It’s All About That Day…
Beberapa Jam Sebelumnya
Rumahku
09.12 WIB
“Aku harus pergi…”
“Setelah itu kamu akan kembali?”
“Iya, aku akan kembali.”
“Kamu janji?”
“Aku janji. Setelah semua ini selesai, aku akan kembali.”
“Ke aku?”
“Iyaa, Sayang, ke kamu.”
Aku kemudian bergerak dan mencium Erik, dan selama beberapa detik kami kembali saling berpagutan.
“Tapi, aku harus minta tolong sesuatu dulu…”
“Katakan saja, Rik. Demi masa depan kita, semua akan aku lakuin.”
“Kamu bisa nyetir, atau punya temen yang bisa nyetir?”
“Ada, aku bisa minta tolong ama si Anin, temenku.”
“Dia punya mobil?”
“Ada. Kenapa?”
“Oke, sekarang dengerin aku baik-baik.”
Aku lalu duduk untuk mendengarkan apa yang akan Erik katakan kepadaku.
“I need a getaway driver…”
“Buat pergi?”
Erik mengangguk.
“Semuanya, aku, kamu… Aku mau pergi dari semua ini.”
“Kamu terus mau ke mana, Rik? Eh, bukan, maksud aku, kita bakal ke mana?”
Erik tersenyum lalu tergelak.
“Kita… Udah lama aku nggak denger kata-kata itu dari kamu.”
“Maksudmu dari Rini yang lain?”
“Hanya ada satu Rini buat aku, dan itu adalah kamu…”
“Bener?”
“Iya…”
Entah kenapa aku merasa hatiku ini seakan tergerak untuk memeluknya, dan kami pun berpelukan dengan amat hangat. Saat itulah air mataku tumpah di dada Erik, karena rasanya seolah aku tengah memeluknya untuk terakhir kali, hingga tak sadar aku pun mengencangkan pelukanku padanya.
“Hey, don’t be sad, I’ll be back…”
“Promise?”
“I promise. And we’ll be okay…”
Erik mencium keningku dan rasanya semua kekhawatiran yang menyelimuti diriku pun langsung sirna pada saat itu juga. Ciuman Erik benar-benar bagaikan obat pada pikiranku yang tengah kalut dan penuh dengan ketakutan.
“Pastikan saja kamu datang ke rumahku, jam 3 sore, pas, nggak boleh kurang atau lebih, kamu bisa, kan?”
“Iya, bisa. Lalu kamu bakal bawa mobil or…”
“Enggak, aku mau Anin yang bawa kita pergi, entah ke mana. Di sana kita bakal lay low dulu beberapa waktu sebelum akhirnya kita pergi ke tempat lain yang cuman kita berdua yang tahu.”
“You make it sounds like you’re going to do something dangerous…”
“Mungkin…”
“Rik, jangan… Mendingan kita langsung pergi aja berdua. Away from all of these sh*ts…”
“Nggak bisa, aku yang bikin kekacauan ini, aku juga yang harus beresin. Please be understand. Kalau sekarang aku langsung kabur saja, aku nggak bakal tenang nanti di mana pun, knowing that I could do more. It’s something the least I can do, for her.”
“Aku nggak suka perkara ini…”
“Aku juga enggak, Sayang… But I have to do this. Just be there, okay?”
Jujur saja perasaanku kali ini benar-benar tidak enak. Rasanya seolah Erik akan pergi melalui jalan di mana dia tak akan bisa kembali. Ingin rasanya aku bisa mencegahnya, namun bertahun-tahun mengenal Erik, aku juga tahu bahwa sekali Erik sudah membulatkan tekad atas sesuatu, maka nyaris tidak mungkin untuk membuatnya berubah pikiran. Jadi, dengan mengesampingkan semua ketakutan dan kekhawatiran, aku pun tersenyum. Senyum semi-terpaksa yang menyembunyikan banyak kegalauan di baliknya. Namun bila aku tak melepasnya dengan senyum, maka dia tak akan bisa jalankan apa yang akan dia jalankan dengan tenang, dan itu lebih berbahaya lagi bagi keselamatannya.
“Don’t worry, I’ll be there.”
Sebuah Kafe Kawasan Jakarta Timur
11.07 WIB
2020
Aku sedang berada di sebuah kafe, tak jauh dari rumahku sambil memesan kopi gula aren kesukaanku di sini. Oh ya, bagi yang belum tahu, namaku adalah Rini, lengkapnya Rini Widiyanti, usiaku tahun ini seharusnya 29 tahun. I’m still single, but I’m not easy to mingle. Kenapa? Karena yah, hatiku sudah kuberikan hanya kepada satu orang, yaitu Erik, Erik Setiyadi, rekan sekaligus atasanku baik di ASV Agency maupun KSI Company, ya, itu saat aku masih di sana. We’ve had sex, more than one, terutama sebelum dia menikah dengan istrinya, Metta Prameswari Liunata, atau biasa dipanggil Metta, atau aku memanggilnya “Eonnie” semasa kami masih di KSI Company.
Baik, aku tahu yang kalian pikirkan. Kenapa seseorang wanita yang cantik, populer, dan menarik seperti aku, yang secara teori bisa mendapatkan pria mana pun (ada beberapa orang pria yang ingin memacariku, bahkan mengajakku menikah, namun selalu kutolak), justru tertarik dan mengabdikan hidupku pada seorang pria yang saat ini bahkan sudah menikah dengan wanita lain dan juga saat ini, kalau aku tidak salah dengar, Metta bahkan sedang hamil. Jawabannya adalah, entahlah. Kalau aku jawab bahwa “itu karena cinta”, mungkin akan terdengar amat klise dan memancing hujatan ke arahku, tapi kenyataannya memang benar, itu karena cinta. Entah kenapa aku tidak bisa merasakan apa yang disebut cinta sebelum bertemu dengan Erik. Yeah, that kind of zing when you met a right guy, butterflies in your stomach, hati yang berbunga-bunga, kepala yang mendadak ringan, atau jantung yang berdebar-debar, semua itu baru kurasakan begitu aku bertemu Erik, pada hari itu, 29 Juli 2009. Semua cowok yang bertemu denganku sebelum, setelah tanggal itu, bahkan hingga sekarang, tak ada yang bisa membuatku merasakan semua perasaan itu. Klise? Aku tak peduli, aku juga tak mengharapkan orang lain bisa mengerti. Andai saja aku sendiri bisa paham kenapa bisa begitu…
“Eh?”
Benang itu muncul lagi…
Sebuah benang yang terbuat dari cahaya berwarna merah, berpangkal dari jari manis tangan kiriku dan berujung entah ke mana. Benang itu bersifat ethereal, dalam artian wujudnya seperti bayangan cahaya saja, tak bisa kusentuh atau kupegang, dan selalu menembus orang atau barang yang melewati atau menghalanginya. Saat kugerakkan tangan kiriku, benang itu selalu mengikutinya, namun tidak pernah kurasakan benang itu menarik tanganku sebagaimana bila benang biasa mengikat ke tangan. Beberapa kali karena gemas aku mencoba memotongnya, baik menggunakan gunting atau cutter, bahkan pemotong kertas, tapi rasanya seperti memotong udara saja. Aku bahkan sampai berpikir kalau kupotong jari manisku sendiri akankah benang ini berhenti muncul, namun aku masih belum segila itu. Lagi pula benang ini hanya muncul selama beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Dari yang awalnya aku panik dan ketakutan karena benang misterius ini, kini aku hanya bodo amat saja saat dia muncul. Hanya saja kadang aku sering lupa bahwa benang ini ethereal, jadi aku masih sering takut bila orang melewati benda ini maka akan tersandung.
Tapi sejak kapan ya benang ini muncul? Aku dari dulu berusaha untuk mengingatnya tapi selalu tidak bisa. Yang kuingat hanyalah waktu aku bangun pagi pada suatu hari tiba-tiba benang ini sudah ada di jariku, lalu muncul dan menghilang pada waktu yang benar-benar random dan tak bisa kuprediksikan. Pernah benang itu muncul beberapa kali dalam sehari, tapi pernah juga selama seminggu tidak muncul-muncul. Aku yang awalnya berusaha mencatat kapan-kapan saja benang ini muncul akhirnya menyerah karena benar-benar tak bisa diperkirakan. Yang mengesalkan adalah aku tak bisa cerita soal ini kepada teman-temanku karena mereka pasti akan menganggapku gila. Bahkan aku pernah sampai memeriksakan diri ke psikolog karena mengira otakku sudah berhalusinasi, yang membuatku harus menebus beberapa obat mahal yang akhirnya tak berguna sama sekali.
Eh tunggu, tidak juga sebenarnya. Ada satu orang temanku yang aku ceritakan soal ini, yang dia menanggapinya dengan cukup empatik dan antusias tanpa membuatku merasa bahwa aku sudah gila. Ya, dia sudah menjadi temanku sejak beberapa tahun lalu, namun bagiku dia sudah seperti sahabat yang kukenal amat lama. Aku pertama kali bertemu dia pada saat aku sedang mengerjakan skripsi di semester akhir sementara dia adalah mahasiswa baru di kampusku, JBC College. Nuansa pertemuan pertama kami waktu itu, well, I’d save that story for some other time, karena dia baru saja datang…
“Kak Rini!”
“Anin!”
Aku berdiri dan menyambutnya, memeluknya dan cipika-cipiki. Oh ya, perkenalkan, ini adalah temanku, sahabatku, my soulmate, my partner in crime, atau apalah itu disebutnya. Nama lengkapnya adalah Anindita Kezia Angkajaya, tapi aku memanggilnya “Anin”. In fact, hanya aku yang memanggilnya “Anin”, karena teman-temannya memanggilnya “Dita”. Alasan dia dipanggil Dita adalah karena for whatever reason, selalu ada orang bernama “Anin” di angkatannya semenjak dia SD, jadi dia akhirnya dipanggil Dita untuk membedakan. Curious, since I thought the name “Dita” is more common than “Anin”, tapi dalam kasusnya nggak seperti itu. Dia sendiri juga pernah bilang padaku bahwa di kalangan keluarga dan tetangga, dia dipanggil dengan nama berbeda, however, she clearly told me to just call her Anin, karena dengan begitu dia akan tahu bahwa dia berbicara padaku, bukan pada orang lain.
