Ceritanya sendiri rencananya hanya akan dibuat menjadi cerbung pendek, dan mungkin bisa jadi lebih panjang kalau saya sudah lebih longgar atau ada yang minat baca.
Di cerita ini, saya juga berencana memasukkan lebih banyak porsi sex scene (sebagai penyaluran karena di 7 Days kurang begitu cocok jika dimasukkan banyak sex scene, dan juga penebusan rasa bersalah, hahaha). Akan ada ilustrasi juga untuk membantu menjelaskan gambaran dunia fantasi yang saya bentuk. Karena itu, saya harap bisa dinikmati dengan baik, dan semoga kalian terhibur.
Terima kasih karena sudah membaca, ya.
Gorvik, sebuah desa yang berada di kaki gunung Morghr, sedang ramai karena rumor adanya seekor naga yang baru-baru ini terlihat di sekitar desa. Naga adalah makhluk yang sangat langka, sehingga rumor tentang kemunculannya saja bisa menarik perhatian para petualang. Bagi para penduduk desa sendiri, rumor itu membawa berkah untuk desa mereka, yang selama ini jarang disinggahi petualang. Kamar-kamar di Irma Inn –satu-satunya penginapan di desa itu– terisi penuh setiap malam sehingga hal ini dimanfaatkan penduduk desa dengan rela menyewakan rumah-rumah mereka untuk jadi penginapan darurat demi beberapa keping koin emas.
Namun bagi sebagian pemilik rumah yang ingin mendapatkan koin lebih, dengan sengaja menawarkan istri dan anak-anak perempuan mereka kepada para petualang untuk menemani malam-malam mereka. Para pemilik rumah itu tidak peduli akan keberatan dari istri dan anak mereka. Mereka berpikir, para petualang tidak datang setiap hari, jadi apa salahnya mengeruk lebih banyak keuntungan? Maka, hanya dalam beberapa hari saja, Gorvik menyulap dirinya menjadi distrik lokalisasi terselubung.
Tapi tidak semua perempuan di desa itu yang menjajakan diri mereka atas dasar paksaan atau kebutuhan ekonomi. Beberapa ada yang punya alasan lebih personal—untuk bersenang-senang salah satunya. Mereka yang lebih percaya diri, memilih untuk bersolek dan berdiri di teras rumah mereka sembari menunggu petualang yang tergiur untuk mencicipi mereka. Jika proses transaksi berjalan mulus, para perempuan itu akan mengajak klien mereka ke dalam rumah, tempat dimana mereka memacu birahi sampai pagi.
“Kenapa Tuan Petualang gak sabar banget, sih? Seenggaknya, tunggu sampai aku selesaikan jam kerjaku.”
Seorang gadis muda tampak kesulitan melepaskan dirinya dari himpitan badan seorang pria kekar, yang sedang mencumbunya dengan beringas di halaman belakang sebuah tavern—kedai serbaguna tempat penduduk dan para petualang beristirahat, berkumpul serta memesan makanan dan minuman. Gadis itu berusaha menahan tangan si pria, tapi dirinya tidak cukup kuat untuk melawan tangan pria itu dari memasuki isi roknya dan menggesekkan tangan-tangan kasarnya di bibir kemaluan si gadis, yang ternyata sudah cukup basah. Perlawanannya semakin melemah ketika jari-jari si pria lancar keluar-masuk kemaluan gadis itu, membuatnya lemas dan tidak bisa lagi menahan lenguhan disertai wajah memerah.
“Aku sudah membayarmu dua keping emas, jadi aku punya hak untuk menikmati tubuhmu kapanpun aku mau. Bukankah begitu?” balas si pria, sembari terus menggesek dinding kemaluan gadis itu.
“I-iya… tapi… ahhh… jangan di sini… a-aku ga mau kelihatan… oohhh… penduduk desa… hhhh… ya, Tuaaannhhh?”
“Tidak akan kelihatan.” Pria itu menarik tangannya, lalu memperhatikan kedua jarinya yang dilumuri lendir bening. “Sudah basah rupanya.”
Lalu, dia memutar badan si gadis, memojokkannya pada dinding kayu, serta menyingkap rok selututnya dan mengeluarkan penisnya dari balik celana kulitnya. Dia menggesek-gesekkan penisnya pada bibir kemaluan si gadis, lalu menekan penisnya perlahan memasuki kemaluan gadis itu. Gadis itu hanya bisa pasrah dan melenguh pelan saat penis kekar milik si pria semakin dalam memasuki dirinya. Semakin dalam penis itu masuk, semakin lemas pula lututnya.
“Ini vagina berkualitas tinggi.” Pria itu tersenyum senang, sebelum mulai menggerakkan pinggulnya untuk memompa penisnya di kemaluan si gadis. “Dua keping emas terlalu murah untuk vagina seenak ini, Helena! Kenapa kau menghargai dirimu sendiri hanya dua keping emas?”
“Ka-kalau… hhngg… Tuan merasa puas… hhhh… aahhh… Tuan bisa… memberiku tip! Ooohhh… rasanya penuh banget… di dalam sana… hhh… aaahh… Tuan hebat banget… aahhh, iyaaa… terus….”
