Disclaimer: Kisah ini hanya fiktif dan imajinasi belakang. Kesamaan nama tokoh, tempat, latar adalah ketidaksengajaan.
Nafkah bathin mbak Rahmi – bag. II
Jam sudah menunjukkan sekitar jam 9.30 malam, saat hendak tidur, aku cukup terkaget dengan pesan WA grup yang masuk. “Innalillahi…. ” Sebuah pesan duka yang dikirimkan pada WA grup kantor atas meninggalnya salah satu driver kami, pak Amin. Ya salam. Aku shock seketika itu, dikarenakan persis dua hari lalu aku diantar beliau. Dan lebih dari itu aku merasa cukup dekat dengan beliau. Dengan penasaran, segera kutanya apa penyebab meninggalnya, kapan terjadinya dan saat ini almarhum dimana. Akibat komplikasi, wafat selepas isya tadi dan saat ini jenazah sudah berada di kediaman di kota S, kota tempat asal beliau. Oh rupanya, sorenya saat beliau selesai mengantar saya dua hari lalu, beliau meminta ijin atasannya untuk pulang dikarenakan kondisi kesehatannya yang tidak baik. Dan keesokan harinya beliau terpaksa dirawat karena kondisinya makin memburuk hingga akhirnya sore tadi beliau menghembuskan nafas terakhir. —- Senin pagi, aku beraktifitas seperti biasanya, bekerja di kantor. Aku relative lupa mengenai wafatnya Pak Amin, Sabtu weekend lalu, hingga ada satu pekerjaan yang mengharuskan departemenku untuk visit ke beberapa kota, salah satunya kota S, kota asal alm Pak Amin. Kami di tim berbagi tugas untuk menyelesaikan pekerjaan ini, siapa ke kota mana. Aku mengusulkan diriku untuk ambil kota S, dengan tegas kusampaikan niatku pada tim agar aku bisa sekalian melayat ke kediaman alm Pak Amin. Tentu semua anggota tim tidak berkeberatan bahkan mendukung alasanku itu. Senin itu kami langsung bergegas untuk menuju kota tujuan kami masing-masing. Perjalanan ke kota S tidak memakan waktu lama bagiku. Siang selepas zuhur aku sudah tiba di kota tsb. Karena sudah sangat siang, aku merencanakan kunjungan ke client esoknya saja. Untuk kunjungan ke kediaman alm Pak Amin, kurencanakan sore saja, mengingat aku perlu booking hotel dan persiapan lainnya siang itu. —- Sekitar pukul 5 sore aku sudah tiba di lokasi sohibul musibah, kediaman alm Pak Amin. Aku langsung diajak berbincang mengenai musibah yang dialami ini. Aku ditemani oleh ibu Rahmi, istri alm Pak Amin, pak Abdul, adik kandung pak Amin, serta ibu Saijjah dan pak Rustam, mertua pak Amin atau orangtua dari ibu Rahmi. Sesekali nampak terlihat tiga anak putra/i alm pak Amin yang masih kecil-kecil, paling besar masih SMP, juga ada ibu Rukiyah, ipar alm pak Amin, atau istri pak Abdul dan anak-anaknya, yang aku tidak hafal betul, juga ada Lilis, yang juga ipar alm pak Amin, atau adik dari ibu Rahmi, sesekali ikut nimbrung di ‘ririungan’ kami sore itu. Banyak informasi yang sesungguhnya tidak terlalu surprise buatku, seperti bagaimana selama ini beliau mengidap penyakit, yang mana almarhum sendiri di beberapa kesempatan pernah menyampaikannya kepadaku, kemudian bagaimana almarhum menjalani hari-hari terakhirnya. Yang paling membuatku penasaran adalah bagaimana sepak terjang bu Rahmi mendampingi almarhum selama ini, khususnya dalam hal merawat dan memperhatikan kesehatan beliau. Raut wajah sendu terlihat jelas di wajah bu Rahmi, manakala beliau menceritakan perjuangannya begitu pula dengan almarhum suaminya melawan penyakit yang diderita. Meskipun sesekali menampakkan senyumnya, raut nelangsa itu seperti tak mudah lekang dari wajahnya sore itu. Betapa tidak, rumah tangga yang telah ia dan pak Amin bangun lebih dari 15 tahun harus berakhir melalui perantara maut. Lebih dari itu, kini ia mesti membesarkan tiga buah hatinya seorang diri. Bu Rahmi berusia sekitar 38an, terpaut relatif cukup jauh dengan alm pak Amin, 53th. Parasnya biasa-biasa saja. Alm pak Amin sendiri jarang bercerita banyak mengenai istrinya ini. Yang sering kudapati adalah almarhum sering berkomunikasi melalui telepon. Sering terlihat disana foto bu Rahmi dijadikan contact-pic oleh almarhum. Jadi, saat ada panggilan telepon dari istrinya, fotonya terpampang jelas. Terlihat sangat menarik sih kalo di foto