Written by NTR_Hinellee
BAB I : SEBUAH PERASAAN BARU
Ayu Sofia Filayeti
Dikaruniai wajah rupawan, menikah di umur 23 tahun di bawah naungan suami yang taat agama dan mertua yang baik hati. Punya rumah sendiri, mobil dan motor sendiri, hidup berkecukupan meski hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Wanita manapun pastinya mendambakan hidup sempurna yang kujalani sekarang. Ya, hidupku, pernikahanku, semuanya sempurna. Namun kesempurnaan yang kutempati sekarang bak fantasi monokrom bagiku.
Semua ini seolah tak nyata.
Semua ini hanyalah kepalsuan bagiku.
Namaku Ayu. Kemarin adalah hari peringatan tiga tahun pernikahan antara diriku dan Mas Rian, suamiku. Meski begitu, senyum hambarku tak sedikitpun menyiratkan rasa bahagia menyambut pergantian hari. Tiga tahun berlalu, namun hatiku masih mencari kepastian atas dirinya. Separuh diriku mengatakan aku mencintainya, namun separuh lagi masihlah ragu menerimanya—bagiku tidaklah mudah belajar mencintai seseorang lewat pernikahan yang telah diatur kedua orang tua kami, namun aku juga takut mengecewakan dia semisal kutolak lamarannya.
Hingga kini … disinilah aku … terjebak dalam fantasi indah ini.
Apa yang sebenarnya aku cari, aku tak tahu, aku tak mengerti. Yang aku tahu sekarang adalah hidupku yang kujalani sekarang bukanlah itu, aku yakin karena hatiku berontak memikirkannya.
“Ay, mikirin apa?” suara baritone Mas Rian menyadarkanku dari lamunanku, dia memeluk pinggangku dari belakang dan menaruh dagunya di bahuku.
“Ngga apa-apa, Mas,” jawabku singkat sembari memaksa tersenyum, kuaduk kopi yang tengah kucampur sebelum berbalik dan menyuguhkan padanya.
Selagi tangan kanannya menggenggam gelas, tangan kirinya menarik pinggulku dan mendaratkan ciuman kecil di dahiku. Aku tersenyum kecil sebelum mendorong dadanya pelan hingga kami berpisah.
“Mas, aku izin pakai motor. Hari ini aku mau ke butik Kak Lidya, lihat-lihat stok barang yang baru datang,” pintaku sambil terus memaksa senyumku padanya.
“Yasudah, Mas izinkan. Pulangnya jangan kesorean ya, Ay!” jawab Mas Rian seraya mengelus pelan kepalaku.
Satu hal yang mungkin kusuka dari Mas Rian. Dia tak terlalu mengekang keinginan istrinya. Meski dia sering mengantarku berbelanja, dia tak enggan melepasku sendiri disaat aku menginginkannya. Dia selalu percaya dan tak banyak bertanya apa saja yang istrinya lakukan di belakangnya.
Kurapikan sedikit khimarku yang kusut dan mengenakan kacamataku. Kuambil kunci motor di gantungan dekat kulkas dan bergegas menuju garasi tempat skuter matic Mas Rian.
“Mau saya antarkan, Non Ayu?” tanya Pak Danang, asisten rumah tangga keluargaku.
“Oh, ngga usah pak. Saya bisa sendiri. Tolong nanti kalau sudah selesai cuci mobilnya bantu belikan bahan makanan ya pak. Catatannya ada di Kulkas kayak biasa,” tolakku halus, diiringi anggukan beliau.
Keseharian ibu rumah tangga sepertiku tidaklah banyak, sebagian besar pekerjaanku di rumah dibantu Pak Danang, yang merangkap sebagai supir dan asisten rumah tangga kami. Awalnya aku sempat keberatan dengan ART laki-laki, namun Mas Rian selalu mencoba memberi pengertian padaku, mengingat umurnya juga masuk usia manula, sebatang kara tanpa sanak keluarga yang mengurusnya, dan kupikir-pikir nafsunya pun mungkin sudah tak ada sisanya lagi, jadi tak apa lah. Lagipula dengan adanya Pak Danang di rumah, aku lebih leluasa kalau mau plesiran kemana-mana pikirku.