“Lama nunggunya?” tanya Anin.
“Enggak, here, drink some coffee… Matcha latte, kan?”
“You always know what I like, Kak.”
Anin kemudian meminum matcha latte yang aku belikan dengan hati yang amat riang. Aku tersenyum melihatnya, karena aku selalu mengingat awal-awal ketika kami bertemu dan aku mengizinkannya tinggal di rumahku selama dua bulan hingga dia menemukan rumah kos. Sebenarnya di awal aku heran, kenapa dia sampai perlu ngekos, karena rumah orang tuanya ada di Jakarta. Eh, bukan orang tuanya sih, lebih tepatnya, rumah ibunya, karena ayahnya sudah meninggal agak lama. Alasannya sih karena dia selalu bilang bahwa rumah ibunya itu jauh dari kampus, dan transportasinya susah. Ya, memang benar sih, karena aku pernah ke sana, dan rumah Anin ini berada di kawasan ghetto Tionghoa di Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, jadi jangan bayangkan seperti perumahan mewah di PIK yang hanya sepelemparan batu dari sana, karena ini beneran kampung sebagaimana kampung-kampung lain di urban Jakarta. Tapi keluarga dan tetangganya baik-baik serta ramah-ramah, meski hidup sederhana, yang meruntuhkan prasangkaku bahwa semua orang Tionghoa itu filthy rich dan snobbish. Walau begitu, Anin pernah bilang bahwa sekarang ibunya sudah tidak lagi tinggal di sana, tapi pindah ke sebuah kawasan perumahan di Depok setelah suaminya, ayah tiri Anin, pensiun. Rumah yang baru ini dibeli dari uang yang ditabung dan disisihkan oleh ayah tiri Anin dengan susah payah. Dari ayah tirinya jugalah Anin belajar untuk menghargai uang dan kerja keras, dan ini diterapkan saat Anin dapat beasiswa belajar di Perth, Australia.
“So, tumben banget kamu ngehubungin aku, Kak. Ada masalah apa?”
“Emang nggak boleh ya kalau aku ngajakin kamu buat ngopi berdua.”
“Boleh, tapi bukan itu kan? Aku bener, kan? Ada sesuatu, kan?”
“Iya… Lebih tepatnya aku mau minta bantuan kamu.”
“Bantuan apa?”
“Kamu punya mobil, kan, aku perlu getaway driver.”
“Okay! I’m in! Bank mana yang mau kita rampok hari ini?”
Aku langsung tertawa mendengar ucapannya ini. Anin selalu menanggapi semua perkataanku dengan cara yang lucu dan suportif, dan itu membuatku bersyukur punya teman seperti dirinya.
“Enggak ngerampok bank juga kali.”
“Yah, kirain… Padahal aku udah semangat lho, pengen ngerampok bank pake baju seksi, biar ntar ditulis di koran Lampu Ijo: ‘Cewek Pakai Pakaian Sexy Ngerampok Bank, Padahal Seharusnya Ngelonte Saja’, pasti heboh.”
“You wish… Enggak, I need you to transport me and someone to a safe place.”
“Oh? Someone siapa?”
“Ada deh…”
“Yang kamu bilang si Erik itu ya?”
Aku mengangguk.
“Ada apa sih? You run across into some kind of triad or mafia?”
“Maybe…”
“Wow.”
“Look, this is dangerous, kalau kamu nggak mau…”
“Ih, ngomong apaan sih, Kak? Santai aja kali. The more dangerous it is, the more I know why do you need me.”
“So, kamu nggak masalah?”
“I’m in! Ayo, kudu ke mana kita?”
“Jam tiga ntar kita ke tempatnya Erik.”
“Hah?? Hari ini banget??”
“Kenapa? Kamu nggak bisa ya?”
“Bisa, tapi masalahnya aku lagi nggak bawa si Celeng.”
“Tapi bawa mobil, kan?”
“Bawa lah, si Ucil.”
“Ih, kamu kebiasaan deh, namain mobil yang agak bener dikit gimana sih? Eh, wait, Ucil mobil apaan?”
Anin hanya tertawa saja. Yang dimaksud si Celeng adalah mobil si Anin yang dia punya sejak masa kuliah dulu, sebuah T*yota Corolla Levin GT, atau orang biasa kenalnya sebagai AE86 Trueno, iya, mobil yang dipakai di anime “Initial D”. Bagaimana Anin bisa menamainya “Si Celeng” aku benar-benar tidak habis pikir. Aku pernah berapa kali diajak naik si Celeng, dengan Anin yang mengemudi, dan itu benar-benar pengalaman relijius bagiku. Bagaimana nggak relijius kalau pas naik isinya berdoa mulu gara-gara Anin nyetirnya selalu pedal on the floor? Tapi karena itu juga aku yakin bahwa Anin orang yang tepat buat ini.
Kami menyudahi acara minum kopi kami lalu menuju ke parkiran. Agak terkejut aku karena mobil “si Ucil” yang dimaksud adalah sebuah M*rcedes Benz C300 AMG, bukan keluaran terbaru, tapi tetap saja ini bukan mobil “murah” semacam Levin GT. Kami pun lalu naik ke mobil itu dan pergi dari parkiran.
“Busyet, ngelonte di mana kamu bisa dapet mobil gini??” tanyaku.
“Di Arab! Ketemu ama Sultan Dubai tipsnya cukup buat beli gini.”
“Hah? Serius??”
“Ya enggak lah! I’ve left those world behind… Enggak, ini hasil dari pencairan warisan.”
“Ayah kamu? Eh, maksudnya almarhum ayah kandung kamu?”
“Iyaa, susah banget perjuanginnya ampe bertahun-tahun, untungnya ada bukti kalau almarhum Papa udah ngejanjiin buat beliin aku mobil kalau usiaku udah 22 tahun, so kelewatan 3 tahun sih, tapi gak apa-apa lah. Karena kesel ya aku bilang aja minta M*rcy C300, eh, dikasih, dengan perjanjian abis ini nggak bakal ganggu keluarga mereka lagi.”
“Iya, kamu pernah cerita kan dulu, gimana keluarga almarhum papa kamu kejem banget ama mama kamu, tapi nggak nyangka juga ya mereka tega nahan duit yang harusnya jadi hak kamu ama mama kamu.”
“Ya, you know mereka lah, Papa kan pewaris utama, old money pula, dan mereka nganggep Mama nggak pantes nikah ama Papa. Udah sering ngerecokin pas Papa masih hidup, masih aja nyusahin abis Papa meninggal. Mereka itu selalu nganggep kalau Mama itu gold digger, padahal kenyataannya Mama nggak pernah mau ambil duit Papa sepeser pun. Kalau aja nggak kasus adiknya Papa mau perkosa Mama, nggak bakal Mama mau urusan ama keluarga itu lagi.”
“So, udah dibayar tuntas kan, duitnya?”
“Tuntas! Mobil ini yang terakhir, soalnya janjinya Papa. Nyonya Ang juga kayaknya udah males mau urusan ama kita, dia mending bayar duit segitu daripada urusan ama kita lagi. Jujur aja ya, kalau bukan Mama yang nyuruh, males juga aku pake marga mereka di nama aku.”
“Angkajaya?”
Anin mengangguk saja.
“Tapi kamu pernah bilang kalau papa kamu nggak jahat, kan?”
“Indeed, dia nggak pernah kasar ama aku dan Mama, tapi kalau diinget-inget lagi, ya cuman itu aja baiknya dia. Papa nggak pernah bantuin tiap kali Mama ditekan ama keluarga besarnya, his inaction is his crime, I guess. Tapi Mama tetap pengen aku pake nama Angkajaya, selain buat kenangan bagi Papa, juga supaya semua orang tetap ingat dari mana aku dilahirkan, walau Nyonya Ang kayaknya nggak suka soal itu… Tapi mungkin itu juga cara Mama buat ngebales Nyonya Ang.”
“Nyonya Ang itu nenek kamu, kan?”
“Nenek yang nggak pernah nganggep cucunya ada. Lucu, dulu Mama ama Papa ngira kalau aku lahir sikap Nyonya Ang bakal melunak… Tapi kayaknya Nyonya Ang kecewa yang lahir aku, bukan anak cowok kayak yang dia pengenin. Pewaris nama keluarga.”
“Hmm, mungkin itu juga sebabnya mama kamu insist kamu pake nama Angkajaya, supaya nenek kamu nyadar bahwa cewek atau cowok, anak dari papamu berhak buat menyandang dan meneruskan nama itu.”
Anin melihatku, namun kemudian dia tersenyum. Cerita soal Anin ini aku sudah hafal di luar kepala, karena sewaktu dia tinggal di rumahku, dia sering menceritakannya padaku, bagaimana keluarga papanya selalu menekan mamanya karena menganggap mamanya ini lahir bukan dari kasta Tionghoa tinggi, hanya Tionghoa biasa. Kami bahkan bercanda bahwa kisah hidupnya ini pasti bakal laris bila dijual sebagai skenario FTV. Tokoh jahatnya, tentu saja neneknya Anin, yang olehnya disebut sebagai “Nyonya Ang”. Anin memanggilnya begini karena memang neneknya ini selalu jahat pada mamanya, padahal mamanya berkali-kali bilang padanya buat tetep manggil dia dengan sebutan “nenek”. Ya, kadang diturutin sama Anin, tapi lalu ditambahin nama “Lampir” di belakangnya.
“So, ke mana dulu nih? Ke rumah si Erik itu?”
“Enggak, ke rumah aku dulu, ambil baju ama barang-barang.”
“Wah, beneran pengen kabur ya, kamu?”
“Kan aku udah bilang…”
“Iyaa, iyaa, I know. Tapi maksud aku beneran nggak bakal balik lagi?”
“Entah kalau soal itu. Aku selalu punya mimpi, bisa pergi sama Erik berdua saja, dan tinggal di suatu tempat di mana nggak ada yang kenal sama kita. Live a simple life, bercocok tanam, piara kambing atau ayam… Harvest Moon kind of life…”
“Berdua saja?”
“Hmm, kamu boleh ikut kalau mau.”