“Aku akan memberimu tip… hhh… hhhh… kalau kau membiarkanku keluar… hhh… di dalam!”
“Tambah… oohhh, oohhh… tiga keping emas lagi?” rayu Helena sembari menggoyangkan pantatnya maju dan mundur, mengikuti irama hentakan pinggul pria itu.
“Setuju!”
“Kalau begitu… aahhh… kumohon… keluarkan di dalam… aahhh, aaahh… ya… Tuan?”
Desahan dan kata-kata menggoda Helena menjadi pemicu semangat pria itu. Dia pun semakin cepat menyetubuhi Helena, hingga merasa dirinya ingin mencapai klimaks. Maka, dia menghentakkan penisnya dalam-dalam di kemaluan Helena, dan membiarkan spermanya keluar sangat banyak hingga memenuhi kemaluan gadis itu. Helena sendiri hanya pasrah saat menikmati sperma panas dari pria asing yang baru dikenalnya beberapa jam lalu itu.
Diam-diam, Helena juga mencapai klimaks. Tubuhnya meregang dan bergetar selama beberapa saat. Maka, saat pria itu mencabut penisnya, Helena langsung jatuh terduduk. Lututnya yang lemas tidak mampu menopang berat tubuhnya.
Si pria kekar langsung menyodorkan penis basahnya ke muka Helena, yang dengan sigap langsung dia hisap dan jilati. Saat Helena sibuk melakukan servis penutup pada penisnya, pria itu merogoh kantong kulit yang dia ikatkan pada ikat pinggangnya, lalu melemparkan tiga koin emas ke muka Helena.
Gadis itu seketika tersenyum lebar, lalu kembali meneruskan pekerjaan mulutnya.
Seorang pemuda hanya menunduk murung saat dia diceramahi temannya yang duduk di sebelahnya. Pandangannya tertuju pada gelas bir yang terletak di meja, tapi pikirannya berlarian entah kemana. Dirinya masih memikirkan penjelasan dari pemilik tavern yang sedang disinggahinya sekarang, saat tadi dia bertanya kepada pemilik tavern tentang keberadaan Helena.
Pergi ke belakang, katanya. Kenapa pula ga dicegah? Bukannya ini masih waktu kerja? Sialan! Semua orang di sini sialan! Pemuda itu terus mengeluarkan rutukan dalam hatinya.
“Aku mau menyusul Helena.” Pemuda itu bangkit dari duduk. Kedua tangannya mengepal, nafasnya memburu. Dia sedang berusaha menyiapkan hati untuk menyusul Helena, karena dia tahu bahwa prasangkanya benar tetapi dia tidak punya cukup keberanian untuk membuktikannya. “Dia pasti sedang ada urusan yang penting jika sampai selama ini.”
“Sepenting jual diri,” balas teman pemuda itu.
Saat pemuda itu berbalik, pintu belakang tavern terbuka. Seorang pria kekar berkepala plontos muncul dari balik pintu. Di belakangnya, muncul Helena. Dia tampak sedang merapikan rambut putih peraknya yang berantakan, sembari berjalan menuju belakang bar. Saat itu, Helena melihat Berg, tunangannya yang berdiri mematung seraya menatapnya dengan pandangan nanar. Helena hanya tersenyum kepada Berg, lalu kembali memakai apron untuk bekerja.
Berg tidak tahan lagi. Dia segera menuju bar untuk menghampiri Helena. “Aku mau pesan bir,” ucapnya, ketus.
Helena membalas seraya tersenyum, “Segera, Sayang.”
Saat Helena mengantarkan segelas bir kepada Berg, pemuda itu mencengkeram lengan kurus Helena sebelum gadis itu kembali melayani pengunjung lain. Helena agak terkejut, karena tidak biasanya Berg bersikap sekasar itu padanya. Tapi Helena maklum, mengingat apa yang baru saja dia lakukan, sudah sewajarnya jika tunangannya emosi.
“Kamu… tadi ngapain di belakang?” tanya Berg.
“Melakukan apa yang kebanyakan gadis di desa ini lakukan.”
“Kenapa kamu mau? Bukannya kita akan—”
Helena memotong, sembari memberi lima keping koin emas kepada Berg. “Terima, Berg. Untuk biaya nikah kita. Kalau kamu mau tahu alasannya, semoga koin emas ini bisa menjawab.”
Berg terdiam saat menerima lima keping koin emas itu. Lima keping koin emas yang setara dengan gajinya selama lima bulan menjadi petani. Dia dibayar dua puluh lima koin perak seminggu, atau setara dengan satu koin emas jika bekerja selama empat minggu. Gaji seharga satu koin emas itu pun masih harus dikurangi biaya sehari-harinya, sehingga hanya tersisa beberapa belas keping perak untuk dia tabung sebagai biaya pernikahannya dengan Helena. Sedangkan tunangannya itu bisa memperoleh lima keping emas hanya dalam waktu beberapa jam saja.
