BEBERAPA sore ini saya mendengar suara seorang wanita berteriak menjajakan barang dagangannya melewati depan rumah saya.
“Ongol-ongol, pastel… perkedel… bihun goreng masih hangat… donat…” suaranya seperti wanita yang sudah berumur paruh baya.
Berhubung saya sibuk dengan pekerjaan saya di depan komputer, dan saya juga tidak lapar, saya abaikan saja suara itu.
Saya masih bekerja dari rumah sejak Covid melanda negeri ini beberapa tahun yang lalu dengan komputer tersambung secara online ke server di kantor pusat, kecuali kalau saya diminta survey ke kantor klien, saya baru keluar, biasanya keluar kota.
Saya sudah punya istri. Saya berumur 35 tahun, sedangkan istri saya berumur 32 tahun. Kami menikah sudah hampir 5 tahun, tetapi belum punya anak.
Sore itu mungkin penjual makanan ini lagi mujur. Baru saja saya mematikan mesin sepeda motor saya di halaman rumah, terdengar suaranya yang garing menjajakan barang dagangannya. Ia berhenti di depan pagar rumah saya.
“Kue Koh…” tawarnya.
Saya tidak ingin membelipun, jadi ingin karena ditangannya bukan satu keranjang yang ditentengnya, tetapi dua. Satu tangan menenteng satu keranjang.
Selain itu orangnya juga berpakaian rapi. Rambutnya diikat ke belakang dengan gelang karet, bibirnya diberi lipstik tipis. Memang tubuhnya sudah tubuh ibu-ibu, tetapi menurut saya umurnya belum terlalu tua, barangkali baru 45 tahun begitu.
“Boleh Cik…” jawab saya spontan, lalu saya membukakan pintu pagar untuknya.
Kami berdua berjongkok di teras dan sambil saya memilih kue yang saya suka, saya mencoba bertanya padanya, “Kue buatan sendiri, Cik…?”
“Bukan, saya jual kue punya orang lain. Saya hanya mendapat 20 persen.”
“Sehari dapat berapa, Cik?”
“Paling-paling juga 400 ribu…”
“Jadi… Encik dapatnya 80 ribu…”
“Iya…”
Iseng, saya bertanya rumahnya dimana.
“Di Perum…”
“Di Perum…? Jauh begitu Encik jalan kesini, Encik baru dapat 80 ribu…?” suara saya meninggi karena kasihan.
“Habis… bagaimana Koh, anak saya banyak… suami saya nggak kerja…” keluhnya.
“Encik anaknya berapa?”
“Empat… yang besar sudah 20 tahun sih, pengen kerja… tapi sampai hari ini belum dapet-dapet…”
Kue yang saya beli, rasanya tidak tertelan. Maka itu, sejak sore itu, setiap sore saya menunggu suara si encik ini berjualan kue.
Kadang saya membeli sampai 50 ribu rupiah, padahal kue-kue yang saya beli belum tentu saya makan. Saya hanya ingin membantu meringankan tentengannya.
Sore itu, sambil saya bekerja di depan laptop, saya menunggu suara si Encik penjual kue itu lagi, seolah-olah saya merindukannya. Ingin bertemu dengannya untuk melepaskan hasrat saya.
O… bukan itu…
Bukan, bukan itu….
Rupanya suara yang saya tunggu-tunggu itu datangnya bukan dari arah ia datang, melainkan dari arah ia balik.
Saya buru-buru keluar dari rumah berdiri di depan pasar. “E… Koh, tadi nggak ada di rumah, ya…?” sapanya duluan.
“Mmm… mmm… mmmm… ada di dalam…” jawab saya tergagap.
Sore ini si Encik penjual kue ini membuat darah saya berdesir. Bukan dandanannya, karena dandanannya tidak berubah. Rambutnya masih diikat ke belakang dengan gelang karet, lipstik di bibirnya juga masih rapi.
Celana yang dipakainya juga biasa-biasa saja. Celana longgar selutut berwarna hitam, tetapi di kaosnya yang ketat berwarna pink itu tampak menonjol 2 butir puting susunya yang lumayan besar!
“Kuenya tinggal sedikit, Koh… kue yang biasa Engkoh beli sudah nggak ada dibeli semua sama orang yang rumahnya di ujung gang sana itu…” katanya.
