“Saya telah memberitahukan tuan dan nyonya kalau rumah ini terlalu banyak misteri. Bukannya tahayul tapi kenyataan. Boleh dibilang tak ada orang yang kuat tinggal di rumah ini. Ya, termasuk saya. Saya dan keluarga hanya bertahan delapan bulan. Sebelum tuan dan nyonya menyesal, sebaiknya dipikirkan terlebih dahulu.” Hariz menatap sepasang suami istri di hadapannya bergantian yang duduk di seberang meja. Sepasang suami istri di depan Hariz sebenarnya duda dan janda yang dipersatukan dalam ikatan perkawinan. Keduanya menikah enam tahun yang lalu dengan membawa masing-masing anak ke dalam perkawinan mereka. Si suami bernama Lucas (43 tahun) yang membawa dua anak laki-laki yaitu Raymond (23 tahun) dan Daniel (20 tahun). Sementara si istri bernama Hanna (40 tahun) yang membawa satu anak perempuan bernama Adelia (18 tahun). “Keluarga kami tidak percaya tahayul. Kami lebih percaya pada logika. Bagaimana anda bisa percaya akan adanya tahayul atau hal-hal mistis di jaman internet seperti sekarang ini?” Ucap Lucas sambil tersenyum geli, karena hal-hal seperti ini sangat tidak masuk akal baginya. Hariz tersenyum miris. Sebenarnya dia merasa tidak tega. Namun sebagai manusia yang masih memerlukan uang, dengan sangat terpaksa Hariz membiarkan rumah penuh misteri miliknya dijual kepada Lucas dan Hanna. Hariz pun menyodorkan dua eksemplar surat perjanjian jual beli kepada Lucas. “Tanda tangani surat perjanjian ini.” Ucap Hariz lemas. Tanpa berpikir panjang, Lucas pun menandatangani surat perjanjian jual beli tersebut. Setelah Hariz menerima satu eksemplar surat perjanjian jual beli yang telah ditandatangi Lucas, ia pun berkata, “Apakah tuan dan nyonya memiliki putra?” “Kami memiliki tiga anak, dua putra dan satu putri. Sulung kami sudah menikah dan telah memiliki rumah sendiri. Dua yang lain masih lajang. Mereka masih tinggal bersama kami.” Jawab Hanna. “Anak laki-laki yang masih serumah … Umurnya berapa?” Suara Hariz terdengar tipis dan was-was. “Duapuluh tahun.” Suara Lucas lebih dari sedikit tajam. “Kenapa anda menanyakan itu?” “Oh, tidak apa-apa … Hanya ingin tahu saja.” Haris tergagap sambil menggelengkan kepala. “Rumah ini mungkin akan menguji pernikahan anda.” Bibir Hanna yang cantik dan mungil langsung melengkung merosot menjadi kerutan. Hanna meletakkan tangan kirinya di tangan kanan Lucas dan meremasnya. Hanna mulai merinding karena merasa ditakut-takuti. Cincin kawin Hanna yang besar menonjol di jari-jarinya yang halus. “Pernikahan kami solid, Tuan Hariz. Dan ini bukan rumah pertama yang kami beli. Kami pernah tinggal beberapa kali dengan rumah yang katanya menyeramkan. Dan kami baik-baik saja.” Ucap Hanna berusaha menentramkan diri. “Ya, aku berharap tuan dan nyonya akan tetap solid setelah tinggal di rumah ini.” Kata Hariz yang dalam hatinya sangat menyangsikan ucapannya sendiri. “Mudah-mudahan tuan dan nyonya berjodoh dengan rumah ini.” “Em … Saya merasa kalau anda ingin mengatakan rumah ini sangat berbahaya bagi keutuhan rumah tangga kami. Sebenarnya bagaimana rumah ini?” Tanya Lucas menjadi penasaran. “Karena anda sudah menjadi pemilik rumah ini, maka saya akan mengatakan sedikit misteri yang ada di rumah ini.” Hariz menjeda sebentar uraiannya dan langsung saja aura ketegangan menyelimuti mereka. Setelah menghela nafas, Hariz pun melanjutkan penjelasannya, “Rumah ini adalah peninggalan seorang wanita yang bernama Ibu Nuning. Beliau adalah istri dari pejabat kompeni saat kita masih dijajah Belanda. Usia rumah ini sudah lebih 300 tahun. Ya, anda boleh percaya atau tidak, Ibu Nuning selalu menampakkan dirinya di waktu-waktu tertentu.” “He he he … Kalau Ibu Nuning menemuiku … Aku akan langsung berkenalan dengannya, dan mungkin saya akan mengajaknya berkencan. He he he …” Kata Lucas yang sama sekali tak percaya dengan ucapan Hariz, bahkan meremehkan. “Aku harap anda tidak bertemu dengannya.” Ucap Hariz sambil bermuka sedih. “Baiklah … Karena transaksi sudah selesai, maka dengan ini saya menyerahkan surat-surat kepemilikan tanah dan bangunan pada anda.” Hariz menyodorkan sebuntel berkas kepemilikan rumah kepada Lucas. “Terima kasih.” Ucap Lucas sembari menerima berkas-berkas kepemilikan rumah dan tanah yang baru dibelinya. Hariz kemudian pergi dengan membawa perasaan senang sekaligus sedih. Senang karena Hariz berhasil menjual rumah misteri yang telah menghancurkan keluarga bahagianya. Sedih karena dia merasa berdosa pada Lucas dan Hanna, seolah-olah dia telah mengantarkan keluarga itu ke jurang kehancuran yang paling dalam.
