PEKERJAAN Fathar di bagian marketing mengharuskan ia sering bepergian keluar kota. Besok Fathar akan pergi keluar kota lagi, yaitu pergi ke Semarang.
Leman, tetangga sebelah rumah Fathar ingin menitipkan ibu mertuanya pada Fathar pergi ke Semarang. Ibu mertua Leman mau pergi ke rumah kakaknya yang tinggal di Semarang.
Barangkali istri Fathar pernah bercerita pada tetangganya bahwa Fathar besok mau pergi keluar kota lagi.
Mendapat titipan, Fathar tidak mungkin bisa menolak ibu mertua Leman ikut mobilnya pergi, karena Fathar pergi keluar kota kebanyakan sendirian.
Jam 3 sore Fathar dan ibu mertua Leman baru bisa berangkat setelah Fathar menunggu dokumen yang dibuat staff administrasi di kantornya selesai ditandatangani.
Ibu mertua Leman, atau biasa dipanggil Bu Diah oleh para tetangganya ini membawa 2 buah kardus besar, entah apa isinya, 1 buah tas pakaian, 1 buah tas berisi air minum dan makanan untuk di perjalanan dan 1 buah tas tangan, sedangkan Fathar hanya membawa 1 ransel kecil, karena Fathar pergi ke Semarang paling-paling juga untuk 1 atau 2 hari saja.
Dan Leman berpesan pada Fathar, cukup menurunkan ibu mertuanya di terminal saja. Nanti di terminal sudah menunggu anak dari kakak Bu Diah yang siap menjemput Bu Diah.
Perjalananpun dimulai…
Meskipun sehari-hari Fathar jarang ngobrol dengan Bu Diah, tetapi di dalam mobil hanya berdua saja tidak mungkin keduanya tidak saling ngobrol dan tidak saling sharing cerita.
Dan dari obrolan serta cerita yang disampaikan, apalagi Fathar pandai bercanda, keduanya menjadi akrab.
Lalu Bu Diah melihat Fathar susah untuk makan sambil menyetir mobil, Bu Diah dengan ringan tangan mengupas jeruk untuk Fathar, atau menyuapkan kue ke mulut Fathar.
Setelah 3 jam perjalanan, Fathar singgah di rest area supaya Bu Diah bisa ke toilet dan Fathar juga ingin mengajak Bu Diah makan malam, tetapi Fathar mengalami kesulitan saat hendak memarkir kendaraannya. Sore ini tempat parkir di rest area penuh, lalu Fathar memutar kendaraannya ke arah POM bensin.
Setelah Fathar memberi minum kendaraannya, lalu Fathar mencari tempat parkir. Fathar menemukan tempat parkir yang cukup lapang di daerah pinggir jalan tol, masih dalam lingkungan rest area. Biasanya tempat ini adalah tempat untuk parkir truk gandeng, atau truk tronton tetapi Fathar melihat banyak pengguna mobil pribadi memarkir kendaraannya di tempat ini, bahkan ada yang duduk makan dan minum, lalu Fatharpun ikut memarkir kendaraannya di situ, nanti mereka tinggal berjalan kaki sebentar untuk mencapai toilet dan makan malam di foodcourd.
Tetapi apa yang terjadi dengan Bu Diah?
Turun dari mobil, wanita berumur 50 tahun yang memakai jilbab lebar ini, langsung menaikkan gamisnya, lalu menurunkan celana panjangnya….
OH… ASTAGAAAA… Fathar menjerit kaget melihat Bu Diah berjongkok kencing!
Memang tidak kelihatan oleh orang lain, selain Fathar yang berdiri di belakang Bu Diah, karena Bu Diah berjongkok diapit oleh 2 buah mobil. Tetapi Fathar melihat bokong Bu Diah yang putih bening itu dan semprotan air kencing Bu Diah yang deras ke aspal, lalu melihat air kencing Bu Diah yang mengalir jauh dari tempat berjongkok Bu Diah, penis Fathar bergolak.
Fathar bukan laki-laki yang alim sempurna. Bininya ada di setiap kota yang pernah ia singgahi. Entah itu di panti pijit, entah itu di losmen dan juga di daerah lokalisasi.
Apalagi kemudian Bu Diah langsung berdiri menaikkan celananya setelah selesai ia kencing, wawww… Fathar membayangkan memek Bu Diah yang wangi kencing…
Husss… Fathar buru-buru menyingkirkan pikiran mesumnya, karena Fathar menghormati Bu Diah, dan menghormati suami Bu Diah sebagai salah satu pejabat penting di kantor kelurahan.
“Kita makan dulu yuk, Bu…” ajak Fathar.
“Ibu bawa nasi goreng, Nak Fathar.” jawab Bu Diah.
“Kalau gitu, kita cari tempat yang terang untuk makan sambil Ibu bisa istirahat.” ujar Fathar.