“Masih sisa kue apa saja, Cik… coba saya lihat…” kata saya membuka pintu pagar.
Si Encik pun melangkah masuk ke halaman rumah saya. Lalu ia menurunkan keranjang kuenya di lantai teras sambil berjongkok, ia membuka kertas coklat yang menutupi keranjang kuenya.
“Tinggal 10, Koh… diambil saja semua, saya kasih murah…” katanya.
Tujuannya ia kasih murah kuenya pada saya supaya ia bisa pulang dengan keranjang kosong.
“Ya deh Cik…” jawab saya. “Berapa…?”
“20 ribu, Koh…”
Saya memberikannya selembar uang 20 ribu rupiah, si Encik memasukkan kue-kuenya ke dalam kantong plastik kresek. Saya ambil kuenya itu.
“Koh, numpang ke kamar mandi, ya…” kata si Encik bangun dari jongkoknya.
“Ya, silahkan, Cik… masuk saja, sandal nggak usah dibuka…” balas saya sempat melihat kakinya.
Tumitnya tebal dan retak-retak. Kuku kakinya tidak rapi, malahan saya melihat jempol kakinya gundul tanpa kuku.
Si Encik bertelanjang kaki juga pergi ke kamar mandi. Hanya sebentar ia masuk ke kamar mandi.
Keluar dari kamar mandi berjalan sampai di ruang tengah, ia bertanya pada saya, “Engkoh tinggal sendirian, ya?”
“Enggak, sama istri…” jawab saya.
“Saya sangka Engko belum punya istri…”
“He… he… saya sudah menikah hampir 5 tahun, tapi belum punya anak…”
“Tetangga saya juga ada tuh, Koh… menikah sudah 10 tahun kali ada… sudah berobat kemana-mana… memang nasib kali ya, Koh… ada yang pengen sekali punya anak, tapi gak dapet-dapet, saya… malah dikasih kebanyakan…”
“Mau tidur ya, Cik…? Sama saya, yuk…” ajak saya berani.
“Permisi, Koh…” secepatnya ia melangkah pergi dari ruang tengah, saya meraih pergelangan tangannya.
“Jangan, Koh… saya nggak berani… saya masih punya suami…”
“Saya nggak akan cerita sama siapa-siapa, Encik nggak usah takut…” kata saya.
“Tetap saya nggak berani, Koh… maaf…”
“Ya,,, sudah, saya nggak memaksa Encik…” jawab saya.
Si Encik memandang saya dengan mata tak berkedip. Barangkali ia heran dan bingung. Kok anak muda ini baik sekali, ya… bantinnya mungkin begitu. Kalau ia mau memperkosa saya, bisa saja. Siapa yang tau…? Tetapi tidak ia melakukan…
“Keranjangnya saya masukin, ya, Cik… sama sandal…?” kata saya. “Bisa nggak?”
Tanpa menunggu jawabannya, saya segera keluar menutup pintu pagar, memasukkan keranjang jualan si Encik ke dalam rumah dengan sandal jepitnya, lalu saya mengunci pintu.
“Encik pulang kerja jam berapa sih, Koh…?”
“Nanti malam, jam sepuluh…” jawab saya, lalu saya menjulurkan kedua tangan saya memegang kaosnya.
Si Encik paham apa yang akan saya lakukan terhadap kaosnya, lalu ia membuka sendiri kaosnya.
Kaosnya yang sudah dibuka, ia letakkan di kursi. Setelah itu, ia melepaskan BH-nya yang sudah memelintir talinya.
“Besar…” kata saya memegang payudaranya yang sudah telanjang.
“He… he…” ia tertawa. “Basah…” katanya, lalu ia mengambil kaosnya membersihkan payudaranya yang menggantung besar itu, tetapi bukan membersihkan di payudaranya, melainkan di lipatan payudaranya.
Kemudian saya menghisap puting payudaranya. Si Encik membiarkan saya menghisap tanpa reaksi seperti puting payudaranya yang besar seperti kepala dot itu kebas.
Tetapi tetap saya menghisap dengan nikmat, karena saya sangat bernapsu dengan si Encik penjual kue ini setelah ia bertelanjang dada.