Berg merasa malu. Sebagai seorang pria, dia tahu, seharusnya dia bertanggung jawab untuk mencari uang demi pernikahan mereka. Tapi meski dia berusaha sekeras apapun, usahanya tetap tidak berarti.
“Engga harus begini, Helena….”
“Dua puluh koin emas lagi, dan kita akan bisa menikah. Pikirkan itu aja, ya, Sayang?”
Helena mengecup pipi Berg, lalu pergi mengantarkan gelas-gelas bir kepada pengunjung lain. Meninggalkan Berg yang terduduk kaku sembari memandangi lima keping koin emas di telapak tangannya. Entah dia harus mengutuk siapa saat ini; dia dan ketidak-berdayaannya, Helena dan pilihannya, atau pendeta di desanya yang mematok tarif penghulu pernikahan yang terlalu mahal baginya.
Saat Berg terpuruk di meja bar, para petualang yang berkumpul di tavern yang sama sedang ramai membahas naga yang beberapa kali mereka lihat tengah berkeliaran di gunung Morghr dan padang Tarbush—sebuah padang rumput yang berada di selatan desa Gorvik. Topik bahasan mereka hanya berputar-putar di jenis naga yang mereka lihat, strategi mereka menghadapi naga itu, atau senjata dan baju zirah yang akan mereka buat dari bagian tubuh sang naga jika mereka berhasil membunuhnya. Karena naga adalah makhluk yang sangat langka, maka jasadnya dihargai dengan sangat tinggi oleh para pedagang. Senjata dan baju zirah yang dibuat dari taring, kuku, kulit dan sisiknya juga berkualitas terbaik. Maka tidak heran jika para petualang begitu bersemangat ingin memburunya.
“Hei, kau yakin yang kau lihat itu bukan Rathalos?” tanya salah seorang petualang.
Yang ditanya, menjawab sembari memasang ekspresi meyakinkan, “Aku tahu bedanya Rathalos dan Rathian. Aku yakin yang kulihat itu Rathian!”
“Semua orang yang ada di tavern ini punya pendapat yang sama; yang kami lihat itu Rathalos!” jawab yang lain.
“Aku berani bersumpah demi nenek moyangku, bahwa yang kulihat itu Rathian! Hei,” petualang itu beralih ke seorang petualang yang duduk di sampingnya, “kau juga ada di padang Tarbush tadi, kan? Yang kau lihat juga sama dengan yang kulihat, kan?”
Petualang itu mengangguk, pelan. “Itu… benar-benar Rathian. Naga itu menyambar seekor sapi lalu terbang cepat ke gunung Morghr. Aku tahu yang kulihat itu Rathian, dari ekor naga itu. Ekor Rathalos tidak seperti itu.”
Saat mereka berdebat tentang siapa yang benar, petualang berkepala plontos yang tadi memakai ‘jasa’ Helena tampak sedang berpikir keras. Keringat dingin muncul dari pori-pori keningnya. Saat perdebatan itu berubah menjadi keributan, pria itu menggebrak meja, menghentikan keributan. Hening tercipta untuk beberapa saat. Semua mata, tertuju pada pria itu.
“Bagaimana jika… ada dua naga?” Pria itu menggigit ibu jarinya. Ketakutan terlihat jelas dari raut wajahnya. “Bagaimana jika… Rathalos dan Rathian itu habis kawin, dan sedang mengerami telur mereka di suatu tempat… di gunung Morghr? Atau mungkin… telur itu sudah menetas dan Rathian itu sedang mencari makan untuk anaknya?”
Semua terdiam. Baik para petualang maupun penduduk desa tahu, tidak ada yang lebih mengerikan daripada naga yang sedang melindungi anaknya. Naga betina memang terkesan lebih pasif; hanya bergerak untuk mencari makan. Yang mereka takutkan justru sang naga jantan, karena untuk mengamankan anaknya, sang naga akan membersihkan area sekitar agar tidak ada ancaman terhadap pasangan dan anaknya.
Tiba-tiba, pintu tavern didobrak oleh salah seorang penduduk desa. Wajah takutnya seakan menjadi konfirmasi akan ketakutan yang ada di pikiran para pengunjung tavern. Saat orang itu mendobrak pintu, di belakangnya langit senja tampak berwarna jingga, dilukis oleh kobaran api yang tengah membakar padang Tarbush di selatan desa.
“Itu… anu… na-naganya… eee… naganya muncul! Pa-padangnya dibakar habis… dan… dan… te-te-ternyata… NAGANYA ADA DUA!” seru penduduk desa itu, penuh dengan kepanikan.
Para petualang segera bangkit. Mereka menarik nafas panjang, menyiapkan hati. Mereka tahu, bertarung melawan naga sama saja dengan mengundi takdir mereka sendiri. Kematian sedang mengetuk pintu mereka, saat mereka memutuskan untuk meninggalkan tavern menuju padang yang sedang berkobar itu.
Saat semua petualang sudah meninggalkan tavern, Helena pun bersiap-siap untuk mengungsi bersama Berg dan penduduk desa lainnya. Tapi saat dia bergegas keluar, gadis itu melihat seseorang yang masih duduk santai di pojok tavern. Seorang pemuda, berambut perak sepertinya. Pemuda itu menyisip bir di gelas, sembari mengunyah roti.
