ANAK saya minta melanjutkan SMA-nya di luar kota. Di daerah tempat tinggal saya bukan tidak ada SMA, banyak! Mau yang negeri atau yang swasta, tinggal pilih sesuai dengan tebal tipisnya kocek si orangtua.
Tetapi anak saya mengatakan ia ingin belajar hidup mandiri. Tidak ada masalah bagi kami jika ia ingin belajar hidup mandiri, malah bagus, karena ia adalah anak laki-laki dan lagi pula ia tinggal satu kost dengan temannya, di rumah Om temannya.
Setelah kepergiannya, tentu saja saya dengan istri merasa sangat sedih, karena ia anak tunggal kami, apalagi istri saya merasa dulu ia melahirkannya dengan susah payah.
Sebenarnya sesuai dengan rencana semula, istri saya ingin melahirkan secara normal atau disebut ‘vaginal birth’ tetapi setelah 1 jam di ruang bersalin, sang bayi tidak juga membrojol dari liang vagina istri saya, malah justru air ketubannya yang terkuras habis.
Oleh sebab itu dokter kandungan yang menangani kelahiran anak kami mengambil tindakan medis, yaitu istri saya harus segera masuk ruang operasi.
Jadilah anak kami dilahirkan melalui SC (sectio caesarea) atau bahasa kerennya yang terkenal saat ini oleh para ibu-ibu yang mau melahirkan; operasi caesar.
Setelah itu, istri saya tidak berani hamil lagi. Ia langsung minta dipasangi spiral.
Ternyata waktu begitu cepat berlalu. Anak saya sudah satu semester sekolah di SMA.
Liburan semester, temannya pulang, anak saya tidak.
Sayapun berencana menengoknya dengan mengambil cuti selama 2 hari plus hari libur kerja dari hari Sabtu sampai hari Minggu, jadi saya bisa bersama anak saya di sana selama 4 hari.
Lumayan….
Pasti anak saya akan sangat senang. Saya bisa menemarinya jalan-jalan, bisa menemaninya ngobrol dan mènemaniya bermain, menemaninya memburu makanan kesukaannya di tempat kuliner.
Sesampainya saya di alamat yang dituju, di sebuah perumahan sederhana, yang membukakan pintu rumah untuk saya adalah seorang wanita paruh baya.
“O… papanya Cherio, ya…?” tanyanya dengan tersenyum manis, dan pakaiannya juga sederhana, kaos oblong dan celana longgar selutut.
Wajahnya tanpa riasan. Rambutnya yang sebahu diikat ke belakang dengan gelang karet.
“Iya, Ibu…” jawab saya sambil menenteng tas dan kardus berisi oleh-oleh yang dibeli oleh istri saya untuk anaknya tercinta dan juga untuk tuan rumah.
“Mari masuk,” sambutnya dan saat itu terlihat oleh saya di jari manis tangan kirinya terpasang sebentuk cincin nikah dan di jari tengah tangan kanannya terpasang sebentuk cincin bermata merah yang sederhana, di lehernya juga menggantung sebentuk kalung yang sederhana. Kulitnya putih, tetapi di wajahnya yang polos tanpa riasan itu sudah tampak bintik-bintik kecil berwarna hitam. “Cherio ada di lantai atas, saya panggilkan.” katanya.
Begitu ia membalik tubuhnya yang setinggi sekitar 165 sentimeter dan sudah berbentuk tubuh ibu-ibu itu, lalu ia berjalan naik ke tangga, oh… alamak… bentuk pantatnya membongkah besar sampai celana longgar yang dipakainya, terutama di daerah pantatnya terlihat sangat ketat dan sekaligus tercetak bentuk celana dalam yang dipakainya, bukan berbentuk segitiga sama sisi, melainkan segitiga yang miring sebelah, sehingga membuat kain celana dalamnya terjepit banyak di sela pantatnya.
O… o…
Melihatnya, sampai saya terbengong beberapa saat tidak bisa melepaskan sepatu.
