Perkenalkan aku adalah perempuan keturunan Jawa-Sunda. Umurku menjelang 40 tahun. Tinggiku sekitar 170 dan tubuhku tidak mekar, masih langsing, masih seperti gadis, padahal anak sudah dua, sepasang. Anak yang sulung, lelaki sedang berkuliah sekarang, sedangkan anak bungsuku masih belajar di SMP.
Aku menikah karena dijodohkan. Sebenarnya suamiku ini bukanlah tipeku, jauh sekali malah. Benar kata pepatah lama, apabila kita pilih-pilih tebu, akan mendapat yang tidak sesuai. Tetapi, karena pilihan orang tuaku, mau tidak mau, terpaksa aku menerimanya daripada aku jadi anak durhaka karena membangkang.
Pernikahan kami, meski tidak sesuai dengan harapanku, berjalan normal. Aku ingat bagaimana malam pertama kami. Meskipun resepsi kami selesai jam delapan malam tadi, tapi tetamu masih berdatangan, sehingga kami pun belum bisa masuk ke kamar pengantin kami. Padahal, bisa kulihat raut muka Bang Tian yang sudah tidak sabaran, tapi mau bagaimana lagi.
Menjelang jam sebelas, akhirnya rumah pun sepi. Begitu Bang Tian mengajak masuk kamar pengantin kami, dada ini bergetar. Mataku memerih, ada yang hendak keluar, tapi aku coba tahan, kala kududuk di kursi meja hias, menatap diri ini dan pakaian pengantinku.
Dari kaca meja hias dapat aku lihat Bang Tian yang sedang membuka jas pengantinnya. Sumpah! Aku tidak ikhlas bila lelaki ini menggauli aku. Bukan dia yang aku inginkan mengambil keperawananku. Seharus Abang polisi yang berada di kamar pengantinku malam ini, bukan dia. Seharusnya aku dinikahi lelaki yang punya penghasilan tetap, bukan lelaki yang tidak punya kerjaan tetap ini.
Memang, lelaki terakhir yang dekat denganku adalah si Abang Polisi. Kami tidak berpacaran karena Abang Polisi sudah mempunya pacar, seorang perawat, tetapi Abang Polisi selalu bersedia jika kuajak menonton bioskop. Abang Polisilah yang berani datang ke rumah untuk menjemput aku pergi. Pria lain tidak ada yang berani. Aku sering mendatangi asramanya dan dibawanya aku ke kamarnya. Sayangnya Abang Polisi tidak berani menggauliku. Padahal aku sudah rela dia telanjangi. Kalau aku hamil, dia ‘kan pasti bertanggung jawab, sehingga aku akan menjadi istri seorang polisi. Wih, bangganya aku berpakaian seragam merah muda.
Tetapi, apa lacur. Kemudian datang seorang pemuda dari kota lain yang mampu memikat orang tuaku dan sekarang dia sudah berada di kamar pengantinku ini.
Bahuku ada yang menyentuh. Dari cermin meja hias kulihat Bang Tian berdiri di belakangku, menatapku. Sudah berganti kostum dia. Sekarang dia mengenakan kaos dan celana pendek, sementara jas pengantinnya tergeletak di ranjang. Kupersembahkan seulas senyum untuknya, untuk suamiku. Dapat aku rasakan tangannya di bahuku bergetar, tepatnya gemetar. Apakah dia sudah konak, ingin cepat memerawaniku?
“Tolong dilepaskan sanggulnya, Bang.” Aku menggoyang-goyang sanggul yang menggayuti kepalaku.
Kurasakan sanggulku memberat. Bang Tian sedang mengutak-atik sanggulnya.
“Aduh, sakit,” jeritku tertahan karena dia menarik keras sanggulnya. ”pelan-pelan.”
“Maaf, Maaf,” ucapnya sembari buru-buru menarik tangannya dari sanggulku.
“Abang yang narik, aku yang lepaskan pengaitnya,” kataku lagi sembari memegang sanggulku, ”tapi pelan-pelan nariknya.”
“Begini?” Kurasakan sanggulku tertarik pelan.
“Tunggu.” Setelah aku melepaskan beberapa pengait dan, dibawah perintahku, dengan pelan-pelan dia menarik sanggulnya. Begitu sanggul terlepas, kepalaku pun langsung ringan.
“Taruh dimana?” tanyanya sambil mengangsurkan sanggulnya.
“Taruh di sana.” Kutunjuk meja kecil yang berada di sudut kamar. ”Jas pengantin juga ditumpuk saja di sana. Besok katanya pemiliknya akan mengambilnya.”
Segera suamiku beranjak menuju meja kecil yang kutunjuk. Dia pun menaruh jas pengantinnya di sana. Setelah itu, suamiku kembali berada dibelakangku, menatapku, dengan tangan kembali jatuh di pundakku.
Kuambil bedak talk yang ada di meja hias, lalu menyerahkannya padanya, “Tolong, ditaburi di rambut, Bang. Dikit-dikit saja.”
Bang Tian menyambut kaleng bedak yang aku sodorkan. Dan dengan hati-hati menaburkannya ke rambutku yang kaku menjulang tinggi. “Kayak gini?”
Aku mengangguk. Dengan jari-jariku, aku menyisiri rambutku yang tegang akibat terkena hairspray. Bang Tian pun ikut menyibak-nyibak rambutku. Dalam diam, kami mengaduk-aduk rambut kaku itu.
