Pak, Aku Anak Siapa?!
Oleh: Ridha Eka Rahayu
“Pak Zae tidak bisa menjadi wali nikah kalian!”
Zul kaget ketika Mas Harto, pamannya Lies menyampaikan hal itu. “kenapa, mas?”
“Saya tidak ingin membongkar aib keluarga mereka. Namun, jika kalian tetap memaksa Pak Zae menjadi wali nikah, maka sampai kapan pun pernikahan kalian tidak sah dan hubungan suami istri kalian akan menjadi haram,”
“Maksud mas?”
“Mas Zul kan dari pondok, tentu mas tahu kenapa seorang bapak tidak bisa menjadi wali nikah putrinya. Saya beri satu bocoran, semoga mas tidak kaget.”
“Silakan mas, jelaskan saja.”
“Nasab Lies adalah binti ibunya bukan bapaknya. Sudah cukup paham? Assalaamu’alaikum.” Harto segera menutup teleponnya.
“Wa’alaykassalaam.” Keringat bercucuran membasahi wajah Zul, badannya lemas seketika saat mendengar ucapan terakhir Mas Harto.
Zul baru saja mendapat telepon dari pamannya Lies. Ia tak menyangka bahwa Lies adalah wanita yang lahir dari hasil perzinaan kedua orang tuanya. Meskipun Pak Zae bertanggung jawab menikahi ibu kandung Lies, tetapi nasab Lies tetap binti kepada ibunya. Ia mulai meragukan sikap kedua orang tuanya jika sampai mengetahui hal ini.
“Kenapa baru bilang!” Zul tampak geram, ia memukul tembok di depannya.
Tiba-tiba ia teringat kali pertama Zul bertemu dengan Lies di Masjid Madinatul Munawaroh saat selesai mengikuti kajian dari salah satu ulama Mesir. Saat itu rombongan jama’ah yang keluar dari masjid sangat banyak sehingga ia kesulitan mencari sandalnya.
“Nenek pakai sandal siapa? Kok beda?” tanya Lies kepada neneknya yang memakai sepasang sandal dengan motif yang berbeda.
“Wah iya, nenek pake sandal siapa ya?” ujarnya sambil melepas salah satu sandal milik orang lain.
Lies menaruh sandal di tangga bawah masjid. Kemudian ia melongok ke dalam masjid, seketika mata Zul dan Lies beradu. Zul segera menundukkan pandangan, “astghfirullah… cantiknya,”
“Heh, antum gimana sih, main main sama istighfar,” timpal Amri, teman sepengajiannya.
Lies segera mengambil sandal neneknya, kemudian berlalu dari hadapan Zul.
“Antum mau ta’aruf sama Lies?” tawar Amri.
“Siapa itu Lies?”
“Akhawat yang tadi, namanya Lies.”
“Kok antum kenal?”
“Dia kan guru ngaji TPA Masjid ini,”
“Oh,”
“Ane yakin dia wanita yang baik, sayangnya ada satu hal yang mengganjal sehingga keluarga ane menolaknya,”
“Apa itu? Kok antum tahu?”
“Nanti juga antum dikasih tahu sama salah satu anggota keluarganya,”
“Ane menaruh curiga nih wan, kok antum bisa tahu kalau keluarganya bakalan ngasih tahu ganjalannya,”
“Ane pernah ta’aruf sama Neng Lies,”
“Zul!” seseorang memanggil dari luar kamar, membuyarkan lamunan Zul.
“Kamu masih belum siap-siap, Zul?” tanya Bu Mey, ibunya sudah berdiri di depan pintu kamar Zul yang terbuka.
“Emang mau kemana, bun?”
Ibunya menghela nafas, “hari ini kan kita mau ajak Lies ke bridal,”
“Maaf bun,”
“Kamu kenapa Zul?”
“Nanti aku jelasin, bun.”
Lies sudah menunggu Zul dan ibunya di depan Kiss Wedding Organizer. Wajah Lies tampak pucat, Bu Mey menghampirinya. “Lies sehat?”
Lies mengangguk, “Alhamdulillah sehat wal ‘afiat, bun,”
Tiga pasang gaun berwarna putih, silver, dan gold sudah dipesan. Zul membayar DP gaun tersebut sambil sesekali melirik ke arah ibunya, ia tidak menyesal menikah dengan wanita pilihannya, namun ia tidak tega jika Lies harus dihakimi karena masa lalu orang tuanya, apalagi jika ibunya Zul membandingkan Lies dengan Vien, wanita yang dijodohkan dengannya atas kehendak orang tua mereka.
Sesampainya di rumah, Zul masuk kamar. Ia harus memikirkan cara, agar bisa mempertahankan Lies.
Baru saja duduk di ranjang, pintu kamar Zul diketuk. “Zul, makan yuk,” ajak ibunya.
Zul bergegas keluar kamar, segenting dan sesibuk apa pun keadaan, ia selalu menyanggupi permintaan ibunya selama permintaan itu baik. Memang berat jika terus menerus berkhidmat sepenuhnya kepada orang tua di saat keadaan kurang mendukung, namun Zul memberikan seluruh khidmat itu sebagai jalan mencari ridha Allah.