Beberapa bulan tidak bertemu, setelah bertemu dengan saya, Cherio langsung memeluk saya. Saya membiarkan Cherio melepaskan rindu, sementara ibu kost Cherio dengan bertelanjang kaki pergi ke dapur.
Sekali lagi saya terkesimah melihat bongkahan pantat ibu kost Cherio, sehingga membuat saya berpikir macam-macam. Lalu sewaktu saya dan Cherio duduk di ruang tamu, ibu kost Cherio mengeluarkan nampan dari dapur berisi 3 gelas teh dan sepiring kue berisi macam-macam kue; lapis legit, lemper, kue sus dan pastel bulat.
Dan saat ia memindahkan satu persatu gelas teh ke depan kami di atas meja sambil menunduk, saya bisa melihat bongkahan payudaranya yang tidak tertutup semua BH-nya, sehingga membuat saya semakin berimaginasi saja.
Lalu ia duduk bersama dengan kami dan Cherio memperkenalkan ibu kostnya pada saya, Cherio memanggilnya Tante Sisca.
“Suami saya kerja di luar kota, Papa Cherio.” kata Cik Sisca pada saya. Ia memanggil saya Papa Cherio. “Coba tanya pada Cherio deh, sudah pernah belum ketemu dengan Om-nya selama tinggal di sini?”
“Saya berterima kasih,” kata saya. “…sudah mau terima anak saya tinggal di sini…”
“Hitung-hitung mereka berdua menemani saya, Papa Cherio… saya tidak punya anak.”
O…
“Nanti Papa Cherio tidur di kamar depan saja, ada AC…” kata Cik Sisca.
“Saya tidak kuat dengan AC, saya tidur dengan Cherio saja biar bisa menemaninya ngobrol…”
“O… iya, kalau begitu boleh.” jawab Cik Sisca. “Nanti kita makan di luar saja ya, Papa Cherio…”
Saya menyanggupi, karena saya memang ingin mengajak Cherio makan di luar. Lalu saya dan Cherio berpisah dengan Cik Sisca di ruang tamu.
Saya segera mengeluarkan handuk, pakaian untuk ganti dan peralatan mandi dari tas saya, sementara Cherio membuka kardus oleh-oleh kemudian sebagian ia bawa turun untuk ibu kostnya.
“Tante lagi mandi, aku taruh di meja dapur.” kata Cherio polos.
“Tapi tantemu sudah tau kan?”
“Ya taulah, Pah… masa nggak tau aku berani taruh di meja sih, nanti Tante sangka itu kiriman dari makhluk halus…” kelakar Cherio.
Saya lalu membawa peralatan mandi saya ke belakang, yaitu di sebelah kamar Cherio. Di situ terdapat kamar mandi non shower, hanya bak mandi dan kloset jongkok saja dan sebuah ruang terbuka untuk menjemur pakaian.
Saya melihat di tempat menjemur pakaian itu selain tergantung pakaian Cherio di tali jemuran, juga tergantung daster dan celana dalam Cik Sisca, berarti tanpa saya di rumahnya bisa jadi Cik Sisca tidak memakai BH.
Setelah saya berada di dalam kamar mandi, rupanya saya merasa ada sesuatu yang aneh, saya mendengar suara air orang lagi mandi.
Lalu saya mencoba mencari sumber itu dan sewaktu satu keping keramik berukuran 30 x 30 sentimeter saya geser, ternyata terdapat lubang yang menghubungkan kamar mandi anak-anak dengan kamar mandi Cik Sisca dan tentu saja dalam ketelanjangan saya, saya terkejut, karena saya bisa melihat Cik Sisca juga mandi telanjang di dalam kamar mandi, tubuh dan rambutnya basah.
Saya bisa melihat payudaranya yang menggelantung besar di dadanya, dan saya juga bisa melihat perutnya yang sudah longgar turun berlipat di bagian bawah perutnya. Namun menurut saya, Cik Sisca masih layak untuk disanggamahi jika ia berkenan untuk saya sanggamahi.
