Rintik hujan mengiringi kepulanganku dari sekolah. Tadi ada rapat yang dihadiri oleh semua dewan guru sekaligus kepala sekolah. Aku jadi pulang lebih sore dari biasanya. Jam 4 masih di jalan. Biasanya jam 4 sudah ada di rumah dan memasak. Sebelum jam 5 masakan sudah terhidang di atas meja.
Sepertinya tidak akan keburu untuk memasak. Aku memutuskan untuk beli lauk di warung saja. Tapi apa? Saat aku sedang bingung memikirkan menu makanan, handphone-ku berdering. Ada panggilan. Aku segera menepikan motor. Aku tersenyum melihat nama yang tertera di layar handphone.
“Halo.”
Terdengar suara sedikit merengek di sana.
“Iya, tadi Mama ada rapat dulu, jadi pulangnya lama.”
Suara merengek berganti suara manja.
“Iya, emang udah niat mau beli lauk tadi juga. Kamu laper ya?”
Berikutnya suara malu-malu.
“Hah? Bukannya masih ada satu?”
Kemudian aku teringat kejadian tadi pagi.
“Emang mau dipake kapan?”
Terdengar suara memelas.
“Masa mau langsung? Nanti malem aja sih.”
Terdengar suara memohon.
“Iya, iya, Mama beliin.”
Panggilan berakhir. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
Setelah beli tiga porsi ayam bakar di warung nasi padang, aku mampir dulu ke minimarket, baru kemudian pulang.
Sesampainya di rumah, mobil Mas Heri masih belum ada di garasi. Aku mengecek jam. Memang belum waktunya dia pulang sih.
Begitu membuka pintu masuk, Dimas langsung menghambur memelukku.
“Cepet, Ma!”
Aku berusaha melepaskan rangkulannya.
“Sebentar, Dimas, ini Mama mau naruh ayam dulu di dapur.”
Setelah plastik berisi ayam bakar itu kutaruh di atas meja makan, Dimas kembali menghambur ke tubuhku.
“Sabar dong. Mama mau ganti baju dulu nih, gerah. Mau mandi dulu sekalian.”
“Ikut!”
“Mau di kamar mandi lagi?”
Dimas mengangguk mantap. Bibirnya tersenyum lebar.
“Ya udah, tapi yang cepet ya. Bentar lagi Papa pulang.”
Setengah jam lagi sebelum Mas Heri pulang.
Dimas mengikutiku masuk ke kamar, lalu ke kamar mandi di dalam kamar.
Sambil membuka pakaianku, aku berkata, “Kamu tuh ya, tadi pagi kan udah.”
Dimas cuma cengengesan sambil ikut melucuti pakaiannya sendiri.
“Bajunya jangan ditaruh sembarangan. Simpen yang bener di keranjang.”
“Ini masih bersih kok. Baru tadi siang. Nanti Dimas pake lagi.”
Aku sudah telanjang. Kukira Dimas juga sudah, tapi dia masih menyisakan celana dalamnya.
“Itu kenapa nggak dibuka? Mau dry hump doang?”
Dimas cemberut. “Enak aja. Bukain sama Mama.”
Aku nyengir melihat wajah kesalnya. “Apaan sih. Sama aja mau Mama yang bukain atau kamu yang bukain.”
Meskipun aku ngomong begitu, aku tetap menurut juga membukakan celana dalamnya. Lalu dalam sekejap, penis Dimas langsung menyembul. Seperti mau loncat. Sudah tegang sekali.
Aku sedikit terkekeh.
“Buset dah. Udah kayak nggak ngentot tiga bulan aja.” Komentarku.
Kulihat wajah Dimas sudah merah tidak karuan.
Aku mengguyur tubuhku beberapa gayung untuk menghilangkan gerah. Dimas mencucuk-cucukkan penis tegangnya ke arah pantatku.
“Bentar ih. Mama bersih-bersih dulu. Memeknya juga mau dicuci dulu.”
Mulut Dimas liar mengecupi punggungku. Kubiarkan saja, yang penting pelirnya tidak ganggu. Aku segera membasuh vaginaku, menyabuninya pakai sabun khusus. Tanpa aba-aba, Dimas berinisiatif mengusapi vaginaku yang sedang disabuni. Kubiarkan saja beberapa saat. Lalu kubilas dengan air sampai kesat.
Aku pun segera menungging dengan bertumpuan pada pegangan westafel.
“Cepet.”
“Sambil duduk aja.”
“Hah? Males ah pegel. Lagian Mama kan baru pulang ini. Capek tau. Udah buruan masukin.”
“Mama yang duduk. Dimas yang gerak.”
“Mana bisa kalau Mama yang duduk. Udah deh jangan macem-macem. Mau ngentot sekarang apa nggak?”
“Bisa kok. Tadi Dimas lihat di video. Kakinya diangkat ke atas.”
Dimas mengarahkanku supaya duduk di atas closet. Kemudian dipakainya kondom yang baru saja kubeli di jalan pulang tadi. Sudah lihai dia dibandingkan ketika dulu pertama kali kuajari pakai kondom. Lalu diangkatnya pahaku ke atas sehingga vaginaku terpampang jelas.
“Ini mah bukan duduk namanya. Pegel tau lama-lama.”
Tanpa menghiraukan protesku, Dimas mulai berusaha menancapkan penisnya ke lubang vaginaku. Dia harus menekuk lututnya supaya penis itu sejajar dengan lubang vaginaku.
Aku cuma bisa geleng-geleng. Sialan memang itu bokep-bokep Jepang. Ada saja ide gila mereka.
Setelah berusaha cukup keras, akhirnya masuk juga itu pelir. Susah payah masuknya, susah payah juga menggerakkannya. Dimas harus menggenjot sambil menahan kedua pahaku. Tentu saja lumayan berat bagi dia.
Meskipun berat, lama-lama genjotannya semakin stabil. Tapi kulihat dia kewalahan. Napasnya ngos-ngosan padahal belum ada lima menit. Genjotannya juga tidak cepat.
Muncul rasa iba dan naluri keibuanku.
“Capek, kan?”
Dimas tidak menjawab. Dia cuma geleng-geleng sambil matanya terpejam. Pelirnya tetap stabil menggenjot vaginaku.
Pasti pegal itu tangannya, juga kakinya karena lututnya harus ditekuk. Tidak tega aku.