tersebut, meskipun sedari awal aku yakin pasti di filter menggunakan 360 atau apalah. Dan aslinya seperti yang kulihat sekarang ini, so so. Yang paling utama adalah rasa ibaku kepada beliau. Agak miris deh ngeliat raut wajah beliau saat itu. Apalagi mendengar ceritanya membawa suaminya berobat kesana kemari sejak setahun terakhir. Jadi, pak Amin pernah bercerita bahwa beliau sudah jarang pulang ke kampung, biasanya dua minggu sekali, belakangan ia bercerita hanya sekitar 2 bulan baru kadang-kadang ia (pak Amin) bisa pulang. Oh… rupanya, yang sering datang ke Jakarta adalah bu Rahmi sendiri, bukan kenapa-kenapa ia menemani pak Amin untuk melakukan check-up rutin di salah satu klinik di Jakarta. Dan ternyata lagi, ini yang benar-benar aku tahu, selama ini, persisnya selama almarhum sakit, uang gajinya banyak dihabiskan untuk berobat, sisanya untuk biaya sekolah anak-anak, sedangkan untuk hari-hari, bu Rahmi sendiri yang mencari. Ia berjualan kecil-kecilan diteras rumahnya. Ya salam. —– Acara tahlil pun berlangsung. Untuk diketahui, malam itu bertepatan dengan malam ketiga, yang mana di desa-desa biasanya malam ketiga itu relatif cukup ramai, tuan rumah di malam tersebut menyediakan besek atau nasi kotak untuk dibekalkan ke jamaah. Diantara banyaknya jamaah malam itu, samar-samar terlihat di kejauhan ada mbak Rahmi. Mulai saat ini dan seterusnya akan kupanggil dia dengan mbak saja. Ia terlihat mengikuti ritual, yang harusnya acara tahlil ini dilakukan oleh jamaah laki-laki. Nampak raut wajah sendu tak pernah lepas darinya. Apalagi pada bagian-bagian tertentu saat amil tahlil membacakannya. Sambil mengikuti bacaan, ia terlihat memeluk dua anaknya yang masih kecil-kecil itu, yang nampak mendampingi di pangkuannya. Konsentrasi bacaanku agak sedikit buyar. Masalah orang lain kenapa aku yang puyeng, pikirku. Aku pun memutuskan meninggalkan acara tsb untuk sekedar merokok diluar. Agar tidak terlihat kurang sopan terhadap semua jamaah, aku mengendik-ngendik keluar dan mengambil posisi yang cukup jauh dari kediaman. Ada bale-bale di belakang rumah. Sebelah kiri dari bale itu terdapat kebun bambu yang gelap pekat tanpa banyak cahaya, sedang sebelah kananya adalah jalan desa. Nampak tidak telalu jauh dari bale tempatku duduk ada kandang kambing, sekitar 20 derajat ke kiri pandanganku, atau ada di tepi luar kebun-kebun bambu tersebut. Cukup cunyi, pikirku. Terdengar walau samar-samar lantunan tahlil di depan rumah kediaman. Aku menikmati rokokku yang tersisa sekitar 3 batang sambil memikirkan rencana kerjaku esok hari. —- Sedang asyiknya aku merokok, terdengar suara dari arah belakangku, yakni dari arah rumah bagian belakang ini. Ternyata kuperhatikan, oh seorang perempuan nampak akan keluar dari pintu belakang rumah. Ternyara si Lilis, adiknya mbak Rahmi. Aku pun melanjutkan pandanganku kedepan sambil meneruskan merokok, tak terlalu menghiraukan dia. Hingga ia menegurku di bale itu. “Pak lagi ngapain disini, belum selesai juga tahlilannya?” tanya Lilis. “Iya ini lagi istirohat dulu, gpp kali ya?” timpalku meyakinkan. “Ya ngga apa-apa” jawab Lilis sambil beringsut mengambil posisi duduk di bale. “Lah kan belum beres, kok mba Lilis-nya ngga ikut bantu-bantu di dalem” balikku bertanya penasaran. “Udah sih tadi. Udah pada mau doa kan tuh” timpalnya Untuk diketahui, distribusi suguhan makanan dan besek kepada para jamaah biasanya dilakukan saat jeda tahlil persis sebelum doa oleh amil. Nah pada saat itulah bisa dibilang puncak kesibukannya. Para perempuan biasanya harus menyiapkan semua suguhan sebelum tahlil benar-benar selesai. — Ditengah-tengah sayup-sayup penghujung suara tahlil malam itu, Lilis menemaniku duduk di bale belakang rumah alm Pak Amin. Lilis, seharusnya tidak terlalu asing ditelingaku mengingat pak Amin cukup banyak bercerita mengenai iparnya ini. Hahaha… agar diketahui yang diceritakan pak Amin mengenai Lilis lebih banyak justru mengenai keluhannya. Nggak nurut lah, banyak membantah lah. Begitu kira-kira yang kutangkap kesan pak Amin terhadap wanita ini. Sepintas, Lilis