“Zul, akhir akhir ini bunda lihat kamu sama Lies sering melamun. Ada masalah apa? Coba cerita ke bunda sama abah siapa tahu kami bisa bantu.” Tawar Bu Mey saat mereka duduk bersama untuk makan malam.
“Bun, Zul masih mau mempertahankan Lies,”
“He’em, terus kenapa?”
“Tapi Zul khawatir bunda sama abah berubah fikiran setelah tau keadaan tentang Lies,”
“Keadaan apa, Zul?”
Lidah Zul kelu, ia khawatir orang tuanya terkejut setelah mendengar kabar ini, sebagaimana dirinya setelah mendengar kabar dari Mas Harto.
“Lies kan guru ngaji, lulusan Universitas Islam, sopan dan santun, bunda juga merasa calon istrimu ini sholehah. InsyaaAllah,”
“Zul juga merasa begitu, tapi semua bukan salah Lies.”
“Lalu salah siapa?” tanya ibunya penasaran.
“Bukan salah siapa siapa bun,”
“Loh kamu ini kok kayak orang kebingungan,” sela Abah Yas, bapaknya Zul.
“Bah kalo seorang anak lahir di luar pernikahan, lalu bapak biologisnya bertanggung jawab, apakah dia berhak menjadi wali nikah?”
“Jelas ngga bisa. Ada apa sih kamu nanya begitu?” tatapan wajah abah seperti sedang menyimpan curiga.
Zul menyantap sesendok nasi, kemudian memilah kalimat yang pantas untuk diucapkan. “Bah, memangnya anak perempuan hasil hubungan di luar nikah termasuk aib dalam keluarga?”
Abah dan Bundanya Zul saling tatap, tidak tahu arah pembicaraan anaknya.
“Menurut abah sih iya, menurut bunda?”
Bu Mey hanya mengangguk.
Zul izin menyudahi makan malamnya. Ia segera berwudhu, kemudian menuju kamarnya untuk mendirikan shalat istikharah. Ia yakin bahwa Allah lebih mengetahui dan mengerti pilihan-pilihan terbaik bagi para hambaNya. Ia berpasrah diri jika nanti orang tuanya membatalkan pernikahan ini.
Bukankah Lies itu milik Allah? Jika Allah izinkan Zul berjodoh dengan Lies, rintangan sebanyak apa pun pasti akan menyatukan mereka, begitu pun sebaliknya, jika Lies bukan jodoh Zul, semudah apa pun jalannya, Lies tidak akan pernah bersama dengan Zul.
10 Oktober 2010
“Lies?” panggil Pak Zae kepada putri pertamanya yang selesai dirias dengan gaun putih adat sunda itu.
Lies terkejut ketika melihat bapaknya sudah berdiri di belakangnya.
“Maafin bapak, ngga bisa menjadi wali nikah kamu. Ini semua akibat dosa bapak di masa lalu,” Pak Zae menangis mengenang masa lalunya bersama Nien, istrinya.
“Loh kenapa pak? Bukankah seharusnya bapak yang menjadi wali nikah Lies?” tanya Lies keheranan.
“Kamu harus berbesar hati menerima keadaan ini agar pernikahanmu menjadi sah. Bapak dan ibu akan tetap menyaksikan meski rasa malunya begitu mendalam,”
Air mata Lies menetes. Dengan nada tak beraturan, Lies berkata, “Tapi kenapa pak? Kenapa bapak ngga mau mewalikan pernikahan Lies dengan Mas Zul. Sebenarnya aku anak siapa, pak?!”
“Kamu tetap anak bapak, Lies. Tapi bapak ngga bisa ….”
“Aku kecewa sama bapak!” Lies memotong pembicaraan bapaknya, kemudian keluar dari kamar, meninggalkan Pak Zae yang masih terpaku di tempatnya. Ia duduk di teras depan rumah, menantikan kedatangan Zul.
Neneknya segera datang memeluk Lies, seakan-akan mengetahui apa yang dirasakan cucu pertamanya.
Rombongan mempelai pria datang ke rumah mempelai wanita tepat saat Lies duduk di teras depan rumah. Wajah Zul tampak pucat, pikirannya menjadi tidak karuan, bahkan lidahnya seperti berat mengucap kalimat sighat. Ah! Zul mengapa harus kalah dengan keadaan. Ini bukan salah Lies! Zul yakin setiap insan tidak ingin ditakdirkan terlahir sebagai anak hasil zina.
Zul melihat Lies menangis di pelukan neneknya. Ia sudah paham tentang apa yang terjadi. Bukan karena haru atau penyesalan, melainkan asal usul nasabnya yang mana hari ini semua orang akan tahu masa lalu keluarga Lies. Andaikan Zul tahu sejak awal ta’aruf dengan Lies, ia tidak akan mengundang banyak orang ke acara pernikahannya.