“Udah sini gantian. Kamu aja yang duduk di bawah,” saranku.
“Nggak. Masih kuat kok,” jawabnya. Tapi aku tahu dia sudah kewalahan.
“Udah, sayang. Mama aja yang genjot.”
Meskipun dia tetap menggenjot, kudorong dadanya perlahan sampai akhirnya penisnya lepas. Aku segera berdiri dan mengarahkannya untuk duduk di atas closet. Kemudian aku mengangkangi penisnya yang mengacung tegak itu. Dengan diarahkan tanganku, sekali bidik pelirnya langsung masuk lagi ke vagina. Perlahan kuturunkan selangkanganku. Kunikmati setiap gesekan antara kelamin kami sampai batangnya mentok. Setelah mentok aku berhenti sejenak.
“Lebih enak kan kalau gini?”
Bukannya menjawab, Dimas malah menarik wajahku ke arahnya dan kami pun berciuman. Aku harus menunduk karena tinggi badanku masih lebih tinggi daripada Dimas. Kami berciuman dengan sangat mesra. Kupegang pipinya dengan kedua tanganku, seakan tak mau kulepaskan. Lidah kami berpagutan seperti ular sedang kawin—ya, kami juga memang sedang kawin sih.
Perlahan mulai kugerakkan vaginaku yang menjepit penisnya.
Kudengar samar-samar Dimas mendesah keenakan. Rintihan yang ritmik dengan gerakan vaginaku. Aku sebenarnya tak tahan ingin mendesah juga, tetapi aku lebih senang mendengar Dimas mendesah.
Ini momen ekstasi. Tak bisa kulukiskan kenikmatannya. Dimas adalah cinta sejati yang telah kunantikan selama bertahun-tahun. Waktu mengandung Dimas dulu adalah saat-saat yang sangat membahagiakan bagiku. Ketika melahirkan Dimas, meskipun sakit tidak karuan, rasa sayangku pun meletup-letup. Kutimang dia, anakku sayang.
Kini dua kelamin kami bersatu. Tak ada yang bisa memisahkan.
Kulepas sejenak ciuman kami. Kupandangi wajah Dimas lekat-lekat sambil tetap vaginaku menggenjot penisnya.
“Enak, sayang?” Mataku agak berkaca-kaca.
“Enak, Ma. Ahhhh…” Mata Dimas menatapku sama dalam.
Aku tak tahan dan kembali menciumnya sepenuh perasaanku. Tangan Dimas menggenggam lembut payudaraku. Satu jarinya berputar-putar di sekitar puting.
Aku tak tahan lagi dan akhirnya mendesah.
“Ahhh… Sayang…” ucapku sambil membelai-belai rambut Dimas.
Dimas mengerti apa yang kuinginkan. Wajahnya maju, kemudian dilumatnya payudara kiriku. Setelah beberapa saat, kutarik lagi wajahnya supaya menciumku. Kami mengulanginya berkali-kali, berselang-seling.
Sesekali Dimas memintaku untuk mengumpulkan air ludah, kemudian lidahnya akan terjulur untuk menerima.
Dimas memeluk tubuhku erat-erat. Itu tanda dia akan segera orgasme. Kurasakan penisnya pun sekarang ikut bergerak menusuk-nusuk lubang vaginaku. Aku juga merasakan sudah mau mencapai titik puncak. Kupeluk erat-erat kepala Dimas, kebenamkan di belahan susuku. Seraya kami berdua mengerang lepas. Erangan kami menggema dan semakin menambah ke-erotis-an perbuatan tabu yang sedang kami lakukan.
“Ahh.. Ah.. Ahhhh…”
“Ah… Mama… Ahhhh… Enak Ma…”
Tak lama kemudian, kurasakan sudah sangat dekat dengan puncak.
“Ahhh… Dimas… sayang…”
Tubuhku bergetar dibanjiri kenikmatan. Dinding vaginaku berkedut-kedut, dengan penis Dimas dihimpit olehnya, seperti sedang memerah susu. Bedanya, yang sedang diperah adalah peju.
Tusukan penis Dimas mulai tidak karuan. Selang beberapa saat, secara tak terkontrol, Dimas menghujamkan penisnya dalam-dalam. Seakan-akan mau masuk sepenuhnya ke dalam vaginaku dan tinggal di sana. Ingin kembali ke tempat asal. Kurasakan batang itu berkedut-kedut.
Kami berdua ngos-ngosan. Saling pandang. Tersenyum. Lalu kembali kulumat bibirnya karena tak tahan.
Setelah puas berciuman, aku segera berdiri. Lalu kulepas kondom di penis Dimas.
“Nggak banyak kamu keluarnya.”
“Soalnya waktu tadi pagi banyak sih.”
“Makanya, Mama bilang juga entar malem aja, pas mau tidur. Kamu sih ga sabaran.”
“Ya udah, entar malem lagi ya.”
“Sok kuat banget sih. Idih.”
Kami pun tertawa. Setelah itu buru-buru mandi karena sebentar lagi suamiku pulang. Selesai mandi, Dimas memakai kembali bajunya yang tadi ditaruh di gantungan.
Tepat pukul 5 sore Mas Heri pulang. Aku dan Dimas sedang menata meja makan.
Aku dan Mas Heri memang dijodohkan, tapi bukan berarti aku membencinya. Meskipun baru pertama kali melihatnya H-7 akad nikah, aku langsung suka. Dia ganteng sih—mungkin sangat ganteng. Entahlah. Pengalamanku soal laki-laki memang hampir tidak ada. Selain fisiknya, hal yang paling kusukai dari Mas Heri adalah dia orangnya sangat rapi. Sangat bersih. Elegan. Tapi tidak arogan sama sekali.
Setelah menikah dengan dia, aku pun langsung jatuh cinta karena sikap dan perilakunya yang di atas rata-rata pria kebanyakan. Standarku adalah orang tuaku sendiri. Kakeknya Dimas. Beliau orang tua yang baik, tapi ya… biasa-biasa saja. Bukan berarti aku tidak bersyukur, tapi perlakuan Mas Heri mau tidak mau membuatku jadi membanding-bandingkan.