ini menarik dari sisi ‘look’nya. Cantik lah kalo mau dikata. Jelas lebih cantik Lilis ketimbang mbak Rahmi kalau mau dibandingkan. Kalau bisa kutaksir usia Lilis sekitar 24-25 kali ya. Meski relatif muda, ia sudah berumah tangga dan sudah memiliki satu anak, yang mana sudah kuketahui sebelumnya. Si Lilis ini agak cablak, rasa-rasanya sejalan dengan yang sering dikeluhkan alm pak Amin hahaha… Cablak dalam artian ngga malu-malu untuk bicara, untuk mengajukan pertanyaan apapaun. Kalo diikutin sepenuhnya agak ilfil juga sih, cantik tapi cablak gitu loh. Wong lagi santai, nih cewek datang ngoceh-ngoceh. Tapi ya aku sih santai aja ngebawanya. Dia bertanya mengenai gimana hidangan disini, budayanya, keadaan orang-orangnya, juga masalah kerjaanku di kota S ini, berapa lama, bla bla bla. Tapi aku mau fokuskan obrolan kita mengenai almarhum saja, mungkin ada informasi dan pelajaran yang bisa kuambil. Lilis bercerita mengenai penyakit yang diderita almarhum hingga kesabaran kakak nya dalam merawat sang suami. Salah satu sisi lain yang menarik adalah usaha mbak Rahmi dalam membantu nafkah keluarga. Dengan berjualan goreng-gorengan di teras rumah, kata Lilis, dilakukan mbak Rahmi untuk memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya yang mana nafkah lahir dari pak Amin sudah lagi tidak mencukupi setelah alm pak Amin sering berobat jalan untuk mengobati penyakitnya. Hal lain yang menurutku agak ngawur dibahas Lilis adalah bagaimana kakaknya tidak pernah menerima nafkah bathin dari sang kakak ipar ya semenjak almarhum sakit-sakitan. Dari nada bicaranya, ia sangat menghawatirkan perihal ini. Kalau saja nafkah lahir masih bisa diupayakan, bagaimana nafkah bathinnya. Begitu katanya. Gila kupikir si Lilis ini. Gimanapun, pak Amin itu orang yang kukenal, ngga mungkin aku ngebahas yang kayak gitu-gitu. “Urusan yang seperti itu, urusan private. Ngga bagus dibahas.” katakku menegaskan. ——- “Lis warung dimana? Mau cari rokok nih” tanyaku beralih pembicaraan. “Itu loh didepan, persis belokkan jalan itu” jawab Lilis menimpali “Pak Agung mau titip? saya kebetulan juga mau ke warung ini” ujar Lilis menawarkan. Rupanya si Lilis keluar rumah mau ke warung, lah malah mampir dulu ke bale haha… Akhirnya kutitipkan saja pesenanku ke Lilis. Agak mager juga saat itu. Dengan cekatan Lilis mengambil uang dariku untuk dibelikan rokok untukku. Dengan segera ia melangkahkan kakinya ke arah warung yang persis arah depan bale. Jadi aku bisa melihat dengan jelas kemana arah Lilis berjalan. Karena sesi doa sepertinya sudah akan berakhir, aku memutuskan berjalan juga ke arah warung, sambil lihat-lihat lingkungan sekitar. Menyilangkan kedua tanganku kebelakang, aku berjalan pelan-pelan, selangkah demi selangkah, menikmati keadaan desa yang relatif sunyi. Sekitar 20an meter 30 derajat arah kiri depanku aku memperhatikan kandang kambing yang memang dari bale saja sudah kelihatan. Semakin mendekat, justru aku semakin tertarik. Berhentilah sejenak aku disana, manakala langkahku sudah persis berada di kandang tersebut. Aku cuma ingin lihat-lihat. Meskipun belakangnya kebon bambu, dan cukup gelap, tapi sesungguhnya tidak gelap juga sih, dan tidak horror juga. Masih ada cahaya dari rumah warga sebelah kiri kandang arah warung. Terdengar sayup-sayup suara tv dari rumah warga tsb. Ditambah lagi, kandang kambing ini juga ada lampunya walau cuma satu buah di bagian depan. Jadi sekali lagi biasa aja, tidak horror sama sekali. Dari kejauhan terdengar suara Lilis, yang nampaknya sudah kembali dari warung. “Lagi ngapain Pak disitu” terdengar suara Lilis yang berjalan kearahku. “Ini kambing siapa Lis” tanyaku tanpa menoleh kearahnya. “Punya bapak” jawab Lilis yang sudah tiba didekatku. Oh rupanya ini milik pak Rustam, orangtua mbak Rahmi dan Lilis, mertua alm Pak Amin. ———— Kami berdua tidak langsung bergegas untuk kembali ke rumah, melainkan melanjutkan obrolan disitu, di kandang kambing. Ada tangga kayu untuk masuk ke pintu kandang kambing disebalh kanan kandang, karena memang tipe kandang kambing