“Ah, enggak, ntar aku jadi obat nyamuk di sono.”
“Eh, serius, koq. Erik udah bilang, kalau kamu mau kamu boleh ikut kami.”
“Lalu jadi ART atau baby sitter kalian? No thanks… I’ll be here, harus ada yang tetep nyambungin kalian dengan peradaban, kan?”
Tanpa terasa kami sudah sampai lagi di rumahku. Semua barang-barang sebenarnya sudah kukemas begitu Erik pergi tadi, jadi yang harus kulakukan tinggal memasukkannya ke mobil Anin saja.
Anin tampak terkejut mengenai betapa aku serius akan pergi dari sini bersama Erik. Semua barang sudah aku rapikan, listrik-listrik sudah aku cabut dan matikan. Tak ada makanan tersisa di kulkas selain beberapa botol air mineral, tanaman sudah kukeluarkan semua agar mudah disiram entah oleh siapa, piring dan alat masak sudah kucuci dan kusimpan rapi entah di rak atau lemari dapur. Pakaian yang tak bisa kubawa kulipat dan kusetrika dengan rapi di lemari, perhiasan dan uang sudah kubawa semua, sisanya kumasukkan ke laci meja rias dan kuncinya kubawa. Surat-surat tanah dan semua dokumen identitas sudah kumasukkan koper, termasuk beberapa buku yang belum selesai kubaca. Anin mengangguk-angguk melihat rumah yang siap ditinggalkan ini.
“Kamu serius juga ya, Kak, soal pergi ini. Rapi lho semuanya. So, gak bakal kembali lagi? Lalu siapa yang bakal ngurus ini rumah?”
“Kalau kamu di sini ya kamu aja mendingan. Ntar aku kasih kunci duplikatnya.”
“Beneran?”
“Bener, tapi tanamanku tolong disiramin, ya.”
“Oke, siap, Kak! Eh, btw, ini buku mau ditinggal atau dibawa?”
“Buku apa?”
Anin lalu menunjuk buku dengan sampul warna merah yang masih terkunci, tergeletak di atas meja.
“Astaga, aku lupa masukin itu.”
“Diary ya, Kak?”
“Entah, Erik ngasih aku buku itu, tapi aku belum pernah baca sama sekali.”
“Lha? Koq belum?”
“Kan dikunci, dia nggak ngasih kuncinya.”
“Ah, masa sih?”
Anin lalu mengangkat buku itu dan mencoba membukanya, tapi memang benar bahwa buku itu dikunci dengan rapat sehingga sama sekali tak bisa dibuka. Percayalah, aku sudah mencoba berkali-kali tapi gagal.
“Kayaknya nggak mungkin deh kalau si Erik ngasih buku ini ke kamu tapi nggak ngasih kuncinya…”
“Enggak tahu ya, kadang pikirannya aneh.”
“Atau…”
“Atau apaan?”
Anin tampak mengamati gambar siluet kunci yang ada pada sampul buku itu. Dia kemudian mengalihkan pandangannya padaku, lalu ke buku itu, lalu ke aku lagi. Dari gelagatnya sepertinya dia menemukan sesuatu.
“Kamu nemu apaan?”
“Kuncinya.”
“Hah, di mana?”
Dia tak menjawab, hanya berjalan ke arahku, kemudian memegang dan mengambil kalung yang selalu aku pakai.
“Kunci.”
Aku tertegun karena pada saat itulah aku baru sadar bahwa liontin kalung yang kupakai juga berbentuk kunci dengan rumahan yang bersayap, persis sama dengan gambar yang ada dalam buku.
“Kamu bilang dulu ini pemberian si Erik, bukan? Hadiah ulang tahun?”
“Ah, nggak mungkin ah…”
Namun tanpa menunggu persetujuanku, Anin langsung melepas kalungku kemudian menggunakan liontinnya yang berbentuk kunci untuk membuka gembok pada buku itu, dan…
“CEKLEK!”
Dengan sekali putaran lembut, gembok itu langsung terbuka dan jatuh ke lantai. Aku terpana dengan mulut menganga. Ternyata selama ini aku sudah punya kuncinya. Ya, kalung ini merupakan hadiah dari Erik yang diberikan untuk ulang tahunku pada tahun 2014. Aku tak menyangka ternyata Erik menyembunyikan kunci bukunya pada kalungku itu. Bodohnya, kenapa aku tak menyadarinya dari awal???
“Koq kamu bisa tahu sih kalau Erik naruh kuncinya di situ??” tanyaku tak mengerti.
“Nggak tahu sih sebenernya, Kak, cuman aku ngerasa, kalau aku jadi Erik, that’s the most obvious choice.”
“Oh ya? Hmmm…”
Ada sesuatu kilasan ingatan yang muncul di pikiranku saat mendengar Anin mengatakan itu, seolah perasaanku seperti bergejolak. Koq aku bisa-bisanya cemburu sama Anin sih saat dia ngomong begitu?? Anin sama Erik kan nggak saling kenal, so bisa aja itu kebetulan yang luar biasa. Namun perasaan cemburu ini terasa berbeda, bukan seperti cemburu biasa, lebih seperti sebuah deja vu bahwa aku pernah cemburu padanya. Padahal tiap kuingat-ingat, mana pernah aku cemburu dengan Anin? Dia saja hampir nggak pernah pacaran serius ama orang selama aku mengenalnya, begitu juga aku nggak pernah punya crush sebagaimana Erik. Apa karena Anin menyebut bahwa itu obivous choice bila dia jadi Erik, ya?
Aku membuka bukunya dan ingin membacanya, tapi tiba-tiba cahaya hangat itu kembali muncul, benang cahaya merah dari jari manisku menuju entah ke mana. Hanya beberapa detik saja, kemudian benang itu menghilang, sementara aku masih tertegun. Anin sendiri tampak sudah paham apa yang terjadi.
“Benangnya muncul lagi, ya?”
Aku mengangguk.
“Cuman berapa detik terus ilang… Apa dia coba ngasih tahu sesuatu?”
“I don’t know, kan aku nggak lihat.”
Kami saling berpandangan selama beberapa saat.
“Kamu mau baca bukunya dulu, Kak?”
“Oh enggak, udah jam berapa sekarang? Kita bisa telat nih nyampe rumahnya Erik, soalnya rumahnya di kawasan Kapuk.”
“Oh, yang itu?? Ah elah, Kapuk mah kecil, makanan aku sehari-hari itu. Tenang aja, pasti nyampe tepat waktu.”
“Iya deh, yang akamsi Kamal.”
Kami lalu bergegas memasuk-masukkan barang-barangku ke bagasi mobil Anin, sebelum berangkat dari sini, sambil aku berpamitan dengan rumah ini untuk terakhir kalinya. Entah kenapa aku merasa seperti tak akan bisa kembali lagi ke rumah ini, tapi semua itu mungkin hanya karena kekhawatiranku saja. Tanpa sadar, buku dari Erik ini masih kupegang dan kupeluk erat-erat, namun belum berani kubaca.
“Aku gila ya, Nin?” tanyaku tiba-tiba.
“Hah? Gila? Gila kenapa, Kak? Soal benang merah itu?”
“Ya, juga semuanya. Termasuk jatuh cinta ama orang yang udah punya istri macem Erik.”
“People will say that you’re crazy, but I will call that a love.”
“Really?”
“Iya, soalnya susah dimengerti. Kalau gampang ya bukan cinta itu namanya.”
Aku tersenyum dan mengangguk pada Anin. Dari dulu, hanya Anin lah yang bisa selalu memahami apa yang kurasakan dan tak pernah menghakimiku macam-macam. Kadang-kadang aku merasa bahwa akulah yang beruntung karena bertemu Anin.
“Soal benang merah itu…” kata Anin tiba-tiba.
“Ya? Kamu tahu itu soal apa?”
“Legenda aja sih, Kak. Jadi dalam kepercayaan orang Tionghoa, benang merah itu pertanda takdir dan jodoh, jadi kalau kamu ngelihat benang itu, siapa tahu di ujungnya ada orang yang jadi jodoh kamu.”
Seseorang yang jadi jodoh aku? Siapa?
“Kamu pernah tahu nggak ujungnya ke mana, or ke siapa?”
Aku menggeleng. Ya, setiap kali benangnya muncul selalu waktu aku sendirian atau kalaupun ada orang, benangnya selalu seolah berujung pada tempat yang jauh, tak ada yang tertambat sama sekali pada ujungnya. Saat itulah aku menoleh pada Anin dan terkejut.
“Nin, kamu…”
“Hah? Kenapa? Aku ada apa?”
Aku dengan gemetar menunjuk ke jari manis kiri Anin. Di situ aku melihat benang cahaya pula, namun bukan sambungan dari benangku, lebih mirip sebuah benang sendiri yang menuju ke antah berantah.
“Aku punya benang juga??”
“Iya… Tapi warnanya nggak merah kayak punyaku, lebih terang lagi, lebih ke oranye.”
“Masih ada sekarang??”
“Udah ilang, barusan aja.”
Ya, seperti benangku, benang Anin pun hanya muncul beberapa detik saja kemudian menghilang. Itu membuatku tak bisa menentukan ke mana ujung dari benang kami berdua karena sepertinya ini amat jauh. Namun kenapa aku bisa melihat benang cahaya Anin, tapi Anin sendiri tidak bisa? Dan kenapa benang Anin menunjukkan warna yang berbeda dari benangku?
“Kayaknya bentar lagi aku ketemu ama jodoh nih, hahahaha!”
“Halah, aku udah liat punyaku dari kapan tetep aja nggak ketemu-ketemu.”
“Kak, you’re just too fixed to one person. If you can just let him go…”
“No, I can’t.”
Anin melihat ke arahku dengan padangan mata sedikit menghiba.
“Kamu berharap di ujung benang itu ada dia ya?”
“Dari ujung rambut sampai kaki, aku berharap itu dia, tapi setiap kali ada dia, benang itu nggak pernah muncul, jadi aku nggak bisa mastiin. If only I got sign or something…”
“Hey, that’s not how destiny works.”
“Lalu gimana?”
“Apa pun yang kita lakukan, takdir tak akan bisa diubah, so we just enjoy the ride, dan berharap semoga pada akhirnya, takdir ini memberi kita sesuatu yang bagus.”