Aku diperlakukan seperti ratu. Meskipun tidak banyak bicara atau menggombal, tapi satu dua kalimat dari Mas Heri rasanya bisa bikin kenyang sampai dua minggu. Tingkat kesopanannya benar-benar di luar dugaanku. Juga kelembutannya. Aku sempat berpikir jangan-jangan aku menikahi seorang malaikat.
Sampai akhirnya masalah itu muncul. Terkuak. Awalnya aku tidak punya pikiran apa-apa soal ini, tapi lama kelamaan, setelah kubaca pola kejadiannya, aku mulai curiga.
Mas Heri tidak pernah menyentuhku.
Di malam pertama pernikahan, setelah mengatakan bahwa dia sangat berterima kasih dan bersyukur telah menikahiku, dia mengecup keningku, lalu minta izin untuk istirahat tidur karena katanya hari itu dia sangat lelah. Pada saat itu aku terpukau dengan sikapnya. Aku sendiri memang capek, tapi aku sebetulnya sudah menyiapkan diri kalau misalnya suamiku itu mau langsung mengajak berhubungan suami-istri. Meskipun tidak pernah pacaran sebelumnya, tapi aku cukup memahami kaidah umum bahwa pria-pria bisa saja sangat bernafsu pada saat malam pertama. Malam itu aku tertidur dengan sangat pulas dan berbahagia.
Keesokan harinya, entah urusan apa, Mas Heri mendadak pergi ke luar negeri. Pagi-pagi sekali dia mengemasi barangnya. Katanya akan pergi tiga hari. Aku yang baru saja jatuh cinta sangat berat melepas kepergian Mas Heri. Kalau bukan karena malu dan sungkan, pasti aku sudah memeluk erat Mas Heri tanpa mau melepaskan. Mas Heri kembali mengecup keningku sebelum berangkat, membuatku sedikit tenang meskipun tetap saja sedih.
Sepulang dari perjalanan Mas Heri ke luar negeri, aku berencana untuk mengajaknya makan malam mesra. Sebab, kami memang tidak sempat melakukannya sebelum menikah. Acara makan malamnya jadi sih, tapi mesranya tidak terwujud sama sekali. Entah ada urusan apa lagi, Mas Heri kembali meninggalkanku. Katanya ada urusan kantor mendadak. Aku kembali tidur sendiri. Aku kesal sih, tapi tidak berpikir macam-macam saat itu.
Tapi di malam-malam berikutnya pun, hampir selalu, aku tidur sendiri. Bisa dihitung pakai jari berapa kali kami tidur bersama dalam satu bulan pernikahan. Aku mulai tidak betah. Tidak sabar. Penasaran. Kenapa suamiku belum juga memberikan nafkah batin? Sebagai perempuan yang dibesarkan menurut kaidah-kaidah masyarakat umum, pada saat itu sulit bagiku untuk terus terang memintanya menyentuhku.
Semakin lama aku semakin gusar. Aku bahkan sempat berpikir bahwa dia punya wanita lain. Tapi aku tak bisa protes apapun karena selain hal itu (seks), dia memberikan segalanya. Semua kebutuhanku tercukupi bahkan berlebih.
Akhirnya, karena tak kuat, campuran antara horny dan penasaran, aku pun membuat sebuah rencana. Suatu malam, sebelum Mas Heri minta izin pergi ke mana-mana, kucampur air minumnya dengan sejenis obat tidur. Selesai makan malam, bahkan belum sampai dia beranjak ke kamar, tubuh Mas Heri sudah terjerembab di sofa ruang tengah.
Meskipun susah payah, kugunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Malam itu pun selaput daraku pecah. Dan karena kendali ada padaku sepenuhnya, aku mengambil waktu sesuka hatiku untuk menyesuaikan diri dengan penis suamiku sendiri. Puas sekali kuperkosa suamiku malam itu. Entah berapa kali aku orgasme. Aku bahkan hampir tak sadar ketika penisnya sudah ejakulasi. Tahu-tahu jadi loyo.
Sejak saat itu, aku selalu pakai obat tidur ketika ingin bersetubuh dengan suami. Awalnya bisa sangat kunikmati, karena berhubungan seks sendiri merupakan pengalaman baru buatku. Aku pun saat itu sadar bahwa ternyata aku lumayan suka seks. Mungkin di atas rata-rata perempuan lain.
Tapi lama-lama, ngentot dengan orang tidur tak lagi memberiku kepuasan. Aku sempat ingin memberitahu semuanya kepada Mas Heri. Ingin kuutarakan secara gamblang bahwa selama ini aku menggunakan obat tidur kepadanya, dan bahwa selama ini aku ingin sekali disentuh olehnya, tapi semuanya harus tertunda oleh peristiwa yang belum sempat kuperkirakan.
Aku hamil.
Tentu saja. Setidaknya seminggu sekali kusedot sperma suamiku—meskipun tanpa dia sadari.
Acara hamil dan beranak ini menyedot semua perhatianku. Aku tak lagi rungsing karena kurang ngentot. Aku terlalu berbahagia karena hendak menjadi seorang ibu.
Setelah Dimas lahir, semua duniaku terpusat kepadanya. Kupendam jauh-jauh birahiku meskipun sesekali menyeruak. Mas Heri pun jadi jauh lebih sering di rumah untuk membantuku mengurus Dimas. Untuk sejenak, aku hampir melupakan kekejamannya yang tidak pernah menyentuhku. Untuk beberapa waktu, aku merasa bahwa aku hidup dalam sebuah keluarga yang berbahagia.
Namun, sejauh dan sedalam apapun aku memendamnya, tubuhku tetaplah tubuh seorang perempuan. Sebagaimana makan adalah kebutuhan, seks juga kebutuhan yang pada akhirnya tak bisa kuabaikan. Ketika Dimas tak lagi kecil, dia banyak berkegiatan di luar rumah, aku pun jadi kurang kerjaan. Birahiku sering tiba-tiba meletup sampai bikin spaneng. Untungnya, lewat internet, aku pun belajar masturbasi. Untuk sementara ada solusi, meskipun tetap tidak bisa bikin puas sepenuhnya.
Aku tak pernah berpikir aneh-aneh seperti nyewa gigolo atau semacamnya. Buatku, dinginnya sikap Mas Heri tidak kujadikan perkara yang terlalu besar. Lama-lama aku jadi bisa menerima, ‘Oh, mungkin memang dia orangnya begitu.’ Bodoh juga pikiranku itu kalau dipikir-pikir. Yang jelas, aku tak pernah berniat selingkuh atau mengkhianati suamiku sendiri.
