“Hai kakak, apa kabar?” Ucap salah seorang pemuda yang memendam asmaranya pada Ariah. Sejak beberapa minggu yang lalu, atau mungkin berbulan-bulan lalu.
Ariah hanya menjawab seadanya; seperlunya, disusul sesungging senyuman nan manis, bahkan begitu manis sampai-sampai bunga tebu harus mengalah lantaran menggilai senyumannya.
Ya, Ariah adalah seorang kembang desa, dengan tinggi sekitar 165 dan berat tubuh 53 kilogram. Kecantikannya tak hanya membuai para pemuda di kampungnya, tapi juga para pria yang telah memiliki istri. Celakanya, si orang kaya pemilik paviliun tersebut tertarik pada kecantikan Ariah dan bermaksud mengawininya tentu dengan persetujuan istri pertama dan kedua. Namun, Ariah menolak karena tahu ia hanya akan dijadikan seorang selir.
“Sudah lho neng, dia tuh orang kaya.. yang telah menghidupi kita sejak abahmu kabur! Hidupmu tak akan susah..” Ujar sang ibu. Nadanya yang tertekan, matanya menerawang ke satu sudut dinding, sementara mereka baru saja menyelesaikan makan malam bertiga. Sang kakak hanya tersenyum-senyum. Kadang tatapannya terlalu kosong, kadang begitu berapi-api.
Ariah yang tengah mencuci piring hanya terdiam, tanpa menjawab. Ia begitu kecewa dengan pendapat sang ibu. Ia ingin hidup bebas, tak seperti perempuan lain di kampung ini yang menikah di usia yang masih sangat belia.
“Mengapa aku harus menjalani cerita hidup yang seperti ini..” Hatinya membatin. “Aku ingin bebas, tanpa harus terkekang.”
Praank! Sebuah piring terjatuh dari genggamannya, hancur berkeping-keping.
Sore itu, Ariah termenung di beranda ditemani beberapa burung dara dan merpati yang singgah mungkin ingin untuk menghibur hati sang kembang desa yang tengah gundah. Di lengannya tergenggam sejumput remah-remah roti, beberapa sebagian kecil ia lemparkan ke arah kerumunan burung-burung. Burung-burung sontak berebut sibuk mematuk-matukinya. Sore itu tampak cerah dengan lembayung yang tergurat pada petala langit senja. Sore itu sungguh semarak, tapi tidak dengan suasana hati Ariah. Dingin, juga kacau.
Tiba-tiba..
“Neng! kamu lagi apa?” Suara yang tiba-tiba datang mengejutkan hati Ariah.
“Eh, ibu..” Ariah membalas. “Ini lagi memberi makan burung.” Ucapnya lemas. Ada sesungging senyum yang sepertinya malas ia lemparkan.
Ibu lantas duduk meleseh di samping Ariah, di atas tangga pada beranda.
“Ibu bukannya tak mengerti keinginan kamu.. tapi keadaan kita di sini..” Belum selesai sang ibu berbicara, Ariah segera memotong.
“Buu!! Aku paham. Paham sekali! Tapi aku tak mau dimadu, Bu!” Ariah memelas, ditatapnya sang ibu yang juga memandangnya.
Kedua perempuan tersebut saling beradu pandang, tentu dengan kedua sudut pandang yang berbeda. Dengan opini yang jelas berbeda dalam kepala-kepala mereka. Sang ibu bukannya tak mengerti keinginan anak perempuannya yang menginginkan kebebasan, namun paksaan dari sang pemilik paviliun yang ingin menikahi anaknya begitu memaksa untuk disegerakan.
“Kenapa kamu tak bisa menganggap pernikahanmu dengannya sebagai tanda balas jasanya pada kita selama ini?” Suara Ibu memecah suasana.
Sontak air wajah Ariah berubah, ia tak membalas, tak berujar sepatah kata pun. Ia menutup mulut sekuat-kuatnya. Ariah berdiri dan segera masuk ke dalam rumah dengan hati nan jengkel. Burung-burung pun kembali beterbangan, satu persatu mengunci dirinya di balik sarang. Untuk melalui malam dalam dekapan, sementara adzan maghrib baru saja berkumandang.
Allahuakbar.. Allahuakbar.
Allahuakbar.. Allahuakbar.