Aku hanya melihatnya saja. Dari dulu Anin memang selalu pandai dalam berkata-kata. Mungkin riwayat perdebatannya dengan keluarga Nyonya Ang membuatnya belajar mengenai kesusastraan lebih daripada siapa pun.
Tanpa terasa, kami pun sampai juga di kawasan rumah Erik. Aku karena seringnya ke sini sehingga sampai hafal daerah perumahan ini. Ya, salah satu tugas semasa aku menjadi daeri-nya Erik adalah bolak-balik ke rumahnya saat Erik sedang bekerja di rumah. Kadang Metta mengajakku ke rumah, entah untuk makan malam, atau belanja barengan.
Terlepas dari bahwa kami berdua menyukai orang yang sama, hubunganku dengan Metta sebenarnya cukup dekat. Metta lebih tua dariku, jadi aku memanggilnya “Eonnie”, bahasa Korea untuk panggilan seorang perempuan pada kakak perempuannya. So, that’s how Metta and I got connected, jadi semacem adik kakak. Apalagi setelah Metta resigned dari KSI pascamenikah, dia jadi sering menemuiku, entah di rumah ini, entah di kafe or restoran, tujuannya untuk tahu kabar terbaru soal KSI dan terutama Erik. Metta tak pernah sekalipun bertanya soal Steven meski dia adalah teman lamanya. Awalnya kukira ini wajar, hingga kemudian aku tahu bahwa Metta berselingkuh dan sering bertemu Steven di luar.
Sejak saat itu aku membencinya…
Aku tak peduli siapa yang mulai, tapi aku membencinya karena dia sudah menyia-nyiakan Erik. Bahkan semenjak saat dia berselingkuh dengan Adam, aku sudah kesal padanya, apalagi sekarang, setelah Erik memaafkannya atas kesalahan itu. I mean, why she take her husband for granted?? Why she take Erik for granted??
“By the way,” kata Anin, “rumahnya masih sama kan?”
“Masih…”
“Yang dulu itu kan?”
Aku mengangguk. Kenapa Anin bisa sampai tahu rumah Erik? Well, ada hal yang tak kuceritakan pada Erik, karena ini juga bukan pertama kalinya aku dan Anin ke sini.
Tahun 2017
Rumah Erik
Aku berdiri menatap pagar rumah Erik dan Metta. Tak seperti rumah lain, rumah Erik tak pernah diberi pagar karena mereka sudah percaya dengan keamanan kompleks perumahan ini. Di belakangku adalah mobil Corolla Levin yang disebut “Si Celeng” oleh Anin.
“Hei, kamu aku tinggal aja nggak apa-apa, nih?”
“Nggak apa-apa, cari makan aja, ntar aku kabarin kalau udah selesai.”
“Okay… Eh, tapi, jangan lepas kendali. I don’t want my only friend to become a murderer.”
“Tenang aja.”
“Yakin nih gak mau aku temenin?”
“Iyaa, yakin. Just leave me, ini pembicaraan wanita dengan wanita.”
Anin mengangguk, lalu dia membawa mobilnya pergi dari tempat ini. Aku maju ke pintu depannya, bersiap untuk memencet bel, tapi sejenak aku merasa ragu. Kepalaku terasa mendidih dan tanganku gemetaran. Damn, kenapa aku emosian begini?? Aahh, berengsek, kesel banget aku…
Ya, ini karena semalam aku memergoki Metta sedang bertemu oleh Steven dan dibawa oleh orang yang tak dikenal entah ke mana, dengan gaun yang lumayan seksi, yang biasanya tak dia pakai kecuali sedang di acara resmi bersama Erik. Saat ini Erik sedang tak ada di rumah, bahkan dia tak ada di Indonesia. CEO Park memberinya penugasan langsung untuk menemaninya ke Singapura, sehingga aku tidak ikut. Sebelumnya aku tahu bahwa sebelum mereka menikah, Metta pernah berselingkuh dengan seseorang bernama Adam, namun akhirnya ketahuan oleh Erik dan entah bagaimana Erik memaafkannya.
Seharusnya dia tak melakukan itu…
Ya, pada malam itu, aku sebenarnya berharap Erik tak memaafkan Metta. Aku berharap Erik bersikap tegas dan mereka berdua putus, supaya aku bisa masuk dan menggantikan Metta menjadi pacar Erik. Bagiku, Metta dengan segala kelakuannya, tak pantas mendapatkan Erik yang amat baik itu. Namun yah, sebagaimana diprediksi dari Erik yang memang orangnya baik itu. Dia malah memaafkan Metta dengan segala dosa yang telah diperbuatnya pada Erik.
Tidak, bagiku dia tidak pantas mendapat pengampunan…
Bagiku, Erik pantas mendapatkan yang lebih baik, yaitu aku…
Aku lebih baik daripada Metta, setidaknya aku tak akan berselingkuh.
Setidaknya aku tak akan menyakiti hati Erik.
Setidaknya aku akan selalu memprioritaskan Erik apa pun yang terjadi.
Bagiku, apa yang telah Metta lakukan ini tak termaafkan…
Dan kini dia melakukannya lagi…
Setelah mulai mengatur emosi, aku pun hendak memencet bel rumah. Namun saat itu kulihat sepertinya pintunya tidak dikunci. Lebih tepatnya lagi seperti ada yang buru-buru keluar atau masuk ke dalam rumah namun tak menutup pintu dengan sempurna, karena pintu rumah Erik dan Metta menggunakan kunci yang dibuka dengan kata sandi, bukan anak kunci. Ada apa ya? Apa ada maling masuk ke rumah? Duh, mana Anin sudah kusuruh pergi pula. Tanpa pikir panjang aku segera mengambil stun gun yang kubawa, tersamar sebagai gantungan kunci. Setelah percobaan pemerkosaan oleh Surya tempo hari, Erik membelikanku dua jenis stun gun, yang satu besar dan mirip tongkat dan bisa dipakai juga sebagai pentung, dan yang satunya kecil, mirip seperti gantungan kunci, yang kini kupakai. Alat ini cukup bagus, karena selain sebagai stun gun, juga ada fungsi senter dan pepper spray, sehingga ada lebih banyak opsi untuk pertahanan.
Pintu kubuka, dan dengan hati-hati aku pun masuk ke dalam rumah. Suasana sepi, tapi kelihatan bahwa rumah ini belum dibersihkan atau disapu. Metta dan Erik memang tak memiliki pembantu, namun Metta orangnya suka bersih-bersih, dan biasanya pagi-pagi dia sudah mulai membereskan rumah meski Erik belum bangun. Jadi, melihat suasana rumah seperti ini, aku sudah merasa ada yang nggak beres.
“Met? Eonnie? Kamu di dalam??”
Suaraku terdengar seperti menggema, padahal rumah Erik ini tak termasuk besar. Semenjak pertama membeli rumah, aku memang tahu bahwa Erik tak ingin membeli yang terlalu besar karena yang akan memakainya hanya dia dan Metta, setidaknya hingga anak-anak mereka lahir nanti. Senter sengaja kunyalakan dengan posisi tanganku siap untuk menekan pepper spray. Aku waspada dengan keadaan sekitar rumah yang tampak berantakan ini. Saat kutajamkan pendengaranku, aku mendengar ada suara air yang mengalir dengan suara tangisan sayup-sayup. Sepertinya itu suara tangis Metta.
“Eonnie?”
Aku mengeraskan suaraku kalau-kalau Metta tak mendengarnya. Suara itu berasal dari kamar mandi yang ada di lantai atas, tepatnya pada en suite kamar tidur Erik dan Metta. Gemericik air semakin kencang saat aku semakin mendekati kamar itu. Jantungku berdegup semakin kencang, apalagi suara tangisan itu semakin mendekat juga. Tangisan putus asa, yang dikeluarkan saat seseorang sedang berada dalam situasi di mana tidak ada jalan keluar. Namun bila begitu…
Tangisan putus asa…
Gemericik air…
Jangan-jangan…
Buru-buru aku segera naik tangga dan langsung membuka pintu kamar Erik dan Metta. Sial! Pintunya terkunci, dan menggunakan kunci angka pula. Aku ingat Erik selalu memakai tanggal ulang tahun sebagai kodenya, jadi aku segera memasukkan tanggal ulang tahun Erik dan Metta, namun gagal. Berengsek! Kamu pakai nomor apa sih, Erik, buat ngunci pintunya!??
“METTA!! EONNIE!! BUKA PINTUNYA, PLEASE!!”
Tidak ada jawaban, dan bunyi tangisannya mulai melemah. Aku menggedor-gedor pintu itu secara sia-sia berusaha mendobraknya, tapi tenagaku tak sekuat itu. Hampir saja aku menangis dan menyerah karena gagal membukanya…
Rik…
Metta…
Kalian pakai kode apa sih buat ngunci pintunya? Tell me…
Please tell me…
Di saat aku putus asa itulah tiba-tiba benang cahaya itu muncul kembali. Aku tertegun selama beberapa detik melihat dan merasakan hangat dari cahayanya. Saat itulah tiba-tiba sebuah angka seolah muncul terlintas saja di depan mataku.
“28 Agustus… 0828 atau 2808…”
Shit, angka apa itu? Tanggal apa itu? Metta lahir di bulan Desember, sementara Erik bulan Oktober, dan aku Februari. Seingatku keluarga Erik dan Metta tak ada yang lahir di bulan Agustus, lalu itu tanggal apa?? Tapi karena sudah kepepet, aku memasukkan angka 0828 pada kunci, dan…
“TIIT!!”
Aku terkejut karena pintu itu terbuka. Buru-buru aku masuk ke dalamnya, dan air sudah mulai keluar dari kamar mandi. Yang paling membuatku shock adalah ada warna merah pada airnya, yang hanya berarti satu hal…
“EONNIE!!!”
Metta terbaring di bathtub yang meluap, dengan mulut sudah masuk ke air. Satu inci lebih dalam lagi dan dia akan tenggelam. Satu tangannya terjulur keluar dan ada luka pada pergelangannya, yang hanya berarti satu hal: dia coba bunuh diri.
“Met! Metta!!”
