Prolog​
ROY Story. Debu berterbangan ketika mobil pick up berwarna putih yang tadi mengangkut barang-barang rumah tangga itu akhirnya keluar dari areal kos-kosan yang terletak sedikit jauh dari jalan utama. Sinar matahari di pagi hari ini sudah mulai terasa menyengat di kulit lelaki yang mengenakan celana jeans dan kaos hitam bertuliskan Freedom of Choice di dadanya. Diamatinya kos-kosan baru yang akan ditempatinya. Sebuah kosan yang terbilang cukup kecil karena hanya mempunyai empat buah kamar dengan masing-masing kamar seluas 3,5×2,5 meter. Empat buah kosan yang berjejer menghadap keutara, yang sayangnya, disebelah utaranya terdapat kosan lain bertingkat dua dengan jumlah kamar lebih dari dua puluhan sehingga tidak ada pemandangan lain yang bisa terlihat disana. Kosan barunya sekarang terlihat sepi, hanya pintu kamar yang paling barat saja tadi terlihat terbuka walaupun tidak ada orang yang terlihat disana. Mungkin yang punya kos masih di kamar mandi yang untungnya ada di masing-masing kamar. Lelaki itu menarik nafas panjang sebelum memasuki kamar kos paling timur. Dibukanya pintu depan dan melihat keadaan kamar yang tampak bersih. Sebuah lemari ada di pojok selatan, disebelah kamar mandi yang cukup bersih. Di sebelah selatan ada sebuah pintu belakang, sambil mengamati lingkungan barunya lelaki itu membuka pintu belakang dan melongok ke gang sempit yang menghubungkan setiap kamar. Itu artinya, semua kamar mempunyai pintu belakangnya! Menurut ibu kos, disebelah barat kos ada dapur bersama yang bisa dipakai oleh anak kos. Lelaki itu akhirya keluar dari kamar dan melihat sesosok wanita memandangnya sambil tersenyum lebar. “Mas anak kos barunya ya?” sapanya ramah sambil mendekati si lelaki. “Eh iya mbak, baru saja pindah,” jawab si lelaki sambil balik tersenyum dan mengawasi pakaian wanita berumur 25 tahun yang berada didepannya itu. Celana pendek kain warna hitam membungkus pahanya yang terlihat padat, putih dan mulus. Sedangkan kaos putih ketat membungkus payudaranya yang terlihat membusung. Dengan muka yang tanpa make up, wajah wanita didepannya terlihat segar. “Kenalin dong, Indah,” katanya sambil mengulurkan tangannya. “Roy,” sahut silelaki sambil menyambut uluran tangan wanita yang ada didepannya. Tangan yang kecil tapi halus… Pikir Roy sambil melihat mata yang bening dan hitam mengawasinya. Dengan rambut sebahu yang dibiarkan tergerai, sungguh membuat pagi hari ini menjadi lebih segar. “Kok sepi mbak?” tanya Roy sambil melihat kearah satu-satunya sepeda motor yang ada didepan kos. Motor Roy sendiri. “Yang ini masih kerja mas, sedangkan yang sebelah sana masih sekolah rasanya, kok manggil mbak si? Gedean mas deh dari saya?” katanya sambil cemberut. “Ehhmmm.. Men manggil apa dong?” tanya Roy dengan bingung. “Indah aja deh mas, eh, perlu bantuan nggak nih?” kata Indah sambil melihat barang-barang Roy yang masih berantakan didepan kamarnya. “Eh, perlu banget sih, tapi masa baru kenal sudah minta tolong, hehehe” kata Roy sambil melihat ke barang-barangnya yang cukup banyak. “Ye, nggak apa-apa kok, tenang aja, aku nggak ada kerjaan juga nih,” jawab Indah dengan santai. “Aku masang karpet dulu buat alas kasurnya, nanti bantuin mindahin kasurnya aja ya, berat nih,” kata Roy sambil mengambil karpet biru dan membentangkannya di lantai kosan. Akhirnya dengan bantuan Indah barang-barang Roy mulai berpindah masuk kedalam kamarnya. Sekarang hanya ada beberapa perlengkapan memasak dan seperangkat komputer yang belum masuk kedalam kamar. “Waduh, jadi