Wali hakim sudah menunggu kedatangan Zul, ia dipersilakan duduk di hadapannya. Pak Zae dan Bu Nien sudah duduk di belakang Zul. Lalu Abah Yas berceletuk kepada Pak Zae, “Loh kenapa Pak Zae duduk di belakang Zul? Bukannya bapak yang akan menjadi wali nikah Lies?”
“Abah, duduk ya?” pinta Zul.
“Loh ngga bisa begini! Kamu kan tahu dalam agama Islam, wali nikah seorang perempuan adalah bapak kandungnya! Kenapa malah menyerahkan kepada wali hakim?!” tegas Abah Yas. “Apa jangan-jangan Pak Zae bukan bapaknya Lies?” lanjut abah.
Zul mendekati abahnya, ia berbicara lirih untuk menjaga privasi kaluarga besar Lies, “Abah, nanti Zul jelaskan. Zul minta abah duduk dan ridhai pernikahanku dengan Lies. Jangan membuat Lies bersedih, kasihan dia. Zul yakin Lies tidak bersalah, karena anak manapun tidak pernah ingin terlahir dari hubungan di luar nikah,”
Abah Yas dan Bu Mey terkejut.
“Kenapa kamu ngga bilang dari dulu, Zul! Kalo bunda tau, lebih baik kamu memilih Vien yang berasal dari keluarga santri.” Celetuk Bu Mey.
Zul sudah menduga bahwa orang tuanya akan terkejut dan membandingkan Lies dengan Vien. Namun, apa daya untuk disesali. Tinggal selangkah lagi Zul akan menyatukan hubungan keluarga yang selama ini terjalin dengan baik.
Zul melirik Lies, tangisnya pecah seakan akan sedihnya sudah di ambang batas. Hati Zul trenyuh melihat wanita pujaannya sedemikian sedih menerima kenyataan hidup. Ia jelas tidak bersalah, jika boleh waktu diulang, ia tidak akan pernah ingin terlahir dari hasil perzinaan.
Zul bersujud di pangkuan abahnya, “Zul tau abah dan bunda terkejut setelah mengenai asal usul keturunan calon istriku. Namun tolong jangan menghakimi Lies sebagai anak haram dan rusak keturunannya. Lies pasti tidak menginginkan terlahir ke dunia dari hasil zina. Ia berhak mendapatkan kehidupan layaknya manusia yang terlahir dalam pernikahan sah. Zul yakin Lies adalah wanita yang baik dan menjaga diri meski pun terlahir dengan cara seperti itu. Zul mencintai Allah, maka dari itu Zul memilih Lies agar bertambah rasa cinta Zul kepada Allah. Tolong ridhai pernikahan kami, bah,”
Abah menepuk pundak Zul, “Zul? Benar apa yang kamu katakan. Lies memang wanita yang baik, sampai kapan pun dia ngga akan pernah mewarisi dosa kedua orang tuanya. Hanya saja, Pak Zae ngga bisa mewalikan Lies. Silakan lanjutkan, abah dan bunda sudah meridhai.”
Zul duduk di hadapan wali hakim, ia berdzikir dalam hati dan berdoa kepada Allah semoga terhindar dari keraguan.
“Sudah siap, saudara Zul?” tanya wali hakim itu.
“Bismillah, sudah pak.”
“Jangan tegang, santai aja. Tarik nafas, tahan. Haha.” ujar wali hakim sambil tertawa kecil, mencoba menghibur Zul yang tampak muram.
Mereka pun saling berjabat tangan, rasanya sangat berbeda berjabat tangan antara bapak nasab dengan wali hakim. Namun, Zul tetap melakukan yang terbaik untuk Lies, karena Lies sudah menjadi wanita pilihannya. Zul tidak ingin melihat Lies menangis dan bersedih lagi.
Setelah wali hakim mengucap kalimat pembuka dan shalawat atas Nabiyullah Muhammad Shalallahu ‘alayhi wa sallaam. Sighat ijab dan qabul terucap dalam satu hembusan nafas.
“Ankahtuka wa zawjatuka Lies Laizar binti Nien Syaifannur muwaliyatii bi mahrim alfin ruubiyah haalaan,”
“Qobiltu nikaahahaawa tazwijahaa linafsii bil mahril madzkur haalaan,”
“Shah?” ucap wali hakim.
“Shah,” dua saksi mengucapkan kalimat sah.
Zul bangkit dari tempat duduknya, kemudian menghampiri Lies yang masih menangis. “Lies, masih mau menangis?”
Lies mengusap kedua matanya yang basah oleh tangisan, riasan di wajahnya sudah luntur namun aura kecantikannya masih memancar.
“Sayang, berjanjilah untuk berhenti menangis, kini kamu sudah menjadi tanggung jawabku. Mari kita ubah padang pasir yang tandus menjadi taman syurga yang indah,”
Lies menganggukkan kepala, kemudian mencium telapak tangan suaminya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya senyum bahagia yang terpancar di tengah tangisnya.
“Bolehkah aku memegang ubun-ubunmu untuk membacakan doa barokah?” pinta Zul.
Lies menangguk dan menghadapkan wajahnya kepada Zul.
“Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltahaa ‘alaih,” ♥