Hingga suatu hari semesta menunjukkan kepadaku sebuah kenyataan yang membuatku serasa langit runtuh. Hancur lebur berkeping-keping.
Hari itu aku berniat meminjam laptop milik Mas Heri karena kebetulan laptop yang biasa kupakai tiba-tiba melakukan update otomatis yang memakan waktu lama. Padahal aku cuma mau check out barang di olshop. Kebetulan HP-ku juga sedang dipakai Dimas untuk belajar (waktu itu Dimas tidak kuizinkan punya HP kecuali dia bisa membelinya pakai uang sendiri). Aku pergi ke kamar. Mas Heri sedang di kamar mandi. Karena kuanggap bukan hal yang penting-penting amat, aku tidak bilang-bilang mau pinjam laptop.
Kuambil saja laptop di atas kasur. Ternyata sedang menyala. Pasti Mas Heri tadi memakainya. Belum sempat kubuka alamat olshop itu, jemariku langsung terhenti. Mataku terbelalak demi melihat apa yang ada di layar laptop. Jantungku seperti macet beberapa saat. Entahlah. Tidak pernah sebelumnya aku merasa seterpukul itu.
Aku langsung berlari ke kamar Dimas. Dimas yang sedang belajar kaget melihat air mataku bercucuran. Belum sempat dia mencerna kekagetannya, kusuruh Dimas mengemasi pakaiannya. Pada saat itu pertama dan terakhir kali aku berteriak dan membentak Dimas. Aku tidak mau dia bertanya. Kami harus segera minggat dari rumah secepatnya.
Belum ada setengah jam, aku dan Dimas sudah berada di dalam sebuah bus. Aku bahkan tak memperhatikan tujuan busnya ke mana. Di pikiranku hanya ingin cepat menjauh, pergi ke luar kota, atau bahkan ke luar negeri kalau perlu. Pikiranku sangat kalut.
6 jam perjalanan bus kami tiba di sebuah kota kecil. Aku memutuskan untuk bermalam di kota itu.
Di sepanjang perjalanan aku hanya memeluk Dimas sambil menangis dengan suara seminimal mungkin. Tapi Dimas pasti merasakan dadaku sesenggukan menangis. Yang aku heran adalah, anak itu sama sekali tidak bicara atau bahkan bertanya apapun. Dia hanya diam. Sesekali mengusap tanganku. Seakan mengerti bahwa aku sedang tidak bisa diajak ngobrol.
Kami menyewa sebuah kamar hotel. Kusuruh Dimas mandi, dia pun menurut.
Mataku sudah sangat sembab. Kucek HP ku ada lima panggilan missed call. LIMA! Coba bayangkan. Istrinya minggat dari rumah dan orang itu cuma memanggil nomorku lima kali! Aku bahkan kesal pada diriku sendiri bahwa aku masih mengharapkan sesuatu dari bajingan itu.
“Ma, Dimas udah mandinya. Mama lagi sana.”
Itu pertama kalinya Dimas berbicara semenjak dirinya kuajak paksa untuk kabur dari rumah. Aku kadang tak menyangka bahwa dia ini anakku sendiri. Kok bisa sepengertian itu? Aku pun terenyuh dan menyunggingkan sedikit senyum. Aku berjanji akan menjelaskan semuanya kepada Dimas.
Tapi saat memasuki kamar mandi, aku kembali dibelenggu rasa sakit. Kunyalakan shower maksimal, dan aku menangis tanpa kutahan. Hingga lelah pita suaraku.
Setelah hampir satu jam di dalam kamar mandi, perasaanku berubah jadi hampa. Mungkin memang sudah nasibku harus mengalami malapetaka ini. Aku bisa apa? Rasanya hatiku mati rasa.
Dengan semua kombinasi kekacauan itu, tubuhku sepertinya punya mekanisme untuk menyelamatkan diri dari keterpurukan. Tanpa benar-benar kusadari, tanganku mulai mengusapi daerah vagina. Awalnya hanya sentuhan tak bermaksud, lama-lama menjadi usapan ritmik. Tangan yang satu lagi—juga tanpa perintah sadarku—mulai mengusapi dadaku dan memainkan putingnya.
Aku benar-benar sedang di tengah masturbasi ketika kudengar pintu kamar mandi diketuk, lalu terdengar suara Dimas memanggilku. Dia pasti khawatir. Akal sehatku kembali untuk sejenak.
“Mama lama banget mandinya. Entar masuk angin.” Ucap Dimas begitu melihatku keluar kamar mandi. Aku keluar hanya mengenakan handuk mandi, tak sempat pakai apa-apa lagi di bawahnya.
Aku beranjak duduk ke atas kasur. Aku mengisyaratkan Dimas supaya duduk di sampingku. Kutatap matanya lekat-lekat, dan aku tersenyum. Ternyata meski dengan kesialan yang pahit ini, aku masih punya Dimas yang sangat kucintai. Aku sempat lupa bahwa aku punya seorang anak yang luar biasa.
Kupeluk Dimas. Rasanya hangat. Dimas balik memelukku.
“Maafin Mama ya. Kamu pasti kaget. Kamu pasti bingung.”
Aku terkejut karena kurasakan Dimas mulai terisak.
“Dimas takut, Ma. Dimas khawatir sama Mama. Tapi Dimas ga bisa bantu apa-apa.”
Hatiku langsung meleleh. Seketika langit runtuh itu seakan-akan menjulang lagi. Kupeluk Dimas lebih erat. Sambil kuusap-usap kepalanya.
“Nggak, sayang. Kamu segalanya buat Mama. Kamu nggak perlu melakukan apa-apa.”
Setelah terjatuh dan tertawan hampa, dalam sekejap semua berubah 180 derajat, aku tak pernah merasa se-emosional itu. Rasanya ingin kuungkapkan berjuta-juta kali bahwa aku sangat mencintai Dimas, anakku, tapi itu tetap tak akan cukup untuk membahasakan perasaan yang sebenarnya.