tersebut tipe panggung. Lilis duduk disitu sambil kami asyik mengobrol. Aku berdiri saja, sembari tatapanku tak beranjak memperhatikan kambing-kambing di dalam kandangnya, sesekali tentu ke arah Lilis, karena dialah lawan bicaraku. Obrolan kami sangat cair dan mengalir, hingga tidak ada kecanggungan lagi dariku. Tanpa disadari akupun duduk ditangga kandang tersebut, persis disebelah Lilis. Sudah bisa dibayangkan, tangga pastinya memiliki lebar terbatas, posisi duduk Lilis dan aku jelas berhimpitan. Berbeda saat kami duduk-duduk di bale tadi, agak berjauhan. Pada momen tersebut, sungguh, aku tidak merasakan apapun. Biasa saja. Tapi ya memang wataknya Lilis, seperti sudah disebutkan sebelumnya. Celota’an, kalau kata orang jawa bilang. Pegang sini, pegang sana, sentuh sini, sentuh sana. Bukan cuma gerakan tangannya yang celota’an, gestur gerakan badannya juga ngga keru-keruan. Maju mundur, geser kiri, geser kanan. Cukup hyperaktive lah ini anak. Membuat kontak fisik menjadi sangat lumrah pada momen tersebut. Nah pada momen-momen inilah ada perasaan lain yang kurasakan. Perasaan nyaman dan perasaan… enak. Nyaman ya karena memang obrolan kami sangat mengalir saat itu. Enak, yah, kontak fisik cukup intens dengan lawan jenismu, membuat enak toh ? —– Lilis… Lilis… Lilis…
Seperti yang kusampaikan sebelumnya, Lilis memiliki paras yang cantik. Memandangnya dari jarak sangat dekat, semakin menasbihkan kecantikannya dimataku. Saat itu Lilis menggunakan gamis modern warna biru, dengan hijab yang sudah dilepas sebelumnya, tepatnya sejak kita duduk-duduk di bale, ia sudah melepaskannya. Sepintas, bentuk tubuhnya biasa saja, dalam artian tidak bahenol, agak kurus, lebih ke arah kutilang. Tapi, manakala ia duduk bersebelahan persis denganku, bisep lengannya bersentuhan dengan lenganku, pangkal paha arah bokongnya bersinggungan dengan pahaku, tangan-tangan ‘jahil’ menclok di beberapa area badanku, ya salam…. kerasa betul kekenyalannya. Lilis agak hyper-active orangnya, kadang ia duduk, kemudian berdiri, kadang melangkah satu langkah ke kanan, satu langkah ke kiri. Ya begitulah aku ngobrol dengan Lilis saat itu. Agak ‘lucu’ sebenarnya dia orangnya, cute gitu. Satu sisi childish, kekanak-kanakan. Sisi lain, ngga bisa dipungkiri, doi ibu rumah tangga, ada aura ke-MILF-an dalam dirinya, utamanya bentuk lekuk tubuhnya, grrrrrr…… Pada saat itu, mungkin aku akan menarik pemikiranku sebelumnya, sekaligus apa yang sering diceritakan alm pak Amin, bahwa anak ini agak urakan. Nggak. Nggak kok. Anak ini asyik kok, pikirku menegaskan. “Ini kenapa kambing-kambing pada diem aja ya,” ujarku random. Sekali lagi obrolan kami mengalir begitu aja, apa aja kita obrolkan. “Lagi pada kawin kali,” jawab Lilis gercep, yang kini posisinya ada di pojok belakang kandang, sedang aku masih terduduk di tangga pintu kandang. “Lah emang gitu? Kalau kambing pada kawin, silent gitu?” balikku bertanya penasaran sembari beringsut bangun dari duduk menuju ke arahnya. Lilis ngga ngejawab seketika itu, mungkin ia bingung, karena jawabannya asal saja. Hanya senyumnya saja tersungging, sambil tatapannya ke arahku yang aku-nya sendiri sedang berjalan mengarah padanya. Hingga pada moment aku sudah persis disampingnya. Posisinya menghadap kandang saat itu, sambil tangannya agak memegang tiang kandang bagian pojok belakang. Sedang aku sekitar, yah, 20 centi darinya. Hmmm… bau tubuhnya sangat melekat saat itu yang kurasa, mengalahkan semua bau ke-kambing-an yang seharusnya mendominasi. Kami tatap-tatapan. Silent. Tak bersuara. Tatapannya sipu kearahku. Tatapanku tajam ke arahnya. Ya Tuhan. Betapa indahnya makhluk yang ada di depanku ini. Cantiknya. Perlahan kuarahkan tangan kiriku ke pundaknya. Ia tak bergeming. Terus, tatapannya sipu ke arahku. Ku elus-elus pundaknya dengan tanganku ini. Perlahan. Hingga pada moment tsb aku bisa pastikan 100%, Lilis memiliki tubuh yang sintal, padat berisi, mematahkan keragu-raguanku sebelumnya. Jujur, aku ngga berpikir apapun saat itu. Dalam artian, apakah ada rasa takut, ragu, ngga. Aku