DISCLAIMER
SETTING NAMA TOKOH, LATAR BELAKANG, DAN SEGALA PENYEBUTAN BERBAU INSTANSI DI CERITA INI SUDAH PENULIS DISAMARKAN.
CERIA INI MURNI DARI KEHIDUPAN PENULIS MENJALIN HUBUNGAN TABU BERSAMA SAUDARA SEKANDUNG DAN SEDARAH.
PENULIS TIDAK BERTANGGUNG JAWAB APABILA ADA KALIMAT YANG KIRANYA MENYINGGUNG BANYAK PIHAK. OLEH KARENANYA, PENULIS SAMPAIKAN UNTUK MEMPERSIAPKAN PIKIRAN DINGIN DAN MENGANGGAP SEGALA CERITA YANG TERMUAT DI DALAMNYA ADALAH HIBURAN SEMATA.
TERIMA KASIH.
INTRO
Kalian bisa memanggilku Rio. Maba Kampus Buaya. Umur sudah 19. Masih muda dan panas-panasnya.
Mula-mula, aku ingin mengajak kalian mengintip sedikit memori masa laluku. Mundur jauh di zaman aku SMP.
Ngomong-ngomong, kalau ada yang kenal geng jadul bernama Slanker Semut pecinta reggae, aku anggotanya. Kami anak vespa yang punya dunia hitam sendiri. Pun punya lagu kebangsaan Paperboy dari band legendaris Heavy Monster.
Tetet, tetet, tetetttt!
Masih saja kulalui jalan ini…
Tiada yang berubah dengan rute yang sama…
Seolah telah ku akrabi semua…
Dengan setumpuk koran ku kayuh sepeda…
Walaupun lelah yakin kupasti bisa
antarkan semua koran ini ke rumahmu…
Wooooo! Wohoooo!
Asu, jadi kangen masa lalu. Lagu kebangsaan yang selalu ada di setiap playlist ponselku. Mau ponsel zaman taek dari Blackberry sampai iPhone. Paperboy akan selalu menemani hari-hariku. Sebuah ritual kecil di pagi hari yang biasa aku lakukan setelah menyelesaikan rutinitas harian: sholat shubuh, jogging, dan cuci baju sendiri.
Tiga tahun masa SMP aku lalui dengan menetesnya benih-benih menjadi anak berandalan dan liar. Di zamanku, masih kental akan geng-gengan di sekolahku sendiri, atau pun di sekolah lain. Kalau diingat lebih jauh, geng di SMP-ku terbagi menjadi dua kubu. Satu kubu anak reggae -Slanker Semut- dan satu kubu anak hardcore -Warsenk-.
Untuk penampilan anak-anak lelaki di sekolah kurang lebih sama: celana dipotong dibuat pensil, dasi dibentuk pendek, pakai sepatu Converse, DC, Macbeth. Lebih banyak yang pakai Macbeth, sih. Kalau aku tim DC soalnya lebih nyaman saja di kaki. Untuk alas kakinya sendiri kebanyakan pakai yang panjang sebetis. Tak ketinggalan jaket levis tanpa lengan dengan tembelan banyak logo.
Balik lagi soal dua geng besar di SMP-ku. Baik Slanker Semut mau pun Warsenk seperti punya dunianya sendiri. Kami tidak pernah saling menyenggol. Jarang ada gesekan. Adem ayem lah bisa dibilang. Saat ada pensi alias pentas seni di sekolah yang sering digelar di beberapa gedung besar (Empires Palace, ACBC, dll) kami menampilkan musik, juga dengan ciri khas masing-masing kelompok. Btw, band anak-anak Slanker Semut berisikan 7 orang. Termasuk aku di dalamnya. Gini-gini, aku biyen mantan vokalis rek, ojok salah awakmu.
Di luar konteks, kalau semisal ada satu-dua orang anggota geng bermasalah, kedua kubu menyelesaikannya dengan cara yang kami sebut Jackass. Diseret ke aula lantai 5, disaksikan para anggota, dan diberi beberapa pilihan hukuman. Dari yang paling ringan adalah melakban mulut lalu ditarik kencang, sampai yang paling ekstrim disuruh pakai kaos rival pas tim sepokbolaku bermain. Mau pulang hidup atau cacat, tak ada yang peduli.
Selama menikmati proses menuju tangga pendewasaan diri di bangku SMP, sudah tak terhitung berapa kali aku masuk ke ruang BK. Beliau-beliau di dalam sana pun sampai eneg. Mbelenger ndelok raiku seng ngganteng iki, hehehe.
Pun banyak sekali pelajaran di jalanan yang aku ambil hingga membentuk pribadiku yang urakan. Rokok, mabuk, ngepil, sampai nonton bokep di Waptrick. Suka dan duka yang aku lalui di SMP masih teringat jelas sampai sekarang. Salah satu contohnya saat aku pacaran sama kimcil yang doyan ganti-ganti pacar. Semua laki-laki dibabat sama dia. Termasuk aku. Sebut saja namanya Anin. Anin ini satu angkatan sama aku. Kalau mengikuti kata zaman sekarang, Anin ini suka pansos. Mau jelek bagaimanapun, asal si laki punya kendaraan bagus dan berdompet tebal, dia dekati. Aku sendiri sama Anin baru pacaran setelah putus dengan pacar pertamaku -satu kelas lagi-. Namanya juga aku masih hitungan masa-masa baru tumbuh jembut dan demen lihat susu besar, kami pacaran sering ciuman dan raba aset masing-masing tapi tidak sampai melibatkan pertempuran di ranjang. Belum.
