Disclaimer
Cerita di bawah ini adalah fiksi dan bukan menggambarkan kepercayaan, tempat, tokoh, atau kejadian di dunia nyata.
Disarankan kebijaksanaan pembaca
Chapter Zero:
If Only That Time…
Pintu ambulans menjeblak terbuka dan dengan cepat para perawat dan paramedik mengeluarkan brankar yang di atasnya tergolek seorang pria yang bersimbah darah, berjuang dalam batasan antara hidup dan mati. Ya, dia adalah Erik, dan aku turun bersamanya dari ambulans itu. Sepanjang perjalanan, semua terasa bagai mimpi. Rasanya semua ini tidak nyata, bahwa Erik terbaring di sini, terluka parah dan bersimbah darah karena menyelamatkan kami. Semoga saja paramedis tidak terlambat datang, dan Erik bisa diselamatkan.
Dunia seolah berputar, namun aku tidak ikut di dalamnya. Rasanya seperti aku adalah hantu, bergentayangan di dunia manusia sementara para manusia ini bekerja tanpa mempedulikan kehadiranku. Namun ada yang aneh, karena rasanya seperti aku pernah ada dalam situasi ini sebelumnya. Suara-suara ini, aroma ini, rasa takut dan khawatir ini, suasana ini seolah mengingatkan pada sesuatu yang seperti pernah kualami namun tak nyata bagaikan mimpi.
“Keluarga Bapak Erik!”
Aku terkesiap saat pengumuman itu diberikan. Seorang suster tampak celingak-celinguk mencari-cari.
“Keluarga Bapak Erik!!”
Dia memanggil dengan lebih keras, mencoba melawan semua suara di sekitarnya. Aku pun langsung mengangkat tangan dan berdiri. Dengan anggukan kelegaan, suster itu pun segera menghampiriku.
“Ibu ini siapanya Bapak Erik?”
“Sa-Saya istrinya…”
“Oh, kebetulan sekali, Bu. Tolong tanda tangan pada dokumen-dokumen ini ya, termasuk persetujuan kalau nanti perlu dilakukan tindakan operasi pada Bapak Erik.”
Walau masih agak bingung, aku menerima saja beberapa dokumen dan surat pernyataan dari suster itu.
“S-Suami saya… Bagaimana keadaan suami saya, Sus?”
“Sampai saat ini keadaan Bapak Erik masih cukup kritis, tapi dokter sedang berusaha menstabilkan. Nanti kalau ada perkembangan lagi bakal saya kasih tahu.”
“Tolong selamatkan suami saya ya, Sus…”
“Iya, Bu. Tenang saja, kami bakal usahakan yang terbaik.”
“Makasih, Sus. Oh ya, saya harus tanda tangan di mana, ya?”
“Oh sebelah sini, Bu.”
Suster itu memberikan sebuah pulpen dan menunjuk sebuah kotak untuk tanda tangan. Dengan mantap, aku pun membubuhkan tanda tangan juga namaku di sana.
“Baik, terima kasih, Ibu…”
“Rini… Rini Widiyanti.”
“Baik, Ibu Rini, mohon ditunggu ya, sambil berdoa semoga suaminya diberi keselamatan ya, Bu.”
Aku mengangguk kemudian terduduk di bangku ruang tunggu.
Suami…
Suami…
Kenapa aku mengaku sebagai istrinya? Entahlah, perkataan itu serasa mengalir begitu saja. Mungkin ini adalah ambisi pribadiku, menjadikan Erik sebagai suamiku dan merebutnya dari Metta. Tapi, bukankah Erik pernah bilang bahwa pada timeline yang lain, kami adalah suami-istri, jadi bukankah lebih tepat bila Metta yang merebut Erik dariku? Apa pun itu, aku tak akan membiarkan Erik pergi lagi. Saatnya untuk memperjuangkan dirinya, baik sebagai suami atau tidak…
Saat itulah, sebuah benang cahaya warna merah muncul dengan samar. Benang yang telah beberapa kali muncul dalam pandanganku, selalu berpangkal dari jari manisku. Namun selama ini aku tak pernah tahu dari mana benang ini muncul, dan ke mana ujungnya. Setiap kali aku ingin mengikutinya, setiap kali pula benang ini langsung menghilang. Mungkinkah benang ini memberikan sebuah petunjuk padaku? Petunjuk mengenai masa lalu yang terlupakan?