Entah siapa pemilik cerita ini, mohon izin kepada bolo-bolo kurowo jikalau saya ingin me-remake sekaligus melanjutkan cerita yang dulu sempat saya baca, tapi hilang entah ke mana. Berhubung saya baru saja menyelam ke lautan terdalam web-web yang telah lama tenggelam, akhirnya saya menemukan cerita pertama yang mengenalkan saya ke dunia incest ini.
Alur masih sama, seputar Mas Ponidi dan Simbok. Tapi, saya tambahan tokoh pendukung sebagai bumbu penyedap ranjang agar meningkatkan semangat Mas Ponidi untuk menjadi lelaki sejati. Yang tak hanya mengutamakan seks, tapi memasukkan unsur tanggung jawab bagaimana cara kerja seorang lelaki sejati yang anti sambat, anti mengeluh.
NB:
Karena alur yang akan saya angkat melibatkan banyak tokoh, jadi judulnya sedikit saya ganti.
PROLOG
“Sudahlah, Mbok.” Ponidi, 18 tahun, berupaya menenangkan Ibunya, Halimah, 34 tahun.
Sebenarnya, Ponidi marah sekaligus membenci Ayahnya, Guntur, 38 tahun, yang menjalin hubungan gelap bersama wanita lain. Padahal, selama ini Halimah sangat menyayangi dan mencintainya. Kendati Guntur bekerja tidak sepenuh hati, namun Halimah tetap bekerja keras agar keluarga kecilnya rukun.
Sayang seribu sayang, Guntur justru semakin sinting. Tak mau lagi peduli urusan rumah tangga, malah sebaliknya ia terjebak ke dalam zona nyaman minum-minuman keras, dan kerap pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.
Mau disimpan serapat apa pun, yang namanya rahasia gelap menyangkut masa depan, lamat-lamat terbongkar juga. Guntur sudah menikah dengan seorang wanita cantik dari desa sebelah, pun sudah dikarunia seorang anak berumur dua tahun yang lahir dari benihnya.
Saat itu, Halimah marah bak orang kesetanan. Ia mengamuk membanting segala benda dalam jangkuan. Ia tak habis pikir, mengapa suaminya tega menikah lagi. Apa yang kurang?
Tubuh Halimah masihlah montok dan berisi walau bekerja keras di ladang. Sondari, 20 tahun, anak pertamanya yang perempuan itu sudah menikah dan hidup serba cukup bersama suaminya di kota. Sementara Ponidi, anak kedua mereka, sebentar lagi lulus dari SMA, dan rajin belajar serta dikenal pintar di sekolah. Tak jarang sejak duduk di kelas 10, Ponidi menorehkan segudang prestasi. Baik individu mau pun beregu.
Lagi dan lagi Halimah menetskan air mata atas pengkhianatan Guntur.
Untuk sejenak, Halimah menuruti ucapan untuk merebahkan tubuhnya ke dada sang putra.
Secepat kilat, Ponidi memeluk Halimah dengan penuh kasih sayang. Lembut. Malam itu, Ponidi tidur bersama Halimah agar Ibunya tenang dan batinnya tenteram.
“Simbok, sebenarnya sampeyan ini maunya gimana? Kalau bapak sudah begitu, ya biarkan saja. Pokoknya, mulai sekarang dia tidak menggangu kita lagi. Aku akan membantu Simbok bekerja sepulang sekolah.” Penuh tekad, Ponidi meyakinkan dan menguatkan Halimah, sembari menahan rasa geram di dalam dada akibat kelakuan Ayahnya.
“Ya. Simbok hanya butuh teman, yang kamu sendiri pasti tidak mengerti,” ungkap Halimah, dengan mimik tak terbaca.
“Aku mengerti, Mbok. Aku mengerti.” Ponidi terus menekankan sugesti bahwa ia bisa melakukan apa pun yang Ibunya itu inginkan. Butuhkan. Ponidi ingin berguna. Tak hanya di sekolah, di rumah pun ia ingin menjadi sosok yang bisa dipercaya oleh Ibunya.
“Aku butuh teman bukan hanya bekerja, tapi hal-hal lain yang kamu tidak mengerti,” ulang Halimah, dengan nada sedikit meninggi.
Ponidi membuang nafas ke samping, lalu menatap Halimah lekat. “Aku mengerti, Mbok. Aku harap Simbok nggak perlu menikah lagi. Aku akan menemani Simbok,” tegasnya.
“Nggak mungkin, Nak. Nggak mungkin. Kamu anakku.”
“Tapi aku juga laki-laki, Mbok.” Sekali lagi, Ponidi menyanggah. Tetap teguh pendirian demi rasa sayangnya kepada sang ibu yang tak ingin membiarkan wanita yang sudah melahirkannya 18 tahun yang lalu itu tersakiti hatinya oleh lelaki lain. Tidak. Ponidi tak akan membiarkan seseorang menyentuh barang sehelai benang rambut Halimah, kecuali … Ponidi sendiri.
Alis Halimah bertaut. “Lalu? Mana mungkin aku bisa tidur denganmu?”
“Ini buktinya, aku tidur dengan Simbok, kan?”
“Ya. Tapi bukan tidur beginian. Udahlah. Kamu tidak mengerti, Nak!” Halimah makin keras suaranya.
Ponidi pun kehabisan akal. Ia sudah lama memendam rasa pada Halimah, ibu kandungnya sendiri. Ada kiranya 4 tahun lamanya menahan nafsu kepada Halimah. Ia tak paham hal tabu. Yang ia pahami adalah rasa nafsu bercampur cinta yang meronta-ronta ingin direalisasikan.
Dulu, manakala Ponidi masih duduk di bangku SMP, yang tak sengaja mengintip Halimah tengah mandi dan melihat semuanya. Dari wajah cantiknya yang tak pernah tergerus oleh waktu, susunya yang tidak besar juga tidak kecil, perutnya yang rata, dan yang paling membuat Ponidi tak berkedip adalah bongkahan pantat Halimah yang bulat menonggeng.
Saat itu, badan Ponidi panas-dingin menahan gejolak aneh di tubuhnya, dan tanpa basa-basi, ia menuntaskannya dengan onani ria di kamar. Memanggil-manggil nama Halimah dalam erangan lirih.