Waktu berjalan begitu cepat. Perpisahan demi perpisahan bersama teman-teman seangkatan, juga kakak kelas terasa menyedihkan. Banyak momen yang Slanker Semut berikan padaku. Foto-foto menggunakan kamera SLR yang wajahnya putih kayak pejuh pun sebagian masih tersimpan rapi di galeri.
Hingga sampailah aku masuk SMA Negeri. Sebagai hadiah aku masuk SMA, orang tuaku membelikanku motor custom, dengan harapan aku tambah giat belajar dan tidak lagi nakal. Namun, melihat latar belakangku yang seperti ini, rasa-rasanya doa orang tuaku baru terkabul kalau aku sudah mendapat batuku.
Karena di SMA ada dua jurusan, wajahku ini ya sudah jelas lebih cocok masuk di IPS, cok. Seolah gerombolanku ya anak-anak bangsat itu. Bukan anak-anak kutu buku yang suka menghabiskan waktu di perpustakaan dan laboratorium.
Di tahun pertama duduk di bangku putih abu-abu, aku membentuk geng kecil. Aku dan ketiga temanku. Sebut saja nama mereka Yoshi, Ipang, dan Ambon.
Mereka adalah manusia-manusia yang sudah terlahir bajingan. Suka bikin gara-gara dengan anak IPA. Bahkan kakak kelas 11 dan 12 suka kami senggol. Belum lagi kami membentuk tim futsal untuk menyaingi tim inti futsal SMA. Bergabungnya satu orang ke tim futsalku, menjadi saksi bisu hancur lebur kami bertiga digaprak alias diciderai saat kami sparing di lapangan futsal Ole-ole. Belum lagi pas pulang kami dicegat dan berakhir kisruh. Kami berlima pulang sudah kayak habis perang, cok. Hina.
Oh, iya. Aku sama Ambon itu satu komplek tapi beda blok. Pas pulang habis bentrokan bersama kakak kelas, aku yang menyetir motor. Sementara Ambon duduk di belakang. Meluk aku dia. Bajingan. Badannya sudah lemas sekali kala itu. Dia yang paling vokal dan beringas, dia juga yang paling parah lukanya.
Sampai di rumahnya Ambon, ada Om dan Tantenya yang kebetulan berada di rumahnya Ambon. Habislah kami berdua dimarahi. Di sisi lain, kami dikondisikan sama Mamanya Ambon -biasa aku panggil Umik karena beliau sudah naik haji-.
Setelah hari itu, hari-hari kami berlima, terutama aku dan Ambon jadi banyak teror. Dimulai dari motor kami berdua digembosi. Helm hilang. Sampai ekstrakurikuler futsal kami berdua kerap mendapat gangguan dari kakak kelas. Aku dan gengku sih jarang melawan. Karena sebelumnya aku sudah diperingatkan oleh guru Bahasa Inggris, yang juga tetanggaku sendiri, kalau jangan pernah berurusan dengan kakak kelas. Sebab, di zamanku itu, alumni kakak kelas dari SMP-ku tidak ada yang masuk di SMA-ku. Ada pun, itu para wanita. Bisa dibilang, dari banyaknya angkatanku di SMP, hanya aku yang masuk SMA Negeri. Asu, kan?
Nah, kalau ada apa-apanya sama aku, aku tidak ada back-up-an. Bukannya pengecut dan tidak bernyali, realistis saja kami kurang personil. Lagipula, saat aku SMA itu, pikiranku mulai terbuka untuk jadi anak baik. Yah, meski rokok, balapan, dan mabuk sambil remian tetap jalan, sih.
Perubahan drastisku baru terjadi saat aku naik kelas 11. Satu makhluk jahanam dari kelas IPA pindah ke IPS. Ke kelasku. Panggil saja Bogang. Dipanggil begitu karena gigi atasnya patah separuh. Wajahnya lebih tampan dari kami berlima. Tapi sifatnya yang kayak setan benar-benar di luar nalar.
Kegilaan berkedok isengnya Bogang ini berawal dari kedatangan guru Bahasa Jepang yang asli orang Jepang-nya sendiri -satu laki-laki dan satu perempuan-. Kalau kalian warga plat L, pasti tak asing kan SMA Negeri ada kelas Bahasa Jepang.
Nah, setelah hajimemasite, watashi, arigatou, blablabla, guru di depan kelas -panggil saja Tepos-sensei- langsung disiul-siulkan oleh teman sekelas. Aku sih meramaikan saja. Beda lagi kalau si Bagong, eh, maksudku si Bogang. Anak itu malah maju ke depan kelas, dan merayu Tepos-sensei pakai Bahasa Inggris yang belepotan. Sedikit banyak Tepos-sensei menangkap maksud Bogang. Si sensei hanya senyam-senyum sambil geleng kepala.