*KRING*
Bel kecil di atas pintu butik berbunyi, di meja kasir nampak wanita yang begitu familiar di mataku tengah menghitung beberapa stok barang yang baru masuk untuk kemudian ditempatkan di display miliknya.
“Kak Lidya,” panggilku, menyadarkannya dari kesibukannya.
“Ehhh, Ayu. Tumben belum ditelpon udah datang duluan,” sambutnya sumringah seraya menyambut pelukanku.
“Mau cuci mata kak, ngelihat baju baru datang. Bosen di rumah,” rengekku yang langsung disambut cubitan kecilnya di lenganku.
“Kamu tuh ya, ngga ada kerjaan ngeluh, nanti dikasih kerjaan ngeluh lagi, maunya apa coba. Kalau aku jadi kamu mah, baru berapa tahun nikah ya setia di rumah aja goyangin suami,” canda Kak Lidya.
“Padahal dulunya kan ya pas belum nikah sering ngajak clubbing juga,” balasku ketus.
“Itukan duluuuuuuuuu….. sebelum kakak nikah….. huuuhhhh…..” Dia kembali mencubit lenganku membuatku meringis kesakitan.
“Kamu nih ya bukannya bantuin kakak, datang malah nambah pikiran ruwet. Gih sana bantu display kek,” perintahnya, aku hanya memeletkan lidah dan lanjut membuka stok baju baru.
Berbeda denganku yang baru menikah beberapa tahun, kak Lidya sudah menjalani bahtera rumah tangga 11 tahun lamanya. Meski dari luar nampak muda, dia kini telah berusia 34 tahun. Sosok kak Lidya terus bermetamorfosa dipahat waktu, dari dulunya berpakaian serba ketat kini berpakaian longgar dan berhijab, dari yang dulunya sering mabuk-mabukan, sekarang sibuk menata jualan, kadang aku suka terkagum dibuatnya.
“Kak….”
“Hmmmhh….”
“Kak Lidya bahagia ya sekarang, padahal dulu kita sama-sama ngga bener. Pas udah bener, kakak bahagia, aku masih disitu-situ aja.”
“Ya luarnya aja bahagia, Yu. Dalamnya mah masih di situ-situ aja.”
Aku yang tengah menggantungkan salah satu pakaian di display pun melirik wajah datarnya sesaat. Raut muka itu nampak serius memandangi buku catatan masuk disaat tangannya yang lain sibuk dengan kalkulator. Dia berhenti dan menatapku balik, lalu tersenyum simpul.
“Kamu dulu diajakin ngerokok ngikut, diajakin mabok ngikut, pas diajakin main cowo-cowo sok jual mahal ngga mau ngikut. Eh giliran udah gede ngeluh-ngeluh ke aku bosen. Puber kok nanggung,” ejeknya seraya tertawa kecil.
Aku memutar bola mataku dan kembali menggantung pakaian muslimah lainnya di display. Selesai di sana, aku kembali ke meja kasir dan duduk di samping Kak Lidya. Kusandarkan daguku di meja sambil memainkan ponsel milikku.
“Kalau mau coba sensasi baru, download aplikasi yang itu aja tuh, yang biasa dipake mas-mas komplekan.”
“Apaan?” tanyaku.
“Itu tuh, yang aplikasi TV buat Live,” balasnya.
“Yang manaaaaa?” desahku.
“Heduhhh, sini sini!” Diambilnya ponselku dan diutak-atiknya beberapa saat sebelum kemudian diserahkannya kembali padaku.
“Apaan nih kak?” tanyaku, melihat sebuah aplikasi baru di ponselku bernama MOE TV.
“Nanti malem bukanya, di atas jam satu malem. Pake headset jangan lupa biar aman,” jawab Kak Lidya.