—ooo—
“Tulang-tulang rumah masih sangat bagus. Kayu jati asli memang sangat tahan lama. Tambah lama tambah keras.” Lucas menatap rumah yang baru saja ia beli dengan senyum puas. Rumah bergaya Belanda kuno tersebut di sebagian besar masih tampak baik. Di titik-titik tertentu perlu perbaikan, namun tidak ada yang terlalu mengkhawatirkan. Dua menara masih berdiri tegak dan kokoh di kedua sisi rumah. Desain rumah klasik ini selain memiliki nilai artistik yang sangat tinggi juga sangat nyaman untuk ditinggali karena bentuknya yang sangat unik. “Bagaimana menurutmu, sayang?” Tanya Lucas pada Hanna. “Aku masih kaget dengan harganya.” Hanna berjalan di samping suaminya. Terdengar bunyi berderak di bawah sepatu ketsnya. Hanna menyelipkan lengan di pinggang Lucas dan meremasnya. “Kita beruntung, sayang.” Hanna mencium pipi Lucas dan kemudian melihat kedua anak mereka yang sedang berjalan mendekat. “Kalian pasti menyukai rumah baru kita.” Lanjut Hanna pada Daniel dan Adelia. “Wow! Kita tinggal di sini? Rumanya besar sekali.” Ucap Daniel terkagum-kagum. Daniel adalah seorang remaja tampan yang memiliki tubuh sangat ideal. Daniel memang punya badan kekar atletis, dadanya bidang serta otot-otot perutnya membentuk enam kotak mengagumkan. Banyak gadis yang merasa gemas apabila melihat pemuda itu. “Berapa kamar, Bu?” Daniel tidak bisa berpaling dari rumah barunya, memperhatikan aksen sirap sisik ikan tua dan bentuk geometris yang terukir halus di sekitar jendela. Selama dua puluh tahun, dia belum pernah melihat yang seperti ini. “Ada empat belas ruangan, Daniel.” Hanna kembali meremas pinggang suaminya, kemudian berjalan mendekat dan berdiri di samping putranya. “Enam kamar tidur, tiga kamar mandi, ruang tamu, ruang kerja, perpustakaan, dapur, ruang makan, dan tentu saja, pintu masuk yang megah.” “Empat belas?” Daniel menatap mata cokelat ibu tirinya yang hangat. “Sebenarnya belum pasti, masih ada ruangan lain yang belum ibu periksa.” Hanna tersenyum padanya. “Ada kamar di sebelah ruang kerja yang terkunci. Penjualnya bilang dia tidak punya kuncinya.” “Wow keren …” Kini Adelia bersuara. Sama seperti Daniel, gadis cantik itu terkagum-kagum dengan rumah barunya. Mata Adelia terus memperhatikan sekelilingnya. Adelia merasa takjub dan tanpa sadar mulutnya sedikit menganga. Sebuah truk pickup melaju di jalan masuk rumah dan diparkir di samping rumah. Kakak Daniel, Raymond, melambai pada Daniel dengan gaya sinis dari kursi pengemudi. Istrinya, Nidya, melambai dan tersenyum pada Daniel juga sangat ramah. Nidya memiliki rambut hitam yang digelung ke atas, dan dia mengenakan t-shirt ketat. Daniel merasakan kurang senang dengan kedatangan Raymond, tetapi selalu mengharapkan kehadiran Nidya. “Ya … Si brengsek datang!” Gumam Daniel sambil menatap ibu tirinya. “Kamu tidak boleh begitu sama kakakmu. Sengaja ibu suruh dia datang untuk membantu beres-beres. Kita perlu tenaga.” Hanna menenangkan Daniel sambil memegang bahunya. “Kenapa? Ngadu lagi? Dasar anak Mami!” Ujar Raymond kasar sambil sengaja menyenggol badan Daniel. Daniel menghela nafas sambil menahan amarah. Dalam hati, Daniel ingin sekali meninju mukanya. “Dia tidak bersungguh-sungguh. Hanya bercanda.” Nidya berjalan dan memberi Daniel senyum simpatik. “Dia sebenarnya sangat perhatian padamu.” Nidya menepuk bahu kiri Daniel, lalu mengikuti suaminya masuk lebih dalam di rumah itu. “Dia bersungguh-sungguh.” Bisik Adelia yang kini sedang berdiri di samping Daniel sambil terus menatap serta mengagumi rumah baru mereka. “Ini benar-benar monster, bukan?” “Raymond atau rumah?” Daniel memandang Adelia, mengagumi senyumnya yang manis dan ramah. “Keduanya?” Jawab Adelia sambil terkikik pelan. “Ya, kamu benar.” Sahut Daniel. “Ayo, Adel, ayo kita pilih kamar kita!” “Oke.” Kata Adelia sambil mengikuti langkah kakaknya.
—ooo—
Lalu, mereka pun membersihkan rumah sebelum menempatkan barang-barang ke dalam ruangan baru. Mereka senang dengan rumah barunya yang jauh lebih mentereng dibandingkan dengan rumah sebelumnya. Hanna dan Lucas mengambil kamar tidur utama di lantai dua sebagai kamar mereka. Daniel mengambil kamar tidur di lantai dua yang sangat luas, dan bahkan ada bilik lemari. Sedangkan Adelia ingin memiliki ruang yang lebih privasi. Gadis itu mengambil kamar tidur di menara timur, di atas kamar Daniel. Raymond dan Nidya menyiapkan kamar tidur tamu untuk diri mereka sendiri di seberang lorong dari kamar tidur utama. Pasangan itu berencana menghabiskan akhir pekan di rumah baru orangtuanya. Mereka akan tinggal di sana pada Sabtu malam ini, membantu merapikan barang-barang pada hari Minggu, kemudian pulang pada Minggu malam, kembali ke rumah sederhana mereka di seberang kota. Rumah itu jelas merupakan produk pada zamannya. Hanya jalan masuk dan ruang tamu di lantai dua yang memiliki tata ruang terbuka. Semua kamar lain tertutup dan terkotak-kotak. Di sekeliling rumah, ada panel kayu yang kaya dengan ukiran dan tatahan yang cantik. Pembangun rumah ini rupanya sangat suka menuangkan detail yang berlebihan. Rumah besar seperti ini tentu saja akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit ketika rumah itu dibangun pada tahun 1716. Hari sudah gelap, akhirnya keluarga itu menikmati pizza yang telah dipesan dan diantar oleh ojeg online. Semuanya makan pizza sambil berbincang-bincang tentang rumah baru mereka. Daniel yang tidak ingin berlama-lama dengan Raymond, pamit untuk mandi di seberang lorong dari kamar tidur barunya. Daniel melangkah memasuki kamar mandi yang lumayan