Perjalanan ke mall sore itu dilakukan dengan mobil Cik Sisca. Saya yang mengendarai mobil, dan Cik Sisca duduk di sebelah saya dengan pakaian kaos ketat berkerah hijau muda dan celana lengging ketat sedengkul motif celana jeans.
Payudaranya ditunjang dengan BH berbentuk kerucut, bukan bulat. Saya, terus terang, sambil menyetir mobil, saya membayangkan tubuh telanjangnya yang tadi saya lihat di kamar mandi, sementara Cherio duduk di belakang asyik dengan gamesnya.
Ringkas cerita, kami bertiga sudah duduk di restoran Jepang dan yang memilihkan makanan untuk saya adalah Cik Sisca, seperti seolah-olah saya ini adalah suaminya, sedangkan Cherio memilih makanannya sendiri dan saat makanpun, Cik Sisca yang duduk di samping saya bertindak seolah-olah menjadi istri saya, ia mengambil makanan dengan sumpit ke piring saya.
Selesai makan, di depan kasir saya yang mengeluarkan kartu debit untuk membayar.
Kemudian keluar dari restoran, tidak seperti kami masuk, berjalan masing-masing, sekarang Cik Sisca menggandeng tangan saya.
Sambil berjalan memandang model-model pakaian yang dipajang di etalase setiap toko, jantung saya berdebar-debar, lalu saya mencoba menekan lengan saya ke kaos Cik Sisca yang mancung itu, waww…
Cherio mengajak ke toko buku. Ia mau membeli buku komik dan novel. Saya dan Cik Sisca juga ikut masuk ke toko buku seperti orangtua menemani anaknya.
Tidak ada orang yang menyangka, wanita di sebelah saya itu sebenarnya adalah gebetan saya, karena usia kami hampir seimbang. Cik Sisca berumur 45 tahun, sedangkan saya berumur 42 tahun, jadi kelihatan tidak begitu banyak beda.
Cik Sisca memandang saya dengan tersenyum simpul. “Melihat judul buku ini pasti kamu membayangkan saya, ya?” tanya Cik Sisca.
“Buku ini hanya kebetulan saja,” jawab saya. “Sebenarnya sudah sejak tadi pertama kali bertemu di depan pintu, saya sudah membayangkann Cik Sisca…”
“Kenapa? Saya cantik juga nggak, malahan badan saya sudah kedororan semua nggak pernah diurus…”
“Saya suka wanita yang sederhana, kebetulan ketemu Cik Siska di sini…” jawab saya. “Terus terang, saya bukan laki-laki yang suka selingkuh, tetapi bertemu dengan Cik Sisca, terpaksa saya selingkuh…”
“Hi… hi…” Cik Sisca tertawa.
Langsung saya membungkam tawa Cik Siska dengan bibir saya. Cik Sisca mendorong saya, “He… tuh, kamu disorot sama CCTV…!!”
“Biarin…” jawab saya membungkam mulutnya lagi. Bibir Cik Sisca mengimbangi ciumanku dan beberapa kali tangan saya meremas bongkahan teteknya.
Ia menghisap lidahku dalam-dalam. Dan sesampai di pasar swalayan, Cik Sisca sudah tidak bisa memisahkan dirinya dengan diri saya.
Kami berciuman setiap kali menemukan lorong pasar swalayan yang sepi dan payudaranya juga sudah buka barang yang berharga, karena bisa saya remas setiap kali berciuman.
Saya kembali mengeluarkan kartu debit saya untuk satu troli barang yang dibeli Cik Sisca bercampur dengan barang-barang dari Cherio.
Sesampai di rumah, Cik Sisca hanya meletakkan barang-barang yang dibelinya sebanyak 3 kantong plastik itu di lantai, kecuali daging dimasukkan ke dalam kulkas, lalu kami duduk di ruang tengah berciuman dan Cik Sisca mengeluarkan penis saya dari celana jeans saya lalu dikocoknya batang yang keras dan tegang itu.