Kuhiraukan saja sarannya dan menyibukkan diri dengan membuka stok baju baru lagi, kami bercendikia ria soal masalah rumah tangga yang kadang silih berganti, tak lupa pula gosip-gosip artis terkini hingga waktu sore pun tiba.
“Duh, aku pulang dulu kak, nanti kalau ada gamis pesananku kemarin datang kabarin ya!” pintaku seraya pamit.
“Hati-hati di jalan!” balas kak Lidya setengah berteriak.
Kupacu kembali motor matic Mas Rian meninggalkan butik. Sebelum pulang kusempatkan membeli sekantung makanan kucing untuk Icha—kucing anggora kesayangan kami di rumah. Sesampainya di rumah, Pak Danang pun dengan sigap membukakan gerbang rumah agar motorku bisa masuk.
“Pak, itu motor di pel-pel gitu aja, ngga usah dicuci, ngga kotor-kotor amat kok.”
“Siap, Non.”
“Belanjaan tadi udah?”
“Sudah saya beli sesuai catatan, Non. Untuk ikan dan sayurnya seperti biasa saya cuci dan taruh di Kulkas dulu biar tetap segar.”
“Yasudah lah kalau begitu. Terima kasih banyak, pak.”
Aku berlalu mendapati suamiku—Mas Rian, tengah sibuk mengerjakan laporan di meja kerjanya. Aku mengecup pipi lelaki yang asik berkutat dengan laptopnya tersebut dan membuatnya tersadar.
“Udah pulang?” balasnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari laptopnya.
“Aku masak bentar ya,” lanjutku.
Potongan demi potongan sayur kusisihkan di meja dapur, kulanjutkan dengan memarinase ikan yang sudah dibelikan Pak Danang untuk bersiap kugoreng.
Usai aku dan Mas Rian makan, kami bersantai di ruang keluarga seraya menonton televisi. Kusandarkan kepalaku di bahunya sebelum akhirnya terlelap dalam setiap detiknya.
Saat aku terbangun kudapati tubuhku sudah tergeletak di ranjang kami. Rupanya Mas Rian yang bela-belain mengangkat tubuhku sampai kemari. Kupandangi wajah lelapnya, lalu kucium dahinya dan bergerak menuruni ranjang menuju kamar mandi.
Kalau sudah ketiduran sore-sore, aku memang agak susah lagi tidur di malam hari, setelah membasuh tubuhku dan mengganti pakaianku dengan piyama tidur aku pun berjalan menuju dapur dan mencoba mengambil susu.
Baru beberapa teguk air susu itu melewati tenggorokanku, kudapati ponselku terpatri di atas meja dapur, aku lupa mengambil ponselku lagi setelah memasak buat Mas Rian.
Sesaat setelah ponselku kubuka, terlihat sebuah aplikasi di beranda ponselku yang kembali memicu ingatanku pada saran Kak Lidya.
Kulihat jam dapur menunjukkan pukul satu lewat limabelas menit, aku menengok kamar Pak Danang yang tak jauh dari dapur kelihatannya lampunya sudah mati.
Aku berjalan pelan kembali menuju ruang keluarga, bahkan sedikit berjinjit—berusaha agar tak ada sedikitpun suara yang bisa membangunkan Mas Rian dari tidurnya.
Kubuka aplikasi MOE TV itu dan mendaftarkan akunku menggunakan email biasa, setelah kupasang headset dan mengatur profil akunku, aku pun memulai live.
Ketika itu muncul wajah pria yang tampak cukup lusuh berkata halo padaku, aku terlanjur gugup langsung menekan tombol berhenti dan logout.
Aku mengambil masker di rak atas lemari untuk menutupi wajahku sebelum melanjutkan kembali membuka aplikasi tersebut.
Beberapa menit main ngga jelas, aku mulai memahami rupanya aplikasi ini seperti gabungan antara Tinder dan VideoCall pada umumnya, dimana kita bisa swap ke kiri untuk skip panggilan atau pun berbicara dengan orang asing. Kita juga bisa memilih untuk tidak berbicara dan hanya menggunakan fitur chat.