Asyhaduallailahailallahu.. Asyhaduana muhammadurasulullah..
Allahuakbar.. Allahuakbar..
Laa illahailallahu.
##
Tak dihiraukannya lagi amanah sang ibu, Ariah pun kabur malam itu untuk menghindari paksaan juragan kaya pemilik paviliun tempat tinggalnya itu. Pelarian Ariah mengantarnya ke kawasan pantai, di mana di sana terdapat seorang pria kaya lainnya. Pria kaya tersebut bernama Oey Tambahsia, dan ia tertarik ketika melihat kecantikan Ariah.
Oey memerintah centeng-centengnya untuk segera menangkap Ariah untuk dijadikan wanita simpanannya.
Ketika centeng-centeng Oey hendak menangkap Ariah, gadis itu memberikan perlawanan sekuat tenaganya. Namun nahas tenaga Ariah tidak cukup kuat melawan tenaga lima pria tersebut. Kelima pria tersebut bernama; Adi, Soetjipto, Komar, Paiman dan Wagi.
“Nah lhoo! Mau kemana lo?! Udah kehabisan jalan! Hahaha..” Ledek Paiman pada Ariah yang terjebak pada jalan buntu.
Dua temannya yakni Adi dan Wagi segera mendekati Ariah yang begitu ketakutan. Keringatnya mengalir deras dari kening. “Celaka aku.” Batin Ariah.
Ariah tentu saja memberontak manakala Adi dan Wagi memaksa menangkap lengannya, namun tenaga Ariah tak cukup kuat melawan kedua pria berbadan tegap tersebut. Pada kondisi terjepit, Ariah hanya bisa pasrah melemah, lagipun, setelah berlari jauh, tenaganya sudah tak cukup kuat lagi, untuk sekedar bergerak. Ia hanya bisa merelakan badannya ter-eksploitasi kelima pemuda yang tampaknya tengah dimabuk alkohol. Ia bahkan hanya bisa terdiam.
Pak Oey lantas datang kembali membawa sebilah golok besar, dengan panjang satu meteran. Ia menyuruh para centengnya membungkam mulut Ariah dan membawanya ke gudang sejauh satu jam perjalanan.
Sesampainya di gudang, tubuhnya yang mulus ditelanjangi dengan paksa. Mulai dari jilbab hijau yang membalut wajah lembutnya hingga celana dalam yang melapisi bagian kewanitaannya.
“Mantabh mang!!” Teriak sutjipto. Matanya memandang seluruh tubuh Ariah yang membugil lemas.
Ariah tersudut di pojok gudang tanpa sehelai pun penutup tubuh.
“Ikat dia!” Suruh Pak Oey seraya melemparkan lilitan tali-temali ke arah mereka.
Kelimanya pun segera mengikat Ariah. Bukannya tak berontak, Ariah justru pasrah tubuhnya disimpulkan tali.
Sesekali lengan-lengan pemuda mabuk tersebut sengaja menyerempet vagina Ariah. Atau belahan bongkah pantatnya yang mulus. Sepasang puting yang mungil itu pun tak ayal jadi tontonan, beberapa orang bahkan dengan sengaja menyenggolnya.
“Kita perkosa, Mang?!” Bisik Wagi di telinga Komar.
“Hush! Ini milik bos. Jangan!”
“Tuh liat!” Dengan bibirnya yang monyong, Komar menunjukkan pistol sang boss yang tersangkut di pinggang. Seunit revolver mengkilap dengan cylinder berisikan peluru-peluru lengkap.
Beberapa menit kemudian mereka selesai menyelesaikan tugas tersebut.
“Sudah boss!” Ucap Komar pada Pak Oey setelah dirasa ikatan-ikatan pada tubuh Ariah selesai.
Sang bos mengeceknya beberapa saat, lantas berujar, “Ya sudah kita menginap saja di sini!” Jawab sang bos lantas kembali menenggak sebotol beer.
“Ayo lanjutkan lagi minumnya!”
Sejurus berselang, Pak Oey melepaskan jaketnya dan menyelimuti tubuh Ariah yang telanjang.
“Pakai ini!” Dikenakannya jaket tersebut di tubuh Ariah. Di mulutnya tersumpal sebatang rokok kretek.
“Siapa namamu?” Tanya Pak Oey pada Ariah.