seakan terhanyut dengan makhluk indah di depanku ini. Aku dekatkan perlahan tubuhnya padaku, mendekapnya. Tinggi badan Lilis yang lebih pendek dariku, membuatnya seakan pas didekapanku. Awalnya kudekap ia serampangan, tubuhnya tak terlalu lekat menempel dadaku. Lantas perlahan ia memejamkan matanya. Perlahan itupun kudekap ia makin erat, dan makin erat. Hmmmmm….. Ya salam. Ini karunia Tuhan kupikir. Sekejap akupun memejamkan mata, meresapi karunia ini. Dalam dekapan erat dan mata tertutup itu, ku hirup dengan sengaja aroma rambutnya yang telah terlepas dari jilbabnya itu. Hmm… baunya… syahdan. Sambil sesekali kubelai-belai dengan satu tangan rambut halus miliknya. Merasa birahi ini semakin muncul dalam kenikmatan yang kian menjadi-jadi, ku angkat badan Lilis, teregang perlahan dari dekapannya yang erat. Hingga pada posisi kami berdua kembali tatap-tatapan. Ngga ada secuil pun simpul senyum pada raut kami pada momen tersebut. Tatapan kami tajam, satu sama lain. Serius. Dengan tangan kanan, kusentuh dagunya, kuelus-elus. Seketika itu, berubah raut Lilis serius menjadi senyum kecil, kecut, sambil menundukkan kepalanya 30 derajat. Merasa cukup dengan elusan dagu dan sekelebat elusan di bibirnya, kuangkat lagi kepalanya ke posisi semula, mengarah persis kehadapku. Perlahan kuarahkan wajahku ke wajahnya, bersamaan kutarik wajahnya dengan tanganku yang masih menempel di dagu ke arah wajahku. Hingga pada posisi sudah 1 centi bibirnya dengan bibirku, sedikit kumiringkan kepalaku. Iya, akan kucumbu Lilis, kucium Lilis, kukecup Lilis, kulumat Lilis? Di bibirnya. Di bibirnya. Syahdan. Ya Tuhan… Bibirnya halus. Ngga pake lama, persinggungan dua bibir manusia ini sudah cukup cepat. Kepalaku ku gerakkan ke kanan, Lilis ke kiri, begitu setelahnya. Lidahnya kulumat, lidahku dilumat. Slurpp… Enak…. Meski ngga banyak, ngga beleberan, air liur kami berdua jelas encer betebaran disekeliling mulut kami. Slurppp… slurppp…. Sambil menikmati lumatan-lumatan itu, kudorong tubuh Lilis satu dua langkah ke belakang. Hingga posisi kami berciuman, kini persis dibelakang kandang. Cukup puas kulumat bibirnya, kuturunkan kepalaku, untuk melahap bagian jenjang lehernya. Lilis tak secuilpun menurunkan tensi dekapannya padaku. Sangat erat. Sambil kulahap bergantian bagian kanan dan kiri leher jenjang Lilis, satu tanganku aktif meremas-mereas susu Lilis, tentu dengan keterbatasan space, mengingat dekapan erat Lilis pada tubuhku, ditambah karakter Lilis yang hyper-active, tubuhnya bergoyang-goyang ngga keruan. Padat cuk. Susunya. Lilis, sekali lagi, menggunakan gamis saat itu. Hanya tiga kancing di dadanya yang bisa kusibak. Meski demikian tak menyurutkan upayaku untuk menyibak isi dari kutangnya. Pentilnya jelas terasa oleh tanganku. Dua gundukkannya? Jangan ditanya. Ranum. Tak kuasa menahan syahwat akan keranuman susunya, kupaksakan diriku melepaskan badanku dari pelukkannya yang erat. Kuhempaskan keseluruhan kepalaku di dadanya. Di susunya. Di dua gunung kembar milik Lilis, sumber nafsuku. “Ah….,” seketika itu Lilis mengerang kecil, kaget. Slurpp… slurppp… emmm… Meski tak lepas sepenuhnya, aku tak kesulitan melumat pentil dan keseluruhan area susu Lilis, kiri maupun kanan. Slurp… slurpp… slurpp… Dua tanganku yang sedari tadi relatif pasif, mulai ku kerahkan dengan menggerayangi tubuh sintal manusia lezat ini. Tak terkecuali bagian bokong, bagian pantat Lilis. Kuregangkan posisi tubuh Lilis yang sedari tadi bersandar ke kandang kambing saat kucumbu, sehingga aku bisa menyibak gamis bagian belakangnya. Dua tanganku benar-benar fokus di area bokongnya. Satu tanganku memegangi gamis Lilis yang kuangkat itu, sambil melingkari pinggulnya, dan tangan satunya lagi meremas-meremas pantatnya, yang mana jelas, gundukan pantat Lilis sudah menyeruak berontak hampir lepas dari kancutnya. Sesekali, bahkan mungkin seringkali, kuusap-usapakn jari-jariku pada bagian vital, memek, kepunyaan Lilis. Sangat jelas kurasakan rambut di area ini. Pada moment ini aku belum tau seberapa lebat jembut Lilis di area