“Kamu… petualang, kan?” tanya Helena, hati-hati.
Pemuda itu mengangguk, lalu kembali mengunyah potongan roti.
“Kenapa ga ikut pergi?”
“Mereka kurang sabar. Kalau mereka lebih cerdas sedikit aja, mereka akan tahu harusnya gimana,” jawab pemuda itu. Lalu dia melongok ke gelas birnya, dan merasa kecewa. “Boleh aku tambah birnya?”
Saat itu, Helena tahu pemuda itu bukan petualang biasa.
The Silver-Haired Duo
–Rathalos–
–Rathian–
Rathalos dan Rathian, adalah dua jenis naga yang cukup terkenal di kalangan para petualang di benua Terraria. Rathalos adalah naga jantan yang kerap menjadikan dataran tinggi sebagai arena berburunya, sedangkan Rathian adalah naga betina yang lebih sering berburu di area dataran rendah. Semua jenis naga Rathalos adalah pejantan, sedangkan Rathian selalu berjenis kelamin betina. Keduanya tidak sebesar naga lain yang bisa sampai berukuran raksasa; Rathalos dan Rathian hanya seukuran rumah dua lantai. Tapi tetap saja, mereka termasuk makhluk yang berukuran besar jika dibandingkan dengan manusia.
Rathalos dan Rathian punya pola unik dalam berkembang biak dan menghindari kepunahan. Saat mereka kawin, mereka akan melahirkan telur kembar, yang akan menetas jadi bayi Rathalos dan Rathian. Kemudian para naga tersebut akan menjaga dan menyuplai kebutuhan makan anak-anak mereka, kemudian secara bertahap mengajarkan mereka berburu mangsa saat mereka sudah lebih besar. Ketika sudah dirasa bisa mandiri, Rathalos dan Rathian akan berpisah dan meninggalkan anak-anak mereka, dan kembali mengembara mencari Rathalos dan Rathian lain untuk berkembang biak lagi.
Tapi proses kawin mereka sendiri sangat jarang terjadi. Manusia mencatat, bahwa musim kawin Rathalos dan Rathian hanya terjadi lima puluh tahun sekali. Waktu selama itu adalah tiga perempat dari rata-rata umur manusia biasa. Tapi bagi para naga, waktu lima puluh tahun hanya berlalu dalam sekejap mata.
Naga adalah makhluk yang berumur panjang. Umur naga bisa mencapai ratusan, bahkan ribuan tahun. Beberapa naga legendaris dan kuno bisa hidup sampai belasan atau puluhan ribu tahun. Konon, umur mereka setua umur benua Terraria itu sendiri. Karena menurut legenda, mereka adalah penghuni pertama benua Terraria.
“Kalau para petualang itu mau berpikir jernih dan ga begitu aja menuruti nafsu berburu mereka, dua naga itu bisa mereka kalahkan dengan mudah,” begitu komentar dari petualang misterius itu, saat Helena menemaninya minum bir di tavern yang telah sepi dari pengunjung.
–Helena–
“Kamu yakin mereka ga akan membakar habis desa ini?” tanya Helena, serius. Beberapa kali, mata gadis itu melirik ke arah langit malam yang semakin menjingga karena kobaran api yang membakar padang semakin besar.
“Engga malam ini. Mereka ga punya cukup tenaga untuk membakar padang dan juga desa sekaligus. Seenggaknya, mereka harus istirahat dulu.”
“Istirahat? Makhluk sekuat naga memang butuh istirahat?”
Petualang misterius itu meneguk birnya lagi. “Berapa kali kakekmu mengeluh capek lalu begitu aja menyudahi pekerjaannya tanpa menyelesaikannya, lalu, setelah sekian lama istirahat, baru kakekmu melanjutkan lagi?”
“Aku ga punya kakek…,” seketika raut wajah Helena berubah, “sebentar, deh. Jangan-jangan… maksudmu… naga-naga itu sudah tua?”
Petualang misterius itu hanya tersenyum. Dia segera bangkit, mengepaki barang bawaan dan senjatanya, lalu menjentikkan sekeping koin emas dengan ibu jari. Koin itu terlempar ringan hingga jatuh di meja, tepat di hadapan Helena. “Birnya enak. Kapan-kapan, aku ke sini lagi, ya,” ucapnya, sebelum berlalu menuju pintu keluar.
Helena melihat punggung petualang misterius itu. Tubuhnya cukup ramping, tidak terlihat otot-otot tebal dan membengkak seperti kebanyakan petualang. Tapi petualang itu sanggup mengangkat kapak besar bermata kembar dengan mata tombak di ujung gagangnya, yang dia sampirkan di bahunya hanya dengan satu tangan. Kekuatannya pasti jauh lebih besar dari yang terlihat pada tubuh kurusnya, begitu pikir Helena.