Kupeluk Dimas selembut dan sepenuh perasaan yang kupunya. Kuusap-usap pipinya dengan pipiku. Kugesek-gesek dengan penuh cinta. Lalu berpindah ke bagian depan wajah. Kugesek-gesek ujung hidungku di hidung Dimas. Dimas tertawa geli. Aku tak mungkin lebih bahagia lagi. Lalu kupeluk dia sekali lagi. Dimas mengusap-usap punggungku yang hanya dibalut handuk. Kumundurkan wajahku untuk menatap wajahnya.
Dimas tersenyum.
Mulai detik itu, aku tak begitu paham apa yang terjadi. Tiba-tiba saja wajahku maju dengan kecepatan konstan dan kurang dari lima detik bibirku sudah menempel di bibirnya, mengajaknya berpagutan. Kurasakan badan Dimas terkejut, seperti tersengat listrik. Tapi dia tidak menolak, tidak juga segera memberi reaksi apapun. Dia hanya menerima.
Sepuluh detik bibir kami bersentuhan. Kumundurkan wajahku, dan benar saja, wajah Dimas tampak sangat terkejut dan kebingungan. Tetapi ini kebingungan yang berbeda dari yang terjadi saat kami masih di rumah. Ini kebingungan yang baru. Menyenangkan. Agak sedikit menegangkan.
Entah komando dari siapa, tubuhku perlahan melandai, membawa juga Dimas untuk rebahan di atas kasur. Posisi kami jadi berpelukan sambil tiduran menyamping. Aku kembali tak tahu malu mengecup bibirnya. Kini lebih lama dan lebih khusyuk. Bahkan kupejamkan mataku setelah beberapa saat. Tanganku yang satu mengusap-usap punggungnya sambil perlahan mendorong supaya badan kami semakin menempel. Tanganku yang satu lagi, juga, mengusap-usap kepalanya, dan memastikan wajahnya tetap dekat.
Dengan tidak terbu-buru, dari yang tadinya sekadar bibir saling berpagutan, perlahan lidahku menerobos mulut Dimas. Aku merasakan gelombang kejut kedua ketika lidahku bertemu lidahnya. Sekujur tubuh Dimas menjadi sangat tegang untuk beberapa saat.
Aku semakin meningkatkan intensitas gerakan lidahku di dalam mulutnya. Dimas pun akhirnya merespon dengan ikut menggerakkan lidahnya, bergerilya di dalam mulutku. Napas kami berdua mulai terasa memburu. Sesekali mata kami saling tatap, dan setiap itu terjadi, ada semacam sinyal untuk melakukan yang lebih. Dimas memundurkan badannya sedikit, dan aku agak terkejut ketika kurasakan tangannya meremas lembut dadaku. Aku tidak sempat memikirkan dari mana dia belajar melakukan itu. Tapi bisa saja semuanya terjadi secara alami karena memang tubuh kami berdua saling mau. Tak perlu diajarkan. Insting saja.
Tanganku yang tadinya mengusap punggung Dimas, mulai meraba-raba ke bagian bawah. Gelombang kejut Dimas yang ketiga terjadi ketika tanganku dengan tegas menyentuh penisnya dari luar. Sambil terus berciuman, dan semakin ganas. Bahkan terdengar suara ‘cup, cup, cup’ yang cukup keras. Bau air liur tercium karena kecupan yang sangat basah.
Setelah berusaha cukup keras, akhirnya aku bisa membuka resleting celana Dimas, lalu menelusupkan tanganku ke dalam CD-nya. Saat tanganku bersentuhan langsung dengan penis tegangnya, kurasakan seperti ada godam menghantam perutku. Nafsuku seperti mau erupsi. Aku jadi tidak sabaran.
Kulepaskan kecupan kami yang sedang ganas-ganasnya. Sebenarnya bibirku enggan lepas, tapi…
Segera kulucuti celana Dimas, dengan begitu cepat tanpa dia bisa protes atau menghentikannya. Lalu dengan gerakan yang sama cepat, kutindih Dimas yang kini penisnya sudah babas mengacung ke atas.
Kami melanjutkan ciuman super panas yang terinterupsi tadi. Tapi kini aku menindihnya. Kurasakan batang tegang Dimas menekan bagian perutku yang masih terbungkus handuk. Tanpa melepaskan ciuman, kunaikkan bagian bawah tubuhku sedikit untuk segera kulepas handuk keparat itu, dan akhirnya aku pun bertelanjang bulat.
Aku kembali menindih Dimas, dan penisnya bergesekan langsung dengan perut telanjangku. Sepertinya aku sudah benar-benar di luar kendali. Sebab, hal selanjutnya yang kutahu adalah tanganku memegang batang keras itu, lalu berusaha mengarahkannya masuk ke dalam lubang vaginaku sendiri.
Setelah beberapa kali percobaan, kepala penis Dimas akhirnya berhasil bersarang di vaginaku. Aku merasa jadi gila. Saking ekstasinya, aku sampai melepaskan kecupan kami untuk merasakan dengan lebih saksama ketika batangnya semakin masuk, bergesekan dengan dinding lembab vaginaku yang rasanya sudah berabad-abad tak disentuh daging lelaki. Aku melenguh cukup keras sambil memejamkan mata. Kudengar Dimas juga mengerang. Menambah-nambah saja kenikmatan yang kurasa.
Waktu terasa berhenti ketika penis itu sudah masuk sepenuhnya. Aku membuka mata, kulihat Dimas, ekspresi wajahnya baru, tak pernah kulihat sebelumnya. Di kemudian hari itulah ekspresi wajah yang paling kudambakan. Ekspresi wajah seorang anak yang sedang dilanda nikmat yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Aku segera mencipoknya dengan ganas. Bagai sedang kelaparan. Di bagian bawah, vaginaku mulai menggenjot penis Dimas, awalnya sangat perlahan, tapi terus-menerus meningkatkan kecepatan dengan ritme konstan.
Oh, ini gila. Sungguh. Aku tak peduli apapun. Aku tak peduli siapa diriku, aku tak peduli dari mana asalku, aku tak peduli apa yang terjadi di masa lalu atau yang akan terjadi di masa depan. Aku tak peduli dunia ini. Persetan semuanya.
Aku sedang bersatu tubuh dengan yang kucinta, yang kusayang, darah dagingku sendiri—yang dulu merupakan bagian dari tubuhku. Kini dia kembali menyatu dengan aku. Berpadu. Kami satu. Aku dan Dimas adalah satu tubuh, yang terhubung secara tak terbantahkan lewat kedua kelamin kami yang saling menikmati.