Saya meremas-remas bongkahan pantatnya. Si Encik mengerti kemauan saya.
So pasti…
Anaknya sudah 4, masa sih ia belum mengerti kemauan laki-laki? Kelihatannya ia juga bukan wanita yang lugu. Bisa jadi ia lebih dominan dari suaminya kalau di atas ranjang.
Sambil si Encik melepaskan celana, saya bertanya padanya, “Masih suka main dengan suami, Cik…?”
“Nggak, Koh. Mau main dimana, rumah sempit, anak sudah gede… malam, suamk saya tidur sendiri… saya tidur dengan anak, lama-lama hilang…” jawab si Encik bertelanjang bulat di depan saya.
Bulu kemaluannya keriting hitam lumayan lebat. Perutnya sudah turun dan berlipat.
Saya melepaskan celana pendek dan celana dalam saya. Penis saya yang tegang tidak membuat si Encik kaget melihatnya.
“Bisa dihisap, Cik?” tanya saya.
Si Encik mengulurkan tangannya memegang penis saya, lalu tubuh telanjangnya turun berjongkok. Sambil saya berdiri si Encik memasukkan penis saya ke dalam mulutnya, lalu dikulum-kulumnya batang penis saya menandakan bahwa ia tidak bisa menghisap penis.
Ia mengulum penis saya sekarang hanya karena saya menyuruhnya.
Di luar mulai gelap, mungkin sudah mau magrib. Saya melepaskan penis saya dari mulut si Encik kemudian menyalakan lampu teras dan lampu di ruang tengah.
“Nggak kemalaman, Cik…?” tanya saya.
“Nggak, kadang-kadang jam 8 saya baru sampai di rumah…” jawabnya.
“Duduk, Cik…” suruh saya.
Saya mencium zembutnya… saya membuka lebar bibir memeknya… saya menjilat belahan memeknya ia tidak bereaksi.
Bukan tempat yang wangi di daerah itu, karena tanpa persiapan, jadi memek si Encik baunya amis sekali bahkan cenderung bau terasi.
Tetapi saya tetap menyukainya. Dan sewaktu lidah saya mulai menjilat biji kelentit si Encik, paha si Encik memberikan reaksi.
Maka itu lama-lama dijilat biji itu, selain membuatnya membengkak juga menimbulkan rasa nikmat bagi pemiliknya, sehingga dalam sekejap paha si Encikpun menjepit kepala saya, sambil ia merintih-rintih, “Oooohhhh…. oooohhhh… oooohhhh…. ooohhh…”
Tapi hanya sepersekian detik. Ketika kenikmatan itu berlalu paha si Encik pun merenggang.
“Enak ya, Cik…?”
“Iyaaa… seumur-umur sekarang saya baru ngerasain, kalau memek itu dijilat ternyata nikmat…”
“Maka itu Encik sering-sering mampir ke sini, ya…” kata saya menarik pantatnya ke pinggir kursi dan segera menyetubuhi si Encik dengan memasukkan penis saya ke lubang memeknya yang seret.
Sampai dalam sekali saya memasukkan penis saya ke lubang ajaib itu. Sunggub tidak saya sangka, sore ini saya bisa menyetubuhi si Encik penjual kue ini.
Saya dorong-tarik penis saya. Kadang-kadang sambil saya mencium bibir si Encik, kadang saya menghisap puting susunya. Rupanya lubang memek si Encik masih sangat nikmat tergesek batang penis saya.
Genjotan saya tidak berlangsung lama. Hanya sekitar 15 menit bendungan di selangkangan saya pun meluncurkan cairan nikmatnya ke dalam lubang memek si Encik.
Crrrooott…. crrroottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt…
Napas saya mendengus-dengus, dada saya kembang kempis, peredaran darah saya jalannya seperti tidak teratur dikalahkan oleh nikmat yang teramat sangat ketika cairan cinta saya melebur menjadi satu dengan cairan cinta si encik.
Sejak sore itu si Encik tidak hanya menjajakan kue, tetapi juga menjajakan tubuhnya pada saya sampai perutnya kelihatan membesar baru ia berhenti berjualan.
Lama saya putus hubungan dengan si Encik. Salah saya juga sih, tidak menanyakan alamat rumahnya.