Hari-hari kami berenam lalui dengan tambahan warna. Semakin berwarna akan kedatangan Bogang. Istilah kata, “nggak ada Bogang, nggak rame”. Belum lagi duet Bogang sama Ambon. Ajor wes. Warung pinggir jalan yang biasa menjadi tempat nongkrong kami pun sampai kena imbasnya. Selalu sepi karena ada kami -para begundal- nongkrong di sana. Ibu warung yang STW tak masalah. Yang penting bayar, semua beres. Maksudku, bayar jajanan dan minuman cok, bukan bayar memeknya untuk dinikmati kami berenam. Gendeng.
Kami berenam … oh iya, satu personil lagi sebut saja namanya Penceng. Penceng ini tipikal orang pendiam dan sok misterius gitu, lah. Diam-diam mbokep, merokok, dan di kemudian hari aku ketahui dia sering nongkrong di belakang Mall R. Di belakangnya ada lapangan bola. Dan di sepanjang mata memandang, ada ruko-ruko tempat untuk main biliard, karaoke, sampai surganya para lonte. Nah, itu dia Penceng. Dia pengentot handal, cok. Segala usia sudah dia coba, katanya. Bahkan bukti valid rekaman foto dan video dia kirimkan via group LINE geng kami. Bajingan.
Masih di kelas 11, ada satu momen bernama hari valentine. Program yang digalakkan oleh anak-anak OSIS ini bukan memberi hadiah atau coklat kepada pasangan. Melainkan, para murid memberi hadiah untuk guru-guru mereka. Acara itu akan dilaksanakan pada hari Senin sekalian melepas guru favoritnya anak-anak: Bu Endang. Beliau guru matametika sekaligus wali kelas kami, IPS-4. Favorit sekali, bukan?
Aku dan gengku tidak suka acara biasa saja. Aku mencetuskan ide untuk beli mercon. Ambon usul bikin kerangka bunga biar sekalian mendoakan cepat mati. Nah kalau Bogang mengajukan sekalian dikasih kue ulang tahun, diceploki telur, dilempar tepung, dan disiram bensin. Ah, maksudku disiram air biasa.
Hari H sekalian ikut upacara, tibalah Hari Kasih Untuk Bu Endang.
Semua murid dari kelas 10 sampai kelas 12 disuruh mengambil kado yang sudah disiapkan dari rumah, kemudian diserahkan kepada guru yang berkesan untuk mereka.
Sampai tibalah giliran gengku. Tepatnya, giliran satu kelasku yang sudah aku kondisikan. Suasana meriah mengundang kambuhnya penyakit jantung guru-guru tua. Kami sekelas membawa Bu Endang ke lapangan. Kami bernyanyi happy birthday to you sambil Bogang menghantamkan telur dan tepung juga menyiram ember penuh air dibantu Yoshi dan Ipang. Nah, kalau aku sama Ambon menembakkan mercon. Asap di mana-mana. Tangisan berhamburan. Beberapa guru ikut keluar. Pun anak-anak OSIS melihat ke arah kami.
Kami semua larut dalam euforia dalam beberapa saat. Sebelum akhirnya, aku beserta teman sekelas mengucapkan banyak terima kasih untuk selama ini. Terima kasih atas PR dan materinya yang setara dengan pelajaran kalkulus.
Singkat saja. Wali kelasku untuk sementara digantikan oleh guru ekonomi. Namanya Bu Arum. Orangnya entotable. Badannya bongsor, sinset, dan berkacamata. Spek singlemom, lah. Dari sana, terbitlah keanehan dalam diriku. Awalnya aku merasa kalau aku sekadar mengagumi sosok Bu Arum yang usianya sekitar 34-38. Mungkin. Tapi lambat laun, saat di mana aku mulai lebih intens memperhatikan lingkungan sekitarku, khususnya ibu-ibu, kok aku tambah merasa tidak normal, ya? Bagaimana bisa aku lebih menyukai wanita yang lebih tua. Dan itu aku rasakan sampai detik ini.
Untuk membuktikan resah gelisah di dalam dada, aku mulai menghentikan kebiasaan onaniku sambil nonton bokep genre MILF. Aku yang sempat mengalami transisi karena malas olahraga demi mengganti hobi, malah kembali berkecimpung membentuk otot-otot tubuh.
Di bawah bimbingan Penceng, kami rutin jogging dan lain sebagainya. Ini semua demi membantuku untuk lepas perjaka.
Iya, benar. Aku ingin melepas. Bahkan Penceng sudah merekomendasikan lonte terbaik yang dia kenal. Tapi, takdir Sang Pencipta berkata lain. Aku melepas perjakaku di memek teman sekelasku. Sebut saja namanya Sintia. Anaknya agak freak. Tukang gosip juga di kelas. Kadang suka heboh sendiri.