Aku semakin gila. Semakin kugenjot penis Dimas, semakin hilang kesadaranku. Semakin cepat kugerakkan pinggulku turun naik, maju mundur, berputar. Batang penis Dimas mengaduk-aduk semua bagian vaginaku.
Ketika kurasakan hampir mencapai puncak, aku tak tahu inisiatif dari mana, kulepaskan kecupan kami, lalu kupegangi wajah Dimas sisi kiri dan kanan, kutatap matanya dalam-dalam pada jarak terdekat yang masih bisa. Lalu aku merapal, “Sayang… sayang… sayang… Ahhhh… Sayang… sayang… sayang…” sedikit merengek suaraku. Aku sendiri kaget aku bisa mengeluarkan suara semacam itu.
Di tengah ceracau itu, aku pun mendapatkan orgasmeku setelah sekian lama. Orgasme terindah. “AAHHH…!!!” aku berteriak lepas. Tidak peduli.
Dinding vaginaku mengapit, berkedut, dan menyedot-nyedot batang penis Dimas seperti hendak menelannya.
Selang beberapa saat, erangan Dimas pun terdengar, jauh lebih pelan dari teriakanku, tapi aku tahu itu sebuah tanda. Bersamaan, kurasakan air mani Dimas menyemprot-nyemprot gerbang leher rahimku. Hangat luar biasa. Tanpa disadarinya, karena tentu saja aku pun sudah tak tahu ke mana kesadaranku pergi, Dimas menghujam-hujamkan batang penisnya sekuat tenaga, seirama dengan semprotan pejunya. Seakan-akan dia ingin kembali masuk ke dalam rahimku.
Ini sinting. Aku tak tahu apakah bisa lebih nikmat dari ini.
Napas kami terengah-engah. Tanganku mengusap-usap wajahnya. Pusat panas masih berada di alat kelamin kami, tapi entah kenapa kurasakan wajahku pun semakin menghangat.
Lalu aku menangis. Keluar air mataku perlahan-lahan. Tapi aku menangis sambil tersenyum dan sedikit tertawa. Pada saat itu aku masih bingung kenapa aku menangis. Apakah karena saking bahagia? Apakah karena rasa sayang? Apakah karena kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya? Atau karena rasa bersalah?
Beberapa saat kemudian, mungkin karena kelelahan mengalami semua rollercoaster emosi dan berahi ini, aku pun tertidur dengan sangat pulas dalam pelukan Dimas. Dalam keadaan masih telanjang bulat. Tidur ternikmat seumur hidupku.
Aku ibu paling terpenuhi di dunia ini.
Aku terbangun. Tidurku hampir tanpa mimpi. Aku dibalut selimut, tapi kurasakan di bawahnya masih telanjang. Seketika semua kejadian sebelumnya, berikut sensasinya, membanjiri benakku.Tadi malam bukan mimpi rupanya.
Dimas sedang menatapku. Sepertinya dia sudah lama terbangun. Matanya bening seperti embun pagi. Ekspresi wajahnya sangat sulit kubaca. Ini baru lagi. Tak pernah dia pasang muka seperti itu.
Aku sempat bingung mau bagaimana.
“Hei,” aku menyapa sambil tersenyum. Kubelai pipinya. Tiba-tiba aku jadi deg-degan lagi.
Tatapan dan ekspresi wajahnya belum juga berubah.
“Kamu laper nggak?” Agak aneh, ‘kamu’ yang kuucapkan barusan terasa lain. Aku mengikik kecil dalam hati. Kenapa tiba-tiba ringan begini, ya?
Dimas bergeming. Sepertinya dia juga bingung luar biasa. Sebetulnya aku sendiri sangat bingung bagaimana harus menindaklanjuti kegilaan yang menyenangkan ini. Semua jenis perasaan berputar-putar di palung hatiku, tapi rasa lapar menahan mereka semua.
“Mau sarapan ke bawah atau pesen anter aja?”
Dimas tetap bergeming.
Aku beranjak keluar dari selimut, duduk di tepi ranjang, dan kuamati sekujur tubuhku yang telanjang. Payudaraku. Perutku. Kaki putihku. Baru kali ini aku mengamati badanku sendiri sampai detail. Bulu kemaluanku tidak terlalu lebat. Mendadak aku jadi rada terharu. Kok bisa hoki banget diriku punya badan sebagus ini.
Aku memungut bath robe yang kuhempaskan tadi malam, lalu memakainya dengan santai. Aku tahu Dimas masih menatapku dalam diamnya. Aku sebetulnya agak khawatir juga karena tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi di sisi lain—ini sinting—aku merasa sangat suka dia menatapku diam-diam begitu.
Aku menghubungi layanan pesan makanan. Sambil menunggu makanan datang, aku mengecek ponselku. Ada 15 panggilan misscall. Aku tersenyum kecut. Badai perasaan mulai naik. Beberapa saat kemudian, kumatikan saja ponselku itu.
Kami terjebak dalam hening yang sangat ganjil. Ada rasa tidak nyaman, tapi ada juga rasa nyaman. Aku tidak berani menatap Dimas balik meskipun aku tahu dia masih terus menatapku tanpa terputus—bahkan mungkin tanpa berkedip.
Jeda antara keheningan dan suara bel pintu kamar terasa seperti berjam-jam. Aku hampir melompat ketika makanan yang kupesan akhirnya datang.
“Yuk, sarapan. Kamu pasti laper kan.” Kali ini kuberanikan diri melihat Dimas.
Dia sudah bercelana, duduk di tepi ranjang.
Ada satu pikiran yang sejak bangun tadi mengganjal hatiku. Rasanya canggung sekali untuk menggunakan kata sapaan yang biasa kami gunakan. Mengingat apa yang telah kami lakukan semalam, apakah aku masih pantas merujuk pada diriku sebagai ‘Mama’? Apa aku ini masih pantas disebut orang tua?
“Maafin Mama ya, semalem lupa pesen makan.” Persetan lah. Mari pura-pura bego saja, diriku.
“Semalem nggak laper kok.” Akhirnya. Buka suara juga dia. Tapi ada perubahan besar dalam nada bicaranya itu. Dan gilanya aku seperti tersihir—ingin mendengarnya lagi.
“Kamu semalem nggak kedinginan?” Pertanyaan bodoh. Aku langsung menggerutu dalam hati.
