Part I
Bandung, 30 April 2020
“Bel. Buku-buku itu gak kamu bawa?” Tanya kakakku, Della, menunjuk buku-buku yang menumpuk di pojok kamar kosku.
“Engga.” Jawabku, sambil menarik koper yang berisi pakaianku keluar dari ruangan itu.
“Eh. Berapa hari kita dikarantina, Kak?”
“Gak tau. Seminggu kayaknya.” Jawab kakakku.
“Berarti gak perlu dibawa kali ya? Aku UAS masih tiga minggu lagi soalnya.” Ujarku.
Lusa nanti, kota ini akan memberlakukan karantina pada penduduknya untuk pencegahan penyebaran virus Corona. Karena itu, aku terpaksa mengungsi dari kosan ke rumah kakakku. Rumah Kak Della ini masih satu kota dengan tempatku kuliah, sementara aku tidak dianjurkan untuk pulang ke rumah sendiri karena kota di sana populasinya lebih padat.
Kak Della sendiri baru saja membeli rumah itu, sekitar tiga bulan yang lalu, setelah dua tahun menikah dengan Kak Zaki. Sebelumnya, selama itu mereka tinggal mengontrak.
Sesampainya di rumah Kak Della, kami berdua bahu-membahu membereskan satu kamar yang rencananya dialokasikan untuk kupakai sementara. Sebelumnya, kamar itu dipakai untuk menyimpan barang-barang pindahan Kak Della. Ini kali pertama aku berkunjung ke rumah Kak Della. Rumah mereka cukup mungil, tipe 45, ukuran yang pas untuk sepasang suami-istri yang masih belum dikaruniai anak.
Hingga matahari tenggelam, aku dan Kak Della rupanya hanya sanggup membereskan ruangan itu setengahnya saja. Alhasil, di malam pertama menginap itu, aku tidur di sofa ruang tengah. Karena masing-masing kelelahan, begitu selesai makan malam aku dan Kak Della langsung tertidur tanpa kompromi. Aku sendiri bahkan tak sempat mengganti pakaianku.
Di suatu ketika, aku dibangunkan suara deru raung mesin mobil yang meretas keheningan malam. Suara yang datangnya dari arah tempat parkir. Aku membuka mata, melihat jejak sinar lampu mobil yang memberkas ke dinding ruangan tempatku tidur. Tebakanku, pastilah itu Kak Zaki kakak iparku.
“Jam setengah sebelas.” Bisikku dalam hati, melihat jam di layar handphoneku.
Kebisingan mesin tak lama kemudian terdengar berhenti, disusul matinya lampu mobil. Ruangan tengah tempat tidurku itu pun kembali gelap, seperti halnya malam yang turut kembali senyap. Aku pun kembali tidur setelah mendengar suara orang membuka pintu depan dengan wajar – yakin jika itu Kak Zaki, bukan maling.
Suara pintu itu disusul suara langkah kaki orang yang memasuki ruang tengah tempatku tidur. Tak jauh dariku, langkah kaki itu terdengar berhenti.
“Kamu kok tidur di luar?” Tanya suara Kak Zaki disertai suara gemerincing tas yang disimpan di atas meja.
Aku diam mengabaikannya, berusaha untuk kembali tidur.
Kak Zaki kemudian terdengar berlalu dan masuk ke kamar mandi. Sesaat kemudian, aku mendengar gemercik air yang cukup berisik. Aku tahu itu suara apa. Dan dari bunyinya yang kencang, aku tahu Kak Zaki kencing tanpa menutup pintu kamar mandinya.
Entah kenapa, aku bangun pelan-pelan dan menengok ke arah kamar mandi. Aku tertawa terkikik, karena merasa belum terbiasa dengan kehadiran saudara laki-laki di tengah sepinya malam seperti ini. Walau pun tak melihat Kak Zaki langsung, tapi dari pintunya yang terbuka lebar aku bisa membayangkan kakak iparku itu sedang kecing, berdiri di depan kloset. Aku jadi tersipu sendiri membayangkan itu.
“Hemhh.. Cowok.” Bisikku dalam hati sambil kembali merebahkan diri.
