan kamu lucu banget deh, hihihi”
“Siapa tahu ada campuran yang lain”, ucapku pura-pura memerhatikan dapur rumah yang mungil bersinggungan dengan tempat cuci piring dan mesin cuci.
“Lainnya? Lain yang dimaksud tuh apa?”
“Mungkin kecap”
“Ketoprak kali dikecapin, hehehe…”
Mengapa Meli tidak bisa begini, Ya Tuhan. Mengapa Mbak Ratih ditakdirkan jodoh dengan abangku? Menyedihkan. Mbak Ratih ini tipe Aku sekali. Luwes, suka bercanda, ah, mudah digauli, eits maksudnya mudah bergaul. Cara berpakaiannya juga mengikuti trend. Tidak kaku-kaku banget. Menjumpaiku juga tak mesti berhijab, terbuka saja. Benar-benar menganggapku bagian dari kerabatnya. Untung besar Abangku jadi suaminya, rugi perasaan Aku jadi adik iparnya.
Saat bertandang ke rumah Abang Rustanto, Mbak Ratih sedang senam yoga seorang diri. Dia terkejut dengan kemunculanku yang diakuinya suka tiba-tiba, seolah-olah dia Mary Jane yang acap dikagetkan kehadiran si laba-laba, Aku Yongki Parkir.
“Ini Sirupnya, diminum dulu…”, Mba Ratih agak membungkuk, menaruhnya di meja ruang tamu. Dia berpakaian kaos lengan panjang putih-hijau dengan celana legging hitam. Ah, bukit kembarnya ikut-ikut tersodorkan. Aku geleng-geleng ingin menepuk bokongnya yang suka memancing suasana gerah selangkangan.
“Duh baik banget Mbak”, pujiku memberi senyum.
“Ah biasa ah… Saya ganti baju dulu, gak enak, bau keringet nih”
“Iya, silakan…”
“Meli di rumah lagi ngapain?”, tanya Mbak Ratih berjalan ke arah kamarnya.
“Lagi sibuk ngemong bayi”
“Ouhh…”
Mbak Ratih masuk ke kamar, menutup pintu. Rumah Abangku ini hanya satu lantai. Anaknya kembar, yaitu Salam dan Sulam. Mereka kalau tidak salah duduk di bangku sekolah dasar. Karakter keduanya mirip abangku yang tidak bisa diam dan kerap bicara ceplas ceplos.
“Yongki! Yongki! Tolong kemari!!”
“Iyaa Mbak…”, Aku berdiri di depan pintu. “Boleh masuk?!”
“Iya masuk aja, tolongin Saya… di situ ada tikus gede banget”
“Di mana?”, Aku terperangah Mbak Ratih yang selalu memakai baju lengan panjang, karena ketakutan histeris akan tikus, melompat ke atas tempat tidur, menutupi badannya dengan kain yang kukira handuk atau mukena. Dia mengawasi, melihat ke arah lemari di sampingku.
“Di belakang lemari! Belakangnya!”
“Lemari ini?!”
“Iya, coba geser, awas ada tikusnya, bantu pukulin. Udah sering banget seliwer mondar mandir di kamar”
“Oke, Mbak”
SREEEEKKK……|Lemari kudorong paksa ke depan.
“Itu! Itu! Itu tikusnya udah keluar!!! Kejar!! Kejar!! Kejar!!!”, seru Mbak Ratih.
Aku menguber si tikus ala pemain hoki, gesit dan cepat membawa gagang sapu. Akan tetapi si tikus lebih cepat raib. Aku kehilangan jejaknya. Meski demikian Mbak Ratih lalu keluar, mengucapkan terima kasih. Dia menutup pintu kamarnya. Aku terbayang-bayang saat dia yang gembul berisi nyaris bugil di depanku.
Kemudian tak lama Mbak Ratih yang gemoi keluar dari kamarnya. Kini dia berpakaian lengkap, dan berhijab merah. bukan seperti tadi. Ah murung diriku ini. Aku berharap ada tikus-tikus lain yang muncul, supaya Mbak Ratih nyaris bugil kembali. Yhiaaa…
“Aahhh biii… tusuknya agak dalem.. kencengin…
“Aaah, iyaaa Mii… uffhhhh…”, Aku mencengkeram pantat Meli, dalam perangkap otakku dia kukhayalkan sebagai Ratih. Postur badan Meli dan Ratih jauh berbedanya. Ratih yang semok dan gemoi buah dadanya kuyakini pernah menabuk-nabuk muka Abangku Rustanto saat bercinta, sedangkan Meli yang langsing dengan payudara segenggam tangan lebih, kurang menggoda ketimbang Mbak Ratih.
“Biii… Abi keluariinn… ouuhh… Mimi bentar lagi nyampe, bii… kencengin…”
“Arghh… ini Mih, burung Abi juga mau keluar, sudah gak kuat lagi…
“Ouhhh… teruss…”, desah Meli, menoleh ke samping.
“Arrghh, Abii pengen Mimi badanya semok, Miih… pasti tambah birahi Abi sama umi…”
“Mimi susah gemuk bii… aaahh… bukannya badan kayak Umi ini udah bagus yaa Biii???
“Uuurrghhh… belummm…”
“Aaaaaahh, Biii… mimi nyampe Bii… aaahh…. ouuh… crrruuusss…”
“Aaarrghh… Abi juga. Croooottt”
Bercinta dengan Meli malam hari. Aku bukan menganggapnya sebagai Meli istriku. Aku justru terbayang-bayang badan Mbak Ratih yang kulihat sore hari.
“Ronde kedua yuk Miih…”
“Enggak Ah, Bi… Umi cape… ngantuk”, ucap Meli mengurung badannya dengan selimut.
“Yaaah…”
MENGAPA TUHAN TAK ADIL…