“Apasih gajelas banget Kak Lidya install aplikasi ginian. Sensasinya dimana coba?” gumamku sambil terus menggeser layar ponselku ke kiri.
Rata-rata isinya laki-laki, itupun dari sepuluh orang mungkin cuman satu yang bagus dipandang, sisanya wajah kuli, tukang, dan om-om mesum. Sebagian besar mencoba mengajakku ngobrol dengan gaya jametnya, namun sebelum memulai basa-basi sudah duluan kugeser ke kiri.
Aku menengadahkan kepalaku pada sandaran sofa, menatap langit-langit rumah. Bosan. Saat aku menggeser lagi layarku ke kiri, tiba-tiba bukan gambar wajah yang muncul melainkan gambar kaki pria yang kelihatannya sedang selimutan.
Mataku terhenti sejenak menatap nanar sebuah gundukan besar yang tersembunyi di balik selimut itu. Tangan pria itu bergerak mengelus gundukan besar itu yang seketika membuat darahku berdesir.
“Gede banget.” Tak sadar kukirimkan pesan chat padanya.
“Mbaknya mau lihat?” jawabnya lewat mikrofon, namun aku tak mampu menjawabnya.
Ditariknya selimutnya dan jantungku pun berdegup kencang saat melihat sebuah batang kejantanan pria mengacung tegak dengan gagahnya. Besar sekali, jauh lebih besar dari punya Mas Rian. Kulepas satu kancing piyama teratasku karena rasa gerah yang datang menghampiriku tiba-tiba.
“Temenin aku coli yuk, Mbak,” pintanya padaku yang masih tak bergeming sedikitpun.
Dia menaik-turunkan tangannya mengocok organ intim miliknya tanpa rasa malu sedikitpun di hadapanku. Aku menelan air liurku saat benda itu menegak sempurna di hadapan kamera. Tak sadar kudekatkan hidungku ke layar ponsel seolah ingin menaruhnya di depan mukaku dengan nafas memburu.
“Suka ngga?” tanyanya.
“Iya,” jawabku spontan dengan nada lirih.
“Gedean mana sama punya suamimu?”
“Gedean punya kamu.”
“Jilatin dong!”
“Slrrppphhhhh…..ahhhh…..gede bangettt……” desahku setengah berbisik.
Tangannya terus bergerak cepat hingga benda itu pun sedikit berubah kemerahan.
“Terushhh sayangg…. Dikit lagi….” lirihku yang sudah amat terangsang.
Batang itu pun berkedut beberapa kali di depan kamera dan menumpahkan cairan putih bak lahar yang terus menetes di atas perut pria itu.
Mataku menatap nanar adegan itu dan tanpa sadar aplikasinya pun kututup.
“Ahhhh shit!!!” umpatku yang kemudian membuka kembali aplikasi tersebut.
“Haiii cewe, kenalan dong, jangan sombong amat laa, sini dong sama abang,” ucap seorang pria jamet yang muncul di layar ponselku dengan rambut panjang berponi ala Andhika Kangen Band.
Saat itu pula kukeluarkan aplikasinya dan kulempar ponselku ke samping sofa.
“Sssshhhhh haahhhhhh …. hahhhhh …. hahhhhhhhhh ….”
Aku hanya bisa mendesah kecewa, dadaku naik turun dengan napas memburu, itu adalah kali pertama seseorang melakukan pelecehan seksual padaku. Sungguh aneh, bukannya merasa terhina aku justru menikmati prosesnya.
Kuremas sedikit dadaku dan menarik napas panjang. Saat tanganku bergerak menuju bawah perutku tak kusangka celanaku basah, sedikit lendir cinta keluar dari sela-sela lubang kenikmatanku. Adegan itu benar-benar memicu sesuatu dalam jiwaku dan memunculkan sebuah sensasi baru.
Sebuah rasa menyenangkan saat dilecehkan orang asing.
“Ay! Ayang! Kenapa, kok kusut gitu?” tanya Mas Rian.