Tetapi pada suatu siang saya mendengar suara mobil berhenti di depan rumah saya. Saya mencoba mengintip lewat jendela.
Ternyata si Encik!
Si Encik turun dari mobil menggendong seorang bayi dan membawa tas bayi.
Setelah itu saya mengambil tas bayi yang dibawa si Encik. Si Encik memberikan tas bayi itu pada saya, kemudian saya melihat bayi yang berada dalam gendongannya.
Mata si bayi terbuka. “Tuh… Papah…” si Encik berbicara pada si bayi sambil menunjuk saya. “Katanya mau ketemu sama Papah, tuu..uuhh… Papah…”
Saya tidak menampik kalau si Encik mengatakan bayi itu adalah hasil hubungan saya dengannya, Ia baru melahirkan 3 minggu.
Saya membawa si Encik masuk ke rumah.
Si Encik menaruh bayinya di kasur. “Maaf…” katanya. “Saya tidak mengabarkan. Saya takut mengganggu kerjaan Engkoh.”
“Jadi, Encik sudah gak jualan kue?” tanya saya.
“Maulah…” jawabnya. “Kalau saya nggak jualan, nanti Engkoh beli kue orang lain…”
“Nggaklah… kue Encik kan enak…?”
Si Encik mencubit lengan saya. Saya menariknya ke kasur dan menindihnya. “Sudah gak tahan, ya?’ tanyanya. “Belum boleh, baru 3 minggu…”
“Teteknya besar. Susunya banyak, ya?”
“Iya,” jawabnya.
“Boleh saya isep…?”
“Kalau papanya isep, nanti anaknya nggak kebagian…”
Tetapi saya membuka kaosnya, ia memberikan juga. Malah ia melepaskan BH-nya.
Payudaranya tampak lebih montok dan kencang. Putingnya berwarna hitam. Tadinya areolanya hanya sedikit, sekarang melebar membuat saya sangat bernapsu dengan teteknya.
Saya pun mulai mengenyot putingnya yang mengeluarkan ASi sambil berbaring miring berhadap-hadapan.
“Ooo… begitu ya, Papi…. baru tau, ya…” tiba-tiba istri saya berdiri di depan kamar.
Entah kapan ia datang…
Rasanya saya ingin menceburkan diri saya ke laut saja, sementara si Encik buru-buru menutupi teteknya.
Tapi bayi itu sungguh menyelamatkan kami berdua sewaktu ia menangis. “I…ini… mmm…. ini… anaknya si Engkoh, Cik….” kata si Encik penjual kue itu pada istri saya.
Istri saya masuk ke kamar mengangkat bayi itu perlahan, dipeluknya dan diciumnya… lalu ia memberikan pada si Encik untuk diberikan minum ASI.
Malam itu si Encik tidak pulang. Kami berbaring bertiga dalam satu ranjang, sedangkan si bayi dipisahkan ke box bayi yang langsung dibeli oleh istri saya hari itu juga.
Saya melihat si Encik takut-takut. Tapi sewaktu ia melihat istri saya mengulum penis saya, ia mulai gelisah. Akhirnya ia membuka pakainya juga.
Kami bertiga telanjang bulat. Penis saya bergantian diisap oleh istri saya dan si Encik.
“Ayo, siapa yang mau dientot duluan…?” tanya saya kemudian.
Kedua wanita itu saling menunjuk.
“Encik duluan…” tunjuk istri saya.
“Adek duluan…” tunjuk si Encik.
Lalu saya mencelupkan batang penis saya ke lobang memek si Encik dulu, baru ke lobang memek istri saya.
Si Encik jadi betah tinggal di rumah saya. Apalagi kalau suaminya datang, saya menyuruh suaminya menyetubuhi istri saya, kami main berempat dalam satu ranjang.
Hingga pada suatu pagi istri saya muntah-muntah, lalu saya membelikannya test pack untuk cek kehamilan, ternyata istri saya POSITIF..
Senang?
Ya, nggak karena yang menghamili istri saya adalah suami si Encik yang sudah berumur 50 tahun, bukan saya suaminya yang lebih muda dan perkasa.
Justru suami si Encik yang lebih tua dari saya yang lebih perkasa