Pengalaman pertamaku berhubungan badan tepat di saat kami berpacaran jalan tiga bulan. Malam itu, malam Minggu. Setelah jalan-jalan beli ini-itu dan nongkrong santai, kami pulang tepat di jam 11. Di jalan, ada obrolan kurang lebih begini:
“Yang, rapetno lungguhmu, cek nemplek ikumu.” (Yang, rapatkan dudukmu, biar menempel payudaramu.) Aku berkata sambil menoleh ke belakang, lalu fokus ke depan lagi.
Sintia tanpa disuruh dua kali langsung merapatkan duduknya. Dia berucap, “Enak, ta, Yang?”
“Sip, Yang.”
“Aku sayang ambek kamu, Yang. Nyaman rasane lek wes meluk ngene.” (Aku sayang sama kamu, Yang. Nyaman rasanya kalau sudah meluk begini.) Sintia berucap pelan sambil meletakkan dagu di pundakku.
Aku menatap Sintia dari spion, lalu tersenyum. “Podo, Yang. Aku yo tambah nyaman bareng ambek kamu. Sopo seng nyongko nek awak dewe moro-moro pacaran. Padahal sagurunge awak dewe biasa ae ndek kelas.” (Sama, Yang. Aku ya tambah nyaman jalan sama kamu. Siapa yang menyangka kalau kita berdua tiba-tiba pacaran. Padahal sebelumnya kita berdua biasa saja di kelas.)
“Hahaha. Lah mboh. Kok isok aku nerimo arek mbetik koyok awakmu dadi cowokku, Yang.” (Hahaha. Entahlah. Kok bisa aku menerima anak nakal seperti kamu jadi cowokku, Yang.)
“Awakmu yo podo gebleke. Ngguyumu iku lho nggarai kupingku loro.” (Kamu ya sama bodohnya. Tertawamu itu lho membuat telingaku sakit.)
“Untung mek kupingmu tok seng loro, guduk manukmu, Yang.” (Untung hanya telingamu saja yang sakit, bukan burungmu, Yang.)
“Lek mbok pepet ngene tambah loro temenan, Yang. Nyoh, rasakno.” (Kalau kamu himpit begini tambah sakit beneran, Yang. Nih, rasakan.)
Karena terbawa suasana malam kotaku, aku mengarahkan tangan Sintia dengan tangan kiri ke selangkanganku.
Awalnya Sintia agak kaget. Dia tarik tangannya, tapi aku bilang ke dia kalau aku pingin dipegangi.
Terbawa suasana obrolan yang menjurus ke arah seks, kami sepakat untuk check-in di salah satu penginapan. Mas-mas yang jaga penginapan juga tidak bertanya macam-macam.
Lalu, dimulailah belah duren. Jujur, bukannya aku sombong. Kontolku memang kala itu tidak lebih dari 15 cm. Hanya ukurannya yang gemuk. Melawan memek Sintia berjembut tipis dan warnanya merah pucat pun butuh tenaga ekstra untuk menjebol memek sempitnya. Tanpa teknik macam-macam, dan hanya mengandalkan intuisi saja.
Perjakaku, dan perawan pacarku, kami satukan. Aku yang tidak memikirkan resiko apa pun, muncrat di dalam. Yang ada di otakku hanya Sintia. Namun, sesaat setelah aku menumpahkan spermaku untuk pertama kalinya dalam durasi kurang lebih 10 menit, wajah pertama saat aku menatap Sintia adalah ibuku. Ya, aku tiba-tiba teringat ibuku. Penyesalan dan berdosa telah terjerumus ke dalam jurang nafsu.
Sintia yang kala itu sudah berhenti menangis, langsung aku tenangkan. Obrolan sambil cuddle kurang lebih saling berjanji untuk menyayangi, mencintai, dan melindungi. Sintia berharap agar aku tidak meninggalkannya setelah dia memberikan kehormatannya ke aku. Dan janji itu aku pegang sampai kami lulus dari bangku SMA. Aku tetap berpacaran bersama Sintia sambil sesekali bercinta jika ada kesempatan.
Lalu, setelah kami wisuda SMA, Sintia berkata akan melanjutkan pendidikan ke Kota J karena diterima di salah satu PTN ternama di sana lewat jalur SNMPTN. Aku pun yang kala itu lulus dan diterima masuk di PTN kotaku sendiri lewat jalur SBMPTN. Karena kami akan LDR, kami sepakat untuk menjalani hubungan ini meski terhalang jarak.
Di sisi lain, petualanganku bersama gengku ikut berakhir. Sebagian dari mereka langsung terjun ke dunia kerja melanjutkan bisnis keluarga. Hanya aku dan Ambon yang lanjut kuliah. Itu pun kami tidak satu kampus. Aku di negeri, Ambon di swasta.
Setelah melakukan persenggamaan terakhir bersama Sintia di hotel berbintang daerah timur dekat kampusku, kami berpisah. Saling percaya dan setia.