Tapi yang paling menarik perhatian Helena dari petualang itu adalah, rambut sebahu berwarna peraknya yang berkilau terkena cahaya. Warna rambut yang sama persis dengannya. Helena yakin, dirinya dan petualang itu berasal dari satu kaum yang sama.
“Ini kebanyakan. Harga birnya cuma lima perak, loh,” gumamnya, menggerutu sendiri.
Gorvik punya bunker khusus yang diperuntukkan untuk keadaan darurat, dan ancaman pemusnahan masal oleh naga merupakan salah satu keadaan darurat itu. Para penduduk desa yang tidak memutuskan untuk melawan naga, memilih berlindung di bunker. Pintu masuknya ada di belakang rumah kepala desa. Penduduk desa harus melewati lorong yang menjorok ke bawah sepanjang puluhan meter, sebelum akhirnya tiba di ruang utama bunker.
Helena tahu, dia akan lebih aman berada di bunker. Tapi sikap Berg yang meninggalkannya begitu saja saat di tavern tadi hanya untuk pergi lebih dulu ke bunker, membuat Helena kecewa. Dia membuang harga dirinya untuk mengumpulkan koin emas, dan tunangannya bahkan terlalu larut dalam ego sehingga bersikap buruk padanya. Dalam perjalanan menuju bunker, Helena menimbang-nimbang keputusannya lagi untuk menikah dengan Berg. Ternyata, pemuda itu tidak sebaik yang dia kira.
Hidup normal seperti ini, kayaknya ga cocok buatku. Helena tersenyum getir, lalu berubah tujuan ke arah toko senjata. Padahal, pintu masuk bunker berada tepat di depannya. Helena merasa, berjuang dan melawan jauh lebih baik daripada tunduk pada ketakutan.
Saat berada di toko yang sudah ditinggalkan pedagangnya, Helena mengambil dua bilah pedang pendek, lalu melemparkan sekeping koin emas ke meja toko. “Aku cuma punya segini, maaf, ya,” ucapnya, sebelum berlalu meninggalkan toko senjata.
Sementara itu, di dalam bunker, Berg merasa cemas karena tidak kunjung melihat keberadaan Helena. Dia memperhatikan penduduk desa yang baru muncul dari balik lorong, tetapi tidak ada Helena sampai saat ini. Maka, setelah memberanikan diri, Berg memutuskan untuk keluar dari bunker. Teman-temannya berusaha mencegahnya, tetapi Berg tetap nekat. Dia bersikeras bahwa ini adalah kesalahannya, karena tidak mengajak Helena untuk pergi ke bunker bersama-sama.
“Kau tidak akan bisa masuk lagi. Kami harus memastikan penduduk desa aman. Apa kau yakin?” ucap seorang penjaga bunker kepada Berg.
“Ga masalah buatku. Tolong cepat buka pintunya.”
“Dia cuma seorang pelacur yang berkedok sebagai pelayan tavern, Berg. Demi nenek moyangku, kau anak baik. Dia tidak pantas buatmu. Terlebih lagi, anak itu berambut perak. Kau tahu kan? Anak itu ‘berdarah kotor’.”
Kedua tangan Berg mengepal kencang saat mendengar ucapan penjaga bunker itu. Tapi Berg berusaha menahan diri. “Tolong cepat buka, Pak Jenkins. Helena membutuhkanku.”
“Jika kau memaksa, baiklah.” Pintu pun terbuka, dan Berg segera berlari keluar. Sebelum pintu menutup, penjaga bunker berteriak kencang, “Kami tidak akan membuka pintu ini lagi sampai keadaan aman! Maaf, Berg!”
“Kalau naganya membakar desa, kalian yang justru akan terpanggang hidup-hidup di tempat itu, dasar bodoh,” rutuk Berg, kesal. Lalu dia mencomot sebilah pedang di toko senjata yang telah ditinggalkan pemiliknya, untuk berjaga-jaga.
Dia berlari ke arah tavern sembari meneriakkan nama Helena. Berharap dia bertemu gadis itu di jalan. Tapi dia tetap tidak dapat menemukannya. Saat mencapai tavern pun, tempat itu telah kosong seutuhnya. Saat itu juga, Berg berada pada puncak kepanikan.
Helena tidak sengaja menemukan petualang misterius yang mengobrol dengannya tadi itu sedang melakukan sesuatu di salah satu sudut desa. Pemuda itu sedang menikmati kegiatan menumbuk beberapa jenis tanaman pada sebidang batu yang permukaannya datar. Ketika beberapa tanaman itu sudah hancur, pemuda itu lalu mengoleskan tumbukan tanaman ke seluruh permukaan kapaknya.
Jarak mereka sudah cukup dekat, saat petualang itu baru menyadari Helena sedang berjalan menghampirinya. Petualang itu merasa aneh, karena dia yakin tidak mendengar suara langkah kaki Helena. Dia juga cukup terkejut, ketika melihat dua bilah pedang pendek yang digenggam Helena dalam posisi terhunus ke belakang. Tidak banyak orang biasa yang menggenggam senjata dalam posisi demikian, pikirnya.
“Jadi, kamu mau bergabung dengan para petualang itu untuk melawan naga?” tanya petualang itu.