luas itu. Ada shower dan bathtub juga di sana. Daniel pun mulai membersihkan badan yang sudah tak karuan. Di lantai bawah, Hanna mencuci piring sambil memikirkan kemungkinan perlunya merombak ruang dapur agar lebih representatif. Bagi Hanna dapur adalah dunianya. Masakan apa saja bisa ditangani. Apalagi rendang dan sambaladonya. Tiba-tiba Hanna merasa ada hawa dingin di belakangnya. Hanna pikir Lucas sedang berjalan dan mendekatinya. Tak lama, Hanna latah spontan karena pantatnya ditepuk. “Hei! Apa yang kamu lakukan, Lucas!” Pekik Hanna setengah kesal sambil terus mencuci piring. “Apa?” Lucas agak berteriak dari tempat dia yang sedang membersihkan meja makan dengan bantuan Nidya. Sontak saja, denyut nadi Hanna bertambah cepat dan dia berbalik, tetapi tidak ada seorang pun di belakangnya. Hanna berpikir tidak mungkin Lucas dengan sangat cepat kembali ke tempatnya setelah menepuk pantatnya. Hanna mematikan kran air wastafel dan meletakkan tangannya di pinggul. Ini aneh. Dia berani bersumpah seseorang memukul pantatnya. Hanna menatap lekat ke arah Lucas, sementara pikirannya seperti mengambang di udara. “Tidak ada, sayang,” Hanna kemudian merespon. Lucas pun kembali membersihkan meja. Dan sekarang, Hanna masih tertegun. Setengah kesadarannya seakan hilang saat memikirkan kejadian yang baru saja ia alami. Bahkan syaraf-syaraf otaknya seperti menggerakannya. Tanpa sepatah kata pun, Hanna berjalan keluar dari dapur, menyusuri lorong, dan ke atas. Pikiran muncul di benak Hanna bahwa dia harus menggunakan kamar mandi meskipun dia benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukan di sana. Hanna berjalan ke kamar mandi di seberang kamar baru Daniel. Hanna membuka pintu dan menyelinap masuk begitu saja. Hanna bisa mendengar Daniel bernyanyi dengan lembut saat dia menggosok dirinya sendiri. Jantung Hanna berdegup kencang. Hanna membiarkan pintu terbuka di belakangnya dan berjalan ke tirai kamar mandi. Entah apa yang Hanna pikirkan, dia merasa perlu membuka tirai. “I can’t stop loving you …” Daniel masih terus bernyanyi. Tiba-tiba tirai kamar mandi terbuka dan Daniel memekik bernada tinggi. Dia berbalik untuk melihat ibunya berdiri di sana dengan pandangan jauh di matanya. “Sial, Bu, apa yang ibu lakukan?” Teriak Daniel sembari menutupi kemaluannya dengan kedua tangan. Jeritan itu menyadarkan Hanna. Dia seperti terbangun dari mimpinya. “Oh, maafkan aku, Daniel. Aku tidak tahu ada orang di sini.” Dia menatapnya dari atas ke bawah. Tubuh remajanya yang sembada dan licin karena air. Dia tidak bisa tidak memperhatikan tubuh Daniel yang atletis. “Aku… um… Ibu kira kamar mandi ini kosong.” “Apakah ibu tidak mendengarku bernyanyi?” Ucap Daniel sembari membalikkan badan. Lagi-lagi mata Hanna disuguhkan oleh bokong remajanya yang seksi. “Keluar, Bu!!!” “Tentu saja, maaf. Maafkan ibu, Daniel.” Hanna mundur kembali ke lorong dan menutup pintu. Itu semua sangat aneh. Tiba-tiba Hanna merasa sangat aneh. Wanita cantik itu berjalan kembali ke tangga dengan perasaan paling aneh yang pernah ia rasakan. Hanna seperti bergerak dalam gaun kolot. Dia seperti orang lain, bukan sebagai diriya. Hanna lalu menatap ke tubuhnya untuk memastikan bahwa dia sebenarnya masih mengenakan t-shirt dan celana jins. Hanna mencoba mengatur nafas. Berusaha mengeyahkan pikiran aneh dari kepalanya. Setelah agak tenang, Hanna pun masuk ke kamarnya lalu merebahkan diri di atas kasur. Pikiran Hanna terasa sangat lelah dan tak lama ia pun tertidur pulas.
###
Sesuatu membangunkan Daniel di tengah malam. Matanya terbuka karena silau dengan nyala lampu, padahal sebelum tidur lampu dimatikan. Daniel merasakan udara dingin menyambar kulitnya. Udara malam yang dingin menyelimuti sekitar ruangan. Tirai jendela Daniel berkibar di bawah sinar bulan saat angin sepoi-sepoi bertiup melalui jendelanya yang terbuka. Kapan dia membuka jendela? Dan jika angin bisa membuka jendela pasti angin yang bertiup adalah angin yang besar bukan angin sepoi-sepoi. Daniel melihat ke pintu kamar tidurnya dan melihat pintu itu juga terbuka. Padahal sebelum tidur ia telah menutupnya. Itu aneh. Bunyi gedebuk terdengar di aula dan bergema ke kamarnya. Itu juga yang membuatnya terbangun. Dan kemudian terdengar suara pukulan yang lain. Tak lama, suara itu menjadi suara ketukan berirama yang stabil. “Itu bukan suara hantaman melainkan suara tamparan,” pikir Daniel dalam hati. Mungkin kakaknya yang menjijikan mencoba mengerjainya. Daniel membuka selimut dan berjalan menuju pintu. Lantai yang halus dan dingin menempel di kakinya. Daniel memeluk dirinya sendiri melawan angin. Di kamarnya sangat dingin. Begitu sampai di pintu, Daniel mengintip ke aula. Di sebelah kanannya semuanya sunyi di tangga yang menuju ke kamar saudara perempuannya di menara timur juga tak ada apa-apa. Di sebelah kirinya, aula itu memanjang jauh. Melewati tangga besar, sampai ke pintu kamar tidur utama yang tertutup di mana orangtuanya tidur. “Apa?” Mata Daniel melebar. Seorang wanita telanjang dengan rambut hitam panjang menjuntai ke bawah, payudara besar, dan perut hamil menyandarkan sikunya di pagar yang menghadap ke tangga besar. Daniel hanya bisa mendengar dengkuran lembut si wanita hamil tersebut. Di belakang si wanita sedang ‘bekerja’ seorang pria muda yang mungkin seumuran Daniel, atau mungkin sedikit lebih tua. Si pemuda mencengkeram pinggul wanita hamil itu dan mendorong kemaluannya keluar masuk organ intim si wanita dengan penis besarnya. Gerakan si pemuda begitu cepat, Daniel mengira si pemuda