Rasa penasaran ini kemudian membawaku dalam berbagai percobaan melihat memek perempuan, atau bila beruntung, bisa memegang, menjilat, dan menikmati berbagai bentuk memek.
Untuk sampai pada tahap ini, aku berusaha menjadi lelaki yang bikin nyaman perempuan. Sepengalamanku, perempuan memang tertarik dengan lelaki ganteng, tapi mereka tidak akan serta merta membuka selangkangannya untuk lelaki ganteng. Ketertarikan perempuan pada lelaki ganteng hanya ketertarikan sebatas di mata, belum sampai ke hati. Sosok lelaki yang masuk ke hati perempuan adalah lelaki yang mengayomi, wangi, dan perhatian. Terapkan tiga rumus itu, maka kau bisa memikat perempuan apa pun.
Astri, korban pertamaku, memeknya berhasil aku rusak dengan rumus ini. Sekilas saja, tinggi badan Astri hanya 155 cm, badannya mungil. Payudaranya juga. Kulitnya putih bersih. Apa yang membuat dia menarik di mataku? Balik lagi ke pernyataan di atas, tentu saja memeknya. Kira-kira, bagaimana bentuk memek seorang perempuan mungil yang kulitnya putih bersih? Seberapa tembem dan putih memeknya? Satu-satunya jawaban dari banyak pertanyaan itu adalah mendapat akses ke memeknya. Bagaimana pun caranya. Dan tentu saja, lelaki punya banyak akal.
Astri tergabung dalam ekskul pengibar bendera di SMA sebuah kota M. Dia yang paling mencolok di antara pasukan pengibar bendera. Pertama karena badannya yang mungil, kedua karena sebagaimana stereotipe pasukan pengibar bendera yang kulitnya terbakar matahari, Astri sedikit perempuan yang berkulit putih di pasukan itu.
Aku ingat, suatu pagi di awal bulan. Beberapa hari setelah gajian. Waktu itu hari Senin. Pak Broto, kepala sekolah tempat aku mengajar, berhalangan hadir. Posisi pembina upacara yang biasa dia tempati digantikan Bu Lina Herlina.
Saat Bu Lina berdiri di depan, semua peserta upacara serempak mengeluh. Ada yang menggelengkan kepala, ada juga yang bergumam. Beberapa berdecak malas. Semua orang di sekolah tahu, bila Bu Lina sudah memegang mikrofon, maka guru-guru yang mendapat giliran mengajar di jam pertama harus menggeser waktu masuknya. Bu Lina adalah versi buruk dari orator ulung. Senang berbicara lama di depan banyak orang namun dengan materi membosankan.
Selayaknya seorang pemburu, aku rela melakukan apa saja. Termasuk infrastruktur, struktur dan situasi yang memungkinkan agar memek buruanku masuk perangkap. Seorang pemburu akan mengeluarkan semua sumber dayanya demi mendapatkan buruannya. Itulah aku.
Seorang pemburu juga harus punya insting. Kapan harus mengulur kail, kapan harus menarik kencang kail. Jadi, tepat di menit 30 pidato Bu Lina, Astri di barisan kedua tim pengibar bendera tiba-tiba pingsan. Sebelum Astri, ada sekitar empat lima siswi yang pingsan. Hal yang biasa terjadi tiap kali Bu Lina pidato. Tim P3K yang juga anak-anak PMR sigap menolong para korban keganasan pidato Bu Lina. Menarik para korban ke belakang barisan, atau kalau sudah parah, menandu mereka ke ruang kesehatan.
Kau pikir di mana lingkungan paling memungkinkan bagi pemburu memek seperti aku mendapatkan buruan?
Sekolah.
Ya sekolah. Tempat di mana memek-memek muda yang merah muda lalu lalang. Obsesiku pada memek mendorong aku mengambil mata kuliah pendidikan dan lulus dengan nilai tinggi. Saat kuliah, sambil belajar dengan keras, aku juga memburu belasan memek. Empat memek berhasil aku eksekusi, sisanya gagal. Kampus yang disebut orang sebagai laboratorium kehidupan mengajarkan tiga rumus yang sudah aku sebut di atas. Tiga rumus itu aku asah sendiri melalui belasan kegagalan mendapatkan memek-memek mahasiswi di kampusku. Soal ini aku ceritakan lain kali saja. Aku bisa tebak, bahkan bertaruh, kau lebih tertarik baca cerita tentang pengalamanku berburu memek gadis SMA ketimbang mahasiswi kan?