Aku menepuk-nepuk pipinya, dan dia langsung membuka matanya. Pendarahan pada pergelangannya tak begitu parah, karena darah hanya menetes saja, tidak memancar, jadi arterinya tidak terpotong. Kusingkirkan pisau yang basah berdarah di lantai, kemudian membebat tangannya dengan handuk terdekat yang bisa kutemukan.
“Rin… Sudah… Biarin aku mati…”
“Enggak!! Lo nggak boleh mati, Met! Jangan mati waktu ada aku…”
“Please… Bantuin aja aku buat mati, aku tahu kamu suka Erik, kan? Kalau aku mati, kamu punya kesempatan buat dapetin Erik…”
Aku agak tertegun, karena jujur, ada bagian dari diriku yang tertarik dengan hal itu. Namun sayangnya, bagian itu kalah dengan bagian lainnya yang ingin menolong Metta, walau aku membencinya.
“No! Don’t die on me!”
Metta memberontak saat aku ingin menariknya keluar dari bathtub. Kami bergumul hingga bajuku basah semua. Air menciprat ke mana-mana dan Metta bahkan sampai berusaha mencakarku untuk menghentikanku menariknya dari bathtub. Namun, entah dapat kekuatan dari mana, aku akhirnya bisa menarik dia keluar dari bathtub, padahal beratku dan Metta hampir sama.
Saat itulah aku tertegun. Metta dalam posisi telanjang, tapi satu fitur pada tubuhnya menarik pandanganku seketika: tato ular. Ada beberapa sayatan pada bagian yang ada tato itu, sepertinya Metta berusaha memotong tato itu dari kulitnya. Pantas airnya bisa sampai merah…
“Kamu udah lihat sekarang, Rin!? Biarin aku mati sekarang…”
Aku tak bisa berkata-kata, dan Metta hanya bisa menangis di lantai kamar mandi. Badan Metta tampak pucat, mungkin karena pendarahan yang terjadi, namun bagian pahanya sudah tak lagi berdarah. Sepertinya bahkan Metta pun tak kuat dengan rasa sakit saat kulitnya disayat, lalu saat mencoba bunuh diri, dia tak menggores cukup dalam untuk kena arterinya.
Tak ingin terpaku terlalu lama, aku segera mengambil handuk besar lalu menutupi tubuh Metta yang kulihat mulai menggigil. Untung dia berendam di air dingin, jadi lukanya cepat menutup. Coba kalau dia berendam di air hangat, bisa-bisa pas kutemukan dia udah antara kritis atau jadi mayat.
Beberapa lama kemudian, Metta sudah tenang di meja makan. Aku sengaja mengunci semua pisau di laci agar Metta tak tergoda untuk menggunakannya lagi. Semua air dan darah di kamar mandi sudah kubersihkan, dan kamar serta kamar mandinya sudah tak lagi seperti TKP pembunuhan. Handuk yang kupakai membebat darah Metta langsung kubakar di tungku barbecue, beserta beberapa kain lain yang ternoda darah. Singkatnya, aku membersihkan semua agar tak ada jejak bahwa Metta pernah mencoba bunuh diri di sini. Kenapa aku melakukan itu? Entahlah, mungkin kulakukan untuk Metta, tapi mungkin juga kulakukan untuk Erik, karena aku tahu dia akan sangat sedih bila tahu apa yang terjadi.
“Ini kopi, minum aja dulu…”
Gelas kopi kutaruh begitu saja di depan Metta yang bagiku tampak seperti mayat hidup. Dia melihat sejenak kopinya sebelum akhirnya meminumnya. Sebelumnya dia juga sudah kusuruh makan beberapa roti yang kutemukan di dapur.
“Kopi buatan kamu enak, Rin…”
Itulah yang dikatakan Metta pertama kali semenjak dari kamar mandi itu.
“Kamu sering bikinin Erik ini ya, di kantor?”
“Enggak, hampir nggak pernah aku bikinin dia kopi. Biasanya ada OB yang khusus mbikinin gini buat dia.”
“You should made him this… This is delicious.”
“Iyaa, aku bakal bikinin dia kalau kamu janji gak bakal ngulangin kayak gini lagi… I mean, what the f*ck, Met!? Lalu itu tato apa??”
Metta tak menjawab, hanya menunduk, kemudian dia menangis sesenggukan. Aku selalu menganggap Metta sebagai orang yang pandai dan pintar, tapi perkara berhubungan dengan orang, dia itu lugu. Jujur saja ini membuatku tidak heran bila Metta terjebak kembali di dunia itu, tapi bukankah sekarang dia punya Erik? Erik yang bisa membelanya dengan cara apa pun.
Meski begitu, aku pun beranjak dari tempat dudukku kemudian memeluknya. Walau tak kulakukan dengan erat, namun Metta segera balik memelukku dengan lebih kencang sambil menangis pada bajuku yang basah. Kutepuk dan kubelai kepalanya supaya dia tenang, tanpa mengatakan apa-apa, karena aku tahu bahwa saat ini yang dia inginkan hanyalah untuk menumpahkan air matanya saja. Bagi wanita, air mata adalah mekanisme pembersihan, untuk mengeluarkan hal-hal yang tak bisa dikatakan atau diungkapkan dengan cara lain, sebelum berubah menjadi racun dan merusak tubuh kami.
Setelah tenang, barulah Metta bercerita. Dia benar-benar bercerita dari awal hingga tahun 2009, saat dia dan Erik masih terpisah jarak dan Metta tergoda untuk mencari pelampiasan akibat hasrat seksualnya yang baru terbangun. Aku sendiri tak paham dengan ini, karena setelah aku dan Erik bercinta untuk pertama kalinya, aku bisa menahan untuk tidak bercinta dengan sembarang orang selain Erik, namun kurasa semua orang punya karakter seksualitas berbeda-beda. Metta ini sepertinya jenis orang yang sekali hasrat seksualnya terbangun, akan susah untuk dipuaskan, dan kalau pasangannya tak bisa memuaskan dengan segera, dia bisa mencari pelampiasan dalam bentuk apa saja, dari siapa saja, termasuk orang-orang tak bermoral macam Adam dan Surya.
“Jadi, Surya itu ternyata orang yang menggunakan nama Dash2_Tankuro itu?”
Metta mengangguk.
“I thought I won’t see him again, till that night, pas Erik sakit… Entah bagaimana dia bisa datang ke kosannya Erik dan ketemu aku di sana, dan…”
Metta kembali menangis. Aku pun memegang tangannya untuk menguatkannya.
“…and he fucked me in the aisle… Kalau bukan karena Sheila, teman sekosan Erik, kebetulan pulang, pasti habis aku diperkosa ama dia… He has knife… Aku takut…”
“Apa Erik tahu kalau…”
“Enggak, dia nggak tahu yang soal ini.”
“Hmm, pantes. Kalau dia tahu, si Surya udah pasti dibunuh.”
“Aku nggak mau Erik lakuin itu lalu dihukum… Awalnya aku juga nggak tahu kalau dia itu temen sekantor Erik. I never paid attention to anyone in his office, kecuali kamu, Nindy, ama Reyhan. Dia juga nggak tahu kalau aku pacaran ama Erik, dikiranya aku lagi maen ke tempat temen di sini…”
“Tipikal banget, kalau udah perkara kontol dia selalu nggak tahu waktu.”
“Dia juga yang pernah hampir perkosa kamu, kan?”
“Iya, dulu… But let’s talk about this first. Koq bisa kamu ketemu lagi ama dia? And how can you fall for him again? Kamu bisa kasih tahu Erik, kan?”
Metta terdiam. Ada sesuatu yang membuatnya risau antara harus beri tahu atau tidak. Aku hanya memegang tangannya saja, menguatkan dirinya.
“I can’t…”
“Erik itu bantuin kamu lepas dari Adam, kan?”
“Iya… Awalnya aku juga mau laporin ke Erik, tapi…”
“Tapi apa?”
“Begitu aku tahu Steven dan Surya bekerja sama, situasinya jadi lain. Aku udah kenal Steven cukup lama buat tahu kalau Steven bukan Adam yang bisa mundur abis digebuk ama duit ratusan juta.”
Metta kemudian bercerita dulu pada saat SMA ketika dia mengenal Steven. Jadi, sebagaimana SMA lain biasanya, selalu ada anak yang menjadi pem-bully, dan di SMA Metta itu, yang paling terkenal adalah Henry dan Abeng. Hampir semua anak di SMA itu kenal siapa mereka, dan biasanya pasti ada aja yang diganggu, dari diambil bekalnya, dipalak, disuruh-suruh lakukan sesuatu, bahkan diajak berbuat onar. Satu anak yang sebenarnya terlihat culun tapi tidak pernah diganggu oleh mereka adalah Steven. Awalnya Metta mengira bahwa itu bukan sebuah hal aneh, mungkin Henry dan Abeng hanya kasihan pada Steven, sampai di sebuah acara reuni, dia mendengar cerita dari salah satu sahabatnya, Clarissa, bahwa sebenarnya Henry dan Abeng pernah memalak Steven, dan oleh Steven diberikanlah semua uangnya kepada mereka dengan sebuah kata-kata kriptik: “Nikmati saja duitnya, karena kalian harus balikin ntar malam.”
“So?”
“Malam itu, menurut Clarissa, Henry dan Abeng sama-sama ‘kecelakaan’, padahal lokasi mereka berdua saat itu beda tempat. Dua-duanya ngaku kalau jatuh dari sepeda motor dan sama-sama retak di tangan sehingga dirawat selama sebulan. Cuman, waktu si Clarissa ngejenguk mereka, karena dia ketua kelas, luka-lukanya nggak kayak orang yang kecelakaan motor, lebih kayak habis digebukin ama orang.”
“They messed with the wrong people pasti…”
“Iya, tapi ya kita semua ngiranya antara mereka benar-benar kecelakaan, or pas lagi nakalin orang kena batunya. Sampai, pas acara reuni itu, Clarissa ngedenger sesuatu yang menarik.”
“Apa itu?”