nggak enak nih Ndah, masak nggak bisa nawarin minum nih, ” kata Roy sambil melirik Indah yang basah kuyup oleh keringat sehingga bra nya mulai terlihat dibalik kaos ketatnya. “Hihihi… Nggak apa kok Mas, cuma keringetan, jadi gerah banget nih, Indah mandi dulu ya, nanti ngobrol lagi,” kata Indah sambil berbalik menuju kamarnya. Dari belakang Roy hanya bisa melihat pantat sekal yang bergoyang didepannya sambil menelan ludah. Rasanya bakalan kerasan nih… Pikir Roy sambil melirik perangkat komputernya yang belum terpasang. RINI Story Suasana di ruangan kuliah hari itu cukup sepi. Tidak terdengar canda tawa, teriakan atau bahkan umpatan yang biasanya menghiasi setiap detik waktu yang berlalu. Dan hanya ada beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan hal itu, salah satunya mahluk berumur 30 tahun dengan kemeja putih dan rok hitam yang sekarang duduk di kursi dosen dan mengawasi setiap sudut kelas dengan mata elangnya. Semua peserta ujian tengah semester hari itu tahu apa yang akan terjadi jika mereka ketahuan berbicara dengan yang lain atau lebih parah lagi jika ketahuan menyontek atau meminta jawaban kepada rekannya. Di meja paling depan sebelah kiri duduk seorang mahasiswi yang penampilannya cukup berbeda dari yang lain. Dengan rambut yang diikat kebelakang, kacamata yang menghiasi wajahnya yang tanpa make up ditambah dengan kemeja kebesaran dan celana kain yang terlihat lusuh, gadis itu terlihat cukup berbeda dibandingkan dengan gadis-gadis lain yang ada diruangan itu. “Waktu habis! Kumpulkan kertas ujian kalian didepan, sekarang!” kata bu dosen dengan wajah datar dan mata tajam ayng mengawasi setiap pojok ruangan bagaikan elang yang mengincar ana tikus untuk santapan siangnya. Suasana ruang kuliah yang semula cukup hening berubah menjadi berisik dengan tarikan nafas, omelan, gerutuan dan langkah kaki peserta kuliah yang menaruh hasil ujiannya dimeja dosen. “Oke, hari ini sampai disini saja, kita lanjut minggu depan,” kata bu dosen sambil mengambil hasil ujian dan keluar dari ruang kuliah. Suasana ruanganpun berubah menjadi ricuh. “Aduh, aku cuma jawab 8 soal, huaaaaa…. Kau bagaimana Rin?” tanya gadis dengan kemeja putih yang berada di sebelah si gadis berkacamata. “Sama, aku juga cuma jawab segitu,” jawab si gadis berkacamata yang bernama Rini dengan wajah yang kurang konsentrasi. “Huhh… Soalnya Bu Ratih nggak pernah gampang….” keluh Nina yang hanya dibalas dengan senyuman hambar oleh Rini. “Ke kantin yuk? Laper nih, aku yang nraktir kok…” ajak Nina kepada Rini yang sedang sibuk merapikan buku-bukunya. “Nggak usah Nin,” tolak Rini dengan halus. “Pokoknya ke kantin,” ajak Nina sambil menarik tangan Rini yang baru saja selesai memasukkan bukunya kedalam tas. Setengah dipaksa Rini mengikuti Nina kearah kantin. Keadaan kantin hari itu seperti biasa, selalu ramai dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi yang kelaparan. “Ayo disana, ” ajak Nina sambil menunjuk sebuah meja yang kosong dipojok kantin. “Mau pesan apa?” tanya Nina kepada Rini yang hanya terdiam. “Eh, nggak usah Rin, kamu saja,” tolak Rini dengan halus, tak mau mengecewakan sahabat satu-satunya dikampus ini. “Mbak, es buahnya dua ya!” pinta Nina kepada sseorang gadis penjaga kantin yang kebetulan lewat mengantarkn pesanan. Rini memandang kosong kearah kerumunan mahasiswa yang asyik bercanda di meja disebelahnya. Mereka tertawa lepas seolah tidak ada beban didalam hatinya. Dengan pakain yang baru, uang jajan mereka untuk sekali makan saja bisa