Helena mengangguk. “Tapi seperti saranmu tadi, aku kayaknya memilih menunggu hingga naga-naga itu capek sendiri, deh.”
“Terus, gimana caramu melawan? Menghadapi mereka secara langsung?”
“Memang ada cara lain?”
“Kalau kamu sedang capek tapi masih diganggu orang lain, apa kamu akan menurunkan kewaspadaanmu?”
Helena menggeleng, pelan. “Cara terbaik adalah dengan… menyerang saat mereka sudah ga waspada. Betul, kan?”
“Kamu terlalu tajam untuk ukuran gadis biasa,” puji petualang itu. Dia pun berdiri, lalu menunjuk gunung Morghr yang terlihat jelas dari desa. “Mau ikut? Lebih banyak yang membantuku, lebih baik, kan?”
Helena mengulurkan tangan ke petualang misterius itu. “Panggil saja aku Helena.”
“Nier,” ucap si petualang misterius, sembari menyambut jabat tangan Helena.
–Nier–
Dua sosok manusia itu pun berlalu, memutuskan untuk mendaki gunung Mohghr. Jika perhitungan petualang itu tepat, maka Rathalos dan Rathian akan kembali ke gunung Morghr untuk mengisi tenaga mereka kembali, dan disaat itu adalah saat yang tepat untuk memberi kedua naga tersebut serangan kejutan yang tidak bisa mereka antisipasi. Yang perlu dilakukan sekarang adalah, mencari sarang kedua naga itu.
“Kita butuh waktu setengah hari untuk mencapai puncak gunung, kalau berjalan tanpa istirahat. Sementara naga-naga itu cuma perlu terbang beberapa saat untuk sampai ke sarang mereka di puncak gunung. Ini curang sekali,” keluh Helena.
Nier mendadak menghentikan langkahnya. Dia berbalik, menatap Helena, lalu tersenyum lebar. “Aku belum pernah bilang kalau naga biasanya mendirikan sarang di puncak gunung, kan? Lalu, gimana kamu bisa tahu, Helena?”
Yang ditanya, hanya bisa tergagap karena mendapat pertanyaan yang diluar ekspektasinya. Helena bahkan menghindari tatapan Nier, yang semakin tajam menatapnya. “E-eh… itu… kayaknya… pe-pengetahuan umum, deh. I-iya, kan?”
“Ga setiap orang tahu naga biasa bersarang di puncak gunung.” Nier menatap Helena dengan pandangan meledek. “Sudah kuduga, kamu bukan gadis desa biasa, Helena,” ucapnya, dengan nada riang.
Malam ini adalah malam yang buruk untuk berada di padang Tarbush. Semua petualang yang sedang berada di sana yakin bahwa mereka punya pendapat yang sama. Mereka harus bertarung menghadapi dua naga mengerikan yang mempunyai kombinasi serangan yang menakjubkan, sehingga para petualang tidak dapat membaca pola serangan mereka dengan mudah.
Padang Tarbush yang tadinya penuh dengan rerumputan hijau sejauh mata memandang, kini berubah menjadi lautan api yang kobarannya membumbung tinggi ke angkasa. Semburan api yang keluar bergantian dari mulut Rathalos dan Rathian membakar habis rerumputan, bersama dengan seluruh makhluk hidup yang berada di sana. Kedua naga itu terbang tinggi ke langit untuk menghindari serangan senjata para petualang, lalu menukik turun dan menyambar para petualang, satu demi satu. Sedikit demi sedikit, para petualang yang berjumlah ratusan itu pun tumbang. Sebagian besar karena luka parah akibat disambar kuku-kuku tajam sang naga, sebagian lagi karena dibakar habis oleh semburan api mereka.
“Jangan berpencar! Jangan berpencar! Naga-naga itu akan lebih mudah mengincar kita jika kita berpencar!” pekik salah seorang petualang.
Beberapa petualang mengikuti arahan petualang itu, lalu berkumpul dan membentuk formasi bertahan untuk menghalau Rathalos yang sedang terbang menyerbu mereka. Para petualang yang membawa tameng berada di barisan paling depan, sedangkan regu penyerang ada di barisan tengah, sementara regu pelempar tombak dan pemanah ada di barisan belakang. Strategi mereka adalah melakukan serangan jarak jauh lewat regu di barisan belakang untuk mendistraksi fokus serangan Rathalos, lalu menghalau serangan naga itu dengan tameng milik regu di barisan depan, kemudian ketika gerakan Rathalos berhasil diperlambat, regu penyerang jarak dekat di barisan tengah yang akan mengambil alih serangan.
Tapi mereka lupa, bahwa ada dua naga yang sedang mereka hadapi sekarang. Rathian yang menyerbu dari belakang, segera menyambar barisan penyerang jarak jauh dan penyerang jarak dekat. Formasi mereka jadi berantakan dalam sekejap, dan saat mereka lengah, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Rathalos yang langsung membakar mereka hidup-hidup dengan semburan apinya. Puluhan petualang mati seketika.