Fathar membawa tas berisi makanan dan Bu Diah membawa tasnya sendiri berjalan ke arah foodcourd.
Karena mereka membawa makanan sendiri, Fathar sengaja mencari tempat duduk yang jauh dari stand makanan, lalu Bu Diah mengeluarkan 2 kotak nasi goreng, kotak berisi telur balado, ayam goreng, kerupuk dan emping, sementara Fathar minta izin dengan Bu Diah pergi membeli air minum.
Tetapi Fathar tidak hanya pergi membeli air minum, Fathar juga pergi ke toilet, tetapi Fathar sengaja tidak ngomong pada Bu Diah bahwa ia pergi ke toilet, supaya nanti di rest area berikutnya kalau Bu Diah mau kencing lagi, Bu Diah kencing di pelataran parkir lagi.
He.. he..
Selesai Fathar pergi ke toilet dan membeli air minum, Fathar dan Bu Diah mulai duduk makan.
Bu Diah membersihkan meja dengan memasukkan kotak-kotak yang masih tersisa makanan ke dalam tas. Setelah selesai, Bu Diah menaikkan kedua kakinya ke bangku, lalu mulai memijit-pijit kakinya.
Bu Diah sebagaimana wanita-wanita yang memakai gamis, kedua kaki Bu Diah juga terbungkus kaos kaki.
“Kakinya kenapa, Bu Diah…?” tanya Fathar.
“Orang kalau sudah tua, beginilah, Nak Fathar… sana sakit, sini sakit…”
“Kulit Bu Diah masih mulus begitu dan masih cantik pula, masa sudah tua sih, Bu…” balas Fathar.
“O… begitu ya, Nak Fathar…”
“Iyalah, Bu Diah. Aku suka dengan Ibu.” kata Fathar. “Celana Ibu dilepaskan saja, nanti aku pijit kaki Ibu sampai ke atas…” sambung Fathar.
Fathar tidak usah menunggu lama untuk menikmati kemulusan kaki Bu Diah. Fathar memijit-mijit dulu jari-jari kaki Bu Diah. Terus telapak kaki dan punggung kaki.
Naik ke betis. Bu Diah sudah duduk melayang-layang karena nikmat pijitan Fathar. Saat pahanya dipijit, Bu Diah sudah tidak kuasa menampik.
Tapi Fathar tidak ingin memijit sampai ke ujung paha Bu Diah. Sisanya, nanti saja dilakukan di etape berikutnya.
Sebelum meneruskan perjalanan, Fathar mengajak Bu Diah masuk ke toko oleh-oleh. Fathar memanjakan Bu Diah dengan beberapa macam oleh-oleh, sehingga membuat Bu Diah semakin mesra dengan Fathar. Ketika keluar dari toko oleh-oleh Bu Diah menggandeng tangan Fathar.
Mereka meneruskan perjalanan.
Belum sampai satu jam perjalanan, Bu Diah berkata pada Fathar. “Nak Fathar, perut Ibu mules…”
Bu Diah berkata begitu untung sudah dekat dengan rest area.
Tentu saja Fathar tidak membawa Bu Diah ke toilet, mengingat pengalaman yang tadi dialami Fathar, yaitu Bu Diah berjongkok kencing di pelataran parkir, Fathar membawa Bu Diah ke pinggir jalan tol masih di lingkungan rest area.
Fathar menyalakan lampu senter di handphonenya sewaktu ia membawa Bu Diah pergi mencari tempat untuk buang air besar.
Fathar menemukan selokan kering di belakang mobil yang diparkir. Tak tahan lagi, Bu Diah langsung mengangkat gamisnya tinggi-tinggi lalu segera berjongkok di tepi selokan.
Hufff… sambil mendengar irama musik yang keluar dari lubang anus Bu Diah, phroott… phroott… pett… preett… phroott.. phroott… Fathar bisa melihat ‘isi selangkangan’ Bu Diah dengan sangat jelas, antara lain memek dan bulu-bulu zembut Bu Diah yang menutupi sebagian memek Bu Diah yang berwarna coklat tua.
Fathar berusaha bertahan tidak ingin mengganggu Bu Diah dulu.
Setelah Bu Diah selesai buang air besar, kemudian Fathar menawarkan Bu Diah cebok. Fathar memberikan Bu Diah tissu yang dibasahi dengan air.
Setelah Bu Diah cebok, Bu Diah kembali ke mobil, Fathar melanjutkan perjalanan.
Mobil Fathar memasuki kota Semarang jam 10:52 malam.
“Bu Diah…” kata Fathar. “Kita sudah sampai di Semarang.”
“O… iya…?” jawab Bu Diah senang.
“Tapi aku tidak bisa sekarang mengantar Ibu ke terminal, sudah terlalu malam dan Ibu juga belum tentu dijemput oleh keponakan Ibu…” kata Fathar. “Kita nginep saja ya, Bu… besok pagi baru aku antar Ibu ke terminal…”