Pernah lagi saat Ponidi membantu Halimah mencuci pakaian di parit irigasi sawah. Di sana, Ponidi kembali disuguhkan pemandangan paha Halimah yang mulus nan berisi. Kontan saja, kontol Ponidi berdiri tanpa bisa dicegah.
Lambat laun, seiring bertambahnya umur, Ponidi jadi paham jikalau Halimah mau menerima Guntur walau sudah menikahi wanita lain. Itu karena kebutuhan ranjang semata.
Inilah saat yang tepat untuk Ponidi masuk menjadi warna baru di kehidupan Halimah. Sejurus, Ponidi tanpa permisi memeluk tubuh montok Halimah. Diciumnya pipi halus Ibunya sembari mengelus rambut panjang nan bergelombang.
“Dengarkan aku, Mbok. Mulai sekarang, jangan dipikirin lagi soal bapak. Aku bisa memberikan kebutuhan Simbok sebagaimana Bapak memberi kebutuhan Simbok selama ini,” bisik Ponidi di telinga Halimah.
Jelas saja Halimah merasa dilema. Ia menatap wajah Ponidi dengan sorot mata bingung.
Tak ingin membuang peluang, Ponidi mendaratkan kecupan di bibir Halimah. Sebelah tangannya meremas buah dada Ibunya yang montok dan kenyal, setelah sebelumnya melepaskan kain sarung yang melilit dada sang ibu.
Tentunya, Ponidi tahu jikalau Halimah memang jarang tidur memakai pakaian lain selain lilian kain sarung sebatas dada saja, dan dibalik kain sarung itu, ia tidak memakai apa-apa lagi.
“Aku ini ibumu. Kamu tidak boleh melakukan ini padaku!” tolak Halimah, seraya menyingkirkan tangan Ponidi yang bergerilya di dadanya.
Ponidi mengabaikan larangan Halimah. Kalau memang Halimah membutuhkan seks, Ponidi juga mempu memberinya, dan sudah lama diinginkannya. Ponidi melawan tolakan Ibunya. Ia malah mengisap puting payudara Halimah.
“Pon … jangan … aku ibumu, Nak! Sssshhh! Sadar, Naik!” Halimah memberontak.
Sementara Ponidi tidak menghiraukan. Ia dengan gencar menghisap puting susu Halimah yang 18 tahun lalu ia sedot dan nikmati air di dalamnya.
Kemudian, sebelah tangan Ponidi yang bebas tak dibiarkan pasif. Ia ulurkan tuk meremasi payudara yang lainnya, berikut memilin-milin putingnya dengan gemas.
Perlahan, kain sarung yang dikenakan Halimah, Ponidi turunkan. Demikian pula dirinya yang turut melepas kain sarung, hingga ia sudah telanjang bulat. Dan seolah sudah berpengalaman, dengan kakinya, Ponidi menurunkan kain sarung Halimah.
“Jangan Nak. Simbok nggak rela,” cegah Halimah, berusaha menahan keinginan sang putra.
“Simbok diam saja. Jangan melawan!” sentak Ponidi, sedikit berang.
Mendengar bentakan Ponidi, nyali Halimah ciut juga. Sang ibu, kini juga sudah telanjang bulat.
Mereka sudah sama-sama-sama telanjang bulat.
Cepat Ponidi menindih Halimah dari atas. Dengan kedua kaki, dikangkangkannya kedua kaki Halimah.
“Simbok mau diapain, Tole?” Halimah bertanya lirih dan sedih.
“Sssttt! Nanti Simbok juga tahu sendiri,” kata Ponidi.
Mula-mula, Ponidi mencumbui Halimah sembari mremas kedua payudara Ibunya bergantian. Setelah puas, diusap dan dirabanya memek Ibunya sampai basah. Kemudian, Ponidi mencucuk lubang memek Halimah. Menusuknya dengan kontolnya yang memiliki helm bak topi baja.
Badan Halimah sedikit tegang. “Nak, kok dimasukkin, tho?”
“Biar saja, Mbok. Nikmati saja,” ucap Ponidi, “lagipula, aku sudah lama kok menginginkan ini,” imbuhnya, sembari mulai menghujamkan kontolnya masuk ke dalam liang peranakan Halimah.
“Hm. Sentolopmu besar juga, Tole.” Halimah menggumam. Ia mulai memberikan respon. Wajar saja, selama ini Halimah sangat membutuhkan persetubuhan. Itu sebabnya, ia rela bekerja sendirian dan memberikan segala kebutuhan Guntur untuk membeli alkohol, asal Halimah tidak ditinggalkan. Pun, setidaknya dua kali seminggu Halimah mendapat jatah.
Kali ini, Halimah merasakan gesekan dan kerasnya batang kontol sang putra, malah sensasinya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kontol Guntur.
Halimah tak banyak berpikir. Ia mulai memberi respons positif terhadap tusukan Ponidi.
Mereka berpelukan. Saling mengoyang. Saling memuaskan. Mencoba menggapai kenikmatan yang semakin lama dirasa memabukkan.
Sampai akhirnya, mereka sama-sama mencapai puncak klimaks. Ponidi yang menekan tubuh Halimah dengan kuat dan menembakkan hujan spermanya dengan deras, sebaliknya Halimah memeluk Ponidi dengan erat seiring nafasnya tersenggal-senggal tak beraturan.
Mereka pun terkulai lemas.
Bersama, keduanya bangkit dan membersihkan diri ke sumur di belakang rumah.
Dari rumah tetangga, masih terdengar sayup-sayup radio yang terdengar suara Ki Dalang tenfah memainkan wayang dengan iringan musik gamelan.
Sejurus, mereka memasuki kamar tidur dengan senyum cerah terukir di masing-masing bibir dua anak manusia yang baru saja memasuki lingkaran hubungan sedarah mendebarkan.
“Bagaimana kalau Simbok hamil?” tanya Halimah, setelah beberapa saat lamanya hening.
“Gampang, Mbok. Simbok memang harus hamil. Simbok harus mengandung anakku. Harus!” jawab Ponidi, dengan wajah serius.