Hufff…
Cherio sudah naik ke kamarnya. Ia tidak tau papanya sedang bermain api dengan ibu kostnya dan tentu saja saya tidak pernah membayangkan, apalagi bermimpi, tidak sama sekali. Tetapi sampai di sini saya mendapatkan rejeki nomplok itu.
Saya melepaskan kaos Cik Sisca dan juga BH-nya. Kini kedua teteknya yang terpajang telanjang di depan saya, setelah itu sebelah putingnya yang besar berwarna coklat itu saya puntir-puntir seperti memuntir jeruk limo, sebelah lagi saya hisap… saya sedot… dan sepertinya keluar susunya. Dan kemudian saat saya pencet puting itu memang keluar sedikit cairan berwarna putih.
Saya guncang-guncang dengan gemas dari belakang kedua tetek besar itu. Saya menggaplok-gaplok kedua tetek itu satu sama lain.
Waww…
Sewaktu saya dan Cik Sisca sudah bertelanjang bebas, kami membiarkan pakaian kami menggeletak di lantai ruang tengah, kami masuk ke kamar.
Di tempat tidur yang luas itu tubuh telanjang kami berdua bergulat, kadang saya di atas, kadang Cik Sisca di atas, tetapi kontol saya yang tegang belum dimasukkan ke lubang memek Cik Siska.
Terkadang kami ngobrol. Cik Sisca bilang sama saya bahwa sudah 3 tahun ia tidak disentuh suaminya. Suaminya pulang ke rumah seolah-olah hanya mampir saja.
“Saya kan masih manusia, … Masturbasi tidak pernah memuaskan saya. Ketemu kamu, rupanya kita saling tertarik… saling cocok… he..he…” kata Cik Sisca. “Setelah ini, kalau kamu sudah pulang, jangan lupakan saya, ya…”
“Nggak akan…” jawab saya. Kembali kami berciuman, sekarang tangan saya menuju ke selangkangan Cik Sisca yang berbulu kasar yang lebat.
Perlahan 2 jari saya merayap masuk ke lubang memeknya yang basah. “OOOOOHH…. NNNGGHH…” rintih Cik Sisca. “Mmmh… nakal ya, tangannya…”
“Enak…?”
“Nggak…”
Tanpa menunggu lama lagi dengan berlutut di antara kedua paha Cik Sisca yang terbuka, saya genggam batang penis saya, saya tekan masuk batang itu ke lubang vagina Cik Sisca.
Bluuusss….
Selain licin dan basah, lubang itu juga masih cukup ketat mencengkeram batang penis saya.
Saya seperti bermimpi saja. Tetapi pelukan hangat saya pada tubuh Cik Sisca yang telanjang, tidak hanya khayalan saya dan mimpi, apalagi terasa nikmat pada penis saya saat saya menggocek penis saya di lubang memek yang basah itu.
“AAAACCCHHH…. AAAACCCHH… OOOCCHH…”
Saya cabut penis saya. Saya berbaring terlentang di kasur membiarkan Cik Sisca yang menaiki penis saya dengan posisi women on top (WOT).
Setelah penis saya masuk ke lubang vaginanya, Cik Sisca langsung bekerja. Hanya pinggul dan pantatnya yang bergerak naik-turun-naik-turun menggocek penis saya, oh… astagaaa…
“He.. he…” Cik Sisca malah tertawa genit. “Uuummhh… aaagghhh… ssessttt… aaahhh… aahhh… uuummhh… ngghhh…” desahnya.
Pompaan Cik Sisca dari atas membuat batang penis saya seakan diurut-urut…
Sebagai balasannya, saya sodok-sodok lubang vaginanya dari atas… terus terang saya tidak menyangka saya bisa sekuat begini menghadapi Cik Sisca.