memeknya, mengingat kedua pandanganku masih asyik menyedot pentil hitam pekat, susu ranumnya Lilis. Pada moment ini pula, kurasakan deasahan nafas nan berat Lilis keluar lirih. “Ah… ah… ah… slrp… slrp…,” erang Lilis. Tangan kanan Lilis mulai menggerayang bagian pangkal pahaku. Pelirku yang sedari tadi sudah kencang mengaceng, seakan tak kuasa menaham jari-jari lentik Lilis mengelus, mengusap liar dari balik celana jeansku. Kubiarkan sejenak apa yang sedang dilakukan Lilis terhadap pelirku ini. Karena aku pun menikmati. Aku menikmati tiap jengkal elusannya. Cukup puas dengan gerayangan kami masing-masing, kuangkat kepalaku dari gundukan susu bergizi-nya, seketika itu pula kulumat mulutnya, mencumbunya, lagi. Slurp… slurp… Ku istirahatkan dua tanganku di area dubur Lilis, mempersiapkan rudal panas milikku yang sedari tadi sudah kalap mencari mangsanya. Dengan gercep, Lilis ikut cawe-cawe melepas gesper guna memelorotkan celana jeans dimana rudal panas tersebut bersemayam. Tak lama, kontolku, si rudal panas menyeruak menampakkan batangnya yang kokoh. Perlahan, sangat perlahan, tangan lentik Lilis mengelus kontolku secara langsung, tanpa adanya hijab, pembatas, jeans yang membatasi, naik dan turun. Perlahan lahan. “Ah…..,” alamakjang. Sekarang giliran aku yang dibuatnya merem melek. Iya, baru dielus Lilis. Si cantik Lilis. Dengan gestur yang sedikit menunduk, nampaknya Lilis hendak melahap kontolku, menyepongnya. Benar saja, semakin cepat kocokannya pada kontolku, makin ia menunduk, bersiap mengarahkan kontolku ke mulutnya. Kutahan. Kuangkat, kutegakkan Lilis bersandar seperti semula ke kandang kambing. Dengan tangan yang masih mengocok di kontolku, ia sedikit menyunggingkan senyum bingung. Seketika itu, kulumat lagi mulutnya, dan kupeluk erat-erat tubuhnya. Bukan kenapa-napa. Suara-suara ramai jamaah tahlil di rumah nampaknya satu-persatu mulai berpamitan. Bahkan sepintas satu dua orang kulihat lewat di jalan kampung yang posisinya bisa kulihat jelas dari arah belakang kandang kambing, tempat aku dan Lilis ngewe ini. Sebaliknya mereka ga akan terlalu jelas pandangannya ke arah kandang kambing, karena meskipun panggung, ada keranjang-keranjang rumput didepannya. Aku hanya ingin cepat. Setelah beberapa detik dekapan erat itu, kusiapkan menanggalkan seluruh pakaianku, kemeja koko’ dan jeansku. Aku ingin bugil. Sekarang, justru giliran Lilis yang memasang gestur menahan. Baiklah kutanggalkan celanaku saja. Lagi-lagi Lilis menahan. Bersamaan dengan itu, perlahan justru Lilis yang menanggalkan gamis yang dikenakannya. Ya salam… Meski lampu cahaya kandang kambing yang remang-remang, aku masih bisa dengan jelas melihat tubuh Lilis yang saat itu hanya dibalut BH yang sudah tidak benar posisinya, dengan susu yang nyata terang benderang menggelayut ranum, serta cangcut yang sudah turun sepuluh centi dari pangkal pahanya, sehingga memek bertabur jembut setengah lebat Lilis terlihat sangat nyata di pandanganku. Ya, bisa aku sebut, meski dengan cahaya lampu 5 watt kandang kambing yang remang-remang ala kadarnya, memek dan susu ranum Lilis sangat nyata terlihat olehku. Indah… syahdan. Tak butuh lama, kusiapkan kontolku mengarah ke memeknya. Ku angkat kaki kirinya, lalu kuarahkan perlahan kontolku ke liang memek Lilis. Tangan kanan Lilis memegang erat bisep lenganku. Saat kontol tercelup ke memek secara perlahan, kusaksikan ekspresi Lilis mengerang kecil lirih sembari memejamkan matanya. Tangannya makin kencang meremas bisepku. Akupun demikian. Sama. Sekejap kupejamkan mata seketika itu, karena enaknya ngga ada duanya. Enakkkk…… Syahdan. Ya Tuhan. Kontol yang terakhir diceritakan sudah pada tingkat 80 persen ke-sange-an, kian jadi kian bertambah seiring penetrasiku ke lobang memek Lilis makin cepat. Hormon syahwat di sekujur badan seakan bergejolak tak karu-karuan, tak beraturan. Keringatku mengucur di banyak bagian tubuh. Sesekali kubuka mata, terlihat Lilis masih terpejam, sambil lidahnya melet-melet di sekitar area mulutnya yang sensual. “Slurp… slurp… ah…,” mungkin seperti itu ia