“Duit mereka berdua diambil, tapi hanya sebanyak duit yang mereka ambil dari Steven. Yang mereka belanjain dituker pukulan, 1.000 rupiah sekali pukul. Untung katanya mereka baru pake goceng, jadi cuman digebuk 5 kali masing-masing. Itu aja lukanya udah cukup parah…”
“Jadi maksud kamu…”
“Adam itu orangnya omong besar, Rin. Dia aslinya nggak berani kalau konfrontasi ama orang, kalau Surya, dia berani, tapi Erik pasti bisa kalahin dia, tapi Ko Steven beda. He do what he said he’ll do. Kalau dia bilang mau ngambil ya dia ngambil, kalau dia bilang mau mukul ya dia mukul, kalau dia bilang mau bunuh orang…”
Aku terdiam saja, karena tahu apa lanjutannya. Apabila ada epitome mengenai “air tenang menghanyutkan”, mungkin Steven lah orangnya. Metta tak pernah sadar bahwa Steven orang yang seperti itu karena dari dulu, she always in his good list. Alasan Clarissa memberi tahu Metta saat itu adalah karena Clarissa tahu Metta akan masuk KSI dan bertemu dengan Steven lagi.
“Tapi, kalau kamu di good list-nya Steven, artinya seharusnya dia lindungin kamu dari Surya, dong?”
“Seharusnya… Tapi enggak, Ko Steven gak punya good list semacam itu. ‘Good list’ buat dia adalah orang yang bisa dia manfaatkan untuk keuntungannya sendiri. Semasa SMA, aku sering nemenin dia makan, so he need me for that. Saat ini aku punya dua kegunaan, buat lawan Erik sama buat daya tawar dia buat naik jabatan.”
“Koq bisa? Lalu kamu koq mau??”
“Perusahaan Korea itu beda, Rin, dari kita. Di kita, sogok duit itu hampir selalu berhasil, tapi Korea enggak. Sogokan yang hampir 99 persen berhasil ya sogokan seks. Provide a girl that they like to gain their favor, dan ternyata Ko Steven dari awal aku masuk udah nyiapin aku buat itu, dikenalin ke board, ke pejabat KSI di Korea… Hampir gagal saat aku akhirnya nikah sama Erik, sampai…”
“Surya datang, dan ngasih dia leverage yang diperlukan buat maksa kamu ngikutin maunya Steven? Tapi Erik bisa…”
“Bukan itu masalahnya, Rin. Erik masih di Singapore buat saat ini, so he isn’t here to deal with this kind of situation.”
“What situation?”
“This!”
Metta meletakkan hapenya di hadapanku dan memutar sebuah file. Itu adalah file video bokep antara Metta dengan Adam.
“Itu kamu sama Adam?”
Metta mengangguk.
“Tapi itu file lama, kan?”
“Bukan masalah filenya, tapi gimana cara dia ngedapatinnya. File video itu harusnya udah hilang pas Erik ngehapusnya tahun 2014 kemaren. Satu-satunya cara file itu bisa muncul kembali dan ada di tangan Surya adalah…”
“Dia nge-hack telepon kamu? Tapi gimana mungkin?”
“Ko Steven… Kamu inget gak, sebelum aku resign, aku sering rapat atau ngasih dokumen ke ruangannya, soalnya aku jadi semacam liaison antara Divisi 1 dan Divisi 2. Aku cukup kenal Ko Steven sampai pada poin kami sering tuker-tukeran lagu pake bluetooth. Erik nggak tahu soal ini soalnya, well, it’s something we do for as long as we know each other. Ternyata dalam salah satu prosesnya dia ngasih sesuatu macem program mata-mata gitu…”
“Worm?”
“Ah iya… Eh, koq kamu tahu?”
Sial! Rupanya di sini pentingnya Surya bagi Steven. Dari Abang, aku tahu bahwa ASV memang mengembangkan beberapa macam worm terutama untuk simulasi serangan hacker. Walau sebagian besar, terutama yang paling berbahaya tetap dipegang dalam pengawasan Abang, atau Divisi Strategi Marketing, ada sebagian yang di-share ke bagian lain, termasuk Tim Marketing di mana di situ ada Surya. Seluruh worm sudah dihancurkan oleh Abang ketika ASV dicaplok oleh KSI sebagai bagian dari due dilligence, sehingga satu-satunya yang ada di luar ASV sekarang adalah progenitor virus Medusa milik Erik. Tak disangka rupanya Surya juga menyelundupkan worm keluar dari ASV, dan dia punya akses untuk itu.
“Udah, nggak penting, ASV sering urusan ama yang namanya worm. Yes, so hape kamu di-hack pake worm itu?”
“Iyaa, kemaren malam aku disuruh buat datang ke restoran buat negosiasi settlement, dan kalau aku nggak mau, semua video yang berhasil diekstraksi dari hapeku bakal disebar ke mana-mana. Aku tahu Erik pasti bakal bertindak, tapi masalahnya dari hapeku dia bisa ambil alamat email Papa aku. He’s not in a good condition now, so aku ama Erik bener-bener jaga informasi apa aja yang boleh dan nggak boleh dia terima. Adanya macem gini bisa bikin Papa-ku langsung jantungan. Lalu dia juga bilang karena dia udah hack hape aku, jadi dia tahu aku ngapain aja, kalau aku hubungin Erik dengan cara apa pun, mereka bakal langsung umbar semua dataku sekarang juga. This is bad for Erik, soalnya kamu tahu kan kebijakan KSI soal kebocoran datang gimana? Awalnya aku kira semalem cuman bakal ketemu ama Surya, tapi ternyata ada Steven juga… Dia taruh foto-foto Erik pas di Singapore, sambil bilang bahwa dia udah deket banget pengen ngebunuh Erik. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan Erik yaitu aku harus kerjasama dengan dia. Pas aku setuju, dia ngasih aku ini…”
Metta lalu membuka kimono dan memperlihatkan tato ularnya.
“Syaratnya, Erik nggak boleh tahu soal tato ini, karena kalau Erik sampai tahu dan ngelabrak, maka Erik bakal langsung mati. Dengan gini dia mastiin supaya aku nggak bakal lapor ke Erik, karena Erik pasti bakal langsung bertindak, dan dengan begitu dia…”
Metta kembali menangis sesenggukan. Aku memang tak kenal Steven sedekat itu, tapi aku tahu bahwa Steven punya koneksi dengan mafia Singapura yang disebut Sah Lak Kau. Ini konon adalah salah satu organisasi kejahatan terbesar di Singapura dan punya cabang di Indonesia. Aku sudah memperingatkan Erik mengenai ini, dan dia setuju bahwa mereka amat berbahaya, tapi dia tetap harus mencari cara menumbangkan Steven tanpa membuat panik.
“Dari mana kamu tahu kalau dia serius?”
“Aku tahu, aku kenal dia… Ditambah lagi, Pak Yono dibunuh…”
“Apa?”
“Kamu tahu, kan, Pak Yono itu mantan sopirnya Papa, dan udah deket banget ke keluarga kami, dia kenal baik ama Erik juga. Abis Papa ama Mama pindah ke Jepang, Pak Yono dikasih pesangon pensiun dan dibeliin rumah, tanah, ama mobil pikap di kampungnya. Orangnya baik, nggak pernah macem-macem, dan nggak punya musuh sama sekali. Ko Steven sengaja ngebunuh Pak Yono buat nunjukin kalau dia serius, padahal kampungnya Pak Yono itu jauh dan terpencil. Coba kamu bayangin, Rin, kalau Pak Yono saja bisa dibunuh ama dia, gimana Erik yang keberadaannya bisa selalu dia tahu dan monitor?? Mau sejago apa pun Erik, gimana aku nggak was-was coba??”
Aku mendengus. Tidak, Metta benar. Kalau aku jadi Metta pun aku sepertinya nggak punya pilihan lain, antara mati saat itu juga atau niru Metta. Mungkin aku bakal lebih milih mati daripada mbantuin musuh besarnya Erik, tapi Metta mungkin melihat bahwa dia lebih punya kesempatan mastiin Erik tetap selamat dengan cara tetap hidup, dan lakuin apa yang Steven perintahkan. Yeah, di sinilah aku berbeda dengan Metta, tapi aku tak bisa menyalahkannya karena memilih apa yang dia pilih.
Metta menangis lagi, tampaknya dia benar-benar tak tahu harus apa. Huft, hampir saja aku bilang buat putusin aja Erik, biar dia sama aku aja, tapi aku nggak tega juga bilang gitu ke dia. Pada akhirnya aku hanya bangkit sambil sedikit menggebrak meja makan dan menatap matanya dalam-dalam.
“Eonnie, let’s do this. Aku bakal bantuin kamu buat sembunyiin ini dari Erik.”
“Eh? Beneran?”
“Iya, prioritas pertama kita ya keselamatan Erik. Kamu bilang sendiri kan Steven bisa apa. Ya sudah, let’s do this and protect Erik.”
Aku memegang tangan Metta dengan mantap, dan tampaknya Metta cukup senang dengan perkataanku itu. Walau begitu, dalam hati, aku tetap membencinya. Membencinya karena ulahnya sendiri yang membuatnya ada di posisi ini dan berpotensi merugikan Erik. Coba dari dulu dia bisa kendaliin nafsunya, bisa kendaliin mekinya biar nggak sampai kemasukan kontol lain…
Ah, sudahlah, demi Erik aku harus bertahan. Aku harus tetap tersenyum di hadapan wanita ular ini. Kalau bukan karena dia istri Erik, sudah kubiarin dia mati di bathtub tadi. I hate her… I hate her with passion.
So, against my better judgement, aku menawarkan diri buat nginep di rumahnya, nemenin dia sampai Erik pulang dua hari lagi. Yeah, aku harus jagain dia biar dia gak relapse lalu coba bunuh diri lagi, karena kalau gitu, maka Erik bakal sedih. Jangan salah, aku paham posisinya, tapi aku tetep benci dia. Aku bukan orang jahat, tapi juga tak seperti Erik yang baiknya kayak malaikat, so this is all I do bukan karena aku kasihan sama Metta tapi lebih karena aku nggak mau Erik nyalahin diri sendiri kalau ada apa-apa sama Metta. Jadi, aku langsung telepon Anin, ngabarin kalau aku nggak jadi dijemput ama dia. Tahan, Rini, you’ll be stuck with this bitch for two days.