“Sudah, Bang,” ucapku setelah rambutku tidak lagi menggembung tinggi.
Dari cermin, kulihat wajah Bang Tian mendekat ke mukaku. Diciumnya sekilas pipiku, lalu, “Terima kasih sudah bersedia menjadi isteriku.”
Aku hanya bengong. Manis sekali ucapannya, tapi sayangnya hati ini tetap belum mampu menerima kehadirannya.
“Tolong dibuka resletingnya, Bang.” Kutegakkan badanku untuk mempermudah ia menurunkan resleiting gaun pengantinku.
Dia sentuh gaun pengantinku. Dengan pelan-pelan dia turunkan resleitingnya. Gaun pengantin pun tidak lagi terasa ketat membekap tubuhku. Dengan posisi membelakanginya, aku memerosotkan gaun pengantinnya.
Dari cermin, kulihat matanya mengarah ke gundukan daging milikku yang masih tertutup beha. Kututupi dua payudara. Malu karena ini kali pertama aku tanpa baju di depannya. Dulu, sebelum menikahiku, masa perkenalan kami hanya berlangsung enam bulan. Selama enam bulan itu, dia hanya aku perbolehkan mencium pipiku dan dia manut. Tak pernah dia memaksa mencium bibirku, apalagi menjamah payudaraku. Coba tebak: ia termasuk pria santun, atau penakut?
“Tidur, yuk,” ajaknya sembari memegang pundakku.
Tangannya yang gemetar penuh kehendak terasa di pundakku, tapi aku abaikan. “Taruh dulu gaun pengantinnya.”
Dia ambil gaun pengantin yang teronggok di lantai, didekat kakiku. Ketika dia membelakangiku untuk menaruh gaun pengantin ditumpukan pakaian yang ada dipojok ruangan, aku ambil baju piyama dari lemari dan cepat-cepat mengenakannya. Kutinggalkan celananya karena toh aku sudah memakai celana pendek. Setelah itu, aku kembali duduk di kursi didepan meja hias dan mengambil kapas untuk membersihkan wajah dari riasan tebal make up.
Bang Tian menghela napas melihat kelakuanku dan akhirnya, “Kalau belum mengantuk, aku tidur dulu.”
Sambil terus menghapus make up di wajahku, aku mengangguk, membiarkan dia naik ke ranjang pengantin kami. Dari cermin meja hias, kulihat dia merebahkan diri, berbaring membelakangi aku.
Setelah lewat setengah jam kukira, aku menghentikan membersihkan wajahku. Semoga sudah tidur, doaku dalam hati sambil memerhatikan suamiku yang masih membelakangiku. Aku pun sebenarnya sudah sama mengantuknya, tetapi aku belum siap bila dia menyetubuhiku.
Setelah mengumpulkan kapas-kapas yang berantakan di meja hias, setelah mengganti lampu kamar dengan lampu yang lebih redup, dengan pelan-pelan, aku naik ke ranjang. Alhamdulillah, suamiku tidak bergerak dalam tidurnya sehingga dengan lega aku membaringkan diri. Kupejamkan mata dan perlahan kesadaranku pun menghilang.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, dadaku serasa sakit. Ada yang menekan payudaraku. Kubuka mataku, tetapi gelap. Rupanya lampu di kamar pengantinku mati. Terus kenapa tubuhku dingin? Kuraba tubuhku. Piyama yang kupakai tersibak membuka lebar. Kancing-kancing piyamanya sudah berlepasan. Itu yang membuat aku kedinginan.
Hampir aku menjerit begitu menyadari ada tangan yang hinggap di payudaraku. Rupanya dia yang melepaskan kancing-kancing piyamaku dan meremas payudaraku tadi. Aku tepis tangan itu. Dan berbarengan dengan itu, lampu kamar kembali hidup. Kamar pengantinku kembali terang dan kutemukan Bang Tian sedang memegang tangannya. Kesakitan dia.
“Tadi lampu mati,” adunya ketika aku menatap dia marah.
“Abang jangan macam-macam, ya,” ancamku dengan tangan menunjuk dia.
Sumpah! Aku merasa terhina karena lelaki itu menjamah tubuhku. Aku belum rela payudaraku dia sentuh. Dulu, banyak teman perempuanku yang memuji keindahan payudaraku yang memakai beha 34B itu. Penuh dan membumbung tinggi, kata mereka. Terkadang pula mata para jantan yang jelalatan menatap ke arah payudaraku, membuat aku bangga. Aku berharap kedua payudaraku ini akan dimiliki oleh Abang Polisi, tapi ternyata harapanku tidak terkabul.
“Hei! Aku ini suamimu,” ucapnya setengah berbisik. ”Aku halal menjamahmu.”
Deg! Tersadar aku dengan kelakuanku. Dia memang sudah menjadi suamiku. Dia berhak dengan tubuhku. Tapi, aku marah dengan kelakuannya. Tapi, yang terang aku belum siap dia jamah.
“Aku mengantuk, Bang. Kita tidur lagi.”
Kurapikan behaku. Setelah kancing-kancing piyama aku pasang kembali, aku membaringkan diri membelakanginya. Kurasakan nafasnya terasa disampingku, tapi aku memejamkan mataku.