akan segera klimaks, tetapi sebaliknya, dia malah menabraknya lagi dan lagi. Di lantai, di sekeliling pasangan yang sedang kawin itu berserakan pakaian kuno. Tentu saja, penis Daniel mengeras di bawah piyamanya. Wanita berambut hitam panjang itu menoleh dan menatap Daniel. Mata hitamnya berkobar ke dalam jiwanya. “Itu dia, sayang. Ooohh…” Si wanita menggertakkan giginya dengan setiap dorongan. “Ikatan dan kontrak yang harus dibuat.” Si wanita berbicara dengan lembut tetapi kata-kata itu terbawa ke lorong panjang menuju Daniel. “Kami membayar dan menerima dan Iblis mengambil haknya.” Seluruh tubuhnya bergoyang luar biasa dengan setiap dorongan keras. Daniel merasakan gairahnya terbakar hanya dengan melihat aktivitas senggama mereka. Daniel tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Tapi yang pasti pemuda itu sangat menginginkannya. “Siapa… Siapa…?” Daniel tergagap. “Kamu siapa?” “Saya ibu Nuning … Kamu tidak mengenal saya. Tapi kamu bisa seperti kuda pejantan yang hebat jika kamu mau.” Wanita itu tersenyum manis dengan senyum sendu. “Kamu bisa mempunyai semua yang kamu lihat sekarang.” “Bagaimana?” Daniel memperhatikan buah pantat si wanita yang bergetar karena tumbukan dan lekuk indah punggungnya yang halus. “Kamu hanya perlu mengatakan bahwa kamu menginginkan saya.” Ibu Nuning menggerutu saat pemuda di belakangnya mempercepat gerakannya. Tidak ada kelembutan di bawah sana. “Katakan kamu akan membayar harga untuk memiliki apa yang kamu inginkan.” “Aku… aku…” Daniel memang menginginkannya. “Katakan persetujuanmu, sayang. Kemudian, kamu akan menikmati kesenangan ini.” Ibu Nuning mengejang nikmat saat si pemuda mendengus dan berhenti bergerak. Jelas si pemuda klimaks di dalam tubuh Ibu Nuning. Wanita hamil itu pun mendorong tubuh si pemuda hingga penyatuan tubuh mereka terlepas. Ibu Nuning berdiri si sebelah si pemuda sambil memegang penisnya yang masih tegak dan keras. “Bayar harganya dan kamu bisa mendapatkan apa yang dimiliki pemuda yang manis ini. Selama-lamanya.” Ibu Nuning terus menatap Daniel sambil menyeringai. “Saya mau kamu.” Daniel tidak tahu berapa harganya, tetapi dia lebih dari bersedia membayar apa pun. “Aku akan membayar harganya.” “Anak baik.” Kata Ibu Nuning. Dan dengan itu, Ibu Nuning dan pemuda di sebelahnya menghilang, bersama dengan semua pakaian mereka. “Halo?” Ucap Daniel pelan sembari mengedarkan pandangan. Tiba-tiba Daniel merasakan kehangatan di penisnya yang kaku. Awalnya terasa menyenangkan, tetapi kemudian dengan cepat menjadi tak tertahankan. Itu sangat panas. Bolanya juga. Segala sesuatu di bawah sana terasa seperti terbakar. Daniel berlari melintasi aula menuju kamar mandi lalu menyalakan pancuran air dingin ke dalam bathtub. Daniel melompat dengan piyamanya yang masih terpasang dan menurunkan pantatnya. Air dingin tidak membantu mendinginkan penisnya yang demam. Penis Daniel bersinar dengan warna kemerahan yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Tak lama Daniel menyaksikan dengan mulut menganga kalau penisnya tumbuh. Dengan setiap denyut nadinya, itu menambah ketebalan dan panjangnya. Urat-urat vena mendefinisikan diri mereka sendiri di sepanjang porosnya. Kepala penis membengkak dan berubah warna menjadi ungu tua. Daniel berusaha untuk tidak hiperventilasi. Setelah beberapa menit, penisnya berhenti tumbuh dan menonjol dari tubuhnya yang atletis dengan proporsi yang mengerikan. Mungkin panjangnya tidak kurang dari 20 sentimeter dan sangat tebal. Cahaya meninggalkan penisnya, lalu menyebar ke bolanya. Sekarang mereka juga tumbuh seiring dengan setiap detak jantungnya. Daniel mengulurkan tangan dan meraih penisnya dengan kedua tangan dan membelai. Dia belum pernah merasakan kesenangan seperti itu sebelumnya. Ketika bolanya berhenti mengembang, bola-bola itu cukup bengkak dan terlihat urat ungu kecil yang bersilangan. “Ya Tuhan, aku … akan … meledak.” Daniel melepaskan semburan air mani ke tirai kamar mandi dan menyiprat ke lututnya. Itu lebih banyak air mani daripada yang biasa dia hasilkan dalam sebulan penuh. Penisnya menjadi lembut, tetapi itu masih sangat besar. Daniel membersihkan air mani ke saluran pembuangan, berdiri, dan mematikan pancuran. Masih basah kuyup, Daniel segera keluar dari kamar mandi dan masuk ke aula. Penisnya berayun seperti pendulum di antara pahanya. Daniel berhasil menyeberangi lorong hingga sampai ke kamar tidurnya, menutup pintu di belakangnya, dan membersihkan tubuhnya lalu membaringkan badan yang telanjang di tempat tidur. Daniel melihat ‘perkakas’ miliknya. Daniel sangat ketakutan. Itu terlalu besar. Daniel benar-benar gusar tapi untungnya ia segera tertidur, dan memimpikan mimpi surgawi, menyetubuhi Ibu Nuning dari belakang.
—ooo—