“Hust! Kamu ada-ada saja. Nanti justru bapakmu yang uring-uringan,” tandas Halimah.
“Tenang saja. Besok aku akan menemui bapak. Aku akan katakan kalau Simbok sedang hamil. Terserah dia mau bertangung jawab atau tidak, yang penting aku akan tetap di samping Simbok sampai maut memisahkan.” Ponidi tersenyum dengan ucapannya sendiri.
Ungkapan isi hati terdalam Ponidi, turut mengundang dua sudut bibir Halimah yang melengkung ke atas. Senyum semanis madu terpancar indah. Begitu selaras dengan wajahnya yang ayu dengan lesung pipi di sebelah kanan. Kemudian, Halimah memeluk Ponidi. Seolah Ponidi adalah suaminya. Belahan jiwanya.
“Pokoknya, mulai malam ini Simbok adalah istriku,” bisik Ponidi.
“Kamu kok nakal gini, sih, Nak? Apa di sekolah kamu belajar bagaimana cara merayu seorang wanita?” Halimah balas berbisik.
Ponidi tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Remaja itu merengkuh tubuh Ibunya untuk dibawanya ke dalam pelukannya. Di bawah sinar kuning rembulan, keduanya memejamkan mata, mencoba tidur tanpa sehelai benang menutupi, alias telanjang bulat.
Kedua tubuh mereka saling miring berhadapan. Lalu, Ponidi kembali mengecup bibir Halimah dan menjulurkan lidah, mencoba mengajak lidah Halimah ikut menari bersama.
Sedetik, keduanya kembali merasakan desir-desir membakar darah yang mulai mendidih. Mereka saling raba. Saling merayu.
Halimah hanyut. Ia luluh di dalam rengkuhan sang putra yang menawarkan rasa nyaman dan aman. Dengan gerakan lembut, Halimah menaiki tubuh Ponidi. Digenggamnya kontol Ponidi yang telah tegak menjulang, keras, dan tebal.
Slebbbb!
Halimah menuntun kontol Ponidi memasuki lubangnya, lalu mulai menggoyang.
Keduanya saling memberikan kenikmatan. Halimah mulai ekspresif menunjukkan kebolehannya sebagai sosok yang telah berpengalaman di atas ranjang. Di sisi lain, Ponidi menunjukkan tekad kuat serta insting kelelakiannya jika ia sanggup menyenangkan dan memberi ibunya kepuasan
Sampai tak lama, mereka kembali menggapai klimaks.
Masih berpelukan dan tanpa melepaskan kontol yang masih menancap di dalam memek, keduanya tertidur sampai esok pagi matahari meninggi.
Pagi itu, Ponidi tidak sekolah. Ia bangun kesiangan. Setelah menuntaskan satu ronde yang cukup panas di sumur belakang rumah bersama Halimah, Ponidi mandi. Ia keluar rumah sembari mengambil sepeda kebo. Ia mengayuh mengitari desa. Lalu sampailah Ponidi memasuki gerbang desa sebelah, tempat tinggal istri kedua Guntur.
Tiba di sebuah warung remang-remang yang dipenuhi preman-preman kelas teri, Ponidi menemui Guntur, Ayahnya. Dengan tatapan super tajam penuh perhitungan, Ponidi duduk tepat di depan Bapaknya. Sosok tinggi besar berperut buncit, yang di kedua lengan tangannya berhiaskan full tato.
Guntur menghisap rokoknya dalam. Ia tak membalas tatapan sang putra. Hanya sorot sayu dan lempeng ia berikan. Itu karena Guntur sadar jikalau anaknya itu sedang ingin mengutarakan maksud dan tujuan datang menemuinya dengan parang yang terselip di pinggang.
Guntur tidak bodoh. Salah ngomong, kepalanya bisa melayang. Rokok yang sisa setengah Guntur matikan pada asbak, sebelum menyapa sang putra ramah, “Ada apa, Tole?”
“Aku mau bicara.”
“Monggo. Bicara saja.”
“Kita bicara di luar. Sampeyan keberatan?”
“Tentu saja tidak. Mari.”
Para lelaki yang ada di warung itu terdiam sejenak. Mereka ingin mencegah, tapi Guntur memberi gestur kepada mereka untuk tetap tenang dan duduk di tempat.
Tak jauh dari warung kopi, Ponidi menyampaikan kabar kepada Guntur, jikalau Halimah sedang hamil.
“Kalau hamil ya sudah. Aku harus gimana? Toh, dia adikmu juga,” ucap Guntur, dengan nada santai.
“Nggak gimana-gimana. Aku hanya minta, mulai hari ini sampeyan jangan mengunjungi kami lagi. Kalau sampeyan nekat datang ke rumah, akan aku belah kepala sampeyan!” ancaman serius Ponidi lontarkan, lalu kembali ia berkata, “satu lagi. Aku harap, pertemuan kita berikutnya hanya ada di pemakaman!” sembari melengos meninggalkan Guntur menuju sepeda, lalu mengayuhnya pergi.
Tercenung. Guntur membeku di tempat untuk beberapa saat mendengar ancaman anaknya. Ia ingin marah. Tapi di sisi lain, ia maklum karena putranya itu pasti akan membela ibunya, apa pun yang terjadi. Sedikit sedih, Guntur mengalah mengikuti kehendak Ponidi. Bisa jadi, ini adalah pertemuan terakhir mereka. Karena ….
Siang itu, Ponidi dan Halimah pergi ke sawah. Ponidi seperti biasa ikut membersihkan sawah dari rerumputan liar.
Padi yang menghijau sebentar lagi akan bunting, kemudian mengeluarkan bulir-bulir padi, lalu menguining dan panen, adalah milik mereka berdua.
Saat matahari berada di atas ubun-ubun, mereka naik ke dangau-dangau yang agak tinggi dengan dinding setinggi 50 cm.
Berdua, mereka makan di atas dangau. Kali ini, Halimah tidak lagi memperlakukan Ponidi seperti anak. Tetapi, melayani Ponidi layaknya seorang suami. Membuat nasi ke dalam piring dan lauknya serta menyediakan segalanya.
Mereka makan lahap sekali.