Namun, lambat laun ucapan hanya tinggal ucapan. Tanpa diucap pun, kami sama-sama menjauh. Asing. Jarang telepon, chat, bahkan memposting foto pasangan di sosial media. Sampai di mana, aku ketahui Sintia sudah punya gandengan baru. Aku sendiri awalnya shock. Tapi, aku cepat menerima jika ini memang resiko pasangan LDR. Juga tanpa diucap, kami resmi putus setelah menjalin hubungan cinta dan kelamin selama kurang lebih 1 tahun.
Pada akhirnya, aku sudah mulai masuk kampus. Mengikuti PKKMB dengan baik. Kegiatan di kampus menyita seluruh waktuku, dan perlahan aku dapat melupakan Sintia. Sebagai gantinya, circle kampus yang jauh lebih luas dan kompleks menunggu di depan mata. Semester satu, tentu aku dan teman-teman sekelas rajin masuk kuliah dan jarang absen kecuali dosen berhalangan hadir. Awalnya. Ya, awalnya begitu. Tapi, itu semua seketika berubah kala aku mengikuti LKMM-TD pada bulan Januari.
Tahun 2015 menjadi saksi perjalanan sesungguhnya antara dua insan berbeda karakter. Aku dan seorang wanita bermulut sampah, Ines. Bagai air dan minyak. Bagai langit dan bumi. Aku yang berkulit coklat cenderung gelap, sangat kontras dengan Ines yang berkulit kuning bersih. Hanya dilihat sekilas dari perbedaan kulit yang sangat mencolok, tak ada yang menyangka jika kami saudara sekandung.
Benar. Ines bukan sembarang wanita. Dia adalah mimpi buruk sekaligus mimpi indahku. Kakak kandungku tersayang. Wanita yang mengajariku berbagai rasa. Ines adalah cinta sejatiku. Belahan jiwaku yang saat ini tengah menemaniku menulis.
Namun, sebelum aku membuka cerita panjang selama dua tahun bersama Ines, aku hanya ingin ucapkan kepada kalian … selamat datang di duniaku.
Ch.1
September, 2014
Pasangan Joko adalah orang tuaku. Para warga di lingkunganku memanggil ayahku Pak Joko. Mengikut di belakang ibuku dipanggil Bu Joko. Untuk panggilan aku dan Ines ke mereka adalah Ebes dan Ibuk.
Sebagai pengingat, saat aku berusia 19 tahun, ayahku berada di angka 48. Sedangkan ibuku di angka 45. Kalau Ines 21 tahun.
Tanpa basa-basi dan tanpa menunggu pergerakan polisi memberantas gangster yang tak kunjung beraksi, Mari kuperkenalkan lebih jauh mengenai keluargaku.
Dimulai dari ayah. Beliau asli nyel warga plat L. Lahir dan besar di kota ini. Punya beberapa bisnis kecil sampai besar. Bisnis utamanya tentu toko sparepart peninggalan orang tua ayah dan rental mobil elf yang dirintis sendiri. Beliau juga sering mengangkut penumpang di Juanda kalau jadwalnya tidak bentrok dengan mengurus bisnis lainnya. Katakanlah ayah seorang laki-laki yang bertanggung jawab kepada keluarganya di samping waktu beliau banyak habis di jalan. Four your information, ayahku ini sampai aku kuliah pun masih suka minum. Ada acara apa aja di daerah rumah, ngajak minum bolo-bolonya plus para pemuda begajulan. Apalagi kalau tetangga ada nikahan, pasti ayah sudah duduk manis memutar minuman di belakang panggung. Jangan salah sangka. Aku tak pernah berbagi sloki bersama ayahku sendiri. Aku punya duniaku sendiri. Bisa dihitung jari bertegur sapa. Ngobrol panjang pun hanya di momen tertentu. Sisanya saling membuang muka. Asu sekali.
Kemudian, ada ibuku. Beliau adalah wanita yang melahirkanku setelah Ines. Keseharian ibu di luar rumah memakai jilbab. Kalau di dalam rumah ya dilepas. Bentuk badannya ya kurang lebih seperti emak-emak pada umumnya. Gendut dan punya lipatan perut. Tentu saja berkacamata tebal. Oh, iya. Ibuku ini seorang guru Bahasa Indonesia yang mengajar di SMP kota sebelah. Setiap harinya beliau naik motor. Kalau pas aku masih SMP, beliau pulang-pergi naik Mio. Semenjak aku SMA tepatnya kelas 11, beliau ganti Vario yang 125 versi jadul itu, lho. Selain daripada itu. Kendati tiga tahun lebih muda dari ayah tak membuat ibu jadi lemah. Justru ibulah ratu di rumah. Seonggok raja pun sampai bertekuk lutut. Boleh saja aku dan ayah suka mabuk dan doyan nongkrong, tapi kalau sudah dalam jangkauan radar ibu, jangan harap bisa tidur nyenyak sebelum mendengar ceramah panjang dan itu-itu saja. Capek.