Ariah tak menjawab, kedua matanya sudah tak lagi berair. Namun wajahnya pucat, sepucat purnama yang malam itu tengah bersinar gamblang.
“Kau tak mau menjawab?” Ditowelnya lengan Ariah dengan ujung kelinging.
Ariah berusaha menjauhkan lengannya dari jangkauan Pak Oey.
“Paakk.. lepaskan akuuu..” Tak lama kemudian Ariah pun bersuara.
Pak Oey hanya tersenyum melihatnya. Lantas ia menggeleng, “Ada syaratnya..” Ucapnya kemudian.
“Maukah kau menikah denganku?” Tanya bapak-bapak berumur lima puluhan tersebut. Ia tersenyum memamerkan gigi-gigi emasnya. Satu matanya telah buta.
“Maukah kau?” Tanyanya sekali lagi.
Namun pertanyaan tersebut sia-sia, tanpa jawaban. Ariah tak menggubrisnya sedikit pun.
“Lebih baik aku mati berkalang tanah dari pada menikah denganmu! Cuih!” Ariah berkata seraya meludah di hadapan Pak Oey.
Sontak saja hal tersebut membuat pak Oey geram dan lantas menampar wajah Ariah dengan cukup keras.
Plakk!
Wajah Ariah memerah dan ia kembali menangis. Bahkan berteriak memanggil siapapun yang mungkin mendengarnya.
“Toloooooong!! Toloooooong!!”
“Berteriaklah kau sekencang kencangnya! Hahahaha” Ujar Pak Oey.
Namun teriakan tersebut hanya menjadi hampa ditelan gelapnya malam. Berakhir menjadi derikan jangkrik-jangkrik dan seraknya suara katak di pesawahan.
Ia diinapkan sehari semalam di dalam gudang tersebut. Tubuhnya yang mulus begitu menggiurkan, ditimpa cahaya remang dari beberapa bola lampu bohlam yang tak sepenuhnya menyala, wajahnya yang sendu justru terlihat begitu cantik meski tanpa make up. Sepasang payudaranya yang berukuran sedang menggantung tak terlapisi apapun, kecuali beberapa ikat tali yang mengikat tubuhnya, pun begitu dengan vaginanya yang tertutupi bulu-bulu pubic yang hanya beberapa lembar. Kecuali sepasang matanya yang lebam lantaran menangis semalaman.
Dalam sehari semalam ia diberi makan oleh Adi, centeng Pak Oey. Namun Ariah tak mau memakannya.
“Ini makan!” Suruh Adi seraya menjulurkan sesendok nasi plus lauk pauk ke mulut Ariah, namun gadis tersebut membungkam mulutnya. “Ayo buka mulutmu!! Heh!”
Beberapa kali Adi memaksanya membuka mulut, namun berkali-kali pula Ariah menolaknya. Tubuhnya yang membugil hanya berlapis jaket Pak Oey. Terikat di sudut gudang yang jauh dari pemukiman warga. Gudang tersebut awalnya difungsikan sebagai tempat penyimpanan hasil bumi oleh Pak Oey, namun akhir-akhir ini terbengkalai lantaran hasil buminya yang tak lagi melimpah. Bangunan yang terbuat dari setengah bata dan bilik tersebut cukup jauh dari jangkauan warga setempat, kira-kira satu jam perjalanan jika Anda berjalan kaki.
“Susah pak, tak mau makan dia!” Keluh Adi pada Pak Oey. Diletakkannya sepiring nasi bersama ayam semur di meja, beserta rantangnya.
Hari itu cuaca cukup mendung, beberapa arak-arakan awan hitam menggumpal di angkasa, disusul angin yang berhembus cukup kencang. Cukup untuk menghempaskan setumpukan seng yang dipaku pada atap. Menimbulkan suara bising yang mengganggu di telinga, ditambah suara gesekkan dedaunan bambu dan daun lainnya. Beberapa ternak berkeliaran mencari makan, sebagian berkumpul, sebagian lagi berjalan menjauh. Atau sebagian kecil tengah meminum dari cekungan yang berisikan genangan air hujan.
Pak Oey yang tengah duduk di meja hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Di tangannya sebuah kipas bambu ia kipas-kipaskan ke wajahnya. Angin dari kipas tersebut memainkan rambutnya yang tipis. Matanya yang sipit itu memicing, beberapa garis senyum kadang kala tersungging pada bibirnya. Ia larut dalam pikirannya, atau mungkin lebih tepatnya, imajinasinya, “Akan ku apakan wanita tersebut?”