“Jangan berpencar kepalamu kotak! Kok bisa-bisanya kalian menawarkan diri secara sukarela jadi daging bakar?” ucap salah seorang petualang lain, yang berada agak jauh dari tempat kejadian.
“Jangan pikirkan orang lain!” Petualang itu mendadak dijatuhkan hingga merebah di tanah oleh petualang lainnya. Saat mereka merebah di tanah, cakar-cakar Rathian melesat cepat di atas punggung mereka. “Terutama yang sudah mati!”
“Te-terima kasih….”
Setelah beberapa kali terbang dan menukik untuk menyerang petualang, Rathian tiba-tiba oleng lalu mendarat darurat di tanah dengan keras. Nafas apinya mendengus kencang beberapa kali. Matanya mulai sayu, serta lehernya merebah hingga menempel di tanah. Rupanya, Rathian mulai kelelahan. Tapi naga itu tidak mengendurkan sikap waspadanya. Rathian mengatur kembali nafasnya, serta mengumpulkan tenaga untuk membuat api di tenggorokannya.
Seorang petualang berkepala plontos menyadari bahwa Rathian sudah kelelahan. Maka, dirinya berseru kepada para petualang lain yang masih tersisa. “Rathian sudah kepayahan! Ini saatnya! Kita fokus membantai naga betinanya dulu! Yang lain alihkan perhatian Rathalos agar tidak mendekati Rathian!”
Para petualang serentak menyerbu Rathian. Sementara petualang yang mempunyai spesialisasi dalam pertahanan mengusik Rathalos agar tidak membantu. Tapi Rathian masih punya serangan terakhir sebelum dirinya benar-benar tumbang karena kelelahan. Semburan api hebat keluar deras dari mulutnya yang membuka lebar, membakar para petualang yang tengah berlarian untuk menyerangnya. Para penyerang Rathian hangus dalam sekejap, dan mayat mereka bergelimpangan ke tanah secara serentak. Meski sudah mati, api masih terus membakar tubuh mereka, hingga tulang-tulang mereka hangus dan berubah jadi abu.
Rathalos yang juga berhasil menumbangkan para petualang yang menghalanginya, terbang menghampiri Rathian. Naga itu mendekati betinanya, lalu menempelkan kepalanya di kepala Rathian. Dalam sekejap, Rathian kembali sedikit bertenaga. Sang naga betina langsung merentangkan sayap, dan terbang tinggi meninggalkan padang Tarbush. Disusul Rathalos yang mengekor di belakang, mengawasi betinanya yang terbang kepayahan menuju puncak gunung Morghr.
“Memangnya kita bisa sampai lebih dulu daripada naga-naga itu, Nier?” tanya Helena, sembari terus menebas ranting-ranting pohon yang menghalangi jalur mereka.
“Engga mungkin. Tapi aku tahu, kita sampai saat para naga itu masih kelelahan. Naga yang lelah ga akan memberi perlawanan berarti terhadap serangan mendadak.”
Nier dan Helena sudah sampai setengah perjalanan menuju puncak gunung, saat melihat dua naga terbang rendah di atas pepohonan menuju ke arah yang sama dengan mereka. Salah satu naga terlihat terbang dengan kondisi kepayahan, sementara naga di belakangnya terbang pelan sembari mengawasi naga yang kepayahan tersebut.
“Rathiannya kasihan, ya, pasti kondisinya babak belur sekarang,” ucap Nier.
“Kamu aneh sekali, bisa-bisanya mengasihani buruanmu sendiri.”
Nier tersenyum lebar, lalu menjawab dengan suara riang, “Aku lebih memiliki rasa kasihan pada makhluk non-manusia yang para manusia sebut sebagai monster, daripada manusia itu sendiri.”
“Kamu bilang begitu seolah-olah kamu bukan manusia, Nier.”
“Bagi manusia, mereka menganggap kaum ‘berdarah kotor’ seperti kita tidak masuk ke dalam golongan manusia. Padahal bentuk fisik kita sama persis, tapi cuma karena warna rambut yang berbeda membuat para manusia itu ketakutan dan menganggap kita makhluk rendahan yang tidak pantas masuk ke dalam golongan manusia. Cuma karena warna rambut, Helena.”
“Jangan-jangan… kamu juga berasal dari… klan Silverhart? Itu… rambutmu… warnanya alami, kan?”
Nier mengangguk, pelan. “Legenda bilang, klan Silverhart adalah keturunan langsung dari malaikat Seraphim Heylel yang turun ke dunia setelah diusir dari surga karena menjalin cinta dengan Lilith, perempuan pertama yang tadinya disiapkan oleh Tuhan sebagai pasangan Adam, manusia pertama. Seraphim Heylel adalah penguasa cahaya dan malaikat paling bersinar di surga, karena itu dia dijuluki dengan nama Lucifer, sang Pembawa Cahaya. Konon, rambut Heylel berwarna perak dan berkilau, dan Heylel berjanji bahwa semua keturunannya akan mempunyai rambut yang indah sepertinya.”
“Tapi kita dibenci bukan cuma karena warna rambut, Nier. Rambut perak ini,” Helena mengelus rambutnya, “cuma penanda identitas kita sesungguhnya.”