Mataku baru saja terpejam beberapa saat ketika mendengar suara langkah Kak Zaki berjalan ke arahku. Dan tanpa kuduga, tiba-tiba dia duduk di sofa tempatku tidur. Duduknya berdesakan dengan kakiku.
Sejenak, aku melihat cahaya layar handphone yang redup dari ambiens ruangan. Dugaanku, Kak Zaki sedang bermain dengan handphonenya. Tak berapa lama, aku merasakan badannya bersandar ke belakang, hingga betisku terasa terhimpit karenanya. Karena terasa agak mengganjal, aku pun membetulkan posisi kakiku sedikit.
“Maaf, aku pulang telat.” Ujar Kak Zaki. Mungkin mengira aku bangun.
“Tadi kantorku didisinfektan dulu, sama ada meeting dulu soal jam kerja.” Jelasnya, dengan suara yang terdengar santai.
“Dari hasil meeting, jadinya mulai besok masuk kantor jadi sehari dua kali.”
Keningku berkerut. Pikirku, apa urusannya kantor dia denganku. Anehnya, Kak Zaki berbicara seolah aku sudah akrab dengannya, padahal bertemu saja jarang. Biasanya, sekalinya bertemu, aku dan dia paling hanya sekedar menyapa basa-basi. Aku sendiri bukan tipe cewek yang sok akrab dengan orang lain, sementara itu Kak Zaki sendiri tampaknya memang sengaja menjaga jarak denganku. Jadi, keakraban dia kurasa cukup aneh.
“Eh. Kamu pulang dari mana?” Tanyanya, dengan pertanyaan yang membuatku agak bingung.
“Tumben gak pake piyama.”
“Waait. Apa Kak Zaki ngira aku ini Kak Della gitu ya?” Tanyaku dalam hati.
“Sepertinya iya.”
Tak berapa lama dari obrolan monolognya itu, badan Kak Zaki terasa bererebah ke pahaku, sementara kepalanya terasa bersandar ke pinggulku. Aku agak bingung untuk bersikap ketika itu, aku merasa malu ditiduri seperti ini, tapi kalau pun aku bangun, khawatir malah mempermalukan dia.
Suasana terasa hening ketika itu, hanya suara lolongan anjing di kejauhan dan detak jarum jam dinding yang jadi terdengar nyaring. Nuansa khas di perumahan yang jarak antar-rumahnya tak terlalu padat.
Di antara keheningan itu, tiba-tiba aku merasakan tangan Kak Zaki menggenggam pantatku. Ya. Pantatku!
“Aduh ih!” Protesku terkejut. Nampaknya dugaanku tak meleset, kakak iparku itu benar-benar mengira aku ini istrinya.
Sebetulnya, untuk banyak hal, aku tak bisa disamakan dengan Kak Della, khususnya fisik. Aku beda tinggi dan beda berat. Tubuh Kak Della lebih jangkung dan lebih lebar dariku. Bahkan, sekali pun remang, harusnya Kak Zaki bisa melihat rambut sebahuku yang lebih pendek dari Kak Della. Tapi bagaimana pun aku tak bisa menyalahkan dia, begitu pun untuk protes.
“Ini ya enaknya udah nikah? Bisa pegang-pegangin pantat orang seenaknya. Haha.” Diam-diam aku mentertawakan kelakuannya.
Walau pun itu sebetulnya membuatku malu, aku memilih membiarkannya karena aku pikir, toh sepertinya Kak Zaki hanya kurang kerjaan saja, tidak melakukan yang aneh-aneh selain itu. Aku hanya berharap, semoga dia tidak melakukan yang lebih dari itu.
Sayangnya, baru saja aku berprasangka baik, tiba-tiba aku merasakan ada tangan yang merayap di punggungku, bahkan menyelinap ke dalam dalam kaosku!
“Buset dah!”
“Ini ngapaaain?”
Jemarinya terasa menelisik permukaan kulit punggungku, lalu perlahan berangsur-angsur naik ke arah bahuku. Dan sesaat kemudian …
Ctek!
Bunyi elastis lingkar braku mengendur secara tiba-tiba. Seseorang telah melepaskan kaitannya!
Aku terkejut bukan main, tentu saja.