“Pacar kamu?” tanya Metta begitu aku menutup teleponnya.
“Oh, cuman temen koq.”
“Cowok?”
“Cewek, namanya Anin.”
“Oh, Anin yang kamu dulu pernah cerita?”
“Eh, kapan ya, aku ceritanya?”
“Dulu banget, aku udah lupa tapi pokoknya pernah. Well, she seems to be a good companion.”
“Apaan sih, dia ini cewek, tahu?”
“Nowadays gak masalah kan, cowok ama cewek?”
“Hahaha, nggak lah, aku masih normal, masih suka ama kontol.”
“Bisa pake strap-on dildo.”
Aku menyembur saat meminum kopiku, mendengar perkataannya.
“Eonnie! Jangan ngomongin gitu napa?”
Metta hanya tersenyum dan tak menjawab.
Saat ini…
Ya, aku kembali lagi ke rumah ini. Anin menunggu di mobil seperti biasa, karena dia nggak mau terlibat misal ada drama di dalam rumah. Dia hanya mau menjadi getaway driver, itu saja, jadi dia memilih menunggu di mobil. Aku baru berjalan mendekati pintu saat tiba-tiba terdengar sesuatu yang amat keras dari dalam rumah.
“BRAAAKKK!! BRAAAKKKK!!!!”
Aku bergidik, karena rasanya seperti Erik sedang menghancurkan seisi rumahnya. Apa yang terjadi di dalam? Apa Erik sedang mengamuk? Gawat kalau dia mengamuk kepada Metta, karena mengenal Erik, bisa-bisa Metta dibunuh… Eh, mustahil Erik melakukan itu, tapi… Kenapa tiba-tiba aku merinding ya saat memikirkan kemungkinan bahwa Erik bisa membunuh Metta… Seolah itu merupakan sebuah hal yang familiar. Seolah sesuatu yang bukan hanya pernah kudengar, tapi pernah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Kilau pisau, anyir darah, dan entah kenapa perutku terasa amat sakit seolah tertusuk…
Aku menggelengkan kepala, lalu dengan cepat aku menekan bel rumah. Suara amukan itu berhenti sejenak saat bel rumah berbunyi. Aku menarik nafas, dan dengan tangan gemetaran aku membuka pintu rumahnya yang tak dikunci, kemudian masuk ke dalam. Seperti kubilang, aku sudah terbiasa masuk ke dalam rumah ini saking seringnya Metta mengundangku. Saat kulihat Metta berdiri, membeku ketakutan, aku pun menarik nafas lega, setidaknya Erik tidak kalap dan membunuh Metta karena gelap mata. Pecahan-pecahan hape, laptop, dan iPod kulihat berserakan di bawah kaki Erik dan Metta. Sepertinya Erik telah menghancurkan semua barang-barang elektronik yang dibawa oleh Metta. Erik mengangkat kepalanya dan melihatku.
“Rin, mobilnya udah ada?”
“Udah, Rik, lagi nunggu di luar sama temen aku Anin. Tapi…”
“Oke, sekarang juga kamu bawa Metta pergi, ke tempat yang udah aku kasih tahu.”
“Rik…”
“Bebeb…” kata Metta.
“Pergi ke mobil sekarang!!”
Tanpa membuang waktu, aku segera menuntun Metta sambil membawa boston bag yang telah dia siapkan di dekatnya. Raut muka Erik saat ini tengah amat serius, dan aku tak mau membantahnya.
“It’s okay, Eonnie, ayo kita pergi.”
Metta tidak menjawab, hanya menangis saja. Sementara aku menuntunnya pelan-pelan ke mobil. Erik mengikuti kami dari belakang, dan rasanya mengerikan saat Erik tengah berada dalam aura itu, seolah kami sedang diikuti oleh iblis. Aku lalu membuka pintu belakang dan memasukkan Metta serta tasnya di sana. Aku sendiri akan duduk di depan bersama Anin, jadi tak perlu harus membuka pintu bagasi. Namun tak seperti ini seharusnya, karena kukira Erik yang akan pergi bersamaku, bukan malah Metta. Begitu aku memasukkan Metta ke dalam mobil, aku segera berlari kembali dan bertanya kepada Erik.
“Rik, what are you doing, actually? Aku kira kamu yang bakal pergi ama kami?”
“This is something that I have to do.”
Erik membuka tasnya, kemudian menyerahkan sebuah amplop cokelat. Saat kubuka, isinya adalah uang, kartu kredit, kartu debit, beberapa buku tabungan, dan sebuah hape yang tampaknya masih amat baru.
“Ini buat apa?”
“Buat keperluan kalian. Metta tahu kodenya. Kalau perlu ajak juga si Anin.”
“Kamu nggak bakal ikut?”
“Aku nyusul kalau semua udah selesai.”
“Rik! Aku tahu kamu mau ngapain, jangan, Rik!”
“I have to do this!”
“For her? What about me?? Rik, please, kita pergi sekarang ya, Sayang, please…”
Aku kemudian memeluk Erik dengan erat seolah tak ingin melepasnya, meski tahu bahwa Metta pasti bisa melihat ini dari mobil, namun aku tak peduli Aku tak tahu apakah setelah ini aku masih akan bisa bertemu dengan Erik lagi, jadi aku tak mau melepaskan pelukannya walau hanya untuk sesaat. Met, I know you can see this, but please let me do this. Kamu udah lama bisa meluk Erik dengan bebas, this time it’s my turn. I want Erik, and I want him now…
“Please, Rik…”
“No, I have to do this, I have to make things right.”
“Rik…”
“Rin, kalau kamu nggak segera pergi, kita semua dalam bahaya.”
“Tapi…”
“PERGI!!!!”
Erik menghardikku dengan amat keras hingga aku pun mundur. Tanpa sadar air mata pun tak lagi terbendung dan aku pun menangis. Tangan dan seluruh tubuhku gemetar merasakan emosi yang seakan ingin meluap, dan tanpa aku sadari, hatiku mulai mengambil alih kendali dari tubuhku. Aku maju dan langsung menciumnya, sebuah ciuman yang amat intens dan dalam sehingga aku bisa merasakan aromanya di dalam hidungku. Erik tidak melawan, bahkan membalas ciumanku dengan sama hangatnya. Kemudian kami berpelukan, sebuah pelukan yang amat dalam seolah ini adalah akhir dunia. Pada saat ini, di dunia ini hanya ada aku dan Erik, tidak ada yang lain, tidak pula ada bumi seisinya, hanya aku dan Erik dalam kekosongan. Aku tak masalah dengan itu, karena bagiku, hanya Erik yang kuperlukan.
“Erik, please be safe, and please come back, for me…”
“Iya…”
“Promise me!”
“I promise.”
Aku kemudian mencium kedua pipi Erik, lalu sambil terus mengeluarkan air mata, aku langsung berlari masuk ke dalam mobil. Kami semua diam sejenak saat aku masuk. Metta dan Anin sepertinya tak berani melihatku. I’ve kissed a man in front of his wife, tapi entah kenapa aku malah senang melakukannya, seolah itu adalah hal yang benar. Keheningan singkat itu berakhir ketika Anin berdehem.
“So, kita pergi sekarang?” tanya Anin.
“Ya, kita pergi sekarang.”
“Alrighty…”
Anin langsung menginjak gas dan mobil pun bergerak. Metta menoleh sepertinya ingin melihat Erik untuk terakhir kalinya, namun aku tidak. Aku sudah cukup berpamitan tadi, bila aku menoleh, aku takut akan menyuruh Anin untuk berhenti lalu aku akan berlari kembali ke Erik. Tidak, Erik harus melakukan ini, meski aku tak setuju dia melakukannya. It’s his choice… The choice of a man… Kadang aku benci saat seorang pria menjadi seorang pria. Martabat, harga diri, gengsi… Semua itu tak ada artinya bagiku bila pria yang kucintai harus pergi karena itu dan tak kembali lagi. I hate him for that… Aku ingin sekali saja dia bisa menelan gengsinya untuk bersama denganku…
I don’t understand…
Wanita sepertiku tak bisa paham kenapa dia melakukan itu.
Aku hanya paham dia harus melakukannya, tapi bukan berarti aku suka dia melakukannya.
Aku ingin dia tak melakukan itu dan tetap bersamaku.
Aku tak peduli walau ada Metta, aku hanya ingin dia bersamaku.
Aku hanya ingin Erik ada di dekatku.
Apakah itu sesuatu yang susah untuk diminta?
Aku diam dan membuka buku harian yang ditinggalkan oleh Erik. Setelah dari tadi aku memegang dan memeluknya, kini aku membukanya, buku harian itu, peninggalan satu-satunya Erik untukku, dan hanya untukku, rahasia dalam hatinya yang paling dalam, yang hanya dia tunjukkan padaku, bukan kepada wanita lain, tidak pula pada Metta. Omong-omong, Metta masih tampak hancur. Mungkin karena Erik mengusirnya, atau mungkin juga karena dia melihatku mencium dan memeluk Erik. Yang mana pun itu aku tak peduli. Sudah cukup waktumu bersama Erik, sekarang adalah giliranku, dan akan kuberikan kebahagiaan yang tak bisa kau berikan…
“Erik kenapa nggak ikut, Rin?”
Metta bertanya padaku dengan nada suara yang hampir lirih.
“Dia harus lakukan sesuatu.”
“Sesuatu? Apa?”
“Yang harus dia lakukan, karena kamu menempatkannya di posisi itu…”
“Aku? Tapi aku nggak punya pilihan…”
Aku lalu mendengus. Buku kututup, kemudian aku berbalik menghadap ke Metta, yang langsung beringsut mundur.
“Tau nggak hal yang paling nggak aku suka di dunia? Itu saat orang lakuin sesuatu yang buruk dengan alasan bahwa ‘dia tidak punya pilihan’… You have choice! YOU ALWAYS HAVE CHOICE! Yang menempatkan Erik dalam posisi ini itu ya KAMU! KAMU DAN KEPUTUSAN KAMU YANG GAK BISA JAGA MEKI!”
“Rin, why are you so cruel to me?”