“Ngga apa-apa mas, kemarin malam kebetulan pas susah tidur aja,” jawabku. Kuserahkan roti yang sudah kuolesi selai kacang pada Mas Rian yang kemudian dinikmatinya dengan lahap.
“Mas berangkat dulu yah. Kemungkinan malam ini lembur, jadi kalau mau masak ngga usah banyak-banyak. Soalnya mas makan malamnya di luar.”
“Iya mas, hati-hati di jalan.”
Kusambut dan kucium tangannya yang dibalasnya dengan kecupan manis di dahiku. Dari teras kupandangi Pak Danang yang menutup kembali pintu gerbang sebelum lanjut mengantarkan Mas Rian kerja menggunakan mobil—menyisakan aku sendirian di rumah kami.
Kusobek makanan kucing yang kubeli kemarin saat pulang dari butik kak Lidya dan kutuangkan ke mangkuk makanan kucing. Belum juga kupanggil, Icha—kucing kami, sudah lebih dahulu berlari mendekat ke arahku saat mendengar suara gemerincing makanan dan menggosokkan tubuhnya di kakiku.
“Meowwwww!!!”
“Sabar ya Caca, sebentar ya….” ucapku pelan.
Kuberalih menuju sofa dan menghidupkan televisi. Bosan sekali. Acara di saluran lokal hanyalah seputar lawakan infotainment ngga jelas yang disisipi dengan tawa tidak lulus penonton bayaran. Sementara acara dari saluran tv kabel berisikan film-film yang sebagian besar sudah kutonton.
Aku mendesah pelan. Rumah sudah dibersihkan Pak Danang sedari Subuh, cucian piring tak ada, cucian pakaian sudah dijemur, tanaman sudah disiram, harus kuakui meski sudah berusia senja beliau sangatlah ulet.
Kulirik ponselku sesaat. Detak jantungku terasa intens mengingat apa yang sudah kulihat tadi malam. Apalagi aku masih mengenakan jilbab dan piyamaku yang sama, minus celana dalam yang sudah kulepas karena basah. Aku celingukan, menengok kiri dan kanan. Kucoba lagi membuka aplikasi live TV itu sekadar buat membunuh rasa bosan. Tak lupa kukenakan masker agar tidak grogi seperti tadi malam.
Kuskip lagi layar live itu…..
Lagi…..
Dan lagi…..
Ya, di siang hari pun, isinya sebagian besar hanyalah bapak-bapak dan mas-mas jamet. Hingga limabelas menit lamanya tidak ada satu orang pun yang menarik minatku.
Aku menengadahkan kepalaku, apa benar ya harus malam-malam mainnya baru ketemu lagi yang kayak gitu.
Di tengah kebosananku, bisikan iblis terasa masuk dalam sanubariku. Kalau tak bisa kudapatkan, kenapa bukan mereka saja yang kubuat menunjukkannya padaku, pikirku.
Kucoba memberanikan diri memainkan kembali aplikasi itu, pikir-pikir kalau yang kucari anak kuliahan pasti dia merekamnya diam-diam pakai perekam layar, sebaiknya kupilih yang wajahnya agak gaptekan atau tua-tua.
Sesaat setelah aku menggeser layarku beberapa kali nampak seorang kuli bangunan bertelanjang dada dengan wajah ndeso dan rada bloon memandangi layarku.
“Halo, neng!” ucapnya seraya melambai ke kamera.
Aku melambaikan tangan balik namun masih grogi ingin berbicara padanya, rasanya jantungku amat memburu karena baru pertama melakukannya.
“Siang-siang sendiri aja?” tanyanya.
“Iya pak, suami lagi kerja diantar sama supir, jadinya sendirian,” jawabku.
“Oh, namanya siapa neng?” tanyanya ramah
“A…..Ainun,” bohongku, lagipula sepenting apasih harus ngasih tahu nama asli segala.