Tapi sebelum aku sempat bereaksi, aku lebih dulu merasakan permukaan jemari tangan yang merayap, mengendap-ngendap, menyisir sisi luar tulang rusukku. Sedetik kemudian, permukaan samping payudaraku tahu-tahu sudah digerayangi tangan seseorang.
“Astaganagaaaa!” Umpatku kelabakan.
Aku hendak menampik tangannya, namun ternyata masih kalah tangkas. Jemarinya sudah lebih dulu beraksi, jarinya merentang, menyebar, membuat tangkupan erat yang menyelubungi padat dan pejalnya buah dadaku. Kakak iparku memegangi payudaraku, bahkan tanpa terhalangi sehelai pakaian pun!
“Henggghhh..” Aku menghela nafas secara refleks, mendadak dadaku terasa sesak. Mataku melotot antara terkejut dan malu. Tanganku yang hendak protes itu pun malah kaku.
Tentu saja, tak pernah ada orang serandom ini bisa menjamah buah dadaku sebelumnya. Sama pacarku saja aku terkadang masih jual mahal, apalagi ini, kakak iparku!
Anehnya, rasa terkejut dan malu seperti timbul-tenggelam dalam diriku. Aku menemukan perasaan lain yang memaksaku untuk membiarkan itu terjadi.
Belum juga keterkejutanku reda, tahu-tahu ujung jemari nakal itu sudah berada di lingkaran areola putingku. Jari itu berputar-putar, meraba-raba, tampak berusaha menggoda putingku. Aku berusaha memfokuskan pikiranku untuk berontak, namun jemari Kak Zaki malah semakin nakal. Kali itu malah diapitnya dan dipilin-pilinnya pucuk buah dadaku itu dengan gemas. Seketika putingku berdiri dengan refleks karena keenakan.
“Ahh!” Rintihku tertahan, nyaris saja mulutku mengeluarkan suara.
“Kok putingnya lucu.” Ujarnya.
“Imut gini.”
Aku sudah tak begitu bisa mendengar ucapannya, jemarinya yang mencubit-cubit dan menjiwit-jiwit putingku membuat pendengaranku sedikit pekak. Apalagi ketika tangannya mulai kembali meremas-remas buah dadaku. Aku hanya bisa mengepalkan tangan demi menahan gelinjang otot-otot tubuhku yang keenakan. Rasa enak yang sulit aku gambarkan; terkejut, malu, was-was, takut, dan tentunya terangsang, bercampur jadi satu.
Dengan terpejam, aku berupaya sekuatnya mengumpulkan otak-otak sehatku. Bagaimana pun juga, Kak Zaki adalah kakak iparku, suami kakak kandungku, suaminya Kak Della! Tidak seharusnya ini terjadi!
Sekali pun sudah berusaha keras, namun kabut pekat di otakku malah tambah penat. Apalagi ketika dia berbisik persis di daun telingaku,
“Tumben padet kenyal begini.” Ujarnya, sambil tak berhenti meremas-remaskan tangannya.
“Hngghhhh.”
Pujiannya terdengar begitu erotis di telingaku, apalagi dengan bisikan yang terasa mesra di rambut-rambut telingaku. Punggungku refleks melengkung dengan sendirinya, dadaku mengembang tanpa bisa kukendalikan.
Kak Zaki sepertinya tahu apa yang sedang melanda tubuhku ketika itu. Dengan leluasa, payudaraku diperlakukannya seolah taman bermain jemari-jemari nakalnya itu. Ketidak-sopanannya itu bahkan makin kurang ajar, dengan santainya tangannya itu berpindah ke buah dadaku yang sebelahnya.
“Padet banget, aku suka.” Pujinya lagi.
“Kayak kamu waktu jaman kuliah.”
Pada akhirnya aku tidak bisa berbuat apa-apa, akal sehatku sudah lenyap tersingkirkan jamahan dan remasan tangan Kak Zaki di dadaku. Pikiranku sendiri pada akhirnya cuma sibuk memunguti kenikmatan yang bertaburan dari relung payudaraku. Rasanya, ini adalah ambang batas toleransiku terhadap kewarasanku. Acapkali aku lupa diri ketika buah dadaku sudah diremas-remas seperti itu oleh pacarku.