“Mama?” Dimas balik bertanya.
Pertanyaan basa-basi yang sangat tidak mutu. Bagaimana mungkin kedinginan kalau kami berdua tidur berpelukan serapat itu.
Aku menjawab hanya dengan menggeleng sambil berusaha menyunggingkan senyum.
Lalu kami makan tanpa banyak bicara.
Selesai makan, kembali kikuk lagi. Sumpah ya, ini susah sekali. Apa yang harus kami bicarakan setelah pertama kali melakukan hubungan incest? Kenapa tidak ada buku panduan untuk hal semacam ini.
Tapi, lagi-lagi, aku kagum dengan cara Dimas mengatasi semua ini. Dialah yang membuka pembicaraan serius yang kemudian akan mengantarkan kami pada peristiwa ngentot yang kedua dan seterusnya.
“Ma, kenapa kita pergi dari rumah? Terus kita mau tinggal di mana?” Pertanyaan Dimas tanpa intonasi sama sekali. Persis seperti pewawancara profesional.
Aku menghela napas panjang.
“Mama minta maaf udah bikin kamu bingung. Mama nggak bisa mikir jernih waktu kemarin.” Aku menghela napas lagi. Ini masih berat buatku. Cuplikan layar laptop Mas Heri yang kemarin tak sengaja kulihat bertebaran, semuanya seperti terpampang jelas di depanku.
Dimas menggenggam tanganku.
“Sayang…”
Dimas tersenyum. Rasanya aku sudah tak tahan ingin menangis.
“Mama mungkin harus cerai sama Papa.” Dengan suara bergetar aku mengatakannya.
Dimas menatapku serius. Dia sepertinya ingin tahu kenapa, tapi tak ia ucapkan. Dia biarkan aku mengatur napas.
“Kamu nggak apa-apa kan kalau Mama sama Papa cerai?” Ketika menanyakan ini aku sungguh merasa sebagai orang tua paling gagal dan paling tolol di dunia.
“Buat Dimas yang penting Mama seneng, bahagia. Dimas nggak tahu masalahnya apa tapi kalau sampe bikin Mama nangis kayak kemarin, pasti Papa udah bikin kesalahan yang besar. Dimas bakal selalu ada di pihak Mama.”
Kami berpelukan.
“Makasih, sayang…”
Kali ini pelukan tulus sih, belum ada embel-embel yang lain.
“Kamu mau mandi nggak?”
“Mau.” Sorot mata Dimas seperti bertanya-tanya, apa maksudku bertanya tentang mandi.
“Mandi bareng.” Aku kagum sama diriku sendiri bisa mengucapkannya dengan sangat santai, seakan-akan mandi bareng sudah menjadi sebuah rutinitas bagi kami berdua.
Dimas hanya tersenyum. Sebuah senyum yang di kemudian hari kuhapalkan maknanya sebagai senyum sange berat.
“Agak ke atas dikit.”
“Ini?”
“Yang kayak nonjol gitu lho.”
“Oh, ini?”
“Iya itu. Pelan-pelan ya usapnya. Ahhh…”
Sudah jelas memang bahwa sejak awal mandi itu cuma alibi saja. Aslinya ya aku ingin ngentot lagi.
Dimas sedang mengusap-usap klitorisku dari belakang. Tanganku sendiri sibuk meremas kedua payudara. Penis tegang Dimas menempel rapat ke punggung bawahku.
Setelah aku puas, giliran Dimas kusuruh duduk di tepi bathtub. Lalu kusepong penisnya. Sambil mataku terus menatap ke atas melirik wajahnya. Dimas merem melek keenakan. Ketika kami kontak mata, aku berikan senyuman paling erotis yang kubisa.
“Enak banget, Ma. Aahhh…” Dimas merem lagi.
Tiga menit kemudian, aku sudah tak tahan. Kuminta Dimas duduk di closet.
“Mama masukin, ya,” ucapku, cuma supaya menambah kesan erotis.
“Apanya, Ma?”
Anak pintar. Paham dia maksud ucapanku.
Aku tersenyum dulu sebelum kemudian menjawab, “Kontol kamu.”
“Mau dimasukin ke mana?”
Jantungku berdebam. Aku merasa seperti binatang.
“Ke memek Mama.”
Kami berdua melenguh bersamaan ketika perzinahan tabu ini terjadi lagi. Lalu kulumat mulut Dimas seraya mulai menggenjot batangnya. Suara eranganku menggema di dinding kamar mandi. Tak tahu malu. Tak peduli.
“Isep susu Mama dong, sayang. Kayak waktu kamu bayi dulu.” Kusodorkan payudara kananku. Dimas segera menjilatinya. Suara eranganku semakin keras karena tidak diredam oleh mulut DImas. Aku yakin kalau ada orang lewat di depan kamar kami, pasti terdengar. Tapi bodo amat. Aku tidak peduli.
Lima menit kemudian Dimas minta ganti posisi.
“Mama nungging,” perintahnya.
Sebagai ibu yang baik, tentu saja aku menuruti keinginan anak semata wayangku itu. Tanganku bertumpu pada closet.
Dimas menjilati punggungku sambil mengentotku dari belakang. Kali ini kuusahakan untuk menahan suaraku sebisa mungkin meskipun rasa nikmatnya sudah di luar akal sehat.
Malam itu Dimas tidur awal. Dia bahkan masih pakai baju. Biasanya tidur telanjang karena sebelum tidur mengentotku dulu. Dia pasti kecapekan. Setelah banyak berkegiatan di siang hari, sore harinya bukan istirahat malah berzina denganku.
Setelah makan kenyang pakai ayam bakar yang kubeli, Dimas langsung pergi ke kamar (kamarku). Dia tidak lagi repot-repot pura-pura tidur dulu di kamarnya untuk selanjutnya sekitar jam 10 diam-diam pindah ke kamarku dan tidur di sana (setelah ngentot dulu, tentunya).
Mas Heri tidak banyak bicara sejak pulang. Dia bahkan tidak makan bareng kami. Setelah aku dan Dimas selesai makan, baru dia makan sendiri. Aku menonton TV. Semakin hari memang komunikasi antar kami dan Mas Heri semakin berkurang. Bahkan kadang-kadang dalam satu hari tak ada bertukar kata sedikit pun.