Imajinasi yang membawanya jauh pada dunia tanpa waktu, tanpa tepi, tanpa warna, kecuali hanya hitam dan merah yang berpadu pada kanvas berlatar putih.
Dihisapnya lagi candu pada tangannya untuk larut bersama.
“Ya sudah kalau ia tak mau makan, taruh saja di situ!” Jawab Pak Oey nyaris seperempat jam setelah pertanyaannya diajukan. Pak Oey memang tengah asyik berimajinasi, hingga ia tak menyadari hari cepat berganti.
Sementara Adi.. Adi telah tergeletak di atas dipan bambu, terlelap bersama mimpi.
Pak Oey datang tengah malam, berdua dengan Adi yang membawa perkakasnya.
Tanpa salam Pak Oey langsung menjilati vagina tersebut dengan begitu bringas, seolah-olah layaknya orang liar yang belum pernah berjumpa perempuan, dari kulit-kulit di bagian bibir vagina, labia minora-majora hingga clitoris. Semua dijilati hingga basah, hingga kuyup. Ariah tak dapat menyangkal jika ia pun menikmatinya, tampak dari sepasang matanya yang mulai sayu. Sepasang mata itu menunjukan jika ia menikmati tiap sentuhan. Tak lupa juga liang dubur Ariah, Pak Oey menjilati bagian bibir liang dubur tersebut dengan gerakan memutar. Ia kelilingi seputaran liang tersebut dengan ujung lidahnya seraya menatap kedua mata gadis tersebut.
“Your anus is so tight..” Bisik Pak Oey. Disela-sela ia menyeka dubur Ariah dengan lidahnya yang basah.
Usai menyeka seluruh bagian selangkangan wanita tersebut, ia berdiri. Seraya menyentuh vagina Ariah pelan demi pelan ia berkata :
“Maukah kau menikah denganku?” Tatapannya begitu mengharap.
Ariah seketika menggeleng, jelas ia tak kan pernah mau.
“Oke, akan ku tanyakan padamu sekali lagi.” Pak Oey masih berusaha bersabar dan lembut. “Jadi, kau harus menjawab dengan benar. OK?” Kali ini sentuhan pada vaginanya berubah menjadi remasan yang cukup kencang. Ariah terperanjat. “Jawab yang benar!”
“Maukah kau menikah denganku” Lagi-lagi Ariah menggeleng.
“MAUKAH KAU MENIKAH DENGANKU? HUH?!” Teriak Pak Oey dengan nada yang begitu mengancam.
Dengan mantap Ariah menggeleng kuat-kuat. Dan untuk kali ini, Pak Oey menjejalkan satu jarinya pada liang vagina Ariah dengan paksa.
Ariah terbelalak, menggeliat merasakan sakit pada vaginanya. Darah merah segar mengucur dari jari Pak Oey.
“Baiklah, jika kau tak mau menjadi istriku, akan ku buat kauuu…” Pak Oey tak menyelesaikan omongannya, ia segera melepaskan piyamanya dan berdiri membugil. Dengan batangan penis yang telah memuncak penuh nafsu, ia siap menggagahi sang kembang desa yang malang.
Diarahkan penisnya pada vagina Ariah yang masih berlumur darah, dan berusaha menancapkannya.
“Di! Pegangin pinggangnya Di!” Pinta Pak Oey pada Adi.
Adi segera bergegas memegangi pinggul Ariah yang bergeliat berontak.
“Diam kamu! Diam!” Teriak Adi pada Ariah.
Dengan usaha sekuat tenaga, Pak Oey berusaha menjejalkan batang penisnya ke dalam vagina Ariah, setelah berusaha beberapa kali akhirnya pun berhasil. Kini tampak ia tengah menggerak-gerakkan penisnya keluar masuk vagina mungil perempuan tersebut, sementara sang pemilik vagina hanya bisa merintih, dan mengerang.
Malam tersebut terasa begitu panjang, dan saaangat terasa begitu menyakitkan bagi sang kembang desa. Suatu malam yang tak akan mungkin ia melupakannya. Suatu malam yang mengiring angin berhembus hebat. Hawa dingin menyelinap masuk melalui bilik-bilik gudang yang sepi. Nyaris tak ada kehidupan lagi di luar gudang, hanya beberapa binatang malam yang silih bersahut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak memiliki jawaban.