Posisiku masih menghadap sandaran sofa saat Kak Zaki bangun. Dia bangun bukannya pergi, tapi malah merebahkan diri di belakangku. Dadanya terasa merapat di punggungku, pahanya berdesakan dengan paha dan pantatku, tubuhnya terasa menyendok tubuhku dari belakang. Aku diam saja saat merasakan benda yang lumayan keras mengganjal di pantatku,
“Penis Kak Zaki!” Teriakku dalam hati dengan histeris.
Tonjolannya terasa memasak pantatku; kenyal seperti karet tapi keras layaknya linggis. Pikiranku sempat jadi liar, sempat bahkan membayangkan untuk memegang dan menggenggamnya karena gemas, tapi semakin aku merasakan penisnya, semakin aku sadar jika itu adalah kemaluan suami kakakku. Gelombang pencabulan ini serasa membantingku ke sisi yang lain. Kesadaranku mulai pulih.
Di saat itu, aku mulai khawatir ini berlanjut lebih jauh. Maka aku mulai mempertimbangkan cara untuk mengelak dari jebakan syahwat ini.
Sementara aku masih berpikir, tiba-tiba aku merasakan kaki Kak Zaki mengait salah satu lututku. Kakinya itu lantas menarik lututku sehingga membuat kakiku terbuka lebar. Dengan sendirinya, selangkanganku terungkap dengan bebas, dan sekonyong-konyong aku merasakan salah satu tangannya menjulur ke arah itu. Sedetik kemudian, aku mendapati tangannya sudah membekap kemaluanku!
“Hengh!” Aku terkejut, melonjak tertahan.
Namun keterkejutanku itu pun rupanya hanya berlangsung beberapa saat. Jemari Kak Zaki yang membekap selangkanganku itu bergerak-gerak, jarinya merenyuk, mengumal, dan mengurut-ngurut bagian kemaluanku. Walau pun masih terlapisi jeans ketatku, jemari Kak Zaki rupanya sangat ahli untuk tahu bagian-bagian yang harus disentuh di dalam sana, terbukti sampai badanku menggeliat-geliat karena keenakan.
“Ahhh…” Beberapa kali aku terpaksa melenguh tertahan, sejatinya aku sudah terangsang sebelumnya, dan sekarang ditambah hal seperti ini!
“Fuuuck!!” Jeritku, mengutuk diri sendiri di dalam hati.
“Kamu kok wanginya beda.” Kak Zaki, berbisik di antara bulu-bulu kuduk di leherku.
“Lebih segar dan manis.” Ujarnya lagi, diakhiri sebuah cucupan di leherku dengan bibirnya.
Aku mana sempat menolak itu. Satu-satunya yang bisa kutahan ketika selanjutnya, tangan Kak Zaki menjangkau daguku. Dari gerakan tangannya, tampaknya dia berusaha menarik wajahku ke arahnya. Aku menyadari kalau dia hendak menciumku. Segera aku pun menyadarkan diri, lalu berusaha sekuat tenaga untuk tidak sampai perpaling ke arahnya.
“Mau dicium Kak Ipar? Gila kamu, Bella. Jangan!” Teriak otak warasku.
Kupikir, semuanya sudah berakhir saat Kak Zaki tiba-tiba berhenti. Tangannya ditariknya keluar dari selangkanganku. Namun beberapa saat kemudian, tangannya terasa mulai merayap kembali, dan kali ini malah di perutku! Aku pun tiba-tiba sadar, sadar bahwa ini hanya baru permulaan.
Tuk!
Bunyi kancing tengah skinny jeansku terasa dibuka oleh Kak Zaki. Ritsleting di bawahnya itu dengan sendirinya terbuka saat jemarinya menyelinap paksa ke balik jeansku. Perlahan, jemarinya menjelajah bagian yang terbuka itu, meraba-raba menyusuri permukaan celana dalamku yang sangat tipis.
Aku masih tak berkutik saja ketika jemari Kak Zaki itu akhirnya mengangkat karet lingkar pinggang celana dalamku. Sejurus kemudian, tangannya itu sudah menyelinap ke balik celana dalamku. Mendapati ketidak-senonohannya sudah sejauh itu, aku bukannya menolak malah berharap-harap cemas, menanti jemari Kak Zaki untuk menyentuh bagian yang kini menanti untuk dijamah.