Usai makan, Halimah mencuci piring ke parit irigasi yang berair bersih. Sementara Ponidi sedang duduk santai merokok di lantai dangau yang terbuat dari kayu sengon dilapisi sehelai tikar rajut.
Tak lama, Halimah menaiki tangga dangau. Dilihatnya Ponidi hanya berkain sarung saja. Ia pun tersenyum, lalu menyapa, “Kamu belum tidur?”
“Aku tidak tidur. Aku justru menunggumu,” jawab Ponidi. Ia tidak memanggil ibunya ‘simbok’, tapi sudah menggunakan kata ‘mu’.
Pipi Halimah bersemu merah, seiring senyumannya penuh kebahagiaan. “Capek, ya?” rayunya.
“Nggak juga. Tapi aku mau kita melakukannya di sini, bukan di rumah. Aku rasa, hari panas dan angin kencang ini, membuat kita lebih nikmat lagi,” ungkap Ponidi.
Sejurus, Ponidi membuang puntung rokok ke sembarang arah. Ia menarik tubuh Halimah yang sudah dinyatakannya sebagai istri itu rebah dekat di sisinya. Direngkuhnya tengkuk Halimah untuk menyepong kontolnya yang masih tertidur.
Mulanya Halimah enggan karena merasa risih. Tapi, saat ia mulai mendekatkan wajah dan menghirup aroma kejantanan yang menguar dari kontol kedua yang pernah dilihatnya, ia berubah pikiran.
Kontol Ponidi cepat membesar saat Halimah mulai memasukkannya sedikit demi sedikit ke dalam mulut.
Setelah dirasa keras dan siap tempur, Ponidi membalik tubuh Halimah, lalu menyingkap sarung yang dikenakan sang ibu. Dengan posisi 69, Ponidi muali menjilati Laing senggama Halimah, sementara kontolnya masih menancap di dalam rongga mulut sang ibu.
Halimah kaget. Ia baru pertama kali merasakan posisi ini. Ia pun mengikuti saja kehendak Ponidi. Setelah puas, Ponidi membalik tubuhnya, dan mulai menindih Halimah secara konvensional. Perlahan, Ponidi memasukkan kontolnya ke dalam liang peranakan Halimah.
Mereka berangkulan.
Saat gencar-gencarnya, mereka tidak sadar kalau bangunan dangau bergetar. Mereka berangkulan dengan kuat dan melepaskan nikmat mereka. Berdua, ibu dan anak itu tertidur pulas di atas dangau.
Mereka dibangunkan oleh suara kambing yang menggembik ingin dipindahkan tempatnya karena sudah diterpa panas matahari.
Cepat Halimah bangun. Ia memindahkan dua ekor kambing ke rumput ang lebih hijau dan subur.
Hampir setiap hari Ponidi dan Halimah melakukan persetubuhan. Tidak hanya di rumah, mereka melakukannya di dangau sawah bahkan di sumur di belakang rumah.
Bulan berikutnya, Halimah tidak mendapat haidnya. Ia pun memeriksakan dirinya ke bidan desa. Setelah di tes, Halimah positif hamil.
Dengan senyum, berita membahagiakan itu Halimah sampaikan Ponidi.
Ponidi menyambutnya dengan tersenyum dan memeluk Halimah. “Dia anakku, kan?”
“Ya. Anak siapa lagi? Kambing?” gurau Halimah.
Ponidi hanya tertawa. Kembali ia mengeratkan pelukan.
“Tapi ini rahasia. Biar bapakmu tetap memberi nafkah untuk kita,” pesan Halimah.
Setelahnya, mereka berangkulan dan berciuman. Kehamilan tidak membuat mereka surut dalam bersenggama. Malah sebaliknya, mereka semakin gencar dan bebas.
Kehamilan Halimah sudah mulai terlihat empat bulan. Namun, namanya juga orang udik yang apa-apa harus bisa sendiri, Halimah sama sekali tak menghentikan aktifitas sehari-hari. Hanya saja, Halimah tak bekerja sekeras biasanya.
Di sisi lain, Ponidi yang tinggal menghitung bulan untuk lulus, sepulang sekolah cepat-cepat pulang ke rumah. Ia meningalkan kegiatan bermain bola. Teman-temannya pun mengerti keadaan Ponidi yang harus membantu Ibunya yang sedang hamil.
Hari demi hari berlalu.
Ponidi menambah beberapa ekor kambing untuk diangunnya. Ia sudah memiliki 10 ekor kambing yang setiap sore ia harus mencari rumput untuk makanan kambing-kambing agar cepat besar.
Selain kambing, Ponidi juga memelihara ayam dan bebek. Di sepetak tanah di belakang rumah, Ponidi memelihara ikan lele.
Kerja keras Ponidi ia tabung demi masa depannya, ibu, dan calon anaknya kelak.
Seperti yang Ponidi harapkan, Guntur tak berani datang ke rumah mereka. Ia hanya bertanya-tanya melalui tetangga. Setiap kali Guntur datang ke warung tak jauh dari rumah, Ponidi langsung mengasah parang tajam-tajam dan diperlihatkan kepada semua warga desa.
“Berani saja dia dekat ke rumah, kutebas batang lehernya,” kata Ponidi, dengan wajah … mengerikan.
Warga desa pun menyampaikan perihal itu, membuat Guntur semkain tak berani mendekat.
Lima bulan telah berlalu.
Di ranjang bidan desa, seorang bayi lahir dari rahim Halimah. Bayi laki-laki yang gagah dengan suaranya yang keras dan deras melengking.
Halimah dan Ponidi saling menatap penuh arti. Saat kembali ke rumah dari persalinan praktek bidan desa, Ponidi menggendong anak lelakinya yang ia beri nama Magma dengan kasih sayang. Halimah merasa bahagia karena Ponidi demikian perhatian pada anaknya.
Sebelum pulang, kepada ibu bidan, Halimah meminta untuk dipasangkan spiral agar tak hamil lagi. Tentu sang bidan desa senang melayaninya, karena ia juga merangkap menjadi petugas KB.
Hari demi hari Ponidi habiskan untuk bekerja keras di sawah dan ladang tanpa kenal lelah. Ia panen sendiri dan menjual sendiri padi mereka. Uangnya dimasukkan ke dalam tabungan unit desa.