Aku sendiri lumayan lelah, jadi kuputuskan untuk segera tidur. Saat beranjak dari sofa, tiba-tiba Mas Heri nongol dari ruang belakang. Handuk kecil nangkring di bahunya, tanda dia baru selesai cuci muka. Sepertinya dia juga sudah mau tidur.
“Dimas udah tidur?”
“Iya. Kayaknya kecapekan dia.”
“Yuli tadi kehujanan gak? Mending besok bawa mobil aja.”
“Nggak kok. Lagian hujannya kecil. Aku bawa mantel.”
Mas Heri hanya mengangguk kecil.
“Saya besok berangkat ke Balikpapan. Tiga hari.”
“Oh.” Sudah biasa. Aku tak lagi bertanya-tanya. Hampir setiap minggu Mas Heri ke luar kota.
“Mau titip oleh-oleh?”
“Apa saja boleh.”
“Oke.”
Percakapan berakhir. Aku segera masuk kamarku, begitu juga Mas Heri segera masuk kamarnya.
Aku segera meringkuk dan memeluk Dimas yang tertidur pulas. Kubelai-bela rambutnya. Kesayanganku. Kukecup keningnya tiga kali, yang terakhir agak lama. Lalu aku pun terlelap.
Lewat tengah malam aku terbangun. Ada yang menggerayangi tubuhku. Ternyata Dimas sedang menyusu. Aku membelai-belai kepalanya. Awalnya aku berniat tidur lagi, tapi ternyata Dimas terus menyusu, dan kini mulai menggesek-gesekkan penisnya ke badanku.
“Kenapa sayang? Tumben kamu kebangun.” Tanyaku sambil membelainya.
“Tadi Dimas ketindihan, Ma. Engap. Takut pengen tidur lagi.”
“Kamu kekenyangan sih ya, pas makan tadi sore.”
“Maaf ya Mama jadi kebangun juga.”
“Nggak apa-apa, sayang. Mau lanjut nyusu lagi?”
Dimas tidak segera menjawab.
“Atau mau ngentot Mama?”
“Mama nggak ngantuk?”
“Nggak apa-apa. Mau? Siapa tahu nanti kamu ngantuk lagi sehabis ngentot.”
“Ya udah deh, mau. Eh, tapi kan kondomnya… tadi sore Mama beli berapa?”
“Beli banyak kok. Tapi… emang mau pake kondom?”
“Emang boleh nggak?”
Duh, aku gemas sekali. “Boleh deh. Khusus malem ini buat anak Mama yang paling ganteng,” ucapku sambil menjawil hidungnya.
“Hehehe, makasih, Ma.” Lalu dia mengecup bibirku.
“Mau langsung masukin apa mau ngapain dulu?”
“Eh… mau jilatin dulu boleh nggak?”
“Boleh… jilatin apa?”
“Memek.”
Aku segera menyibak selimut yang membalut tubuh kami.
“Kamu buka dulu bajunya gih.”
Dimas melucuti bajunya secepat kilat. Lalu segera terjun ke selangkanganku. Tampak riang sekali dia seperti siang hari. Suara seruputan dan sapuan lidahnya jelas terdengar. Sialan, aku jadi horny juga akhirnya.
Selang beberapa menit.
“Udah? Mau masukin apa masih yang lain dulu?”
“Masukin deh. Hehehe.”
Tiba-tiba, entah wangsit dari mana, aku mengusulkan sebuah ide sinting.
“Sayang, kita ngentot di ruang tengah aja yuk.”
“Kenapa, emangnya, Ma?”
“Ya, nggak apa-apa. Suasana baru aja.”
“Ngentotnya di sofa?”
“Boleh. Di karpet juga boleh.”
“Di sofa aja deh. Di karpet takut dingin.”
“Hihihihi. Kan kalau ngentot nanti badan kita panas, sayang.”
Aku yang telanjang menggandeng anakku yang juga telanjang. Kami berjalan pelan menuju ruang tengah, tempat biasa menonton TV. Lampu ruangan masih mati.
Aku rebahan di atas sofa sambil mengangkang. Dimas segera memposisikan penis tegangnya di atas belahan vaginaku.
Ruang tengah ini posisinya ada di antara kamarku dan kamas Mas Heri. Dengan TV yang dan sofa yang saling berhadapan. Jadi, aku yang rebahan di bahu sofa menghadap kamar Mas Heri, sedangkan Dimas yang hendak menggenjotku memunggungi pintu kamar Mas Heri.
“Kalau Papa bangun gimana, Ma?”
“Nggak. Nggak bakal.” Aku membual.
Dimas mulai memasukkan penisnya perlahan-lahan. Pandai sekali anak ini kalau soal penetrasi. Sabarnya sangat mumpuni.
Ada satu fakta remeh tentang Mas Heri yang awalnya kuanggap tak berguna. Setiap malam tertentu dia selalu menonton siaran langsung sepak bola. Jadwalnya antara pukul 11 malam sampai pukul 3 pagi. Aku tanpa sengaja mengamati dan menghapal jadwal pertandingan yang selalu ia tonton. Informasi itu kugunakan sebagai ancang-ancang untuk tidak membuat suara terlalu keras kalau kebetulan sedang ngentot dengan Dimas—seperti malam ini—dan dia sedang ada di rumah.
Namun, kali ini justru sebaliknya. Aku tahu persis malam ini adalah jadwalnya. Dan aku dengan sengaja, bukan hanya soal suara, aku bahkan terang-terangan mengentot di ruang tengah.
“AAAHHHHHH!!!” aku berteriak keras-keras ketika penis Dimas masuk seluruhnya.
Dimas sendiri agak kaget. Tapi mungkin dia sudah sange berat, dia tak peduli dan anteng saja mengentotku.
Beberapa saat kemudian, sebagaimana yang kurencanakan, pintu kamar Mas Heri pun terbuka. Lalu kepalanya nongol dengan mata yang menyipit, berusaha melihat ke ruang tengah yang temaram—tapi kemudian mata itu membelalak setelah melihat apa yang terjadi di hadapannya.
Aku menatap mata itu setajam-tajamnya, dan kuguratkan senyum sebengis yang kubisa.
“AHHHH… ENAK BANGET SAYANG. IYA. TERUS. TERUS DIMAS. TERUS ENTOTIN MAMA, SAYANG.”
-END-