Semua orang menyukai hari minggu, seperti mereka-mereka yang menantikan sebuah hari kemenangan. Begitu pula dengan Hanna. “Minggu yang cerah membuatku sangat bersemangat, ditambah rumah ini, membuatku semakin bersemangat,” pikir Hanna dalam hati sambil berjalan menyusuri aula lantai dua dengan mengenakan gaun terusan sebatas lutut yang kasual. Ini adalah pagi yang cerah dan sebagian besar keluarga sedang sarapan di ruang makan kecuali Daniel. Daniel belum bangun, yang sangat tidak biasa baginya. Daniel sering menjadi orang pertama yang bangun dan sarapan. Daniel mungkin begadang karena membaca buku atau sesuatu. Hanna mengetuk pintu, tetapi tidak mendapat jawaban. “Daniel, ibu masuk.” Hanna membuka pintu dan melangkah masuk. Hanna menemukan Daniel berbaring di atas selimut, tengkurap. Pantat seksinya hampir membutakan Hanna di bawah sinar matahari pagi. Hanna terkikik pada dirinya sendiri, betapa seksinya bokong Daniel. Sebenarnya ada keinginan untuk menyentuh bokong Daniel. Namun Hanna menahannya. “Daniel?” Hanna berjalan ke tempat tidur dan mengguncang bahu Daniel. Lagi-lagi Hanna memperhatikan bokong Daniel yang bulat dan kuat. “Waktunya bangun, sayang.” Ucap Hanna lagi sembari menggoyang-goyangkan bahunya. “Apa?” Dengan grogi, Daniel menoleh dan mengedipkan mata ke arah ibunya. Dia selalu tahu kalau ibu tirinya adalah wanita cantik, tetapi pada saat itu, Hanna terlihat sangat memikat. Mata Daniel tertuju ke belahan dadanya saat dia membungkuk. Pipi Daniel memanas dan Hanna menatap sambil tersenyum manis. Daniel memandang dada Hanna nanar. Buah dadanya begitu bulat proporsional tercetak dibalik gaun ketat yang ia kenakan. “Sudah waktunya untuk bangun.” Hanna memperhatikan Daniel yang sedang mengintip gaunnya, tetapi Hanna tidak keberatan. Entah mengapa ada perasaan senang saat Daniel memperhatikan dadanya. “Kita akan berangkat ke gereja dalam satu jam. Kamu harus bersiap-siap dan sarapan dulu sebelum berangkat ke gereja.” Hanna menegakkan tubuh dan mengedipkan mata pada Daniel. “Cepatlah mandi dan berganti pakaian. Bersiaplah segera dan sarapan.” Hanna berusaha keras untuk tidak tertawa saat meninggalkan ruangan. Dia menutup pintu setelah keluar dari kamar. “Oh, sial!” Daniel baru menyadari setelah Hanna pergi bahwa dirinya telanjang. Dia membalikkan tubuh hingga terlentang. Kontol raksasanya jatuh ke perutnya. “Oh, besar sekali.” Dia melihat ke bawah mengagumi harta warisan leluhurnya yang perkasa. Tapi, bagaimana dia bisa memasukkan semua itu ke dalam celana? Daniel melompat dari tempat tidur, melakukan yang terbaik untuk menyelipkan monster itu dengan nyaman ke dalam celana dalam, dan mengenakan pakaian gerejanya. Ketika Daniel tiba di lantai bawah, dia menemukan saudara-saudaranya di ruang makan menghabiskan sarapan mereka. “Si kunyuk baru bangun.” Kata Raymond di antara suapan. Raymond mengenakan setelan yang tidak pas, yang tidak bisa menahan bahunya yang lebar. Dia memakai dasi biru dibalik jasnya. “Selamat pagi, Daniel.” Nidya memberi Daniel senyum sedih yang mengisyaratkan bahwa dia merasa kasihan pada Daniel, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. “Kenapa kamu berjalan sangat lucu?” Adelia memandang Daniel dari atas ke bawah saat Daniel duduk dan mengambil sarapan untuk dirinya sendiri. “Hanya pegal-pegal karena kemarin.” Daniel berbohong sambil membalik dasi merahnya di atas bahunya untuk menjauhkannya dari makanan. “Apakah kamu hernia, bro?” Raymond menertawakan leluconnya sendiri dan menatap istrinya. Nidya terpecah antara mendukung suaminya atau tidak ingin mempermalukan Daniel yang malang lebih jauh. Nidya memilih yang pertama dan tertawa kecil, tetapi tidak melakukan kontak mata dengan salah satu dari mereka. Baik Adelia dan Nidya sudah mengenakan pakaian gereja mereka. Mata Daniel melihat payudara mereka yang membengkak di bawah pakaiannya. Payudara mereka terlihat begitu menggoda walaupun milik Nidya terlihat lebih besar dari Adelia. Payudara mereka sangat mulia. Kurva yang sempurna benar-benar ada pada setiap dari mereka. “Apa yang salah sekarang?” Fitur tajam Adelia diperlihatkan dengan ekspresi ingin tahu di wajahnya. “Tidak ada. Hanya rasa tidak enak di mulutku.” Daniel berusaha menjaga pikirannya tentang Adelia tetap bersih, tetapi segala macam gambaran panas muncul di otaknya. Apakah dia mencukur vaginanya? Seperti apa bokongnya? Tentu, Daniel telah melihatnya dalam pakaian renang beberapa kali, tetapi Daniel tidak pernah benar-benar melihat dalamannya. Daniel benar-benar cemas dengan pikiran kotornya karena mendorong kontol raksasanya membengkak dipenuhi darah. Sebelum menjadi sakit terjepit, buru-buru Daniel membuang pikiran kotornya. “Bagaimana kamu tidur di menaramu?” Sial, sekarang Daniel malah berpikir tentang Adelia yang berbaring telanjang di tempat tidur. Dunia menjadi kacau balau. “Aku tidur nyenyak seperti bangkai.” Adelia memiringkan kepalanya ke arah Daniel. “Ada apa denganmu hari ini?” “Tidak ada … Tidak ada apa-apa …” Daniel menggelengkan kepalanya. “Aku pikir dia akhirnya mencapai pubertas.” Kata Raymond melecehkan. “Cukup Raymond …!” Lucas masuk ke ruang makan dengan jaket dan dasinya. “Oke, semuanya … Ayo kita berangkat!” Semua orang kecuali Daniel bangkit dari meja dan membawa piring mereka ke wastafel. Daniel duduk di sana selama lima menit dan perlahan memakan sarapannya sampai penisnya mengempis. Entahlah, Daniel merasa aneh hari ini. Pikirannya selalu kemana-mana jika melihat keindahan wanita yang membuat kontol raksasanya mengeras dan sakit. Mungkin dia memang terlambat mencapai pubertas. Kemudian Daniel memikirkan Ibu Nuning dan rasa dingin langsung menjalari tulang punggungnya. Daniel merasa ada sesuatu yang lain merasuki dirinya. Daniel benar-benar ketakutan. Akhirnya, Hanna datang untuk menjemputnya. “Kenapa masih di sini? Daniel ayo …!” “Oh, baik Bu.” Daniel bangkit dan mengikuti Hanna keluar rumah. Lagi-lagi juniornya meronta-ronta ketika melihat gerakan pipi pantat ibu tirinya. Ini aneh. Ini tidak normal. Daniel sangat takut. Dia perlu berbicara dengan seseorang. Pendeta? Tidak mungkin. Ayahnya? Itu akan menjadi aneh. Adik perempuannya? Tidak. Ibu tirinya? Kupu-kupu langsung berterbangan di perut Daniel saat dia berpikir untuk curhat pada ibu tirinya. Daniel tidak yakin mengapa, tapi itu pasti dia.