Berikutnya Ines. Tingginya 160, mungkin kurang. Rambutnya panjang dan lurus sama seperti ibu. Bedanya kalau punya Ines di model ombre dan ujungnya disemir. Ganti-ganti semirnya tergantung mood dia. Dibilang cantik sih ya lumayan. Di mataku malah kelihatan manis. Ya karena spekku yang Esmeralda seperti Cintia, dong. Kulitnya kuning bersih dan selalu terawat. Sering luluran, biasa. Soal badan, dia chubby. Pipinya gembul. Susunya berukuran sekitar 34 dengan cup D. Gunung kembar yang padat, mengkal, dan lancip berhiaskan dua puting susu coklat nan mungil serta areola-nya berwarna coklat cerah melingkar kecil. Pinggul sampai pahanya kalau lagi pakai jeans nampak tebal. Bokongnya semok. Kalau memeknya jangan ditanya. Warnanya merah jambu sedikit tembem. Klitoris mungil seperti ujung spidol. Itu baru gambaran fisik. Belum sifatnya yang bertolak belakang dengan tubuh bahenolnya itu. Jadi, Ines ini mulutnya cablak. Ceplas-ceplos tanpa adab. Suka misuh kalau lagi emosi. Apa pun yang sekiranya menganggu dia, langsung dia etrek-etrek jadi taek, cok. Ngeri memang. Ya intinya dia itu galak banget, lah. Bertolak belakang dengan dirinya yang pakai hijab. Kelebihannya ines ini paling tidak bisa ketemu anak kecil sama kucing. Sementara aku sendiri anti dua hal itu. Serius.
Terakhir itu aku. Sebagai anak kedua sekaligus anak bontot, aku diberkati tinggi badan jangkung seperti ayah. Tinggi kurus. Ada kiranya tinggiku 175. Beratku 70, mungkin kurang sedikit. Kulitku sawo matang ke arah hitam karena sering panasan di luar terbakar matahari. Sejak kecil aku suka sekali olahraga. Terutama sepakbola. Itu mengapa badanku lumayan bagus walaupun kurus. Tak mengherankan aku kerap dipanggil dengan sebutan black yang artinya hitam. Padahal kalau dibanding sama Ambon, masih gelap kulit dia, cok.
Terhitung hari ini aku berumur 19 tahun, ukuran burung garudaku berkisar 16-17 cm. Tidak kurang, tidak lebih. Panjang dan agak gemuk. Pun warnanya coklat. Dulu sih coklatnya terang. Sekarang coklatnya lebih gelap dan terkesan kelihatan hitam, rek. Nggatheli. Efek keseringan ngentot sama Sintia palingan. Bajingan.
Bicara soal pusaka kesayanganku, itu terbentuk dengan sendirinya. Entah ini efek keseringan ngentot, atau sering tak betot pas coli. Wes mboh. Jaga kesehatan dengan olahraga ya biasa saja. Aku bukan anak gym, tapi anak vespa dan kerap menghabiskan waktu di toko sparepart milik ayah, yang sebelahnya pas berdiri bengkel motor punya ayah juga. Urusan pola makan sih ya tetap terjaga sehari tiga kali. Sudah kedoktrin sejak kecil karena mendapat wajib militer dari ebesku tukang mendem itu. Bajingan. Sampai-sampai perutku ikut buncit kayak beliau terkena efek samping mengkonsumsi alkohol. Kalian yang bukan peminum sebaiknya jangan ditiru. Sayang perut. Terutama lambung. Belum lagi aku pernah sampai muntah darah cok minum Arak campur nutrisari. Bukannya sok iyes, aku itu orangnya kurang suka minuman murah. Namun, aku menghargai apa yang disuguhkan tuan rumah. Beda cerita kalau aku yang punya acara. Minimal aku beli Bacardi tak campur Alexis.
Sudah jelas, kan? Oke, kita lanjutkan.
Mari kita bahas terlebih dahulu pasca putusnya hubungan dengan Sintia. Tentu aku merasa terpukul menerima kenyataan tersebut. Apalagi kami sedang mempersiapkan menyambut PKKMB di kampus masing-masing. Sempat aku galau dan kadang mbrebes mili dewe, rek. Lah gimana? Aku sendiri ya tulus mencintai Sintia. Aku juga tidak pernah main mata dengan wanita lain. Barulah setelah putus aku mulai menggila. Aku mengumpulkan pemuda karang taruna -khusus laki-laki- untuk berkumpul di samping warung kopi yang merangkap jualan minuman.
Lalu, aku beli Arak yang rasanya asu banget itu ke pemilik warung, yang biasa kupanggil Lek Men. Arak murnian tanpa campuran aku beli 8 botol berukuran 600 ml. Di tempatku kala itu, tutup botol Arak-nya warna hijau. Arak lawas.
Singkat, padat, dan kiamat. Mabuklah aku dan teman-temanku. Sudah tak terhitung berapa puntung rokok, kudapan, serta cerita yang bertebaran bersama anak kampung. Tambahan lagi, ada Ambon yang aku undang untuk ikut minum.