Saya membalik Cik Sisca ke bawah dengan penis masih menancap di lubang vaginanya, saya hajar lubang vagina Cik Sisca yang basah kuyup itu dengan genjotan cepat, plookkk… plokk…plokk… aaahhh…. aahhh… aahhh… plokk.. plokkk… aaahh… aaahh… plokk… plokk… plokk… aahhh… aahh.. aahh… plokk… plookk… aahh…ahhh…aahh… plokk… plokk… aaahhh… ahhh…
Suara tabrakan kedua kelamin kami saling sahut menyahut dengan suara rintihan Cik Sisca. Kedua payudaranya bergoyang tak beraturan. Ke atas ke bawah, saling berbenturan… oh, erotis sekali…
Lalu saya pun mendiamkan penis saya, kemudian membiarkan aliran nikmat itu mengalir dari batang penis saya terus menyembur bagaikan semburan magma gunung berapi… dengan istri saya mungkin sudah biasa, sehingga semburannya tidak sekuat sekarang.
Sekarang benar-benar kuat.
Crrooottt… crrroottt… crroottt… crroottt… crrrooottt…. crrooottt… crrooottt… crrooottt… crrooottt…
Saya mencabut penis saya, menyesal! Bagaimana dengan istri saya di rumah?
Cik Sisca memakai kain keluar dari kamar membiarkan saya terlentang telanjang di kasur.
Sebentar kemudian, ia masuk ke kamar membawa handuk kecil.
Cik Sisca membersihkan penis saya dengan handuk lembab yang dibasahinya dengan air hangat. Rasanya begitu nikmat, penis saya diurut-urutnya, sehingga penis saya bangun lagi.
Bayangan istri saya pun segera saya singkirkan. Apalagi kemudian Cik Sisca memasukkan penis saya ke dalam mulutnya dan dikulumnya.
Akkhh….
Sayapun menarik kedua pahanya mengangkang di depan wajah saya. Saya mulai dengan menjilat anusnya… mmmhh… nnggh… saya menyedot lubang itu dengan mulut saya, saya menghisap, saya mengulum…
Cik Sisca juga menghisap batang penis saya kuat-kuat seolah-olah menahan nikmat yang tak kuasa ia lampiaskan.
Setelah itu saya menjilat vaginanya. Saya memasukkan lidah saya ke dalam lubang vaginanya. Saya menjilat klitorisnya.
Telapak tangan Cik Sisca mengelus-elus rambut saya. “OOOOGGGHHH… OOOGGHHHJ… OOOOGHHHH….” Cik Sisca melenguh. “Ooouughhh… ooouughhhh… nggghh… ooougghhh…”
Kulit disekitar zembutnya ia tarik ke atas dengan tangannya sehingga biji kelentitnya itu benar-benar terjilat oleh lidah saya.
“AAAGGHHH… AAAGGHHH… UUHHHGG… AAGGHH… UUMMHH… AAHHH…”
Akhirnya Cik Sisca ORGASME. Tubuhnya mengejang untuk beberapa saat, lalu terkulai dengan napas memburu.
“Ohhh…” desahnya pelan.
Sudah sekian lama ia tidak orgasme, baru sekarang ini ia bersetubuh dengan saya.
Saya kemudian memasukkan penis saya yang tegang menyetubuhi lagi Cik Sisca sampai jam 2 pagi, saya tidak tidur di kamar Cherio.
Beruntung Cherio tidak mencari saya sepanjang malam itu.
Hari kedua kami bertiga main ke air terjun. Kami bertiga seperti satu keluarga. Apakah Cherio bisa merasakan bahwa Tante Sisca itu bukan ibu kostnya, melainkan lebih mirip dengan mamanya sendiri, karena Cik Sisca memperlakukan Cherio beda. Cik Sisca memperlakukan Cherio seperti anaknya sendiri.
Hal tersebut diceritakan Cherio pada saya saat ia telepon saya. “Setelah Papa kesini, Tante beda ya terhadap aku, sering peluk aku, sering cium aku… pokoknya bedalah, Pah…” kata Cherio.
Memang beda, karena di dalam rahim Cik Sisca juga tumbuh benih yang saya semaikan di rahimnya.
Saya tidak berhenti menyetubuhi Cik Sisca. Istri saya tidak pernah tau bahwa saya mempunyai wanita lain selain dirinya dan Cherio anak saya, ia seperti mempunyai 2 orang mama. (2024)