—ooo—
Pada Minggu sore, Hanna duduk di lantai ruang perpustakaan membongkar dan mengatur buku. Jeans dan t-shirt yang dia kenakan kotor dan berdebu karena seharian bekerja. Kerjanya berhenti ketika dia menarik sebuah novel yang berjudul ‘Cinta Pertama’ karya Patar Tambunan dari rak buku. Hanna ingat pernah membaca buku tersebut ketika dia masih kuliah. Sebuah kisah cinta antara seorang pria remaja dan seorang wanita yang lebih tua. Sebuah kisah romantis yang manis, yang akan membuat para pembacanya berbunga-bunga. Hanna membuka novel di tangannya dan membuka secara acak lalu membacanya. “Efek dari sebuah cinta bisa begitu besar. Kerasnya hati seseorang bisa luluh dengan perasaan cinta. Kesedihan yang berlarut pun bisa diredakan dengan cinta. Kasih sayang yang diberikan orang terdekatmu dapat memberikan perubahan yang besar dalam hidupmu. Maka, jagalah seseorang yang kamu sayang dengan sungguh-sungguh. Jaga dia dan berikan kenyamanan untuk melengkapi satu sama lain.” Antara sadar dan tidak, tiba-tiba Hanna merasa bahwa dia telah pindah ke alam mimpi. Seorang wanita hamil dengan gaun kuno berdiri di sampingnya, menatap buku itu. Si wanita hamil berambut hitam panjang itu berkata, “Itu buku bagus untuk dibaca. Buku itu memberitahu kita bahwa cinta itu penuh pemberian, bukan meminta untuk diberikan. Cinta itu penuh ketulusan, bukan penuh dengan paksaan. Cinta tak pernah membeda-bedakan sifat, raga, jasmani, harta seseorang. Karena cinta hanya keikhlasan dan ketulusan hati kita untuk seseorang.” Hanna menatap wanita itu dan perasaan tenang menyebar ke seluruh tubuhnya. “Kamu siapa?” “Nama saya Nuning. Orang memanggilku Ibu Nuning. Bagaimana kabarmu?” Ibu Nuning mengulurkan tangannya. “Saya … Hanna …” Hanna mengambil tangan Ibu Nuning. Hanna meraih tangan itu dan dengan hati-hati meletakkan bibirnya di buku-buku jari Ibu Nuning. Kulit wanita itu terasa dingin di bibir hangat Hanna. Apakah wanita saling menyapa dengan cara ini bertahun-tahun yang lalu? Hanna tidak berpikir begitu, namun yang pasti Hanna merasa wanita di sampingnya layak diperlakukan demikian. “Lanjutkan,” kata Ibu Nuning. “Baca bagian lain.” “Tentu.” Hanna merasa seluruh dunia sudah berkabut. Dia membalik halaman dan membaca. “Waspadalah terhadap cinta wanita; waspadalah terhadap ekstasi itu – candu yang lambat itu. Meskipun bercinta adalah puncak tertinggi dari cinta, kita harus belajar menjadi seorang manusia.” Ibu Nuning tertawa. Itu adalah suara gemerincing yang indah. Dia memegang perutnya yang bengkak. “Saya senang Dimas saya tidak pernah membaca buku itu. Kita tidak akan memperingatkan anak laki-laki kita dengan kata-kata itu, bukan? Saya yakin dia berusia delapan belas tahun ketika saya membaca ini.” “Tahun berapa itu?” Hanna melihat kembali ke mata hijau yang memesona itu. “Saat itu tahun 1716.” Ibu Nuning tersenyum. “Oh … Lama sekali …” Hanna terperangah. “Nah, Hanna … Apakah kamu ingin tahu kesenangan yang saya rasakan dengan Dimas saya?” Senyum Ibu Nuning mengembang dan wajahnya yang pucat memancarkan kebahagiaan. “Saya tidak paham.” Hanna menggelengkan kepalanya, mencoba membersihkan sarang laba-laba dari otaknya. “Kamu akan mendapatkan seks terhebat jika mau menerima anakmu,” kata Ibu Nuning. “Anakmu adalah surgamu. Dia adalah pasangan sejatimu … Hanna yang manis.” “Tidak!!!” Hanna menjatuhkan buku itu dan mengacak-acak rambut hitamnya yang panjang. “Tidak, ini salah!!!” Hanna berteriak saat ia benar-benar tersadar. “Bu … Apakah kamu di sini?” Daniel menjulurkan kepalanya ke ambang pintu perpustakaan. Hanna mendapati dirinya terbaring di lantai di tengah-tengah semua buku itu. Hanna bangkit lalu duduk dan melihat sekeliling ruangan dengan liar. Ibu Nuning sudah pergi. Apakah Hanna tertidur saat bekerja membersihkan perpustakaan? Sungguh mimpi yang aneh. Keadaan yang benar-benar aneh. Hanna melihat ke putranya yang memiliki garis kekhawatiran yang terukir di dahinya. Lalu berkata, “Ada apa, sayang?” “Kurasa aku perlu ke dokter.” Daniel melangkah ke perpustakaan dan menutup pintu di belakangnya. Pintunya terkunci otomatis dari dalam. Itu adalah fitur yang aneh untuk perpustakaan. Daniel berdiri tepat di depan ibu tirinya yang masih terduduk di antara buku-buku. “Bu … Aku takut … Ada perubahan pada diriku.” Daniel menunduk menatap ibunya. Garis besar tali bra di bawah t-shirt Hanna membuat Daniel terpesona. Selama ini Daniel tidak pernah benar-benar memperhatikan betapa indahnya payudara yang bulat dan penuh yang Hanna miliki. Daniel pun mengalihkan pandangan dan mencoba untuk tidak menatap, bagaimana payudara Hanna melengkungkan logo di bajunya. “Tidak ada asuransi, ingat? Mudah-mudahan ketakutanmu tidak membawamu ke dokter.” Hanna berdiri dan membersihkan diri, mengibaskan debu-debu yang menempel. “Katakan pada ibu. Apa masalahmu?” “Tadi malam aku bermimpi aneh tentang seorang wanita hamil, dan kemudian ini terjadi.” Tanpa ragu Daniel membuka kancing celananya. “Tunggu, Daniel … Apa yang kamu lakukan …?!” Hanna memekik tetapi langsung terkesiap dan kehilangan akal sehatnya saat Daniel menurunkan celana dan celana dalamnya dan Hanna bisa melihat dengan baik apa yang tergantung di antara kedua kaki Daniel. “Lihat ini, Bu … Aku sangat takut dengan perubahan kelaminku … Itu sebabnya aku butuh dokter.” Daniel memandang ibu tirinya lekat-lekat. “Apakah itu nyata?” Hanna ragu-ragu berjalan ke arah putranya. Itu terlihat sangat nyata. Warna kulitnya pas untuk Daniel. Sangat menakjubkan. Sebongkah besar daging bergoyang saat Daniel memindahkan berat badannya dari satu kaki ke kaki lainnya. “Aku serius Bu … Aku sangat takut …” Daniel melirik sekilas saat Hanna mendekat. Mata Hanna menyipit, dan Hanna bergerak hampir seperti kucing yang sedang berburu. Itu membingungkan Daniel. “Aku harus menyentuhnya.” Hanna mendekatinya dan mengulurkan tangan kirinya ke daging gemuk setengah lembut milik Daniel. “Hanya untuk memeriksa.” Hanna mengusap ujung jarinya ke bawah dan benda itu tersentak dan tumbuh sedikit. “Oh … Ini sangat nyata.” Hanna menghirup napas dalam-dalam. “Ini sangat nyata.” Di kepalanya Hanna mendengar suara Ibu Nuning. Hanna hanya perlu menerima anaknya dan dia bisa memiliki seks terhebat selamanya. “Bu … Eh … Lebih baik ibu berhenti sekarang.” “Tunggu sebentar, sayang …” Hanna perlahan-lahan melingkarkan jari-jarinya di sekitar benda yang sangat besar itu dan meremasnya, menekan jemarinya ke dalam daging yang kenyal itu. Tak lama, beberapa bagian dari otaknya memancarkan lampu peringatan dan memperingatinya. Bayangan moral dan etika terlintas di otaknya. Setelah apa yang terjadi seharusnya ia malu. Hanna pun melepaskan benda keras putranya. “Maaf, tadi hanya spontanitas.” Ucap Hanna malu. Daniel melihat ke bawah. Penisnya sekarang hampir sepenuhnya keras, kepala ungu dan pembuluh darah menonjol. Hanna pun melanjutkan ucapannya, “Pergi mandi air dingin, Daniel, dan kita akan membicarakannya nanti.” Hanna berjalan cepat ke arah pintu dan mendorongnya. “Dan demi Tuhan, tarik celanamu ke atas.” Daniel berbalik, menarik celananya, dan bergegas ke pintu. Air mata menggenang di matanya. Daniel sangat bingung dan takut. Daniel membuka pintu dan bergegas ke aula. Pemuda galau itu pun bergerak ke kamarnya dan menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Daniel berpikir sesuatu yang sangat tidak biasa pasti memiliki sesuatu yang abnormal di belakangnya. Daniel mencoba menekan kegusarannya agar tidak terjadi kepanikan. Sementara itu dada Julia naik turun dan dia menggelengkan kepalanya. Apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini sungguh diluar nalar. Ditambah kini dengan realitas penis aneh Daniel saat dia memegangnya. Daniel bilang itu perubahan. Hanna cukup yakin perubahan penis tidak secepat itu. Ya Tuhan, kepunyaan Daniel sekarang dua kali ukuran ayahnya. Akhirnya Hanna memutuskan untuk berselancar di internet. Hanna bermaksud mempelajari pertumbuhan kelamin pria.