“Kalau Bapak namanya Hadi. Biasalah kalau pas lagi istirahat kerja bapak suka tuh buka MOE TV ini, bisa kenalan sama orang-orang, ngobrol-ngobrol gitu,” celotehnya, aku hanya berdehem mengiyakan.
“Pak Hadi udah punya istri?”
“Waduh, bapak sih udah duda. Udah lama ditinggal istri tuh.”
“Dingin dong pak, kalo udah malem-malem,” godaku disambut tawa gaharnya.
“Ya mau gimana lagi, neng. Bapak mah kalau mau nikah lagi udah ngga punya biaya. Wong nanggung, hidup sendiri aja udah ngos-ngosan.”
“Kalau saya malah suka kepanasan pak, namanya punya suami mungkin ya,” lanjutku sambil membuka dua kancing piyama teratasku.
Jakun pria itu bergerak naik turun, melongo melihat belahan dadaku yang sedikit tersirat dibalik pakaianku.
“Duh neng, panas banget ya, baiknya dibuka aja neng biar ngga gerah,” godanya.
“Iyanih pak, panas-panas gini enaknya sih makan es krim pak, yang lolipop gitu loh bentuknya,” lanjutku sambil melepas lagi satu kancing piyamaku sehingga kini braku mulai nampak disusul dengan siluet dua gunung kembarku yang sontak membuat napas pria tua itu terdengar memburu.
Astaga, rasanya tegang sekali, jantungku berasa mau copot, rasanya seperti saklar di otakku baru saja terklik dari wanita baik-baik menjadi wanita binal yang mendambakan kejantanan pria lain.
Dia pun celingukan ke kiri dan kanan, selanjutnya kameranya nampak bergerak ke arah bangunan lain dan masuk ke sebuah ruangan kosong.
Kamera itu pun berganti dari kamera depan ke kamera belakang.
Napas Pak Hadi masih terdengar memburu, mataku melotot menatap layar, tangannya nampak menggosok-gosok selangkangannya dan tanpa ragu-ragu sedikitpun mengeluarkan batang kejantanan miliknya.
Napasku nyaris terhenti saat melihat batang itu mengacung sempurna namun masih tertutup kulup. Astaga, ternyata benda milik Pak Hadi itu belum disunat.
“Remas dong non Ainun, saya suka banget non.” Suaranya bergetar dia nampak terangsang juga dengan penampilanku.
Aku menelan air liurku dan terus menatap frame demi frame gerakan tangannya saat mengocok kejantanan miliknya. Ya ampun, kini kepala penisnya keluar sempurna dari kulupnya, darahku berdesir dan bulu-bulu tubuhku ikut merinding. Kali pertama aku melihat penis yang belum disunat, milik orang asing pula. Iblis bagaikan membimbing tanganku hingga melucuti pakaianku dan menyisakan beha dan jilbabku.
Saat dadaku kuremas, terdengar suara Pak Hadi melolong tertahan di ujung sana. Rasanya aku bagaikan bangun dari mimpi panjang dan kembali menuju kenyataan sempurna, seks virtual ini terasa lebih menegangkan dan menyenangkan ketimbang malam-malam hambar yang kulalui bersama Mas Rian.
“Buka non, bantu bapak keluar!” pintanya dengan suara berat dan napas menderu kencang.
Aku yang masih meremas-remas dadaku ragu akan permintaannya. Duh, masa iya sih kukasih gratisan tubuhku ini pada sosok kuli bangunan.
“Sebentar pak, saya punya solusi lain,” pintaku.
Aku setengah berlari menuju dapur dan mengambil sebuah timun berukuran sedang di dalam kulkas. Aku berlari kembali menuju ponselku dan bersimpuh di depannya.
“Apaan itu non?” tanyanya sedikit keheranan
“Bapak bayangin aja ya,” jawabku sedikit genit.
Kuangkat sedikit maskerku ke bagian hidung lalu kujilati timun itu seolah-olah tengah menjilati benda milik Pak Hadi, pria itu nampak melenguh di seberang sana seraya mempercepat kocokan tangannya.