“Aku udah sering diam ya liat kamu dan kelakuan kamu, Met! Aku diam karena aku masih mandang Erik! Tapi saat Erik harus lakuin kayak gini cuman buat nyelamatin kamu… NYELAMATIN KAMU DARI AKIBAT KEPUTUSAN BODOH KAMU SENDIRI… Sorry, aku nggak bisa tetep diam. You’re not worth to be saved, Met! And I have to save you because Erik wants me to…”
“Rin, aku…”
“Shut up! SHUT THE F*CK UP!!”
Hampir saja aku memukul Metta dengan buku yang kupegang kalau Anin tidak memegang tanganku dan menghentikanku.
“Hei! Kak, please! Jangan berantem di sini, both of you… I’m concentrating here.”
Aku lalu kembali ke tempat dudukku setelah Anin memintaku. Sial, kenapa aku bisa terpancing begitu? Padahal biasanya aku selalu bisa menjaga emosiku. Entah, mungkin karena ini soal Erik jadi aku tidak bisa tidak marah. Di mataku, Metta sudah bersalah banget soal Erik, so aku akan pastikan dia benar-benar sadar akan itu. Erik itu terlalu baik buat ini, so dia nggak bakal tega ngomong gitu ke Metta. Yes, dia emang marah setelah tahu Metta lakuin itu, tapi dia gak bakal bilang bahwa ini salah Metta. No, someone need to make sure that she understand that.
Perjalanan berlanjut dengan keheningan yang canggung. Aku hanya meremas bukuku erat-erat, tak berselera untuk membukanya karena masih dongkol dengan Metta.
“I’m sorry…”
Metta meminta maaf dengan lirih.
“Jangan ngomong ke aku, ngomong aja ke Erik.”
Kudengar suara sesenggukan di baris belakang, dan yah, Metta menangis. Anehnya, bukannya aku bersimpati dengannya malah aku semakin dongkol dan makin ingin mencibirnya. Kenapa sih dia kudu menangis pas kayak gini? Dipikir yang dia lakuin ini bisa kehapus apa kalau dia nangis?? Nope, I won’t fall for it.
“Nangis aja gak bakal ngebantu…”
“Aku hanya bisa nyusahin Erik aja dari dulu…”
Aku diam saja.
“Tapi aku mau tahu, Rin… Erik itu sebenernya mau ngapain? Apa dia mau hancurin Ko Steven?”
Aku mendengus.
“Nggak bisa dalam posisi ini. Posisinya terlalu kuat…” jawabku.
“Lalu?”
“Satu-satunya yang bisa dia lakukan ya bargain, keselamatan kamu buat data-data yang ada pada dia. Lalu entah, mungkin dia juga bakal mundur dari KSI.”
“Serius?”
“Aku nggak tahu sih, tapi kemungkinannya kayak gitu, if I know him well.”
Metta tiba-tiba mulai mengutuk sambil menjambaki rambutnya sendiri. Aku pun yang tadinya nggak peduli akhirnya heran juga dengan kelakuannya seperti itu.
“Hei, kenapa kamu begitu?”
“Shit! Dia seharusnya ngancurin Ko Steven langsung! Kenapa kudu bargain segala, sih?? Begooo!!”
“Hey! Watch your language ya! Lagian dia itu…”
“Itu cuman alasan dari Ko Steven buat ngehabisin Erik, tahu nggak!?? Ko Steven itu nggak peduli Erik punya bukti-bukti macem apa, he is THIS CLOSE to kill him! Kalau Erik cuman mau gitu, itu sih sama aja ngasih alasan ke Ko Steven buat mbunuh dia!!”
“Met…”
“Ayo, kita kembali! Kita selamatkan Erik sekarang!”
“Met…”
“BUKAN STEVEN YANG BAKAL DATANG, RIN!! Tapi orang suruhannya buat ngebunuh si Erik!! Ayo, balik… Zee… Anin, atau siapa pun nama kamu, cepet balik, cepet!!”
Anin tampak bingung dan menatap mataku.
“No! Erik bilang kita terus! Stay on this course, Nin!” kataku.
“Zee, please!” kata Metta.
“Zee?” tanyaku bingung.
“Umm, ceritanya panjang, Kak…” kata Anin.
“Zee, ayolah, please!” kata Metta.
Belum sempat kami bereaksi, hapeku pun berbunyi. Ini dari Erik. Aku menyuruh semua orang diam sebelum mengangkatnya.
“Ya, Erik?”
“Rin, kalian sampai mana?”
“Mau masuk ke tol sih. Kamu gimana?”
“Ada yang ngikutin kalian nggak?”
Aku lalu celingak-celinguk sejenak dan mengamati spion. Sepertinya nggak ada yang aneh.
“Sejauh ini aman sih, nggak ada apa-apa…”
Baru saja aku berkata begitu, tiba-tiba…
“DAAAKKKK!!”
“WOOY!! ANJ*NG LO!!!” teriak Anin ke luar jendela.
Tubrukan itu amat keras hingga kami yang ada di dalam mobil sampai hampir terjerembap, untungnya kami semua memakai sabuk pengaman, termasuk Metta di belakang. Kulihat di luar ada mobil Innova warna hitam yang sepertinya baru menabrak mobil ini, dan dia memberi isyarat dengan lampu sein agar kami minggir.
“Kenapa, Nin??”
“Ada Innova nyenggol nih, kampret bener, kudu aku urus nih, mahal soalnya kalau ampe rusak…”
Saat Anin bersiap untuk menepi, kulihat kembali ke hapeku dan berbicara dengan Erik.
“Kalian kenapa?”
“Ada yang nyenggol mobilnya ini, Rik…”
“JANGAN BERHENTI!! CEPAT LARI!!”
Tepat pada saat itu, Metta yang berada di belakang melihat lewat kaca belakang dan sepertinya orang di mobil Innova itu mulai menyiapkan sesuatu.
“Mereka bawa pistol!!”
“Hah!?? Nin! Nggak usah berhenti! Tancap gas aja!!”
Buru-buru Anin segera tancap gas dengan kecepatan tinggi. Innova itu lalu balik tancap gas juga dan mengejar kami, dalam sekejap, kami tiba-tiba saja sudah berada dalam situasi kejar-mengejar. Metta berteriak-teriak histeris saat mobil itu mengejar kami.
“Kalian posisi di mana? Siapa yang kejar kalian???”
“Posisi masih di Utara sih, kamu di mana? Kami diikutin ama Innova item.”
Aku sendiri tak bisa berkonsentrasi. Anin lalu meneriakkan nama sebuah tempat yang aku sendiri tak tahu itu di mana. Buru-buru aku mendekatkan hape itu ke Anin yang sedang fokus mengemudi dengan sedikit mengebut. Erik mengatakan sesuatu pada Anin, tapi karena tegangnya situasi, aku nyaris tak bisa mengingat apa yang Erik katakan. Yang aku tahu hanyalah Anin mengangguk dengan apa yang dikatakan oleh Erik itu. Suasana pun terasa mencekam dalam situasi kejar-kejaran itu, untung saja jalanan tidak sedang ramai atau macet.
“Sial! Tau gini aku bawa si Celeng tadi…” kata Anin.
“Bukannya ini lebih gede ya mobilnya?”
“Iya, tapi nggak lincah… Oh ya, si Erik itu mobilnya apa?”
“Biasanya dia pake Mazda 6, Zee,” kata Metta, “warna soul red, nomornya B 2907 MLE.”
“Err… Maksudnya kayak yang di depan itu?” kata Anin.
Aku memicingkan mata dan melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Anin. Benar, itu mobil Mazda 6, warna soul red, dan nomornya B 2907 MLE. Ya, itu mobil Erik, tapi kenapa berlawanan arah? Dan kenapa mobilnya kencang sekali? Lalu sayup-sayup kudengar lagu “Time To Say Goodbye” dari Andrea Bocelli dan Sarah Brightman mengalun dari hapeku. Tiba-tiba cahaya itu kembali muncul, benang merah yang selama ini ada di jari manisku. Namun bedanya adalah kali ini aku bisa melihat ujungnya…
Ya, ujung benang merah ini adalah pada mobil M*zda 6 warna soul red di depan. Bahkan benang itu mengikuti gerakan mobil itu…
Mustahil… Apa benar???
“Rik, yang di depan itu mobil kamu??”
“…”
“Rik, slow down! Kamu terlalu cepat!!”
“…”
“RIK!!”
Tapi mobil itu, bukannya melambat malah tambah kencang, dan malah berbelok mengganti jalur. Anin membelalak dan dengan cepat berusaha banting setir agar tak menabrak M*zda itu.
“KRAAAKKK!!”
Dengan suara kencang, spion kanan mobil Anin hilang, saat bayangan merah melesat dengan amat cepat dari depan ke belakang. Waktu serasa bergerak secara slow motion. Aku hanya bisa terpaku saat melihat mobil Erik melaju dengan kencang bak peluru kendali ke arah mobil Innova yang mengejar kami, sementara Metta dengan histeris berteriak memanggil nama Erik.
“BRAAAAAKKKKK!!!”
Suara itu amat mengerikan bagi siapa pun yang mendengarnya. Karena mobil Erik lebih rendah, Innova hitam itu pun langsung terpelanting melayang di udara, berputar, lalu jatuh bagaikan dihantam dengan atap duluan, hingga setengah pintunya ringsek. Mustahil ada yang bisa selamat dari sana. Namun M*zda itu juga tak luput dari hentakan, berguling-guling memantul dari jalanan, menggugurkan banyak suku cadang, sebelum akhirnya terhempas ke jalanan, pintu terlepas dan Erik terbanting bergulung-gulung, sabuk pengamannya putus akibat benturan luar biasa. Mobil Anin sendiri mengalami oversteer parah sebelum akhirnya Anin bisa mengendalikan dan menghentikannya. Begitu mobil berhenti, kami langsung membuka seat belt dan berhamburan menuju Erik yang tersungkur di jalanan. Aku tertegun sejenak, sebuah bayangan tiba-tiba berputar di kepalaku, semacam ingatan atau imajinasi bahwa aku seperti pernah melihat hal semacam ini sebelumnya…
No, no, no, please…
Please don’t die…
Erik jangan mati…
ERIK!!
Tapi tubuh Erik yang bersimbah darah tampak mati bagi kami.