—ooo—
Minggu malam bergulir dan Lucas menemukan Daniel di kamarnya setelah Hanna memberitahukan masalah yang sedang dihadapi Daniel kepadanya. Daniel sedang berbaring di tempat tidur sambil memainkan ponselnya. Astaga, Lucas bisa melihat tonjolan penis lembutnya di celana pendek yang Daniel kenakan. Daniel terperanjat saat Lucas masuk begitu saja ke dalam kamarnya. “Ibumu memberitahukan kalau kamu mempunyai masalah di kemaluanmu. Bangun, Daniel … Mari kita lihat. Ayah dan ibumu sudah mencari di Google tentang kondisimu dan tidak menemukan apa-apa. Ayah dan ibu berpikir jika terlihat sehat, kita sebut saja ini sebagai lonjakan pertumbuhan yang tidak biasa.” “Oke, Yah …” Daniel turun dari tempat tidur, berdiri di atas lantai dengan kaki telanjang, dan menjatuhkan celana pendeknya. Nafas Lukas tersendat-sendat. Lucas bertanya dalam hati, “Bagaimana ini bisa terjadi? Bila benar Daniel mengatakan perubahan. Perubahan ini sangat abnormal. Bagaimana bisa dia mempunyai kontol sebesar itu? Keluargaku tidak pernah menurunkan gen seperti ini.” Dan masih banyak pertanyaan lain yang menguasai Lucas saat itu. “Aku tahu kalau aku tidak sebesar ini sebelum malam kemarin. Aku mengetahuinya saat penisku terasa panas. Sejak saat itulah dia membesar. Apakah ini normal, ayah?” Tanya Daniel agak malu pada ayahnya. “Jelas ini tidak normal. Tapi bila punyamu tidak merasa sakit, berarti tidak apa-apa. Kecuali sekarang kamu merasa sakit, kita perlu memeriksanya ke dokter.” Ungkap Lucas sembari memegangi kontol Daniel yang besar dan panjang. Lucas diam-diam merasa iri dengan kepemilikan anaknya. “Tidak ada rasa sakit. Tapi jadi aneh saja. Karena tiba-tiba dia membesar sendiri.” Kata Daniel. Sebenarnya Daniel sadar kalau penisnya membesar setelah berbicara dengan Ibu Nuning kemarin malam. Tetapi, Daniel tidak yakin kalau Ibu Nuning adalah penyebabnya. Daniel khawatir ada suatu penyakit yang tiba-tiba menyerangnya. “Seperti kata ayah tadi … Bila tidak sakit, kita bisa menganggap lonjakan pertumbuhan yang tidak biasa. Saran ayah, kamu tidak usah terlalu khawatir dengan perubahan ini. Anggap saja anugerah yang kamu terima.” Ujar Lucas bijaksana. “Rumah ini sangat besar. Butuh waktu lama bagi kita untuk menemukan …” Nidya berjalan masuk ke kamar Daniel tanpa permisi dan langsung rahangnya turun. Adelia yang berjalan di sebelah Nidya langsung menutup mulut dengan kedua tangannya. Pipi kedua wanita itu dengan cepat memanas dan kemerahan. Keempat mata tertuju pada penis Daniel. “Apa yang kalian lakukan di sini?!” Teriak Daniel marah bercampur malu, sampai-sampai Daniel lupa menarik celananya. “Apa… Apa yang terjadi, ayah?” Tanya Adelia yang tidak bisa berpaling dari benda mengerikan di antara kedua kaki Daniel. “Ayah sedang memeriksa kakakmu yang menganggap punya masalah dengan kemaluannya. Tapi menurut ayah, ini sangat alami.” Lucas segera bergerak menuju pintu dan mencoba menggiring kedua wanita itu kembali ke aula. “Ayah dan Daniel masih perlu mendiskusikannya. Sekarang kalian keluar.” “Tapi itu …” Adelia dan juga Nidya membiarkan diri mereka didorong keluar ruangan. “Jangan membuat keributan oke … Kakakmu perlu privasi.” Lucas kemudian menutup pintu, dan suara mereka memudar di lorong. “Jadi … Bagaimana ini, ayah?” Tanya Daniel dengan nada khawatir. “Menurut ayah … Untuk beberapa hari ini, kita akan melihat perkembangannya. Apabila kamu merasa baik-baik saja berarti tidak ada masalah. Dan apabila kamu mengalami gangguan atau rasa nyeri, barulah kita ke dokter. Ayah punya feeling kalau perubahanmu tidak akan berdampak apa-apa.” Jelas Lucas. “Aku harap begitu.” Ucap Daniel masih bernada khawatir. “Kamu bisa memakai celanamu sekarang.” Lucas memperhatikan Daniel menarik celana pendek dan celana dalamnya, dia berjuang untuk memasukkan barangnya ke dalam pakaiannya. Tiba-tiba pintu terbuka dan Hanna masuk ke dalam kamar, “Jadi bagaimana keputusannya?” Tanya Hanna kemudian. Lucas menjawab, “Jadi, sudah diputuskan. Jika itu menyakitkan atau berubah dengan cara apa pun, Daniel akan memberi tahu kita. Jika tidak, ini akan menjadi yang terakhir kita bicarakan.” “Ya, bagus …” Hanna menatap Daniel sambil tersenyum. “Kalau begitu … Kita selesai.” Kata Lucas sambil berjalan keluar kamar. Hanna masih berdiri, “Ibu terpaksa melibatkan ayah karena ibu tidak mengerti dengan masalahmu. Tentu ayahmu lah yang lebih mengerti dengan permasalahanmu. Maafkan ibu ya …” “Tidak masalah, bu … Ya, ayah benar, aku tidak seharusnya khawatir karena selama ini aku merasa tidak apa-apa.” Jawab Daniel sambil membalas senyuman ibu tirinya. Hanna berbalik dan berjalan ke pintu dan sebuah pikiran tiba-tiba memasuki pikirannya. Hanna kemudian menatap Daniel yang masih berdiri di sana. “Bergembiralah. Akan jauh lebih buruk jika mereka melihat penismu yang kecil. Kurasa kamu harus bangga mempunyai penis besar. Benar kan?” Hanna tersenyum hangat, senyumnya penuh perhatian, tetapi Hanna berpikir bahwa itu adalah hal yang sangat aneh untuk dia ungkapkan pada Daniel. “Terimakasih bu …” Daniel mendongak dan tersenyum kembali. “Ya, tentu.” “Bagus. Kalau begitu, semuanya beres.” Hanna menyelinap keluar pintu dan menutupnya di belakangnya.