“Mereka terlalu termakan oleh legenda yang belum tentu juga terbukti kebenarannya. Manusia-manusia tolol itu,” Nier menarik nafas panjang, “ampun, deh.”
“Aku percaya, kok.” Helena berjalan lebih cepat, menyusul Nier hingga berjalan bersisian dengannya. “Seraphim terakhir akan lahir dari keturunan manusia yang menjalin hubungan cinta terlarang dengan malaikat. Seraphim itu adalah penanda akhir zaman, dan membawa kekuatan dahsyat yang sanggup menghancurkan dunia. Begitu kan yang legenda bilang?”
“Iya, dan apesnya, cuma kita para keturunan klan Silverhart yang katanya lahir dari hubungan terlarang antara malaikat dan manusia.” Nier tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, hingga membuat Helena kebingungan. “Bayangkan, kita sudah apes bahkan sebelum kita lahir, Helena.”
“Itu tertawa bahagia atau miris?” tanya Helena, bingung.
“Keduanya.” Nier berhenti tertawa dalam sekejap, lalu menatap tajam ke arah puncak gunung. “Sedikit lagi sampai. Ayo, kita percepat.”
Nier tiba-tiba melesat cepat, meninggalkan Helena begitu saja. Helena tahu, bahwa Nier punya kekuatan fisik yang besar, karena meski membawa kapak besar di tangannya, Nier masih sanggup melesat secepat itu. Tapi Helena bukan satu-satunya orang yang berhasil dibuat terkejut, karena tak lama, Helena berhasil menyusul Nier dengan kecepatan lari yang sama cepatnya, bahkan kini mengungguli Nier dan melesat jauh di depan. Bergerak indah dan menghindari rintangan di sepanjang jalur dengan mulus dan hampir tanpa suara.
Nier tahu, hanya tipe kelas tertentu yang bisa bergerak secepat dan selincah itu. Pemuda itu bisa menebak siapa Helena sebenarnya.
Kedua naga itu baru saja tiba di puncak gunung Morghr. Tapi Rathian yang sudah terlalu lelah, langsung ambruk begitu mencapai puncak. Rathalos yang mendarat belakangan, langsung berjalan menghampiri betinanya. Sorot mata cemas itu tak mampu disembunyikan sang naga jantan.
“I ylbmuh ksa rof ezigolopa, Ym Raed, rof thguorb uoy htiw em ot od eht gnisnaelc,”¹ Rathalos menggeram, berbicara dalam bahasa naga kepada Rathian yang sedang memasuki gua—yang menjadi sarang mereka.
“Ti si ym lliw. Uoy od ton evah ot ezigolopa. Eht erom, eht reirrem,”² balas Rathian.
Rathalos kemudian membahas tentang kemungkinan akan adanya serangan lanjutan dari manusia kepada mereka. Naga itu memprediksi, bahwa manusia yang tersisa dari pertempuran di padang Tarbush akan mengumpulkan lebih banyak massa, dan menyerbu ke sarang mereka tidak lama lagi. Rathian menenangkan Rathalos, bahwa waktu setengah hari sudah cukup baginya untuk beristirahat dan sebelum para manusia bisa mencapai puncak gunung, mereka akan pergi dengan membawa serta anak-anak mereka yang baru menetas.
Di ujung gua, ternyata sudah menunggu dua ekor naga mungil. Geraman lucu dari kedua naga mungil itu amat sangat menghibur Rathalos dan Rathian. Di mata manusia, mereka mungkin terlihat sebagai naga bengis yang tidak segan membunuh. Tapi mereka tetaplah makhluk hidup yang mempunyai perasaan, dan mereka akan melakukan apapun untuk membuat anak-anak mereka merasa aman.
“Uoy yam tser. I llahs draug siht evac,”³ ucap Rathalos, lalu pergi ke mulut gua untuk berjaga. Sementara Rathian mengistirahatkan diri, ditemani kedua anaknya yang tidur berdekatan dengannya.
Satu hal yang Rathalos tidak ketahui, bahwa kematian datang lebih cepat dari perkiraannya. Dari balik barisan pepohonan besar di pangkal puncak gunung Morghr, Nier dan Helena mengintainya dengan hati-hati. Kelelahan membuat insting Rathalos menjadi tumpul, dan kelengahan sang naga dimanfaatkan dengan baik oleh kedua orang itu.
“Mari kita lihat seberapa hebat kemampuanmu, Assassin,” ucap Nier, santai.
Helena terkejut mendengar ucapan Nier, tapi dia dapat menguasai diri dengan cepat. Helena pun tersenyum, sembari membalas ucapan Nier. “Itu cuma masa lalu,” balasnya.
“Aku dengan segala kerendahan hati meminta maaf, Sayangku, karena telah membawamu bersamaku untuk melakukan pembersihan.”¹
“Itu adalah keinginanku. Kau tidak perlu meminta maaf. Lebih banyak yang ikut, lebih baik.”²
“Kau bisa istirahat. Aku akan menjaga gua ini.”³