Sekitar jam 3 dini hari, kami membubarkan diri. Sisa aku dan Ambon yang ngobrol ngawur ngalor-ngidul tak tentu arah. Sampai kemudian, datanglah kakak perempuanku, Ines. Tentu saja dia suka jemput aku kalau lagi minum di luar komplek rumah. Biarpun sifatnya macam ibu tiri, Ines baik sekali anaknya. Peduli dan peka terhadap sekitar. Jangankan aku, sama siapa saja kalau dilihat dari covernya seperti orang susah, pasti Ines bantu. Entah dikasih sedikit uang, dibelikan makanan dan minuman, atau membantu membawa barang bawaan. Pokoknya Ines itu kurang lebih seperti malaikat. Jiwanya petualang sama kayak ayah dan aku. Sisi lembut dan mudah bergaul serta menyesuaikan diri dengan sekitar, mirip ibu. Ya iyalah, masa nurun Dijjah Yellow, cok.
Kembali di tempat aku dan Ambon yang masih duduk bersandar di dinding samping warung kopi. Ambon membantuku bangun. Lalu, aku dibantu naik ke atas motor. Aku langsung doyong ke depan. Lemas. Pusing. Pingin muntah, tapi gengsi ada Ambon. Sampai rumah, aku turun, lalu dipapah sama Ines. Di depan pintu rumah seingatku ada ayah. Beliau ikut membantuku. Selanjutnya aku rebahan di sofa ruang tamu.
Hari demi hari berlalu.
Tiada hari tanpa cekcok. Mau perkara kecil atau besar, selalu aku dan Ines ribut dibarengi adu jotos. Ines seringnya memukul, mencubit, dan menendangku sungguhan. Kadang juga dijambak sampai mbrodol rambutku, rek. Asu ancene. Lah terus aku diam saja gitu? Oh, tentu saja tidak. Ines itu perempuan. Jadi, tak sepantasnya aku membalas fisik. Aku juga sayang sama dia sebagai seorang adik kepada kakaknya. Yang aku lakukan hanya sebatas menggelitiki perut, ketiak, sama kakinya sampai dia ketawa gendeng minta ampun.
H-3 ospek aku sebagai maba, Ines naik ke lantai dua. Masuk nyelonong ke kamarku seperti biasa. Dia mengingatkanku untuk mempersiapkan kemeja putih, celana kain warna hitam panjang, dasi, almamater, mud -sejenis songkok-, pin, sampai mengisi identitas pada ID Card dan plastik gantungannya.
Ines melakukan hal itu bukan tanpa sebab.
Pertama, Ines anaknya famous di kampus. Mahasiswi berprestasi. Anggota Senat juga. Tentu saja, aku sebagai adiknya tidak boleh membuat malu di area kampus, apalagi isinya anak-anak famous dari berbagai kota, pun ada satu artis di sana. Selain itu, Ines sudah hafal sampai khatam tabiatku yang selengekan dan cuek. Dia mengingatkanku semua itu demi dirinya sendiri di mata teman-temannya.
Kedua, Ines tetaplah seorang kakak. Dia selalu memperhatikan hal kecil pada sekitarnya. Termasuk aku. Yah, meskipun lebih banyak adu mekaniknya kalau aku kebetulan di rumah. Itulah kenapa aku suka kelayapan di luar, rek. Semua demi menghindari wanita spek mak lampir jembut itu.
Di sisi lain, penampilan Ines yang malam itu ke kamarku terkesan seksi kalau kulihat-lihat, sih. Tanktop-nya hitam sudah melar karena sering dipakai. Nyaman, katanya. Terus dia tidak pakai bra. Otomatis itu susu kayak mau tumpah, bajingan. Belum putingnya yang kecil tercetak jelas. Ditambah bawahan cuma pakai short pants warna hitam yang senada sama tanktop-nya, kelihatan memeknya menyembul. Pas balik badan pantatnya megal-megol aduhai.
Namun, waktu itu aku tidak ada pikiran macam-macam. Nafsu pun belum kutemukan di otakku. Sama seperti hari sebelumnya: aku biasa saja melihat keindahan onderdil milik Ines.
Nah, keesokan paginya, aku aktifitas seperti biasa. Ines juga. Bahkan lebih pagi Ines bangunnya. Setelah sarapan, Ines santai dulu di ruang tengah ngobrol sama ibu yang lagi membereskan kekacauan di atas meja yang penuh dengan laptop, buku catatan, hasil ulangan siswa, dan lain sebagainya.
Singkat kata, jemputan Ines tiba. Tukang ojek yang dibayar terima kasih dan sepotong donat. Aku memanggilnya Mbak Abika. Dia bestienya Ines. Ke mana-mana bareng. Seringnya Mbak Abika antar-jemput Ines yang tidak tahu diri itu. Cok, lah.
Sebelum berangkat, ada obrolan antara aku dan Ines.
“Aku nginep nang kampus gawe persiapan ospek angkatanmu. Disiapno seng temenan. Iku wes tak setriko sisan klambimu. Kon ojok telat, dan ojok kakean melekan. Pisan engkas aku eroh kon mendem budal nang kampus, tak pateni kon.” (Aku menginap di kampus buat persiapan ospek angkatanmu. Disiapkan yang sungguhan. Itu sudah aku setrika sekalian bajumu. Kamu jangan telat, dan jangan kebanyakan begadang. Sekali lagi aku tahu kamu mabuk berangkat ke kampus, aku bunuh kamu.) Papar Ines dengan alunan nada lugas, tegas, dan pedas.