“Mmmmhhhh …. Pakkkkk …. Ainun pengen diginiin ….” ucapku genit seraya mengoleskan timun yang berceceran air liurku di tengah payudaraku, membuat Pak Hadi sedikit meringis.
“Anjritttt …. Dasar lonte! Ditinggal suami malah ngelonte ama kuli. Dasar akhwat gatel!” balasnya dengan nada kasar.
Aku terkejut mendapati perkataan semacam itu. Separuh diriku merasa terhina, namun separuh lagi benar-benar terangsang saat direndahkan oleh orang yang status hidupnya notabene jauh dibawahku. Tak terasa timun itu kuturunkan menuju selangkanganku dan kutusuk-tusukkan dari luar celana piyamaku.
“Pengen dimasukin, pakkk!” rengekku manja dan Pak Hadi pun makin mempercepat kocokannya.
“Anjing, akhwat gatel bangsat. Gue entotin elu sampai mengap-mengap!” lenguhnya lagi sambil terus mengocok batang kejantanannya.
“Iyahh .… Terushh pakkk …. Terusssss …. Zinahi aku pakkkk …. Jadiin aku lacurmu ….”
Terus kurangsang lelaki itu hingga pejantanku pun melenguh panjang bersamaan dengan membludaknya air mani yang keluar dari penisnya. Benda besar itu berkedut-kedut lalu memuntahkan lahar putihnya untuk terakhir kalinya. Sedangkan aku hanya bisa memandanginya dengan wajah kemerahan, napasku masih berat tanpa sadar kukeluarkan aplikasi itu dan kuhempaskan ponselku ke samping sofa.
Kulepas behaku hingga kedua gunung kembarku pun keluar dari kekangannya selama ini. Kuelus lagi kedua buah dadaku dengan timun tadi membayangkan benda milik Pak Hadi lah yang saat ini tengah melakukannya.
“Ahhhhhnnnnn …. Pakkkkkk …. Aku pengen bangettttttt dientotin bapakkk ….” desahku tertahan.
“Kalau pengen dientot, mau jadi lacur bapak?”
Aku terengah-engah menatap kekosongan, membayangkan seolah Pak Hadi kini ada di sampingku dan mengucapkan hal serendah itu padaku. Aku mengangguk dan tersenyum. Kugerakkan timun itu menyusup ke dalam celana piyamaku tanda aku setuju bayangannya bergerak menodai tubuh alimku.
Selagi tangan kiriku meremas payudaraku, tangan kananku bergerilya mencoba menusukkan timun itu ke dalam lubang kenikmatanku.
“Sssshhhhh …. Duhhh gede banget pakkkkkk …. Gak bakal muatttttt ….” rengekku dalam kesunyian, sementara tanganku terus mencoba memasukkan timun itu lebih dalam.
Sayangnya baru dua atau tiga senti timun itu masuk, aku sudah mengap-mengap tak tahan. Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari akuarium, aku menggelepar merasakan nikmat kala tanganku bergerak keluar masuk, membayangkan diriku yang begitu terhormat dilecehkan oleh seorang kuli bangunan.
“Akuuuuuu sampaiiii pakkkkkkkk …. Ahnnnnnnnn ….” teriakku sekeras mungkin, hingga seluruh sudut ruangan terasa bergema oleh kenikmatan yang saat ini menikam habis tubuhku.
Tak lagi aku peduli saat lendir cintaku membasahi celanaku dan meluber sebagian ke sofa tempatku memadu cinta bersama bayang-bayang Pak Hadi. Dadaku naik-turun dan tubuhku menggeliat merasakan kenikmatan dari fantasi terliar dan terhina yang ditanamkan Iblis dalam relung dadaku.
Namun, tak sempat berlama-lama aku menikmati puncak surga, terdengar suara mobil di depan dan suara pagar yang tengah didorong. Sial, Pak Danang pulang.
Aku bergegas mengambil pakaianku yang berserakan lalu menuju kamar utama—tempatku dan Mas Rian biasa memadu kisah dan kasih hambar kami.
To Be Continued…
[No Quote]