—ooo—
Mimpi menyelinap melewati Daniel saat dia tidur. Mimpinya begitu nyata sehingga ia kalang kabut karena tidak bisa membedakan mana mimpi dan nyata. Berkali-kali, Daniel mendengar bahwa dia telah membayar harganya dan sekarang saatnya untuk mengambil apa yang menjadi miliknya. Daniel terbangun dengan tiba-tiba dan duduk di tempat tidur. Cahaya bulan jatuh melalui jendela kamar tidurnya. Sekali lagi, jendela terkutuk itu terbuka dan gordennya berkibar. Apa yang sedang terjadi? Daniel yakin kalau dia sudah menutupnya. Danial menarik napas dalam-dalam. Daniel bangkit dari tempat tidur dan berniat menutup jendela. Namun Daniel terpana ketika dia melihat bayangan menjulang di dekat jendela yang terbuka. Bayangan itu kemudian melangkah menuju tempat tidur. Darah Daniel menjadi dingin. Bulu kuduknya meremang. Wujud bayangan itu ternyata seorang wanita dalam gaun victoria dengan rambut panjang hitam yang menjuntai di bahunya. “Halo?” Suara Daniel serak lemah. “Kamu sudah membayar harganya, sekarang ambil apa yang kamu mau.” Ibu Nuning melangkah ke bawah sinar bulan dan menatap Daniel di tempat tidurnya. Kulit pucatnya hampir bersinar saat dia menjatuhkan gaunnya ke lantai lalu mendekat. Ibu Nuning naik ke atas tempat tidur dan berdiri di atas Daniel dengan telanjang bulat. “Apakah kamu masih ragu? Mereka semua tahu apa yang akan terjadi.” “Siapa?” Daniel menatap payudara Ibu Nuning yang bengkak dan bulat sempurna. Putingnya gelap dan areolanya melebar. Tatapan Daniel menelusuri perut bundarnya ke rambut segitiga di antara kakinya yang ramping. “Kau tahu siapa, Daniel.” Ibu Nuning menarik selimut Daniel perlahan dari tempat tidur. Mata hijau Ibu Nuning menyipit saat melihat kejantanan Daniel nyaris tidak tercakup oleh piyamanya. “Kamu siap untukku. Anak baik.” Ibu Nuning membungkuk dan meraih celana Daniel. Berlian kembar di cincin kawin Ibu Nuning menangkap cahaya bulan. Dengan sapuan tangannya dia menarik celana Daniel dan penisnya pun muncul bebas. “Sungguh gada yang bagus, yang kamu miliki sekarang.” “Saya… perawan… Ibu Nuning.” Daniel mencengkeram seprai di kedua tangan saat Ibu Nuning bergerak di atas tubuhnya. “Tidak lama lagi, sayang.” Ibu Nuning mengangkangi Daniel dan tangan lembut yang dingin itu bergerak ke bawah untuk meraih kemaluan Daniel. “Sebentar lagi, kamu akan menemukan dirimu dikelilingi oleh wanita-wanita yang patuh. Siapa pun yang kamu inginkan. Kapan pun jika kamu menginginkannya.” “Kulit Ibu Nuning sangat dingin.” Daniel menggigil saat Ibu Nuning menjatuhkan pinggulnya dan Daniel meluncur ke dalam dirinya. Bagian dalam Ibu Nuning sama dinginnya dengan bagian luarnya. “Panaskan aku kalau begitu.” Ibu Nuning mengerang dan butuh waktu lama, lambat untuk memantul ke atas dan ke bawah. Payudara dan perutnya bergetar dengan setiap dorongan. Kontol raksasa Daniel timbul tenggelam dalam lubang nikmat Ibu Nuning. “Itu anak yang baik.” Ibu Nuning menangkupkan tangan di payudaranya dan menyandarkan kepalanya ke belakang. Ibu Nuning memutar matanya. Bibirnya yang cantik terbuka. “Oooohhh … Danniiieellll …” “Apakah… aku… uh… uh… eh… bermimpi?” Ini jauh melampaui fantasi apa pun yang bisa dibayangkan Daniel. “Tidaaaak!” Ibu Nuning kini menggerakkan pinggulnya maju mundur dan meletakkan tangannya yang dingin di dada Daniel yang bidang. “Sudah waktunya … Daniel … untuk pelepasan …” Pinggul Ibu Nuning berhenti dan seluruh tubuhnya gemetar. Payudaranya yang menjuntai bergetar tepat di atas wajah Daniel. Ketika Ibu Nuning pulih dari orgasmenya, dia kembali memantul lagi naik turun. Kali ini dengan kedua tangan di perutnya yang hamil. “Bagus, Daniel. Sekarang giliranmu.” Suara dengusan lembut Daniel, Ibu Nuning bergerak lebih cepat, dan tamparan kulit dingin pada kulit hangat memenuhi kamar tidur besar yang gelap. Ibu Nuning ‘mengendarai’ Daniel untuk waktu yang lama. “Ibu Nuning … Aku aakkkaaann …” Daniel memejamkan matanya rapat-rapat. “Ooooohhhhhhhh.” Daniel datang dan spermanya masuk ke dalam wanita aneh ini. Daniel melenguh pelan, masih menyisakan desahan di mulutnya dan sensasi klimaksnya yang sangat dahsyat barusan. Daniel merasakan kenikmatan luar biasa sampai ia tertidur dengan pulas. Ketika Daniel membuka matanya. Cahaya pagi keemasan menerobos jendela yang terbuka. Daniel bangkit dari tempat tidur dengan keadaan telanjang. Udara pagi yang segar mulai memenuhi paru-parunya. Daniel menyukai udara segar yang belum tercemar polusi. Dan tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu kamar. “Waktunya sarapan, Daniel!” Seru Hanna dari balik pintu. Hanna memiliki akal sehat untuk tidak menerobos masuk ke kamar putranya setelah insiden sehari sebelumnya. “Oke, Bu.” Daniel menjawab panggilan ibu tirinya dengan sedikit berteriak. Betapa anehnya malam tadi. Daniel melihat ke bawah pada keajaiban penisnya yang kaku dan bertanya-tanya apakah dia punya waktu untuk melemaskannya di kamar mandi sebelum sarapan.
Bersambung