menghidupi dirinya lebih dari seminggu. Tak sadar dirinya menarik nafas panjang melihat semua itu. “Ada apa Rin? Ada masalah lagi dengan Bram?” tanya Nina sambil meremas pelan tangan Rini. “Hanya masalah biasa saja kok Nin…” kata Rini dengan suara sebiasa mungkin. “Rin, kita sudah berteman sejak 3 tahun lalu, aku bisa melihat kalau kau lagi ada masalah atau tidak, jadi, ada masalah apa?” tanya Nina mendesak sahabatnya yang jarang mau menceritakan masalah yang sedang dihadapinya. Rini memandang kearah Nina dengan penuh terimakasih. Sahabat yang selalu mendukungnya kalau dia berada dalam kesusahan. Sahabat yang terlalu banyak membantu dirinya, sahabat yang tau masa lalunya yang kelam. “Bram, dia kabur…” kata Rini dengan suara pelan. DEVI Story “Dia ini dok, nggak pernah mau main lagi, dateng-dateng molor aja!” “Gimana mau main, capek tau! Dateng dari kerja, dirumah berantakan, anak-anak ribut, gimana bisa ada tenaga main dok?” “Bilang aja kau udah main diluar!” “Emang kau dirumah nggak ada main sama tetangga?” “Siapa bilang aku main sama tetangga? Jaga anak saja sudah capek tau!” “Aku lebih capek lagi, di kantor banyak kerjaan!” Dokter Devi hanya bisa tersenyum mengamati pasangan yang sedang beradu mulut didepannya ini. Keduanya terlihat saling menyalahkan satu sama lain. Diamatinya wajah kedua pasiennya ini, gurat-gurat halus sudah muncul di ajah mereka yang menyiratkan umur mereka yang sudah tidak muda lagi. “Eheemm… Pak, bu…” kata Dokter Devi dengan tenang berusaha mendamaikan pasangan yang berkonsultasi dengannya sore ini. “Dia ini dok, nggak pernah mau ngalah…” kata si lelaki sambil membuka kancing kemeja bagian atasnya dan mengelap peluh di dahinya. Dinginnya AC rupanya tak bisa mendinginkan kepalanya. “Ngapain juga ngalah? Emang aku salah apa?” kata wanita disampingnya dengan suara yang tidak kalah tinggi. Diusianya yang ke tigapuluh ini. Wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. “Pak, bu, tenang dulu, ayo diminum dulu tehnya,” tawar Devi kepada pasangan didepannya, yang menerima tawarannya. Keduanya minum teh yang disediakan Devi, rupanya kehausan karena perdebatan mereka tadi. Dokter Devi memandang keduanya dengan senyum diwajahnya, dipelajarinya catatan yang ada didepannya. Setelah nafas kedua orang didepannya terdengar normal, dia mulai bertanya kepada lelaki yang berada didepannya. “Pak Kuncoro bekerja di mana?” tanya Devi dengan lembut. “Di perusahaan garmen mbak, sebagai manajer produksinya” jawak lelaki yang bernama Kuncoro. “Kerjanya dari pukul berapa sampai berapa pak? Kerjanya hari apa saja?” tanya Devi lagi. “Pukul 9 sampai 5 sore, senin sampai sabtu mbak.” Jawab Kuncoro sambil memijit dahinya. “Kalau Mbak Nani sebagai ibu rumah tangga saja? Anaknya sudah berapa bu?” tanya Devi kepada istri Pak Kuncoro yang bernama Nani. “Iya mbak, baru satu mbak, umur 4 tahun, ” jawab Nani sambil menunduk. “Pak Kuncoro dari rumah kekantor beraja menit atau jam pak? Pakai motor atau mobil?” tanya Devi lagi. “Sekitar satu jam, pakai mobil pak,” sahut Kuncoro dengan wajah menunduk. “Hmmmm…. Di catatan saya, bapak ibu sering bertengkar masalah ranjang, boleh saya tau apa yang jadi masalahnya?” tanya Devi sambil melihat kedua orang yang duduk didepannya untuk melihat reaksinya. Keduanya sama-sama menunduk, terlihat wajah mereka memerah. Menit demi menit berlalu dan keduanya tidak ada yang menjawab pertanyaan yang diajukan Devi. Hmmmm…. Rasanya masalah komunikasi saja Analisa Devi sambil memikirkan solusi untuk mereka berdua.