“Nggih, Yang Mulia. Ndang budalo. Ndelok wajahmu nggarai kepeseng.” (Ya, Yang Mulia. Buruan berangkat. Lihat wajahmu membuatku ingin berak.) Aku menjawab tak minal, tentu sambil menguap karena hari masih terlalu gelap untuk disebut pagi.
“Jancok! Jancok, jancok, jancok!” Ines memukulkan tupperware berisikan full banyu ke kepalaku.
“Cok’i. Loro, blok!” (Cok, lah. Sakit, blok!) aku ganti membetet hidung Ines sampai merah sekali. Lalu, aku agak berteriak nyaring ke arah Mbak Abika, “Mbak Bik! Wes ndang angkuten larakan iki. Timbangane nyumpek-nyumpeki pikir.” (Mbak Bik! Sudah buruan angkut kotoran ini. Daripada menuh-menuhi otak.)
“Adek karo mbak podo ae. Wes ayo, Tas, budal. Kene yo gurung njupuk banner sisan hare.” (Adik dan kakak sama saja. Sudah ayo, Tas, berangkat. Kita ya belum mengambil banner juga, lho.) Mbak Abika mencoba melerai. Seperti biasa dia selalu cosplay wasit kalau melihat pertengkaranku sama Ines.
Tuk!
“Awas kon!” (Awas kamu!) sambil melotot, Ines mengancam. Dia tambahkan sekali lagi pukulan botol tupperware mengenai keningku. Asu.
Sepinggal Ines, tiga hari ke depan sedikit damai di rumah. Ayah juga baru berangkat cateran ke Gunung B lusa kemarin. Sementara ibu seperti biasa berangkat kerja setengah 6 agar tidak terlambat. Sebab, jarak tempuh rumah kami dan SMP tempat ibu mengajar cukup jauh. Syukur lancar jalanan kota ini, kalau macet, piye?
Ngomong-ngomong, jangan berharap aku nafsu sama ibuku sendiri, ya. Sebangsat-bangsatnya aku, tak pernah terbesit di dalam pikiran kotorku untuk mengajak ibu kikuk-kikuk. Gila apa, cok? Bisa dibacok beneran aku sama ayah.
Tak terasa, tiga hari telah berlalu. Dan tiga hari ini aku isi dengan menyambangi lokalisasi sunan kuning. Eh, keliru, rek. Maksudku aku main ke belakang Mall R ketemu Penceng dan gengnya. Aku banyak punya kenalan orang terminalan. Dari para calo, copet, begal, mucikari, sampai kurir butiran kristal. Semua lengkap di sana. Lantas, tujuanku pulang pergi dari sore sampai malam ya menghabiskan waktu untuk nongkrong. Hingga hari Minggu sebelum Senin besok mengikuti ospek, aku menikmati jepitan lonte yang usianya 23-25. Terlebih aku pemilih orangnya. Lebih suka yang susunya biasa-biasa saja tapi muat di genggaman tangan, daripada susu brutal yang menang besar tapi kendor.
Sekitar jam 1 dini hari, aku pamit pulang ke Penceng dan orang-orang di sana.
“Pamit, jo.” Aku mengulurkan fist bump ke Penceng.
Penceng menyambutnya. “Siap, Blek. Mene mampir maneh, a?” (Siap, Blek. Besok mampir lagi, kah?)
“Matamu. Mampir terus suwe-suwe lak yo bangkrut aku, jo.” (Matamu. Mampir terus lama-lama ya bangkrut aku, jo.)
“Cok, kemalan raimu. Dompet full abang jare bangkrut ndasmu mletek, a?” (Cok, songong kamu. Dompet full merah bilang bangkrut kepalamu terbelah, kah?)
“Wes gak usah kakean cocot. Tak gibeng tambah penceng awakmu. Aku tak moleh sek. Kekuatanku entek. Disikan, yo. Monggo sedoyo.” (Sudah tidak perlu kebanyakan bicara. Aku pukul tambah miring kamu. Aku mau pulang dulu. Kekuatanku habis. Duluan, ya. Mari semua.)
“Yo!” jawab semua orang, kompak.
Perjalanan pulang tak ada yang spesial. Hanya pemandangan lonte-lonte yang masih setia melanjutkan mencari mangsa lelaki butuh tempat pembuangan lendir. Beberapa nampak menarik. Tapi mengingat aku baru ngecrot dan sudah lumayan lemas akibat dijatah tiga sloki sebelum pulang, lebih memilih langsung pulang daripada besok telat ke kampus.
Sampai di rumah, segera aku membuka gembok gerbang menggunakan kunci cadangan. Lanjut pintu rumah dengan kunci cadangan berbeda. Setelah itu, memasukkan motor ke ruang tamu. Tak lupa kembali menutup pagar, mengemboknya. Selanjutnya? Ya tidur, cok! Besok hari paling penting dalam sejarah hidupku sebagai mahasiswa PTN yang sudah sejak awal aku idamkan.
Kampus Buaya, i’m comming!