Setiap pagi, Ponidi membawa telur bebek ke pasar juga telur ayam dan sayuran. Pulang sekolah, ia mengsmbil uangnya pada orang yang dititipinya, termasuk yang dititipinya itu adalah Rodiah, Buliknya sendiri. Adik ibunya yang usianya lebih muda tiga tahun.
Nampaknya Ponidi sangat bangga pada kerjanya untuk menghidupi istri dan anaknya, walau di luar ia tetap memanggilnya ‘simbok’.
2 bulan berlalu.
Untuk pertama kalinya, Ponidi menyetubuhi istrinya setelah masa nifas selesai. Meraka sudah bebas melakukannya, karena sudah aman dengan alat KB.
Sementara itu, terdengar kabar kalau Guntur meninggal dunia dengan minuman keras oplosan mereka sendiri saat pesta miras menyambut pergantian tahun. Ponidi ikut mengantar jenazah sang bapak ke pemakaman. Ia ikut memikul keranda.
Dengan keuletan, kesabaran, dan ketekunan, Ponidi resmi memiliki enam ekor sapi, belasan ekor kambing, ratusan ekor ayam dan bebek, serta sudah menambah luas sawah dan ladangnya. Kini, Ponidi juga sudah kredit sepeda motor agar memudahkannya beraktifitas di luar ruangan.
Sementara itu, Halimah tetap merawat tubuhnya dengan jamu-jamu buatan sendiri. Hidup di bawah kasih sayang Ponidi, Halimah merasa bahagia, tidak tertekan batin seperti saat ia bersama mantan mendiang suaminya yang seorang pemabuk dan suka loyo. Tubuhnya tetap langsung dan padat, walau sudah berusia 35 tahun.
Rasa cinta Ponidi dan Halimah semakin tebal dan semakin intim setiap harinya. Apalagi mereka bergantian mengasuh Magma siang dan malam.
Namun, kebahagiaan ibu dan anak itu terusik manakala seseorang yang tak diharapkan datang. Adalah Yuni, istri kedua Guntur. Di tengah derasnya hujan pada malam yang sunyi, wanita berusia 27 tahun itu menggendong anaknya yang berusia 3 tahun sambil mengetuk pintu rumah Ponidi.
Saat Ponidi tahu siapa yang bertamu, emosinya terpecut. Hampir saja parang melayang ke leher Yuni, andai wanita itu tak cepat-cepat menyampaikan pesan wasiat Guntur yang dituliskan pada secarik kertas, yang berbunyi,
“Kalau suatu hari nanti aku telah tiada, aku ingin penggantiku adalah darah dagingku sendiri.”
SATU
“Pulanglah.”
Sebisa mungkin Ponidi berkata sehalus mungkin agar emosinya tidak terbakar saat ini juga. Meski dibalik suaranya, ada getar ingin meneriaki sumpah serapah tepat di depan muka wanita berwajah kalem yang berani menunjukkan wajahnya di hadapannya setelah beberapa tahun berhasil merusak keluarga kecil Ponidi.
Setelah mendengar surat wasiat di luar nalar yang dibacakan oleh wanita yang usianya beda 8 tahun dengannya, Ponidi menutup pintu rumah dengan keras. Tapi karena pintu rumah tak berlidah, daunnya mental lagi ke luar. Ponidi menangkapnya, membantingnya, dan pintu itu kembali menolak meloncat. Kesal oleh pintu, Ponidi membiarkannya terbuka.
Yuni yang berdiri menyamping dengan wajah basah air hujan hanya bisa melongo sambil menahan senyum. Berbanding terbalik dengan bocah perempuan dalam gendongan baby carrier yang justru tertawa renyah melihat tingkah konyol Ponidi.
“Apa ketawa-ketawa? Minta dibanting juga?” cebik Ponidi.
Halimah yang mendengar kegaduhan, tunggang langgang keluar dari kamar. Daster tipis tanpa bra yang ia kenakan nampak mencetak jelas dua buah payudaranya yang kian hari membesar. Tak ayal, puting coklat yang turut menonjol menolak menjadi penonton. Ia menyumbang pemandangan yang menguarkan aura seksi nan montok sosok Halimah. Wajar, Ponidi tak pernah bosan mempermainkan benda kenyal di dada Ibunya saat mereka tengah memadu kasih.
Sejurus, saat tahu siapa tamu yang datang, Halimah yang semula sedang menyusui si bayi besar -Ponidi- langsung terkesiap. Mengerjakan mata beberapa kali untuk memastikan sosok cantik berjilbab dibalut jas hujan itu adalah sosok nyata, bukan ilusi.
“Kamu …?!”
Dada Halimah bergemuruh.
Siapa yang tidak mengenal Yuni, anak raja preman dari desa sebelah? Bukan karena ayahnya namanya dikenal banyak orang, melainkan parasnya yang cantik, anggun, dan elegan meski sudah satu kali turun mesin. Badannya tetap langsing, pun wajahnya masih awet muda. Tak ayal, Yuni menduduki peringkat pertama wanita tercantik di desanya, bahkan sekecamatan. Mungkin. Anehnya, wanita secantik ini rela dijadikan istri kedua mendiang Guntur. Entah apa yang ada di dalam otak Yuni dan orang tuanya. Karenanya, Halimah menuntun sebuah penjelasan untuk meluruskan segala sesuatunya. Ini waktunya.
“Terima kasih, Mbak Halimah dan Mas Ponidi, sudah mengizinkan saya berteduh di sini.” Yuni buka suara, setelah sebelumnya dipersilahkan masuk oleh Ponidi yang masih menggerutu menenteng keputusan egois Halimah. Sialnya, Ponidi justru duduk di antara Yuni dan Halimah. Berlagak seperti penengah yang mempertemukan dua singa betina dalam satu kandang.
“Nggak usah basa-basa, Yun. Sekarang kita langsung ke intinya. Apa maksud kedatanganmu ke rumah kami?” tanya Halimah.
“Jadi begini, Mbak Halimah. Sebelumnya, saya ingin mengucapkan permintaan maaf sebesar-besarnya dari lubuk hati saya yang terdalam.”