Dengan nafas tersengal, kubiarkan dengan rela saat jarinya menjamahi rambut-rambut kemaluanku. Setiap bulu-bulu yang tersentuh, rasanya kemaluanku seperti mendapati listrik statis yang mampu mengalirkan arus kenikmatan. Bahkan ketika jemarinya mulai menyentuh lereng tembam berlemak di bawahnya, jemarinya dan bibir kemaluanku seolah dua kutub medan magnet yang berlawanan. Setiap sentuhannya menghasilkan loncatan elektron kenikmatan yang menyengat-nyengat relung selangkanganku.
“Hngghhhhh… Ngghhhh…” Nafasku sudah bercampur dengan lenguhan yang tertahan, bergetar-getar tak terkendali oleh birahi. Di kala itu, aku hanya bisa memejamkan mata dan menggigit-gigit bibirku demi menikmati rabaan jemarinya.
Seketika itu pula, bibir kemaluanku mulai terasa menebal. Permukaannya melincir karena rembesan cairan cinta dari lubang senggamaku. Jari nakal itu pun seolah tahu kondisi kemaluanku, tak hanya diam, disusurinya bibir kemaluanku yang mulai licin itu. Seandainya saja aku boleh merintih …
“Hemhhh..”
Tapi kenikmatan itu tak sampai di sana rupanya. Karena posisi pahaku yang masih membuka tersangkut kaki Kak Zaki itu, jemarinya dengan mudah membelah dua bibir tembam yang memang sedang mekar menganga itu. Aku terpejam sampai menggigit gerahamku kuat-kuat. Ujung jarinya yang sudah basah dan licin oleh getah birahku itu benar-benar terasa nikmat, terasa lembut dan lekat membelah-belah kemaluanku.
Di lautan kenikmatan yang memabukkan itu, pengembaraan jemarinya akhirnya terkantuk begian kemaluanku yang paling sensitif, bagian kemaluanku yang sejatinya menanti sentuhan sejak dari tadi. Ya. Klitorisku!
“Hempfffff…” Mataku terbelalak begitu ujung kepala kelentitku tersentuh. Nafasku tertahan, jantungku seolah berhenti berdetak.
Kak Zaki pun sepertinya tahu apa yang sedang melanda tubuhku. Organ intimku yang seukuran biji kurma itu kemudian dipijat, dicolek, dikorek, dan dicongkel-congkelnya dengan nakal. Seketika tubuhku serasa dilempar ke angkasa, terlontar oleh kenikmatan yang tak kuasa kubendung. Tegangnya kelentitku yang terangsang hebat itu seolah menjangkar ke lubuk selangkanganku, mencengkramku dengan selaksa kenikmatan, hingga sekujur tubuhku terkejang-kejang, terhempas-hempas oleh gelombang kenikmatan yang tak berhenti datang silih berganti. Untuk beberapa saat, aku kehilangan kesadaran.
Jujur saja, selama pernah masturbasi sendiri yang kutahu, kenikmatannya tidak sebanding dengan yang kualami sekarang. Padahal ini belum sampai di puncak orgasme! Aku tak bisa membayangkan apa jadinya kalau itu terjadi.
“Gila!” Teriakku dalam hati.
“Ini gila!”
Namun di kali kemudian, jemari Kak Zaki rupanya sudah mulai tak sabar. Jari binal itu pergi dari klitorisku dan malah bergeser ke bawah, menyusuri balung yang mekar di bawah klentitku, lalu turun lagi hingga pintu lubang senggamaku. Ujung jarinya yang sudah terasa di ambang lubang senggamaku itu tiba-tiba terasa hendak menerobos masuk ke lubang vaginaku. Serta-merta aku refleks menutupkan pahaku. Ketika itu, tubuhku mengambil alih otak birahiku. Tanpa kuminta, tubuhku melepas paksa kakiku dari kuncian kaki Kak Zaki. Sekali pun masih dimabuk birahi tapi rupanya naluriku sebagai perempuan baik-baik, gadis yang masih perawan, menolak untuk memberikan mahkotanya pada jari cabul yang tak tahu norma itu.
Ya, tentu saja aku tak mau, sampai detik ini aku masih perawan!