meracau. Spontan ingin sekali ku lumat lidah itu. Tapi posisiku kurang begitu nyaman untuk menyosor lidah segar di dalam lobang mulut Lilis. Setelah beberapa saat, barulah kusosor mulutnya. Kulumat ia. Kulumat dan kusedot lidahnya. Slurp… slurp… enakkkk… Tapi dengannya, intensitas genjotanku agak menurun peak-nya. Hingga akhirnya kutegapkan badanku seperti semula. “Entot..entot..entot,” begitu yang kuucap dalam hati seiring tiap hujaman kontolku ke dalam liang memeknya. Menggenjot Lilis dengan posisi seperti ini, yang mana dua tanganku sibuk memegangi satu kakinya dan merangkul tubuh Lilis, membuatku agak pegal, dan relatif sulit berimprovisasi untuk kenikmatanku. Lalu, kusudahi genjotanku pada posisi ini. Dengan serampangan kubalikkan tubuh Lilis, hingga ia membelakangiku. Seketika ia sedikit kaget. Kutarik perlahan pinggulnya hingga ia pada posisi nungging. Kedua tangannya memegangi bambu-bambu di bangunan kandang kambing. Belum sempat ujung kontolku menempel di liangnya, Lilis menginterupsi. Ada apa? Oh rupanya Lilis hendak menanggalkan cangcut yang masih melingkari dua pergelangan kakinya. Ia sempat ragu antara memegang cangcut itu di tangannya atau melemparnya ke bawah. Dengan cekatan ku rebut cangcut itu. Akan kujaga baik-baik cangcut ini. Cangcut Lilis. Posisi Lilis sudah kembali ke posisi nungging tadi. Persis sempurna, dengan cangcut yang sudah sepenuhnya tertanggal. Oh… masih ada kutang sesungguhnya yang masih melingkar kuat tak beraturan di dadanya. Sama sekali bukan masalah. Ga pake drama lagi, ku sodok lobangnya segera. Kontol ini seakan sudah familiar dengan area liang kenikmatannya Lilis. Kugenjot dengan tensi sedang, sembari dua tanganku meremas-meras bokong Lilis yang menungging sempurna. Entah ini kebetulan atau tidak, pantas diceritakan atau tidak, enam ekor kambing seakan memperhatikan kami berdua ngewe dari dalam kandangnya. Ra peduli, ra urus, pikirku. Aku benar-benar terhanyut menikmati tiap hujaman kontolku ke memek Lilis lewat area sudut duburnya. Makin cepat makin asyik, makin dalam makin nikmat. “Ah…. entot..entot..entot,” seiring hujaman demi hujaman, penetrasiku kian cepat. Aku yang pada banyak kesempatan melibatkan dan mengingat Yang Maha Kuasa atas kenikmatan hakiki yang kualami ini, berubah seketika manakala keadaan bawah sadar benar-benar menguasai nafsu syahwatku yang kian membuncah. “Anj***, set**, ibl**, entot, entot,” begitu kira-kira aku mengumpat baik dalam hati maupun yang terucap lirih. Lagi pula aku ngga yakin Lilis mendengarnya. Dalam penetrasi liar, penuh nafsu, dan intensitas tinggi, serta dibarengi umpatan lirih itu, Lilis terlihat goyah. Raut wajahnya meringis. Mulutnya menggigit lengan bisepnya, menahan dirinya sendiri untuk tidak berteriak, atau bahkan bersuara. Semua hormon syahwat sekujur tubuhku nampaknya sudah mulai terkonsolidasi. Pejuh dipastikan tiba tidak lama lagi. Momen-momen ini adalah momen-momen krusial. Harus kupastikan, pejuh benar-benar kukeluarkan pada momen puncak nanti, tak boleh mendahului ataupun terlewat momennya. Syukur-syukur, dan ini kehormatan Lilis pun merasakan yang sama. Soft landing. Happy ending. Aku sudah betul-betul diatas normal. Kepala kutengadahkan ke atas, mata terpejam, dan mulut menganga. “Aahhhh… aahhhh… ahhhh….,” genjotan dengan intensitas cepat. “Ahhh… aaahhh…. aahhhhh….,” tanganku melingkar sangat erat pinggul hingga perut Lilis, dan satu tanganku meremas kencang bokongnya. Saat momennya benar-benar tiba di sodokan terakhir, kutancapkan sedikit lebih lama dari sodokan-sodokan sebelumnya. Saat hujaman terakhir itu kutarik dan…. “Aahh… ahhh… ahhh…,” “crett.. cret.. creeett,” Spontan kusemburkan pejuh encerku ke paha sebelah kanan kaki Lilis. Kami terdiam beberapa detik setelahnya. Tanganku masih memegangi pinggul Lilis. Nampak tubuh bugilnnya basah bermandikan keringat. Sisa nafasnya masih sangat nampak terlihat dari tubuhnya yang agak mekar kuncup. Kulepaskan perlahan tanganku dari pinggulnya. Seketika Lilis lunglai jatuh ke bumi. Selesai kami mengatur nafas kami