“Maaf untuk apa?”
“Dan siapa?”
Halimah dan Ponidi saling menyambung pertanyaan.
“Untuk semuanya. Saya ke mari tidak untuk membela diri. Saya mengaku salah karena telah merebut Mas Guntur dari kalian. Tapi, ada hal penting yang ingin saya sampaikan perihal hubungan kami.” Yuni menjeda, “Mas Guntur tidak pernah menikahiku.”
DUAR!
Bersamaan dengan sambaran petir di luar, ucapan Yuni sama-sama seperti petir. Menyambar Ponidi dan Halimah, lalu beku. Drama apa lagi ini?
“Mas Guntur memilih berpura-pura menikahi saya yang waktu itu dalam keadaan hamil 3 bulan, dan sengaja menyebarkan berita ini melalui teman-temannya. Beliau bertanggung jawab secara penuh menghidupi saya dan anak saya, Rara, meski ini bukan kesalahan yang beliau buat. Empat tahun. Dari awal sampai Mas Guntur wafat, selama itulah Mas Guntur tetap memegang teguh janjinya sampai ke liang lihat.”
“Janji?”
“Mas Guntur tidak akan pernah menyentuh saya. Dalam artian, kami tidak pernah melakukan hubungan badan. Katanya, beliau hanya milik Mbak Halimah selaku istri sah.”
Halimah tercekat. Ponidi melongo. Meski mereka orang desa, mereka tidak bodoh-bodoh amat. Mereka berdua tahu jika apa yang disampaikan Yuni adalah kebenaran dibalik hancurnya rumah tangga Halimah. Selain itu, mata Yuni tak menunjukkan kebohongan. Ucapannya terdengar penuh keyakinan. Walau ini terhitung aib, ia membuang harga dirinya sebagai wanita di hadapan Halimah dan Ponidi.
“Alasan mengapa saya baru bisa menemui Mbak Halimah dan Mas Ponidi karena saya baru saja melewati masa-masa sulit di keluarga saya sendiri. Oleh karena itu, sesuai permintaan terakhir Mas Guntur, saya yang menyampaikan surat wasiat ini yang ditujukan untuk Mas Ponidi,” lanjut Yuni, memberi penjelasan panjang kali lebar.
“Aku tidak setuju!” seru Halimah, sambil memukul lantai kayu. Sakit, Halimah meringis. Ia remas kepalan tangannya. Sekalian menyalurkan keresahan dan gelisah hati. Takut jika Ponidi-nya diambil orang. Terlebih orang yang sama. Sungguh dunia ini terlalu kejam untuk ditinggali wanita sebaik Halimah.
Yuni tertunduk. Air matanya meleleh keluar membasahi pipi putihnya. Lalu, ia berkata pelan, “jika Mbak Halimah memang tidak setuju, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Saya pun tak memaksa. Kalau begitu, saya pamit-”
“Tunggu. Tunggu sebentar.” Ponidi mencegah.
Otak Ponidi sedikit konslet untuk bisa memahami ke mana arah pembicaraan ini. Yang ia tahu, Yuni datang untuk dinikahi Ponidi karena sejatinya Yuni tidak punya hubungan apa-apa bersama Guntur. Lalu, seandainya Ponidi mengiyakan, bagaimana dengan Halimah? Ponidi tidak bisa betapa sakitnya hati Halimah andai benar Ponidi menjalin hubungan bersama Yuni. Dimulai dari suami, sekarang anaknya yang direbut oleh orang yang sama. Hati wanita mana yang tidak hancur?
“Jangan bilang kamu setuju, Nak?” lirih Halimah. Matanya berkaca-kaca menatap Ponidi.
“Bukan begitu, Mbok. Aku hanya bingung.”
“Apa yang kamu bingungkan?”
“Wanita ini datang membawa kabar baik sekaligus buruk secara bersamaan. Kalau tujuannya nggak mengusik kita, terus apa?” Ponidi mengajukan pertanyaan tajam.
“Mas ….” Pecahlah tangisan Yuni. Ia menggunakan Rara sebagai tempat bersandar. Memeluk putri semata wayangnya yang berwajah menggemaskan.
Melihat Rara, hati Halimah tersentil. Ia juga seorang wanita. Tahu betul bagaimana hidup tanpa seorang lelaki. Terlebih Yuni tergolong hebat puasa bercinta selama 4 tahun. Entah bagaimana caranya Yuni melewati masa-masa sepi dan dianggurkan. Terlebih, saat tahu Guntur tak menyentuhnya, Yuni tak pernah terlibat hubungan dengan lelaki lain.
“Mas Guntur tidak akan pernah menyentuh saya. Dalam artian, kami tidak pernah melakukan hubungan badan. Katanya, beliau hanya milik Mbak Halimah selaku istri sah.”
Ucapan Yuni berputar-putar di otak Halimah. Terngiang-ngiang. Dengan kata lain, Guntur tetap menjaga diri di luar sana, sekali pun ia lelaki bejat yang suka mabuk-mabukkan. Maka bisa disimpulkan jika Halimah-lah yang mencederai pernikahan mereka dengan bermain api bersama putranya sendiri hingga melahirkan seorang bayi dari benihnya.
Badan Halimah melemas. Sekuat tenaga ia menyandarkan punggung di dinding kayu. Memeluk kedua kakinya. Kepalanya tenggelam di antara kedua paha. Menangis. Halimah tak lagi bisa berpikir.
Ponidi yang melihat Ibunya terpuruk, cepat menghampiri. Membawa tubuh gemoy Ibunya ke dalam pelukannya. Ciuman pada kening, Ponidi berikan. Usapan dan belaian menenangkan yang dilayangkan remaja yang baru saja lulus dari SMK itu untuk sesaat menjadi pemandangan mengandung bawang.