Untuk sesaat, aku diam termenung. Mulai menyadari apa yang sedang terjadi. Tapi sayangnya, alih-alih berhenti, Kak Zaki rupanya masih berharap lebih.
Gemerincing sabuk dan retsleting dibuka dengan tergesa-gesa terdengar di belakangku. Sebelum aku sempat mengambil kesimpulan tentang itu, serta-merta bagian belakang celana jeansku ditarik dengan paksa, lalu ditariknya pula celana dalam yang melindungi pantatku!
Sedetik kemudian, aku merasakan daging padat sebesar sosis jerman yang menanduk pantatku. Tentu saja aku tahu itu apa!
Aku terkejut bukan kepalang, apalagi ketika tangan Kak Zaki menyingkirkan salah satu kakiku sehingga pantatku terbuka dan menungging ke arahnya. Selanjutnya, batang kemaluan yang berkepala kenyal dan halus itu mulai menyodok lemak kemaluanku. Keras bak bertulang, pejal seperti berotot, tapi harus kuakui rasanya sangat menantang dan merangsang. Kemaluan Kak Zaki begitu lembut dan panas, apalagi saat benda itu menyumpal, terjejal di antara kedua bibir kemaluanku.
“Enggak!”
“Aku gak mau!” Protesku dalam hati, berperang melawan syaraf-syaraf kemaluanku yang tak berhenti memasok denyut-denyut kenikmatan.
Sekuat tenaga kuhimpitkan kedua pahaku kuat-kuat, membuat benteng pertahanan dengan otot-otot selangkanganku.
“Memeknya lagi rapet, ya?” Tanyanya sambil mengurut-urutkan kepala penisnya di belahan bibir kemaluanku.
Entahlah, pertanyaan itu mungkin terdengar tak berarti dalam kondisi biasa dan aku tak pernah mendengar orang berkata itu tentang kemaluanku, apalagi mendengar seorang laki-laki memanggilnya dengan sebutan ‘memek’ dengan lantang, tapi dalam kondisi seperti ini rasanya seperti sebuah pujian yang membangkitkan gairah. Pujian yang tiba-tiba membangkitkan naluri hewaniku. Wajahku bahkan mendadak terasa panas memerah mendengarnya. Selama 18 tahun hidup sebagai perempuan biasa saja dan dengan kemaluanku yang tak pernah terjamah laki-laki ini, tiba-tiba seseorang memujiku layaknya perempuan dewasa. Mendadak, klitorisku di bawah sana terasa mengeras hingga ke lubuk selangkanganku, payudaraku terasa mengencang, leherku memanas.
Aku membuka mata, berusaha memastikan keadaanku. Malam begitu tenang dan ruangan yang remang terasa hanya menambah gairahku saja. Sepi dan sunyi, tanpa kehidupan yang lain selain penis Kak Zaki dan bibir vaginaku yang sedang berjibaku dengan kenikmatan, bersitegang dengan syahwat. Semakin aku membuka mata dan telinga, semakin intim rasanya kami berdua di ruangan ini.
Redup-redam kewarasanku perlahan pudar, tergantikan oleh kenikmatan yang menyelimuti seisi kepalaku. Ada kenikmatan yang tak bisa kutolak, ada kepuasan yang begitu menjanjikan. Aku mendadak lupa diri.
Seiring dengan itu, dinding liang senggamaku terasa menghangat, getah-getah cinta terasa meleleh di dalam sana. Perlahan, tubuhku mulai melemas dengan sendirinya. Otot-otot selangkanganku mengendur. Aku diam pasrah begitu merasakan kepala penis yang hangat menyibak dan meretas belahan bibir kemaluanku. Sebagian dari kepala penis yang licin oleh cairan cintaku itu mulai terasa tenggelam, terselimuti dengan erat oleh kedua belahan bibirku kemaluanku.
“Ahhhh. Enak banget.” Desisku dalam hati.
Di dalam sana, rongga senggamaku terasa melebar, menanti pasrah sang pejantan di gerbang pertahanan terakhirnya.
Ctek!
Aku terkejut. Aku mendengar suara switch lampu di kamar Kak Della berbunyi!
“Yaah?” Panggil Kak Della dari kamar.
—
Maaf, harus bersambung wkwkwk