“Apakah aku akan masih bisa bernafas setelah kejadian ini?”
“Bagaimana kabar emak dan kakak? Akankah mereka baik-baik saja? sementara aku.. aku menolak ajakan menikah Pak Galih..”
Banyak pertanyaan dalam kepala Ariah yang tengah dientot paksa seseorang chinese yang tak pernah dikenal sebelumnya.
Beberapa menit kemudian, Pak Oey pun orgasm. Dimuncratkannya sprema dalam liang kewanitaan Ariah. Ariah merasakan cairan kental hangat mengisi penuh mulut rahimnya, hingga beberapa tetes sperma tersebut pun meleleh dari bibir vaginanya.
Pak Oey berjongkok, ditusuk-tusukkan satu jarinya pada memek Ariah, agar cairan sperma yang telah tertanam kembali keluar. Ariah tak mampu berbuat apa-apa kecuali meringis, sementara Adi tak berkedip menatap apa yang dilakukan sang bos.
Pak Oey lantas melepaskan ikatan pada tubuh Ariah dan menggantinya dengan.. Shit! Ia memerlakukan Ariah layaknya anjing piaraan! Dikalungkannya leher Ariah dengan seutas kawat panjang dan kepala yang terbungkus kantung hitam, sementara itu kedua tangan dan kakinya tak terikat apapun.
“Sini lo!” Perintah Pak Oey sementara ia menarik kawat tersebut dengan kencang.
Ariah pun berjalan dalam gelap lantaran penutup di kepalanya.
Ctarrr!! Pak Oey memecut Ariah dan menyuruh ia untuk berjalan merangkak seperti hewan.
“Merangkak lo!”
Tanpa perlawanan, Ariah pun segera berjalan merangkak, Pak Oey mengarahakannya ke luar gudang.
Sementara di luar gudang, hujan tengah turun dengan deras-derasnya. Disusul hembusan angin kencang yang menusuk tubuh siapapun. Keduanya keluar berhujan-hujanan.
Di tengah hujan dan malam yang gelap tanpa pencahayaan, Pak Oey mengikat satu lengan Ariah dan menghubungkannya dengan sebatang pohon yang berada di sisi sebelah kanan, pun dengan tangan yang satunya lagi, ia mengikatnya dan menghubungkannya dengan sebatang pohon yang tumbuh di sisi kiri. Hal yang sama pula terjadi pada kedua kaki kembang desa tersebut, Pak Oey mengikat kedua kakinya pada batang pohon di sebelah kiri dan kanan. Dengan posisi layaknya leter ‘X’ Pak Oey jadi leluasa menjilati vagina Ariah. Namun apa yang ia lakukan, ia tak menjilatinya, melainkan menjejalkan sebatang ranting pada liang kewanitaannya.
“Feel this, bitch!!” ucap Pak Oey seketika tubuh Ariah bergelinjang merasakan ujung ranting yang menembus vaginanya.
Tak lama kemudian Pak Oey berpindah tempat, kini ia membelakangi Ariah. Ditengah hujan lebat ia jejalkan jari-jarinya pada liang anus Ariah. Satu jari.. dua jari.. tiga jari.. empat jari.. Ia bahkan memfisting lubang tersebut hingga satu tangan. Ariah tak hanya terkentut-kentut, tapi juga mengeluarkan fesses. Fesses-fesses yang keluar segera dilumerkan di seputaran kulit pantat. Aroma tak sedap segera menyeruak. Ia memfistingnya dengan extreme hingga lubang dubur Ariah rusak menganga, berlubang besar. Bagian dalam atau rectumnya hingga mencuat keluar. Sementara ia masih dalam posisi terikat.
“Maukah kau menikah denganku?!” Ditengah-tengah hujan Pak Oey berteriak pada Ariah sementara lengannya masih mem-fisting anus Ariah.
Hujan yang turun begitu lebat seolah hendak menghancurkan malam ini.
“TIDAAAKK!!” Teriak Ariah.
“Aaaaaaahhhhh!!” Pak Oey kian mempercepat fistingannya pada anus tersebut.