Tak jauh berbeda dengan Yuni yang kian larut dalam tangisan. Tak tahu lagi harus ke mana ia berlabuh. Kedua orang tuanya lepas tangan. Tak peduli dengan apa pun yang dilakukan Yuni demi masa depannya. Yuni tak masalah. Tapi yang ia sayangkan, mereka tak memandang Rara, cucu mereka. Rara lahir tanpa tahu duduk permasalahan orang dewasa. Rara bukan anak haram. Rara lahir dari rahimnya yang seorang wanita yang memegang kuat prinsip ‘perawan sampai sah menikah’. Tetapi realitanya, Yuni terjatuh ke dalam jurang cinta buta. Cintanya kepada mantan kekasih yang seorang anak pejabat, harus kandas di tengah jalan saat tahu sang mantan adalah fuckboy cap tikus. Dan bodohnya, Yuni mengangkang dengan janji ia akan dinikahi.
Menyedihkan.
Sekarang, karena kesalahan oknum tak bernyali, wanita dan anak-anaklah yang menjadi korban.
Tanpa sepatah kata keluar, Ponidi membawa Halimah masuk ke dalam kamar. Tak berapa lama, Ponidi keluar lagi untuk menemui Yuni dan Rara.
“Kita lanjutkan obrolan ini besok pagi,” ucap Ponidi, seraya mengulurkan tangan, “aku Ponidi.”
Untuk sesaat, Yuni terpekur. Pemuda berkulit sawo matang dan memiliki badan atletis itu berkata lembut kepadanya. Apa Yuni sedang bermimpi? Pemuda yang sama sekali tak ramah dan terkesan kasar itu mengulurkan tangan memperkenalkan nama. Serius?
Yuni menjabat tangan Ponidi. “Yuni, Mas.”
“Nggak usah pakai ‘mas’. Aku lebih muda darimu.”
“Saya tidak bisa.”
“Panggil Ponidi saja,” ujar Ponidi, “atau kepalamu aku tendang.”
Yuni gemetar ketakutan. “Ehm. I-iya, Pon.”
“Kamu bisa tidur di kamar belakang. Ingat, aku mengizinkanmu tinggal hanya untuk malam ini. Bukan untuk kamu, tapi untuk anakmu.” Ponidi berkata sambil menatap Rara. Wajahnya yang garang seketika melembut saat matanya bertemu dengan binar polos si bocil.
Yuni mengangguk. Mengucap terima kasih. Tergesa, Yuni berjalan menuju kamar belakang. Ponidi ikut berdiri. Saat ingin masuk kamar, Yuni balik badan. Ia bertanya, “Anu … kamar mandinya di mana?”
“Ayo aku tunjukkan.”
Setelah menunjukkan tata letak ruang rumah yang sekiranya penting -kamar mandi dan dapur- Ponidi dengan segera meninggalkan Yuni dan Rara di belakang. Langkah Ponidi menuju kamar tempat Halimah dan Magma sedikit kaku. Sedari tadi, Ponidi kehilangan fokus. Selain karena kedatangan tiba-tiba ibu dan anak itu, wajah Yuni yang campuran cantik dan ayu membuat Ponidi resah. Gelisah. Sejujurnya, cinta pertama Ponidi adalah Ibunya sendiri, Halimah.
Sebelum masuk kamar, Ponidi menampar kedua pipinya sendiri tuk menyadarkan bahwa ia harus tegas. Ia satu-satunya lelaki di rumah ini.
Derit pintu terbuka pelan.
Di dalam kamar, Halimah sedang rebahan miring di ujung ranjang menghadap baby box tempat Magma tidur. Melihat kedatangan Ponidi, mata Halimah yang berlinang air mata segera ia hapuskan. Ia merubah posisi menjadi telentang. Memandang Ponidi untuk beberapa detik, lalu membuang muka.
Ponidi menghampiri. Naik ke atas ranjang. Tangan kanan melingkar di perut Halimah, tangan kiri terulur ke atas, yang kemudian kepala Halimah bersandar pada lengan kekar sang putra. Dengan lembut, diusapnya perut Halimah. Perlahan, tangan Ponidi bergerak naik. Bergerilya menjamah payudara montok penuh ASI.
“Aku ingin menyetubuhimu, Halimah,” bisik Ponidi, serak.
Darah Halimah berdesir. Dadanya menghangat. Hanya perkara bisikan Ponidi, berikut hembusan nafasnya yang memancarkan rangsangan, praktis membuat Halimah terbuai. Tapi sebelum itu, Halimah ingin memastikan sesuatu.
“Apa kamu juga akan meninggalkanku, seperti yang pernah bapakmu dulu lakukan, Tole?” lirih suara Halimah, sambil menahan gairah saat tangan Ponidi berhasil mengeluarkan satu payudara Halimah dari balik daster.
“Aku nggak akan menjawab kalau kamu masih memanggilku ‘tole’!” geram Ponidi, seraya menguatkan cengkeraman di susu Halimah.
Bibir Halimah meringis menahan sakit. “Maaf. Aku hanya nggak tahu harus apa. Aku hanya punya kamu. Kalau kamu pergi, lebih baik aku mati saja.”
“Dulu kita sudah berjanji untuk tetap saling mendukung satu sama lain apapun yang terjadi. Harusnya masalah seperti ini bisa kita lalui jika kita saling percaya. Apa kamu lupa?”
“Aku nggak lupa. Aku hanya …” Halimah memejamkan mata, saat tangan Ponidi memelintir puting susunya, lalu mengerang, “aku hanya takut kehilanganmu.”
“Takut aku yang hilang atau kontolku?” goda Ponidi.
Halimah tersenyum. “Kan sudah satu paket.”
“Tenanglah. Biar aku yang mengurus segala sesuatunya. Yang aku inginkan darimu hanya dukunganmu.”
“Hanya dukungan? Nggak yang lain?” Halimah balas menggoda. Tanggung. Darah Halimah sudah mendidih. Memeknya basah kuyup. Jika dibiarkan berlarut, Halimah bisa mati kentang. Dan tanpa menunggu Ponidi, Halimah mengambil langkah mengeluarkan satu buah payudara yang masih tersembunyi dari balik daster. Lalu, ia menarik ujung daster sampai ke perut. Mempertontonkan gundukan tembem memek tanpa bulu. Sejurus, Halimah kembali menggoda, “nggak mau ini?”
Ponidi mendaratkan kecupan ringan di bibir ibunya. “Tentu saja mau, Sayang.”