masing-masing, kuulurkan tangan ke arah Lilis, bermaksud mengajaknya berdiri. Ia pun berdiri malas-malasan dengan keadaan tubuh 95% telanjang. Saat posisinya sudah 100 persen berdiri, kupeluk ia, dan kukecup pipinya. “Mmmuaacchhhhh…” Ngga berapa lama, ia seakan berontak, melepaskan pelukanku. Iya, aku sekarang sepenuhnya sudah dalam kesadaran yang normal. Aku tahu. Aku ngerti. Kami harus buru-buru. Tahlil sudah akan sepenuhnya berakhir, jamaah sudah mulai akan berhamburan. Kami mencoba memasang dan membetulkan pakaian kami masing-masing, sambil mengelap keringat yang membasahi di sekujur badan. Aku menawarkan Lilis mengelap dengan baju Koko’ ku. Ia pun menolak, lebih memilih menggunakan gamisnya. Saat ia hendak mengelap pejuh di area pahanya, seketika ku tukas. Ia lagi-lagi menolak, memilih lagi-lagi dengan gamisnya. Tapi kali ini aku insist. Aku memaksa. Biar pejuh ini ku elap dengan Koko’ ku saja, ucapku kepadanya. Kami berdua berjalan ke arah rumah dengan langkah relatif cepat. Di sepanjang jalan itu tak henti-hentinya ku tatap wajah Lilis. Syahdan… Ia hanya tersenyum manis, kecil, menimpali. Saat kucoba gapai tangannya untuk kugandeng, ia menolak. Saat sudah tiba di pintu dapur belakang rumah, aku memutuskan untuk ke sumur dulu, sedang Lilis kubiarkan duluan masuk. Ada sumur tua yang mungkin sudah ngga dipake lagi diantara urutan pintu dapur, bale dan sumur itu. ——- Setibanya aku masuk ke dalam rumah, benar saja, jamaah nampaknya sudah mulai berhamburan keluar. Para anggota keluarga cukup sibuk menghaturkan terima kasih kepada para jamaah. Termasuk diantaranya mbak Rahmi. Beliau terlihat sangat kalem, sebagai istri dari mendiang almarhum. Sesekali aku mencuri pandang. Saat aku keluar meninggalkan tahlil tadi, dikarenakan karena ada perasaan iba terhaadap mbak Rahmi. Saat aku kembali lagi masuk, lagi-lagi perasaanku terombang-ombing oleh raut dan ketegaran mbak Rahmi. Di sudut yang lain ada Lilis yang baru saja aku …. tengah menggendong anak balitanya. Ia mendampingi Bokeng, suaminya, juga ikut menghaturkan terima kasih ke jamaah. Iya sebelumnya aku sempat berbincang dengan Bokeng saat baru tiba di kediaman sore tadi. Ia sering dipanggil Bokeng, aku belum tau siapa nama aslinya. Baiklah, selagi jamaah ramai-ramai berpamitan, aku pun ikut juga pamit, pikirku. Aku tak mau membuang-buang waktuku. Aku hampiri mbak Rahmi bermaksud untuk pamitan. Saat aku berbasa-basi dengan mbak Rahmi, pak Abdul menghampiriku, menyampaikan sesuatu agak pelan ke telingaku. “Pak Agung, ini ada yang many bicara?” kata pak Abdul membisikkan. “Hah? Siapa?” pikirku dalam hati. “Ngapain bicara denganku? Siapa gue? pejabat bukan apa bukan,” lanjutku di dalam hati penasaran. Ternyata seorang Ibu, bernama Tuminah. Seorang perempuan paruh baya, mengenakan pakaian muslimah tak sempurna. Kepalanya ditudungkan hijab, namun bajunya berlengan pendek. Ibu Tuminah tidak terlalu asing di penglihatanku. Setidaknya aku tadi sempat melihat beliau lalu-lalang, cawe-cawe ikut bantu-bantu. Beberapa kesempatan malah cukup sering berbincang dengan anggota keluarga inti, mbak Rahmi salah satunya. “Pak Agung, saya mau bicara pak, penting,” ucap bu Tuminah, dengan gestur yang terlihat sangat khawatir. “Apa ini? Siapa Ibu ini? Urusan apa dengan saya?” balikku bertanya penuh penasaran. “Gini pak…” jawab bu Tuminah sambil setelahnya terdiam beberapa saat. “Kira-kira kita bisa ngobrol di belakang aja ngga ya pa?” lanjut bu Tuminah merajuk menyampaikan syarat. Belum sempat kujawab, bu Tuminah menuntunku supaya aku mengikutinya ke balakang. Ya sudah aku coba ikuti saja dulu. Hingga bu Tuminah terdiam di bale-bale, tempat aku tadi sempat nongkrong disini. Aku dan si Ibu terdiam sejenak. Aku masih dengan raut penasaran sedang si Ibu terlihat seperti semakin khawatir. Ia pun membisikkan sesuatu di telingaku, sambil menunjuk-nunjuk ke arah kandang kambing. “Astaga! Ya ampun,” ucapku spontan dalam hati. Bagai petir menyambar di siang bolong, aku kaget dengan pernyataan yang disampaikan bu Tuminah ini. –B E R S A M B U N G–