Dan dengan satu fistingan terakhir ia mencabut lengannya dari dalam anus Ariah, seketika gumpalan-gumpalan fesses ikut menyeruak dari lubang yang tak lagi kecil tersebut.
Sesaat tenang, tak ada suara apapun kecuali suara guyuran hujan dan pintu yang terbanting angin berkali-kali.
Pak Oey lantas mengambil sebilah bambu runcing berukuran : diameter 3 cm dengan panjang 200 cm. Apa yang hendak ia lakukan?
Oh my Goat?!
Dengan keadaan telanjang ia arahkan bambu tersebut pada anus Ariah. Dan..
“Uugh!!” Ia menusukkan bambu tersebut!
“Oohhh!”
Darah perlahan menetes, sang kembang desa bergelinjang dengan rasa sakit yang luar biasa. Pak Oey dengan sekuat tenaga menjejalkan bambu runcing tersebut ke dalam tubuh Ariah yang malang. Kepala dalam bungkusan hitam tersebut bergerak-gerak, juga teriak. Ia terus memaksakan bambu tersebut menerobos melewati usus dan organ-organ lain dalam perut.
Bambu dalam perutnya kini telah melewati usus dan mengarah ke paru-paru, terus dan terus menerobos ke atas. Tampak darah meleleh dari bibirnya sementara kedua matanya melotot menahan rasa perih yang begitu hebat, sesaat setelah penutup kepalanya dibuka. Ariah tampak menggelinjang menahan rasa sakit yang begitu hebat, bibirnya gemetar diantara lelehan darah yang menyeruak, juga jari-jemari tangannya yang mengejang.
Ariah is died by impalement/Ariah telah mati disula. Darah segar masih saja meleleh dari pangkal bambu yang menancap anusnya. Setelahnya, suasana benar-benar sepi, di luar gudang tersebut hanya terdapat Pak Oey, Adi dan mayat Ariah. Dan rintik hujan yang mulai mereda, namun dingin yang dibawa angin-angin tak cukup mendinginkan suasana.
Adi hanya terdiam, ia tak menyangka bahwa sang bos akan berlaku begitu keji memerlakukan sang korban hingga tewas. Tak ada musik, tanpa suara, semua hening seketika. Semua larut dalam rasa berkabung yang sangat.
“Lepasin Di!”
“Lepasin apa, Pak?”
“Itu! Dilepasin, dungu!!” Gertak Pak Oey selagi mengelap jari-jemari lengannya dari bercak darah.
“I.. iyaa ppaa.. pak!”
Mereka lantas menyalakan api yang cukup besar di dalam gudang, untuk apa? Untuk membakar tubuh yang malang tersebut. What? Ya, sebuah api unggun yang dipergunakan untuk memanggang tubuh manusia.
Lantas keduanya menggotong mayat Ariah yang akhirnya lemas.
Dengan dua batang kayu pada sisi-sisi kanan-kiri api, tubuh Ariah yang masih menancap dengan sebilah bambu di panggang diatas api tersebut layaknya kambing/babi guling. Beberapa menit kemudian, tubuhnya yang segera menghitam setengah hangus pun mulai dimutilasi menggunakan gergaji kayu yang besar. Tak ada lagi darah yang menetes, hanya bau kulit dan daging yang terbakar yang mengisi udara di seantero gudang. Potongan-potongan tubuh yang kemudian dikumpulkan ke dalam tong bersama campuran semen basah.
Shubuh itu juga, setelah semen dalam tong tersebut kering, Pak Oey dan Adi segera membuang tubuh korban di jembatan Ancol. Dan meninggalkannya begitu saja, seakan tak pernah terjadi apa-apa mereka lantas pergi menggunakan mobil dan hilang ditelan gelap.
Siti Ariah atau Maryam berdiri sendu di tepi jembatan Ancol, wajahnya tampak pucat pasi. Sepucat purnama dalam kerudung berwarna hijau tosca. Memandang jasadnya yang disembunyikan di dalam tong lalu ditenggelamkan bersama semen. Ingin ia menangis, namun hal tersebut tak akan membuatnya kembali hidup. Atau waktu berputar kembali. Di alam lain, di dunia yang lain, dalam hati ia sampaikan salam untuk ibu dan sang kakak. Ibu yang akan terus mencarinya meski ia tahu ia tak kan menemukannya.