Secepat kilat, Ponidi sudah melepaskan sarung yang ia kenakan. Otomatis, batang kontol hitam legam berukuran besar, panjang, nan tebal, mencuat mengangguk-angguk di hadapan Halimah.
Dengan sendirinya, Halimah menggigit bibir bawah. Kontol putranya memang juara. Meski di atas langit masih ada langit, bagi Halimah, kontol Ponidi tak ada duanya. Kontol yang setiap malam selalu menyemburkan sperma mengisi rahimnya.
Ponidi mulai beraksi. Bibirnya mencaplok puting susu Halimah. Menghisap habis ASI yang memenuhi dua buah melon Ibunya. Tangan Ponidi yang sebelah meremasi susu, sementara tangan yang lain menjamah area kewanitaan.
Dipermainkan demikian, kontraksi saat klitoris dan lubang memek diusap dan dicook bersamaan membuat Halimah belingsatan. Mengejang. Kurang dari dua menit, Halimah mencapai orgasme pertama.
Setelah becek, dan nafsu Halimah kian berkobar, Ponidi mengambil kuda-kuda. Memegangi satu paha Halimah untuk Ponidi bawa ke pundaknya, lalu tangan Ponidi yang lain menuntun batang kontolnya masuk ke dalam memek.
BLESSSS!!!!
Berdua, mereka bercinta dengan desahan pelan dan merangsang. Baik Ponidi mau pun Halimah sama-sama ingin memberikan yang terbaik. Ponidi mendorong, Halimah menarik. Suara kecipak pertemuan dua selangkangan terdengar merdu bagai alunan musik jazz.
Semakin lama, gerakan mereka kian cepat dan tak terkontrol. Barulah setelah Halimah mencapai orgasme yang kedua, Ponidi melesakkan batang kontol jauh ke dalam memek Ibunya sambil mencium bibir sigar jambe Halimah.
Aroma kamar yang semula harum bayi, bercampur dengan bau kelamin dua insan yang tengah mengejang di atas ranjang. Kedutan kontol Ponidi baru berhenti saat tetes terakhir sperma mengucur dari lubang kemaluan.
Ponidi pun mencabut batang kontolnya. Lututnya bergetar. Ia merebahkan diri di samping Halimah yang masih ngos-ngosan. Tanpa berniat bersih-bersih ke kamar mandi, Ponidi membawa Halimah ke pelukannya. Lalu, selimut tebal yang menutupi tubuh telanjang mereka menjadi saksi bisu dua insan yang cintanya semakin besar dan kuat.
“Halimah.” Ponidi membuka suara, setelah sebelumnya membisu untuk waktu yang lama.
“Ya, Mas?”
Ponidi menoleh, lalu tersenyum simpul. “Lepaslah KB-mu. Aku ingin punya anak lagi darimu.”
“Mas yakin?” tanya Halimah, seraya menenggelamkan wajah di dada bidang Sang putra.
“Ya. Saat melihat anak wanita itu, aku jadi ingin punya seorang anak perempuan.”
“Kenapa nggak sama wanita itu saja?”
“Apa kamu masih memikirkannya?”
“Jelas. Aku benar-benar membencinya.”
“Aku tahu rasa sakit hati kita nggak bisa diobatin. Tapi setidaknya, aku harap nggak ada dendam di hati kita kepada siapa pun.”
Halimah mendongak. Menatap nyalang ke mata Ponidi. “Berarti kamu nggak cinta lagi sama aku?”
Sedikit terkejut, tapi Ponidi segera mendinginkan suasana hati sang ibu yang tengah bergejolak. Ponidi memang tak tahu dalamnya hari Halimah, tapi yang ia yakini satu hal adalah: Halimah tidak ingin kehilangan dirinya. Demikian pula dengan Ponidi yang tak berniat melepaskan Ibunya. Penantian panjang untuk berada di titik ini tak ingin Ponidi sia-siakan. Bersama Halimah, Ponidi telah mencapai titik bahagia.
“Lihat mataku.” Ponidi menatap lembut wajah Halimah. Ada hawa menenangkan tapi tegas di matanya. Inilah kenapa Ponidi disegani. Tak hanya oleh warga desa, Halimah pun sampai tak bisa membantah kalau Ponidi sudah mengeluarkan tatapan mautnya. Kemudian, Ponidi membawa kepala Halimah kembali rebaha di dadanya, sebelum berucap, “Entah bagaimana caranya, aku akan menikahimu, Halimah-ku yang cantik.”
“Buktikan, Mas. Aku ingin melihat keseriusanmu,” balas Halimah.
“Tentu saja. Cintaku hanya untukmu. Hidupku hanya untuk membahagiakanmu. Aku akan bekerja keras untuk menghidupi kamu dan Magma. Karenanya, aku harap kamu harus lebih percaya kepadaku mulai sekarang.”
Kelegaan di wajah Halimah terlihat jelas. Dadanya terasa plong. Selama ini, Ponidi tak pernah mengingkari ucapannya. Itu sebabnya, Halimah kembali mendapatkan pencerahan. Ia ingin percaya sepenuhnya kepada Ponidi.
“Aku percaya sama kamu, Mas.”
“Terima kasih, cantik.”
“Heleh. Kok gombal terus, tho? Aku kan jadi malu,” rengek Halimah, manja. Tangannya memeluk tubuh Ponidi semakin kuat.
“Kan emang cantik. Masa aku harus muji kambing?”
“Hahaha. Ceritanya kamu mau bales omonganku yang waktu itu, ya?”
“Soal kambing?”
“Hehehe.”
“Kamu tahu nggak persamaan kamu sama kambing?” tanay Ponidi, nakal.
Halimah tersenyum genit. “Apa?”
“Sama-sama mengeluarkan susu. Mau susu kambing atau susumu, sama-sama bikin sehat, dan ….”
“Dan?”
“Bikin ketagihan.”
“Bisa aja.” Halimah menabok pelan pipi Ponidi. “Tidur, yuk, Mas.”
“Ya. Sini, agak ke tengah. Nanti jatuh kamu.”
“Nggak pa-pa. Kan ada Mas yang nangkep aku.”
“Nangkep susu?” Ponidi tertawa kecil.
“Mesum!”